Umdatul Ahkam Pert. 27: Shalat Jama’ah dan Sifat Munafik
(Transkrip Ceramah Ustadz Dr. Emha Hasan Ayatullah, MA.)
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَبِهِ نَسْتَعِينُ عَلَى أُمُورِ الدُّنْيَا وَالدِّينِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.
Ikhwah sekalian, semoga Allah Azza wa Jalla memberikan kepada kita keikhlasan. Yang kedua, semoga kita menjadi orang-orang yang bisa menjaga dan menunaikan rukun terbesar setelah syahadat dalam Islam, yaitu melaksanakan salat, kemudian melaksanakannya selalu dalam berjemaah. Dan Kita Tidak Sedang membahas orang awam, akan tetapi untuk kita para penuntut ilmu. Ketika salat berjamaah bukan hanya dipertimbangkan oleh para ulama sebagai sesuatu yang sunah atau wajib, akan tetapi mereka sampai mengatakan bahwa orang yang sering meninggalkan salat berjamaah seperti orang yang munafik.
Bahkan, dikenal dengan kemunafikan yang nyata. Sehingga, terlepas dari pembahasan apa yang rajih dari hukum salat berjamaah, akan tetapi para ulama rupanya menjadikan salat berjamaah adalah simbol kemunafikan untuk orang yang sengaja selalu meninggalkannya. Dan kita katakan demikian karena realita di tengah
thalibul ‘ilmi dalam meremehkan salat berjamaah kelihatan nyata. Kemudian yang kedua, kalau seandainya para penuntut ilmu menyepelekannya, bagaimana pula dengan orang yang tidak belajar, orang yang jauh dari ilmu Syari? Sehingga, kalau seandainya salat yang dirapikan safnya disebut oleh Nabi ﷺ akan berefek pada kurangnya persatuan seseorang, bagaimana dengan orang yang tidak melaksanakannya secara berjamaah?
Kita akan bahas hadisnya. Ketika Nabi ﷺ menyatukan—dan ini masih agak jauh pembahasannya—”Sungguh kalian akan merapikan saf kalian, atau Allah akan jadikan hati kalian tidak bersatu.” Lalu, bagaimana jika seandainya ini perbandingan untuk orang yang salat berjamaah hanya safnya yang kurang sempurna? Kalau dibandingkan lebih luas lagi dengan orang yang tidak berjemah, apakah kita bayangkan
thalibul ‘ilmi akan bersatu dengan pendapat yang sama, disiplin keilmuan yang, ee, maksimal, dan seterusnya? Maka, kita tidak lagi membicarakan tentang orang awam atau pemahaman mereka atau hukum salat berjamaah. Dan kita akan membahas tentang masalah salat berjamaah memang, akan tetapi
thalibul ‘ilmi perlu memperhatikan standar lebih dari itu.
Ini menjadi mukadimahnya. Dan kita tahu bahwasanya Nabi Ibrahim
عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ, beliau berdoa, beliau Seorang nabi, berdoa kepada Allah agar dijadikan sebagai orang yang bisa betul-betul mendirikan, melaksanakan sebagaimana mestinya, dan beliau doakan keturunannya. Padahal, keturunan beliau adalah kebanyakan para nabi juga. Bagaimana dengan orang yang hidup di zaman fitnah? Barangkali bukan lagi
tarakhus (mengambil pendapat yang ringan), akan tetapi bahkan mereka, sekalipun hal-hal yang wajib, mereka berani tinggalkan karena sudah kalah dengan fitnah yang ada di depannya. Maka, Ikhwan sekalian, ini merupakan pembahasan paten untuk
thalibul ‘ilmi, harus diperjuangkan.
Dan Umar Bin Khattab رضي الله عنه mengatakan: “
إِنَّ أَهَمَّ أُمُورِكُمْ عِنْدِي الصَّلَاةُ، فَمَنْ حَفِظَهَا وَحَافَظَ عَلَيْهَا حَفِظَ دِينَهُ، وَمَنْ ضَيَّعَهَا فَهُوَ لِمَا سِوَاهَا أَضْيَعُ” (Sungguhnya urusan yang paling aku perhatikan dan aku anggap penting di antara kalian adalah salat. Orang yang menjaganya, dia telah menjaga yang paling penting. Tetapi, orang yang menyia-nyiakannya, maka dia akan lebih menyia-nyiakan untuk selain urusan salat). Oleh karenanya, ikhwah sekalian,
at-tawashi (saling mengingatkan) dalam urusan salat bukan hal yang remeh dan tidak berguna. Banyak sekali kalangan penuntut ilmu di antara mereka yang perhatian dengan kawannya, mengeluhkan terhadap kawan satu kamar, satu tempat tinggal, atau satu kelas yang ibadahnya keleleran, ketinggalan, tidak perhatian, dan seterusnya. Dan bisa jadi nilai mereka tinggi dalam, ee, prestasi akademik. Dan kita katakan bahwa itu tidak akan memberikan keuntungan sama sekali. Bahkan kita berbicara tentang ilmu agama yang harusnya akan sejalan dengan amalnya.
Sehingga, ketika ada orang menguasai sebuah ilmu agama secara umum tapi perilakunya tidak memper- tidak mencerminkan ilmu yang dikuasai, kita khawatir ilmu itu akan menjadi bumerang. Apalagi jika seandainya sering kali berulang mengatakan orang yang mengetahui hadis, bahkan menyatakan dirinya sebagai tokoh, ahli, pakar, dan seterusnya, akan tetapi ibadahnya memprihatinkan sekali. Ini minimalnya memalukan, apalagi jika seandainya pertimbangannya di depan Allah Azza wa Jalla. Ditambah lagi, dia diikuti, urusannya bukan masalah dia menguasai atau tidak, hafal atau tidak, ahli atau tidak, akan tetapi ilmu ini ada korelasinya dengan amal. Ini perkataan seorang Arab yang mengatakan, “Ilmu ini akan mengajak untuk beramal, kalau dapat maka dia akan jalan bersama, kalau tidak maka ilmu ini akan hilang.” Apalagi kalau kita membicarakan tentang ilmu hadis di zaman dulu dibandingkan dengan ilmu hadis zaman sekarang. Orang barangkali bangga dengan ilmu hadis dengan sesuatu yang tidak bisa dibanggakan di zaman dahulu. Otomatis ini akan berimbas pada ibadah juga. Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa membimbing kita ke jalan yang lurus.
Ikhwah sekalian, pembahasan yang disebutkan oleh Imam Abdul Ghani al-Maqdisi rahimahullah sejalan dengan apa yang dipandangkan atau dituliskan oleh Al-Imam Al-Bukhari. Beliau memberikan judul—kita akan bahas empat hadis malam ini, insyaallah—tentang salat berjamaah dan hukum wajibnya. Al-Imam Bukhari rahimahullah, beliau menyebutkan hadis ini berulang dan beliau menyebutkan dalam bab sebelumnya dengan bab
Wujubi Shalatil Jama’ah (Kewajiban Salat Berjamaah). Kemudian di bab setelahnya, beliau mengatakan bab
Fadli Shalatil Jama’ah (Pembahasan tentang Keutamaan Salat Berjamaah). Dan kata Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, ini sebenarnya tidak kontradiksi, karena tidak berarti wajib kemudian tidak ada fadilahnya sama sekali. Yang penting diwajibkan untuk kamu, mau ada fadilahnya atau tidak, namanya wajib kamu kerjakan. Tidak seperti itu. Di dalam syariat, ada sesuatu yang wajib tetapi juga mencakup kemuliaan yang besar. Dan tidak mungkin ketika Allah Azza wa Jalla menyebutkan atau memberikan pahala yang besar untuk pahala sunah, kemudian yang wajib tidak ada pahalanya.
Maka, ee, kita bisa menilai bagaimana para ulama memposisikan salat secara berjamaah merupakan pembahasan yang mereka anggap perhatiannya penting. Ya, memang betul sebagian ulama tidak mewajibkan salat berjamaah. Di antara mereka ada yang menilai itu adalah fardu kifayah. Fardu kifayah seperti salat jenazah, kalau ada orang yang melaksanakan berarti yang lain tidak berdosa. Ada pula yang mengatakan bahwa salat berjamaah hukumnya sunah muakkadah, dan ada yang menyatakan bahwa salat berjamaah wajib. Dan wallahu a’lam, ini pendapat kuat sekali. Ditambah lagi, kalau seandainya dilihat dari kehidupan para sahabat, mereka yang memahami bagaimana Nabi ﷺ membina para sahabatnya.
Dan terlepas dari itu, Syekh Albani rahimahullah dalam kitab
Sifat Shalat Nabi ﷺ beliau menyatakan bahwa sudah sepantasnya seorang yang beriman tidak perlu, ee, menyibukkan diri dengan perbedaan pendapat dalam masalah hukum fikih. Apakah ini wajib, sunah, atau ini fadilah? Karena sebagian ulama menilai bahwa sunah ini bertingkat-tingkat. Ada mandub, ada mustahab, ada sunah. Sebagaimana dalam mazhab Hanafiah dikatakan ada fardu, ada wajib. Akan tetapi, seorang muslim pengikut Nabi ﷺ, ketika dia melaksanakan ibadah, dia hanya melihat Nabi ﷺ mengerjakan apa, dikerjakan semua. Apakah ini sunah? Apakah saya harus seperti ini atau tidak? Maka dikerjakan semua.
Maka ini yang dipraktikkan oleh para sahabat Nabi ﷺ ketika mereka mengatakan, “Aku betul-betul akan perhatikan salat Nabi ﷺ.” Betul-betul aku akan perlihatkan, aku akan lihat. Dan Nabi ﷺ dalam berbagai kesempatan, sengaja beliau salat untuk dilihat. Beliau mengatakan: “
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي” (Salatlah kalian sebagaimana kalian lihat aku salat). Kemudian, terkadang beliau naik mimbar, agar beliau mengatakan: “
إِنَّمَا فَعَلْتُ هَذَا لِتَأْتَمُّوا بِي وَلِتَعْلَمُوا صَلاَتِي” (Aku kerjakan ini agar kalian bermakmum kepadaku dan kalian belajar tata cara salatku). Ketika berdiri, beliau naik mimbar, kemudian ketika sujud beliau turun, kemudian sujud di bawah. Kemudian beliau berdiri naik lagi ke atas mimbar. Beliau katakan, “Aku kerjakan ini sengaja agar kalian bermakmum kepadaku dan kalian belajar tata cara salatku.” Maka para sahabat mempelajari itu semua. Mereka betul-betul tidak memperhatikan ini sunah, ini wajib, atau tidak. Akan tetapi, ketika dikerjakan Nabi ﷺ, maka mereka pun akan kerjakan. Dan beliau jadikan ini bahan diskusi di antara mereka. Sampai sebagian mereka mengatakan, “Sungguh, aku adalah orang yang paling mengerti tentang hadis Nabi ﷺ tentang salat Nabi ﷺ di antara kalian.” Lalu beliau sebutkan hadis itu dalam Sahih Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudri رضي الله عنه, dan ini menunjukkan perhatian mereka.
Sehingga, kalau seandainya kita sering melihat jemaah haji, jemaah umrah, mereka bertanya, “Betul, kalau gini boleh apa tidak? Ini doanya apa?” Padahal disampaikan, bertanya terus karena mereka menyadari ibadah itu penting. Mereka bayar mahal, tunggu lama, dan mereka sampai jauh melakukan perjalanan, mereka merasa ini penting. Demikian pula seorang yang beribadah salat lima waktu setiap hari, dan ini akan mempengaruhi ibadah lainnya. Kalau seandainya dia betul-betul sadari, akan tanya, dia akan mempelajari dengan, ee, semestinya.
Baik, ee, hadis yang pertama adalah hadis Abdullah Bin Umar رضي الله عنهما:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: ”صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً.” (Salat berjamaah lebih utama dari salat sendirian—
al-fadz artinya adalah munfarid, salat sendiri—dan perbandingan pahalanya adalah 27 derajat).
Kemudian hadis kedua disebutkan dari Abu Hurairah رضي الله عنه, dia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda:
“صَلاةُ الرَّجُلِ فِي جَمَاعَةٍ تُضَعَّفُ عَلَى صَلاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَفِي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ ضِعْفًا، وَذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لا يُخْرِجُهُ إِلا الصَّلاةُ لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلا رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ، فَإِذَا صَلَّى لَمْ تَزَلِ الْمَلائِكَةُ تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ فِي مُصَلاهُ: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ. وَلا يَزَالُ فِي صَلاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلاةَ.” (Salat seseorang ketika dilakukan berjamaah, maka akan dilipatkan 25 kali lipat di rumah atau di pasarnya. Dan demikian itu, apabila dia berwudu dan menyempurnakan wudunya, kemudian dia keluar menuju masjid, tidak ada yang membuatnya keluar kecuali untuk salat, maka tidaklah dia melangkah dengan dua kakinya melainkan satu langkah akan meninggikan derajat, satu langkah akan menggugurkan dosa. Apabila dia sudah salat di tempat salatnya, maka malaikat akan senantiasa mendoakan dia selama dia masih berada di tempat salat dia: ‘Ya Allah, ampuni dia. Ya Allah, ampuni dia dan berilah dia rahmat.’ Dan orang itu masih dinilai dalam keadaan salat selama dia menunggunya, selama dia menunggu salat berikutnya atau salat yang memang dia akan kerjakan).
Kemudian hadis ketiga adalah hadis Abu Hurairah رضي الله عنه yang menyebutkan sifat orang munafik. Rasulullah ﷺ bersabda:
“إِنَّ أَثْقَلَ صَلَاةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلَاةُ الْعِشَاءِ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا. وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَتُقَامَ، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيُصَلِّيَ بِالنَّاسِ، ثُمَّ أَنْطَلِقَ مَعِي بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لَا يَشْهَدُونَ الصَّلَاةَ، فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ.” (Salat yang paling berat untuk orang-orang munafikin adalah salat Isya dan salat Subuh. Kalau seandainya mereka mengetahui pahala pada salat tersebut, niscaya mereka akan mendatangi meskipun dengan merangkak. Merangkak ini disebutkan dalam beberapa riwayat, disebutkan sekalipun mereka akan mendatangi dengan berpijak pada dua siku dan dua lutut mereka, artinya merangkak seperti itu. Aku betul-betul punya tekad dan keinginan keras agar salat segera dilaksanakan, kemudian aku perintahkan seseorang untuk menjadi imam, kemudian aku akan sengaja keluar dari masjid bersama beberapa orang yang membawa kayu bakar, kemudian aku akan bakar rumah orang-orang yang tidak menyaksikan salat berjamaah itu, lalu aku bakar betul-betul rumah mereka).
Hadis keempat, hadis tentang salat seorang wanita di masjid. Kenapa disebutkan? Karena hukum asalnya mereka dianjurkan salat di rumah. Akan tetapi, karena memang salat di masjid itu dinilai betul-betul menarik sehingga kaum wanita di zaman Nabi ﷺ pun ingin ikut salat. Dan Nabi ﷺ melarang para sahabatnya untuk menahan atau melarang keluarga wanita apabila mereka ingin salat di masjid.
Dari riwayat Ibnu Umar رضي الله anhuma, beliau mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “
إِذَا اسْتَأْذَنَتْ أَحَدَكُمُ امْرَأَتُهُ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَلَا يَمْنَعْهَا” (Apabila salah satu keluarga perempuan dari salah seorang kalian izin untuk datang melaksanakan salat berjamaah di masjid, maka jangan dia halangi).
Maka salah seorang anak dari Abdullah bin Umar, namanya Bilal, berkata: “
وَاللهِ لَنَمْنَعُهُنَّ” (Demi Allah, aku akan larang mereka).
Maka Abdullah bin Umar melihat anaknya ini kemudian mencela dengan sebuah celaan yang sangat keras. Aku tidak pernah mendengar sebuah celaan yang lebih parah dari beliau dari hari ini. “Aku katakan bahwa Nabi ﷺ menyampaikan sebuah hadis larangan untuk melarang, tapi engkau justru sengaja mengatakan aku akan [larang]?” Dalam riwayat lain disebutkan, “
لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ” (Jangan kalian larang kaum wanita untuk datang ke masjid-masjid Allah).
Empat hadis ini menunjukkan apa yang disebutkan oleh Mualif tentang judulnya:
Fadlu Shalatil Jama’ati wa Wujubiha (Tentang keutamaan salat berjamaah dan kewajibannya). Dan ini tegas sekali. Di antara dalil para ulama yang menyebutkan bahwa salat berjemah tidak wajib adalah hadis kedua yang menyebutkan tentang—dan hadis pertama—
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ. Yang kedua,
صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي جَمَاعَةٍ تُضَعَّفُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ. Ini beliau sebutkan bahwa salat bersama dengan salat sendiri, yang afdal adalah salat bersama. Berarti salat sendiri juga ada fadilahnya, karena tidak mungkin sesuatu yang berjamaah dibandingkan dengan sesuatu yang tidak ada fadilahnya sama sekali.
Sehingga, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah beliau mengatakan bahwa dua hadis ini juga menunjukkan bahwa berjamaah bukan merupakan syarat sah salat. Karena seandainya berjamaah adalah syarat sah salat, maka seandainya ada orang salat sendirian, dia tidak akan sah salatnya, dan itu tidak sesuai dengan dua hadis yang kita sebutkan tadi. Karena Nabi ﷺ menyebutkan ini dilipatgandakan dari salat sendirian, otomatis salat sendirian ada pahalanya dan juga ada fadilahnya. Dan tidak mungkin salat yang ada fadilahnya tidak sah dikerjakan. Kalau seandainya tidak sah dikerjakan, maka tidak mungkin memiliki fadilah sama sekali karena tidak sah.
Akan tetapi, hadis ketiga menunjukkan bahwa Nabi ﷺ ingin membakar rumah orang-orang yang tidak berjamaah. Karena, seandainya orang yang menilai salat berjemah hukumnya fardu kifayah—fardu kifayah artinya apabila ada yang mengerjakan sebagian, maka yang lain tidak berdosa—lalu kenapa Nabi ﷺ perlu membakar rumah orang-orang yang tidak berjamaah? Berarti menunjukkan bahwa hukumnya tidak fardu kifayah menurut jumhur atau menurut sebagian ulama, termasuk dalam hal ini adalah Mazhab Syafi’i. Dan Mazhab Syafi’i menilai bahwa salat berjamaah hukumnya fardu kifayah. Dan beliau menilai hadis tentang tekad Rasulullah ﷺ untuk membakar rumah orang tidak berjamaah, beliau mengatakan ini disampaikan untuk orang yang tidak berjamaah karena ada kemunafikannya. Karena orang munafik sengaja mereka tidak mau salat berjamaah. Orang yang munafik akan dibakar oleh Nabi ﷺ rumahnya, adapun orang beriman tidak dibakar rumahnya. Sehingga, hadis ini tidak bisa dijadikan dalil untuk mewajibkan salat berjamaah, ini menurut pendapat beliau.
Akan tetapi, seperti kita sebutkan, tidak seperti pendapat para sahabat. Maka disebutkan dalam hadis yang sahih riwayat Imam Bukhari bahwa Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه, beliau mengatakan: “
وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ، وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ” (Kami telah melihat di antara kami, apabila ada orang sering absen salat berjamaah, maka dia adalah seorang munafik yang jelas sekali kemunafikannya. Sungguh, sebagian di antara kami ketika dia sakit parah sekalipun, dia tidak ingin ketinggalan salat berjamaah. Dia sampai dituntun dua orang, dipandu dua orang, sampai dia bisa melaksanakan salat itu di tengah-tengah saf).
Ini adalah pemahaman para sahabat. Di zaman kita, ketika ada orang tidak berjemah dikatakan dia munafik, maka dia barangkali akan marah dan tidak terima. Ya, jangankan demikian, orang yang tidak salat sekalipun dikatakan munafik, ngamuk dia. Ini bukan salat berjamaah, tidak salat saja dibilang, “Kamu munafik.” “Ya, kenapa [dibilang] munafik?” “Enggak pernah kamu salat.” Enggak terima dia. Dan saya pernah sampaikan bahwa dalam mazhab para fuqaha yang mengatakan bahwa orang yang tidak salat adalah kafir hanya satu mazhab, Hanabilah saja. Sedangkan mazhab yang lain, selama ada orang yang tidak menyatakan, “Menurut saya tidak salat halal saja,” selama tidak seperti itu maka dia tidak kafir. Orang yang tidak salat karena malas, dia tidak sampai kafir. Tapi kita sepakat bahwa semua masyarakat kita seandainya dibilang, “Kamu ini tidak salat, berarti tidak Islam,” ngamuk semua. Dan sekarang orang-orang pun ramai-ramai untuk membela Islam, “Bela Islam,” katanya, meskipun mereka tidak salat. Ya, tapi mereka akan terusik, ee, apa namanya, identitas mereka pada saat mereka dikatakan tidak Islam.
Saya pernah sampaikan bahwa sebagian orang sampai membuat anekdot, ya, bukan karikatur, akan tetapi sampai membuat cuplikan-cuplikan konyol. Ketika ada orang azan, tidak ada yang datang. Ketika ada orang bernyanyi di masjid ketika waktu azan, orang ngamuk, datang ramai-ramai mau gebukin dia. Kata orang yang azan ini, “Saya panggil kalian dengan azan yang benar, kalian tidak datang. Sekarang [ada yang] salah, kalian datang.” Padahal pun mereka datang bukan untuk salat, untuk gebukin dia. “Ngapain digebukin? Ini sudah azan. Ini mending dari kalian yang tidak sama sekali datang ke masjid.” Kan begitu. Tapi ini adalah realita kaum muslimin.
Thayyib. Dalam hadis yang pertama disebutkan bahwa salat berjamaah afdal dari salat sendirian, kemudian dalam hadis kedua, hadis pertama dikatakan 27 derajat. Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah, beliau mengatakan bahwa semua rawi yang menyebutkan tentang hadis keistimewaan salat berjamaah menyebutkan 25 kali lipat, seperti hadis kedua. Hadis kedua diriwayatkan dari Abu Hurairah, ada juga hadis yang diriwayatkan dari Aisyah, diriwayatkan dari Abi Said al-Khudri, dari Ubay bin Ka’ab dan lain-lainnya. Semua menyatakan bahwa riwayatnya adalah 25 kali lipat, kecuali Abdullah bin Umar. Riwayat yang benar dari Abdullah bin Umar menyebutkan bahwa pelipatgandaan itu 27 kali. Kata Hafizh Ibnu Hajar, ada satu riwayat yang menyebutkan dari Abdullah bin Umar 25 seperti riwayat selain para sahabat, akan tetapi dalam riwayatnya ada seorang rawi yang bernama Abdullah bin Umar al-Umari, ini lemah. Ada riwayat lain yang menguatkan karena diriwayatkan oleh kakaknya Abdullah bin Umar yaitu Ubaidullah Ibnu Umar. Ini fqih tapi para ahli hadis menyatakan bahwa riwayat ini
syadz karena menyelisihi riwayat para rawi yang lebih banyak ketika mereka riwayatkan dari Abdullah bin Umar. Intinya, Abdullah bin Umar meriwayatkan bahwa pelipatgandaan itu 27 kali, sementara riwayat yang lain sahih semuanya, dari Abu Hurairah. Ada yang mengatakan
darajah, ada yang mengatakan shalat, ada yang mengatakan khamsin juz’an. Sebagian ulama mengatakan
juzuk lebih rendah dari darajah.
Akan tetapi, intinya ini semua tidak terlalu berpengaruh, karena intinya adalah, kata Hafizh Ibnu Hajar, untuk menekankan perintah untuk melaksanakan salat secara berjamaah. Ketika kaum muslimin bersatu, yang kedua bersatunya sebuah ibadah, kemudian ketika ibadah itu bisa menghasilkan doanya para malaikat, kemudian di dalam ibadah itu mereka bisa taat kepada satu imam, ini semua memiliki keistimewaan dalam Islam. Termasuk ketika Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan bisa memperlihatkan syiar Islam. Syiar Islam itu bukan hanya aksi Bela Islam saja, ya, akan tetapi ketika mereka bisa menerapkan sunah dengan sebagaimana mestinya dan rutin. Ada orang-orang yang Islamnya musiman; ketika musimnya habis, Islamnya habis juga. Makanya enggak enak Islam kalau dikasih embel-embel, enggak enak sekali, ya. Jadilah Islam yang sewajarnya saja, bagaimana Islam sewajarnya? Sesuai dengan dalil.
Maka, ee, dalam hadis ini disebutkan tentang, ee, anjuran seseorang untuk melaksanakan salat secara berjamaah. Baik. Kemudian kata Hafizh Ibnu Hajar, para ulama, ee, menyebutkan tentang faktor atau penyebab yang membedakan antara dua kata-kata ini: 25 atau 27, mana yang lebih benar? Kata beliau, sebagian ulama menyatakan tidak ada masalah yang sedikit, karena yang sedikit ini mesti dicakup oleh yang lebih banyak. Ya, kan? 25, kalau disebutkan yang rajih adalah 27, maka berarti 25
wa ziyadah. Kalau ada yang mengatakan 27, berarti yang 25 benar karena 27 (itu) 25 lebih dua, selesai sudah, enggak ada masalah. Dan ini ditegaskan oleh para ulama yang tidak terlalu memperhatikan nominal. Ya, nominal tidak penting karena seringkali angka disebutkan sebagai kaidah untuk memudahkan saja, akan tetapi
ghairu maqshud, ya, tetapi tidak ditujukan secara khusus dan bukan intinya pada berapa nomornya, akan tetapi untuk penekanan sebuah besar kecilnya pahala.
Atau kata Hafizh Ibnu Hajar, yang membedakan itu digantungkan pada model salatnya, tempatnya, jumlah orang yang salat, dan bagaimana kriteria orang yang salat. Contohnya, ketika seorang salat dan jumlahnya semakin banyak, maka pahalanya akan lebih besar. Ada yang 25, ada yang 27, bahkan ada yang lebih sedikit dari itu. Nah, semakin banyak orang yang salat maka semakin banyak pahalanya. Sebagaimana dalam sebuah hadis riwayat Imam Ahmad dan lainnya, Rasulullah ﷺ bersabda, “Salat seseorang jika dilakukan dengan satu orang, maka akan lebih besar pahalanya dari seandainya dia salat sendirian. Kemudian ketika dia salat bersama dua orang, pahalanya akan lebih besar daripada salat yang dikerjakan dengan satu orang.” Semakin besar jumlah bilangannya, semakin disukai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ini dari jumlah pesertanya. Tempatnya juga demikian. Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan,
صَلاةُ الرَّجُلِ فِي جَمَاعَةٍ تُضَعَّفُ عَلَى صَلاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَفِي سُوقِهِ (salat seseorang ketika dilakukan di mana? Di masjid). Mana kata-kata di masjid? Di masjid ini ditegaskan dengan beberapa riwayat yang menjadi pemahaman para sahabat. Al-Bukhari rahimahullah beliau menukil beberapa
atsar, di antaranya dari Anas bin Malik رضي الله عنه, kemudian dari seorang tabiin, beliau sebutkan Al-Aswad, maksudnya adalah Ibnu Yazid an-Nakha’i. Beliau mengatakan, apabila beliau ketinggalan salat berjamaah di masjid kampungnya, beliau akan mencari masjid lain. Cari masjid lain itu agar mendapat jemaah, bukan cari jemaah cepat, ya, dicari yang paling ringan salatnya.
Baik. Kemudian yang kedua dari Anas bin Malik رضي الله عنه. Anas bin Malik mendatangi sebuah masjid, ternyata jemaahnya sudah selesai, maka beliau pun azan, kemudian qamat, kemudian beliau melaksanakan salat yang tertinggal itu dengan berjamaah. Dalam beberapa riwayat, beliau tidak azan sendiri, akan tetapi beliau perintahkan seseorang untuk azan, kemudian beliau salat secara berjamaah. Bahkan dalam beberapa riwayat, beliau justru datang membawa orang banyak, sekitar 20 orang dari pembantu-pembantunya, agar beliau bisa melaksanakan jemaah di masjid.
Ini yang menunjukkan kesimpulannya bahwa sebagian ulama menyebutkan salat berjamaah kalau dilakukan di masjid, maka ini yang mendapat fadilah, tidak seperti orang yang berjemah di rumah. Ini berbeda dengan
ahlul a’dzar, orang yang memiliki uzur: sakit, safar, atau takut, dan seterusnya. Maka mereka memiliki kondisi yang berbeda. Tapi orang yang tidak memiliki uzur, maka jemaah bersama anak dan istri bukan alasan untuk meninggalkan salat berjamaah di masjid. Maka pendapat seperti ini bahkan ditegaskan oleh para ulama yang tidak mewajibkan. Al-Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitab
Al-Umm, beliau mengomentari hadis tadi, hadis tentang orang-orang munafik ketika Nabi ﷺ ingin membakar rumah orang-orang munafikin. Beliau dalam kitab
Al-Umm mengatakan bahwa hadis itu berkaitan dengan orang-orang yang tidak salat berjamaah karena nifak, maka Nabi ﷺ ingin bakar rumah mereka. Akan tetapi, beliau kemudian mengatakan, “Sama sekali tidak beri keringanan untuk orang yang mampu salat berjamaah kemudian mereka tidak melaksanakannya, kecuali kalau dia memiliki uzur.” Ini sebenarnya diperhatikan oleh para ulama ketika mereka mengatakan fardu kifayah sekalipun, tetap mereka menekankan seorang hukum asalnya datang berjamaah kalau tidak ada uzur. Kata-kata ‘uzur’ itu menunjukkan bahwa dia betul-betul terhalangi. Kalau seandainya tidak terhalangi, maka hukum asalnya dia berangkat.
Karena dia bisa mengerjakan itu. Ini berbeda dengan kesimpulan orang-orang zaman sekarang, “Menurut saya salat kan sunah, maka bebas aja.” Justru ketika ada orang datang ke masjid rajin salatnya, dicurigai, “Ini jangan-jangan mau merebut masjid ini.” Ini kan ada banyak, nih. Tapi ada hikmahnya, ketika mereka khawatir masjidnya akan direbut, mereka jadi rajin. Cuman, Subhanallah, kelihatan penyakit menularnya, ketika orang yang rajin tidak rajin, mereka langsung tidak rajin itu, langsung tidak datang ke masjid lagi. Maka, ee, disebut oleh Hafizh Ibnu Hajar, ketika ada perbandingan antara 27 dan 25, beliau katakan, salat berjamaah di masjid akan dilipatgandakan dengan salat berjamaah yang tidak di masjid.
Yang tidak di masjid seperti dalam riwayat Abu Hurairah,
فِي بَيْتِهِ وَفِي سُوقِهِ (di rumah atau di pasar). Kecuali para ulama menyebutkan kalau seandainya di pasar itu ada masjidnya. Kalau di pasar ada masjidnya, maka masjid mengambil hukum masjid, pasar mengambil hukum pasar. Termasuk dalam masalah tempat yang disukai dan dibenci oleh Allah Azza wa Jalla, tempat yang disukai Allah adalah masjid-Nya, tempat yang paling dibenci Allah adalah pasarnya. Kalau ada masjid tengah pasar, maka pasar mengambil hukum pasar, masjid mengambil hukum masjid. Termasuk ketika ada bangunan lima tingkat, tingkat dua untuk masjid, tingkat tiga untuk kantor, tingkat satu untuk pasar, misalkan, ini mungkin sekali, maka masing-masing mengambil hukum sendiri.
Intinya, hadis pertama dan kedua menunjukkan fadilah tentang salat berjamaah. Hadis ketiga menunjukkan tentang kewajiban salat berjamaah. Dan kita katakan terlepas dari hukum itu, akan tetapi
thalibul ‘ilmi sudah sepantasnya memperhatikan bahwa ini menjadi sebuah standar dan tanda cerminan ilmu yang kita kuasai ini betulan atau tidak. Khawatirnya ketika seorang ini—disebut para ulama—meremehkan ibadah yang sunah, maka lambat laun dia akan meremehkan yang fardu. Bahkan bisa jadi ada orang yang tidak merasa berdosa pada saat dia tidak salat fardu.
Ketika ana kemarin duduk dengan seorang di kendaraan pesawat, kita salat. Ada yang salat duduk karena memang ternyata musalanya enggak ada. Ada yang salat berdiri karena ada tempat yang lebih lebar begitu. Subhanallah, ana duduk dengan orang Arab, dari awal berangkat sampai akhir dia tidak salat sama sekali. Apa kira-kira dia mau salat tarawih? Setelah turun, dia baru jamak semua salat yang dia kerjakan, karena kita berangkat sebelum subuh itu. Kemudian ada salat zuhur dan asar sampai di Jakarta menjelang magrib. Kira-kira apa orang itu mau tarawih itu? Karena memang dia berangkat, dia pakai celana pendek itu, orang Arab. Kalau seandainya orang non-muslim, wajar. Ini orang Arab, kira-kira salatnya kapan itu? Ini kalau orang Arabnya yang biasa, di sana ada Haramain, ada salatnya, ada azannya, mereka rajin sekali. Gimana kalau tempat kita? Ini orang-orang yang sudah biasa memang tidak salat. Maka hati-hati sekali, jangan sampai justru sikap kita menjadi hujah untuk orang-orang awam, “Ini aja yang belajar agama tidak salat.” Antum salatnya sembunyi-sembunyi, ya. Salat itu bukan ibadah yang dilakukan sembunyi-sembunyi, tapi terang-terangan, karena ini syiar. Hati-hati, kita khawatir kita justru akan menjadi hujjah untuk orang yang tidak paham. Wallahu a’lam.
Di hadis yang tadi kita sebutkan, hadis kedua, kenapa orang yang salat bisa salat berjamaah banyak pahalanya? Disebut Hafizh Ibnu Hajar karena amalannya banyak. Seperti di antaranya disebutkan dalam hadis Abu Hurairah, karena apabila dia wudu kemudian dia memperbaiki wudunya. Dan orang yang memperbaiki wudunya, rata-rata mereka adalah orang yang lebih mempersiapkan sebelum waktunya. Kalau orang sudah mepet sekali, sudah qamat, apalagi dengar rakaat terakhir, maka wudunya akan mencukupkan dengan sunah terakhir itu kalau dapat sunah terakhir, seperti wudu Nabi ﷺ
marratan marratan (sekali-sekali). Enggak apa-apa, mending. Tapi biasanya orang kalau sudah mepet sekali, sudah enggak pakai pertimbangan itu.
Yang kedua, dia melangkah. Yang ketiga, pahala untuk mendahulukan ke masjid. Yang berikutnya, ketika dia menjawab azan. Kebanyakan orang yang menjawab azan adalah orang yang lebih datang duluan ke masjid. Kemudian bisa membaca doa masuk masjid, kemudian tahiyatul masjid. Dan ini sudah jelas, tahiyatul masjid tidak bakal dikerjakan kecuali oleh orang yang datangnya duluan. Dan ini yang akan mendapatkan pahala besar ketika malaikat mendoakan. Orang datang ke tempat tokoh, ustaz, kiai, “Tolong doakan saya.” Orang mau umrah dipesenin, “Doakan saya.” Antum enggak usah capek-capek begitu, malaikat akan doakan antum. Ini bisa dikerjakan selama dia masih di tempat salat itu. Hafizh Ibnu Hajar mengatakan
مَا دَامَ فِي مُصَلاهُ (selama dia berada di tempat salat).
Zhahiruhu, secara zahir menunjukkan kalau dia tidak pindah tempat. Akan tetapi, kata Hafizh Ibnu Hajar, kalau seandainya pun dia pindah tempat, tidak masalah insyaallah, kalaupun seandainya dia masih berada di masjid itu. Wallahu a’lam bishawab. Dan masih banyak lagi, seperti dia merapikan saf itu membuat pahala tersendiri.
Kemudian pada hadis ketiga disebutkan tentang sifat orang-orang munafik. Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitab
Fathul Bari, beliau menyebutkan bahwa orang munafik salat mereka adalah untuk mencari pujian. Seperti disebutkan dalam surah An-Nisa,
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا. Apabila mereka melaksanakan salat, orang munafik, mereka ingin dilihat orang, mereka melaksanakan dengan malas-malasan. Salat Isya dan salat Subuh tidak kelihatan. Kata Ibnu Rajab al-Hanbali, waktu itu tidak ada penerangan sehingga mereka salat tidak ada fadilahnya (bagi mereka) karena tidak ada yang lihat, mereka mau salat atau tidak, mereka tidak kelihatan. Maka dalam beberapa riwayat disebutkan, ini dinukil oleh Ibnu Rajab al-Hanbali, Rasulullah ﷺ bertanya, “
أَشَهِدَ فُلاَنٌ؟” (Apakah si Fulan datang?) Beliau tanya sengaja, “Si Fulan datang apa enggak?” Lalu beliau sebutkan, “Tidak ada yang lebih berat untuk orang munafik dari salat Isya dan salat Subuh.” Ini menunjukkan bahwa memang orang munafik malas datang di salat-salat ini.
Yang kedua, memang untuk mendatangi dua salat ini lebih berat ketika jalannya gelap. Terlepas dari ingin dilihat atau tidak, tetapi untuk orang yang ikhlas sekalipun, ketika mendatangi pada saat gelap akan berat. Maka Allah Azza wa Jalla akan memberikan pahala sebagai ganti usaha mereka beribadah di tempat yang gelap dengan cahaya pada hari kiamat. Disebutkan dalam hadis yang sahih, Rasulullah ﷺ menyebutkan, “Berikan kabar gembira kepada orang-orang yang datang di tempat yang gelap ke masjid-masjid Allah Azza wa Jalla dengan (balasan) mereka akan mendapatkan cahaya pada hari kiamat dengan cahaya yang sempurna.”
Kemudian, akhir hadis ketika beberapa sahabiah ingin salat di masjid. Kita bayangkan bagaimana seorang sahabat Nabi ﷺ yang perempuan, mereka tetap ingin melaksanakan salat berjamaah di masjid menjadi makmum Rasulullah ﷺ. Hanya saja, Nabi ﷺ menegaskan dalam riwayat Imam Ahmad, ketika beliau menyebutkan hadis
لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ (Jangan kalian larang hamba-hamba perempuan Allah untuk mendatangi masjid Allah), dalam riwayat Imam Ahmad ada tambahannya: وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ (Akan tetapi, rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka).
Dalam riwayat yang sahih juga disebutkan dari sahabiah Ummu Humaid as-Sa’idi. Beliau mengatakan, “Ya Rasulullah,
إِنِّي أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ” (Sungguhnya aku ingin betul salat bersama engkau di belakangmu). Maka Nabi ﷺ beliau mengatakan, “
قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي، وَصَلَاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلَاتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِي” (Aku tahu bahwa engkau memang betul-betul ingin salat bersamaku. Akan tetapi, salatmu di bagian dalam rumahmu lebih afdal daripada salatmu di bagian yang agak luar dari rumah. Dan salatmu selama masih di rumah lebih afdal daripada salat di masjid kampung, dan salatmu di masjid kampungmu lebih baik daripada salatmu di Masjid Nabawi).
Ini menunjukkan bahwa sebuah keistimewaan tidak selalu dihitung dengan nominal. Ketika Nabi ﷺ mengatakan, “
صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ” (Salat di masjidku ini lebih afdal 1000 kali lipat daripada salat di selain masjid ini), akan tetapi ketika sebuah keistimewaan tidak selalu diukur dengan nominal hitungan, akan tetapi dengan sebuah kesesuaian terhadap sunah, maka salat seorang wanita lebih baik di rumah mereka. Akan tetapi, seandainya mereka akan keluar, tidak boleh dilarang. Dan Nabi ﷺ dalam riwayat lain mengatakan, “
وَلْيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ” (Hendaklah para wanita ketika mereka akan melaksanakan salat bersamaku, mereka keluar dalam keadaan tidak bersolek, tidak berdandan, tidak menggunakan minyak wangi).
Ini hukum asalnya.
Tafilat artinya tidak mengeluarkan wangi-wangian. Kata Hafizh Ibnu Hajar, termasuk yang dibahas dalam masalah ini adalah sesuatu yang mengundang fitnah, termasuk di antaranya adalah pakaian, kemudian
ikhtilat bir rijal (bercampur baur dengan laki-laki). Kalau seandainya kaum wanita datang ke tempat yang banyak
ikhtilat-nya dengan laki-laki, maka ini tidak afdal. Termasuk di antaranya, sebagian ulama Malikiah membedakan antara wanita yang
syabbah dengan yang sudah ajuz, wanita yang tua dengan beberapa wanita yang masih muda yang mengundang fitnah.
Intinya, ee, ini tentunya kalau seandainya seorang wanita keluar dan memang ada kebutuhannya, tidak apa-apa, seperti ada pengajian atau seandainya dia salat di rumah dia merasa tidak lebih khusyuk dan seterusnya. Akan tetapi, hukum asalnya kaum wanita apabila salat di rumah mereka, mereka akan mendapatkan
afdaliyah yang lebih besar. Dan terkadang seorang suami merasa cemburu ketika istrinya keluar rumah atau akan ikut hadir majelis taklim, dan ini adalah hal yang bisa memberikan dua makna: makna bagus dan tidak bagus. Makna bagus ketika seorang suami merasa cemburu istrinya keluar akan dilihat orang. Tetapi tidak bagus ketika dia berkeinginan untuk menghalau istrinya dalam beribadah kepada Allah.
Maka Ibnu Rajab al-Hanbali, ketika beliau menyimpulkan hadis ini, beliau mengatakan, “Apabila salah seorang wanita di antara kalian izin, hendaklah dia tidak melarang.” Beliau mengatakan ini merupakan kesimpulan bahwa seorang wanita ketika akan keluar, dia harus minta izin. Dan seorang suami tidak boleh melarang. Kemudian yang kedua, beliau katakan bahwa ini kalau seandainya tidak ada mudharatnya. Kalau seandainya ada mudharatnya, maka tidak mengapa. Dan beliau sebutkan beberapa riwayat, termasuk di antaranya adalah pendapat Aisyah رضي الله عنها. Beliau mengatakan, “Seandainya Nabi ﷺ melihat kerusakan kaum wanita di zaman ini, beliau akan larang.” Ini kata Aisyah رضي الله عنها, beliau cemburu juga. Ini Aisyah رضي الله عنها, ibu kita, perempuan juga, paham bagaimana perempuan-perempuan itu, ya. Kadang-kadang perempuan bercadar lebih gede fitnahnya daripada perempuan yang memang kelihatan murah di sana, enggak pakai jilbab, enggak pakai pakaian. Untuk beberapa kalangan, ini tidak memfitnah sama sekali. Ya, karena memang jeleknya langsung kelihatan, ya, jadi enggak memfitnah, ya. Tapi orang-orang yang seperti itu justru memfitnah, dan sebagian orang justru menggunakan atribut syar’i untuk memfitnah. Naudzubillah.
Termasuk pernyataan Bilal, anak Abdullah bin Umar, beliau mengatakan, “Demi Allah, aku akan larang mereka.” Dan ini disebutkan oleh Hafizh Ibnu Hajar bahwa tujuan beliau ini karena kecemburuan beliau yang besar. Akan tetapi, Abdullah bin Umar ingin memberikan pelajaran kepada anaknya, “Aku sampaikan sabda Nabi ﷺ, kamu bantah dengan pendapat pribadimu.” Disebutkan bahwa Abdullah bin Umar mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan ajak bicara kamu.” Dalam riwayat disebutkan, maka Abdullah bin Umar tidak mengajak bicara anaknya sampai dia meninggal. Kata Ibnu Hajar rahimahullah, kalau seandainya riwayat tambahan ini sahih, maka ini bisa jadi dipahami karena salah satu dari mereka setelah itu meninggal, artinya tidak panjang jarak antara meninggalnya satu dari kedua orang, ayah atau anak tersebut. Sebagaimana boleh juga seorang ayah mengajari anaknya dengan di-
hajr (tidak disapa) kalau seandainya itu ada maslahatnya.
Ada sebuah kisah tentang istri Umar رضي الله عنه. Dalam riwayat Imam Malik disebutkan bahwa Atikah binti Zaid, ini istrinya Umar bin Khattab رضي الله عنهما, beliau minta izin kepada Umar untuk datang ke masjid, dan Umar adalah orang paling cemburu, tetapi Umar enggak bisa untuk melarang karena ada hadisnya. Akhirnya dia minta izin, maka Umar diam, tidak dilarang. Maka kata istrinya ini, Atikah binti Zaid ini, “Demi Allah, aku akan keluar kecuali kalau kamu larang aku.” Tapi Umar memang tidak melarang karena memang tahu ini, maka beliau tidak larang. Dalam riwayat anaknya, Abdullah bin Umar, dikatakan bahwa istrinya ini sering keluar minta izin, enggak dilarang. Maka ditanya, “Kenapa kamu selalu keluar untuk salat berjamaah padahal suamimu kamu tahu dia pencemburu dan dia enggak suka kamu keluar itu?” Maka jawaban istrinya, “Apa yang membuat dia tidak melarangku kalau memang dia tidak suka?” Disebutkanlah, yang menghalanginya adalah sabda Rasulullah ﷺ:
لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ. Umar bin Khattab tidak melarang kamu karena ada hadis yang tadi kita sebutkan itu. Ini menunjukkan bagaimana semangat para sahabiah untuk datang ke masjid, ya, dan bagaimana para sahabat mereka disiplin sekali. Nabi ﷺ melarang mereka untuk melarang, ya sudah mereka tidak larang. Akan tetapi kita ketahui, hukum asalnya salat bagi kaum wanita lebih afdal di rumah.
Ini yang dapat kita bisa pelajari malam hari ini. Mudah-mudahan bermanfaat, kurang lebihnya mohon maaf.
صَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ.
Tanya Jawab
Pertanyaan: Salat darurat di gedung yang (jadwalnya) timur sehingga mereka salatnya menjadi per angkatan dan salatnya sesuai dengan kelas bubarnya, kadang di kelas atau di masjid, atau kadang ya salat sejadinya sudah keluar bubar salat… Ana sendiri sampai sekarang ana lebih suka salat di masjid ini, ya, ana lebih tenang seperti itu…
Jawaban: … La kanal amru biyadi. Wallahu a’lam bishawab. Tapi memang di Jamiah Islamiyah, ee, salat Zuhur tetap pada waktunya di masjid kampus, salat Zuhur tepat waktunya. Kemudian di kuliah-kuliah, karena kuliahnya ada lima waktu itu, sekarang sudah lebih banyak lagi, di masing-masing kuliah ada masjidnya sendiri, besar juga, sama besar. Nah, masjid-masjid kuliah itu mereka salatnya menyesuaikan, ee, apa namanya, ee, kelas-kelas yang bubar. Kelas-kelasnya yang bubar mereka salat, kemudian bubar, datang kelas lain salat, seperti itu, ya. Wallahu a’lam, ana enggak bisa berbicara apa-apa, tapi yang jelas ana lebih suka salat di tempat ini, seperti itu. Wallahu a’lam bishawab. Mudah-mudahan bermanfaat dan kurang lebihnya mohon maaf.
صَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.