Dr. Abdullah Roy, M.AKajian KitabKitab Lum'atul I'tiqad

Kajian Kitab Lum’atul I’tiqad #9

إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا. أَمَّا بَعْدُ.

Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan senantiasa memuji Allah yang telah memberikan banyak kenikmatan dan juga karunia. Termasuk di antara nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dimudahkannya kita pada pagi hari ini untuk datang ke masjid ini dalam rangka menuntut ilmu agama, yang merupakan salah satu di antara amal saleh yang dengannya, insyaallah, seseorang akan dimudahkan masuk ke dalam surga Allah Azza wa Jalla. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barang siapa yang menempuh sebuah jalan untuk menuntut ilmu di dalamnya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memudahkan baginya jalan menuju surga.”

Kita memohon kepada Allah semoga apa yang kita lakukan saat ini dilandasi niat yang ikhlas lillahi Azza wa Jalla, mengharap pahala dan juga Wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Bapak Ibu sekalian, sebelum kita mulai, mari kita rapikan terlebih dahulu dengan berkumpul ke tengah, ya, silakan mendekat.

Baik, kita masih bersama Ibnu Qudamah rahimahullah di dalam kitab beliau, Lum’atul I’tiqad al-Hadi ila Sabilir Rasyad. Pada pertemuan sebelumnya, beliau telah menyebutkan dua di antara sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Allah sebutkan di dalam Al-Qur’an: sifat yang pertama adalah sifat Wajah, kemudian yang kedua adalah sifat Tangan.

Kita lanjutkan pembahasan tentang penyebutan sifat-sifat Allah yang ada di dalam Al-Qur’an. Beliau mengatakan rahimahullah: “Dan firman Allah—yaitu di antara ayat yang menunjukkan tentang sifat Allah adalah firman-Nya—ketika Allah mengabarkan tentang Isa ‘alaihissalam, bahwasanya beliau mengatakan:

تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ

‘Engkau mengetahui (ya Allah) apa yang ada di dalam jiwaku, dan aku tidak mengetahui apa yang ada di dalam jiwa-Mu.'”

Jika nafs di sini bisa diartikan dengan jiwa: “Engkau mengetahui apa yang ada di dalam diriku, dan aku tidak mengetahui apa yang ada di dalam diri-Mu, ya Allah.” Ini diucapkan ketika Nabi Isa ‘alaihissalam di Padang Mahsyar ditanya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala karena adanya manusia yang meyakini bahwa beliau adalah tuhan atau anak tuhan, padahal beliau diutus oleh Allah sebagai seorang nabi untuk menyeru manusia menyembah Allah, bukan menyembah dirinya.

Maka Allah akan bertanya kepada Nabi Isa ‘alaihissalam, sebagaimana Allah juga akan menanyai para nabi dan rasul secara umum:

وَلَنَسْأَلَنَّ الَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْأَلَنَّ الْمُرْسَلِينَ

“Maka sungguh, Kami akan bertanya kepada kaum yang telah diutus para rasul kepada mereka, dan Kami juga akan bertanya kepada para rasul.”

Nabi Isa akan ditanya oleh Allah:

أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَٰهَيْنِ مِنْ دُونِ اللهِ

“Apakah engkau, wahai Isa, berkata kepada manusia dahulu di dunia, ‘Jadikanlah aku dan ibuku sebagai sesembahan selain Allah?'”

Maka, Nabi Isa ‘alaihissalam, seorang nabi yang amanah dan tidak suka dilebih-lebihkan, dengan tenang menjawab sesuai kenyataan:

قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ

“Maha Suci Engkau ya Allah, tidak boleh bagiku mengatakan sesuatu yang tidak benar.”

إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ، تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ

“Ya Allah, seandainya dahulu di dunia aku pernah berucap (demikian) meskipun sekali, sungguh Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada dalam diriku, dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu.”

Lisan yang aku ucapkan, Engkau mengetahuinya, dan Engkau juga mengetahui apa yang ada di dalam hatiku. Sama sekali tidak pernah terbetik di hati beliau untuk menyuruh manusia menyembah kepadanya.

مَا قُلْتُ لَهُمْ إِلَّا مَا أَمَرْتَنِي بِهِ أَنِ اعْبُدُوا اللهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ

“Tidaklah aku ucapkan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku, yaitu: ‘Sembahlah Allah, Rabb-ku dan Rabb kalian’.”


Sifat Nafs bagi Allah

Sebagian ulama Ahlus Sunnah memahami dari ayat ini (dalam Surah Al-Maidah) bahwa di antara sifat Allah adalah Nafs. Dalil-dalil lain yang mereka gunakan antara lain:

  • Firman Allah: وَيُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ (Dan Allah mengingatkan kalian tentang diri-Nya) [QS. Ali ‘Imran].
  • Firman Allah: كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَىٰ نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ (Rabb kalian telah menetapkan atas diri-Nya rahmat) [QS. Al-An’am].
  • Hadis Qudsi: يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَىٰ نَفْسِي (Wahai hamba-hamba-Ku, Aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku).
  • Doa Nabi: لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ، أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَىٰ نَفْسِكَ (Aku tidak dapat menghitung pujian untuk-Mu, Engkau adalah sebagaimana Engkau memuji diri-Mu sendiri).
  • Zikir pagi: سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ عَدَدَ خَلْقِهِ وَرِضَا نَفْسِهِ (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya, sebanyak jumlah makhluk-Nya dan sesuai keridaan diri-Nya).

Berdasarkan dalil-dalil ini, mereka menetapkan sifat Nafs bagi Allah sesuai dengan keagungan-Nya, tidak sama dengan nafs makhluk.

Namun, ada ulama Ahlus Sunnah lain yang berpendapat bahwa Nafs di sini bukanlah sifat, melainkan bermakna Zat Allah itu sendiri. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Nafs adalah Zat Allah yang suci. Beliau memberi contoh penggunaan dalam bahasa Arab: رَأَيْتُ زَيْدًا نَفْسَهُ (Aku melihat Zaid sendiri), di mana nafsa di sini bermakna zatnya.

Ini adalah perbedaan pendapat (khilaf) di antara ulama Ahlus Sunnah, sehingga kita harus bertoleransi. Ibnu Qudamah, penulis kitab ini, condong kepada pendapat yang pertama, yaitu menetapkannya sebagai sifat.


Sifat Datang (Al-Maji’ dan Al-Ityan)

Kemudian beliau melanjutkan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَجَاءَ رَبُّكَ

“Dan akan datang Rabb-mu.”

Dan firman Allah Ta’ala:

هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا أَنْ يَأْتِيَهُمُ اللهُ

“Tidaklah mereka menunggu kecuali kedatangan Allah.”

Beliau menyebutkan dua ayat ini untuk menetapkan sifat Al-Maji’ (datang) dan Al-Ityan (datang). Keduanya memiliki makna yang serupa. Ayat lain yang menggabungkan keduanya adalah:

هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا أَنْ تَأْتِيَهُمُ الْمَلَائِكَةُ أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ أَوْ يَأْتِيَ بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ

“Tidaklah mereka menunggu kecuali kedatangan para malaikat, atau kedatangan Rabb-mu, atau kedatangan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Rabb-mu.”

Ayat pertama, dalam Surah Al-Fajr, berbunyi:

وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا

“Dan akan datang Rabb-mu dan para malaikat berbaris-baris.”

Ini akan terjadi di Padang Mahsyar. Setelah penantian yang sangat lama, manusia memohon syafaat kepada para nabi hingga akhirnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersujud dan memohon kepada Allah agar hisab disegerakan. Maka, Allah Subhanahu wa Ta’ala datang untuk memulai hisab. Kita meyakini bahwa Allah akan datang sesuai dengan keagungan-Nya, tidak sama dengan kedatangan makhluk.

Abul Hasan al-Asy’ari menukil ijmak (kesepakatan) ulama Ahlus Sunnah tentang penetapan sifat Al-Maji’ ini bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sebagian kelompok menyimpang dengan menakwil (mengubah makna) kedatangan Allah dengan “datangnya perintah Allah” atau “datangnya malaikat.” Ini adalah penafsiran yang tidak benar, karena dalam ayat tersebut kedatangan malaikat disebutkan secara terpisah dari kedatangan Allah.


Sifat Rida dan Cinta (Ar-Ridha dan Al-Mahabbah)

Beliau melanjutkan dengan firman Allah Ta’ala:

رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ

“Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah.”

Ayat ini terdapat di beberapa surah, seperti Al-Maidah, At-Taubah, dan Al-Bayyinah. Salah satunya terkait dengan kaum Muhajirin dan Ansar:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ

“Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya.”

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memiliki sifat Rida. Mendapatkan keridaan Allah adalah puncak kenikmatan bagi seorang hamba. Dalam hadis, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berdoa:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ

“Ya Allah, aku berlindung dengan keridaan-Mu dari kemarahan-Mu.”

Selanjutnya, sifat Cinta (Al-Mahabbah), berdasarkan firman Allah Ta’ala:

يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ

“Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai Allah.”

Ayat ini terdapat dalam Surah Al-Maidah ayat 54:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ

“Wahai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.”

Kaum tersebut memiliki sifat: rendah hati kepada sesama mukmin, tegas kepada orang kafir, berjihad di jalan Allah, dan tidak takut celaan orang yang mencela.

Banyak ayat lain yang menunjukkan sifat Mahabbah Allah, seperti إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang menyucikan diri), إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ (Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa), dan إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik).

Cara terbesar untuk meraih cinta Allah adalah dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sebagaimana firman-Nya:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ

“Katakanlah, ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian’.”


Tanya Jawab

Pertanyaan 1: Pelajaran apa yang dapat kita petik dari kisah Maryam yang senantiasa beribadah di mihrabnya? Haruskah saya berhenti bekerja demi fokus mendidik anak agar menjadi hafiz Al-Qur’an?

Jawaban: Kisah Maryam ‘alaihassalam adalah bagian dari syariat umat terdahulu. Ibunya bernazar untuk menjadikan anaknya sebagai مُحَرَّرًا (orang yang dibebaskan) khusus untuk beribadah kepada Allah. Praktik seperti ini, yang dikenal sebagai rahbaniyah (kependetaan), seperti tidak menikah demi ibadah, tidak ada dalam syariat Islam. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam justru memerintahkan kita untuk menikah dan bersabda, فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي (“Barang siapa yang membenci sunahku, maka ia bukan termasuk golonganku”).

Intinya, seseorang bisa menggabungkan antara beribadah kepada Allah, mendidik anak-anak, dan bekerja (jika kondisi menuntut dan di tempat yang aman dari fitnah). Jika semua itu bisa dijalankan secara seimbang, silakan dilanjutkan. Namun, jika pekerjaan menyebabkan tugas utama sebagai seorang ibu—yaitu mendidik anak—terlalaikan, sementara suami sudah mampu mencukupi kebutuhan keluarga, maka seorang wanita harus memiliki pemahaman (fiqh) untuk memprioritaskan yang wajib. Jika tidak bisa menggabungkan keduanya, maka fokus pada pendidikan anak adalah yang utama.

Pertanyaan 2: Bagaimana tanda atau ciri-ciri Allah rida dengan kita?

Jawaban: Dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman bahwa cara terbaik mendekatkan diri kepada-Nya adalah dengan amalan wajib, kemudian amalan sunah hingga Allah mencintainya. Tanda cinta Allah adalah Allah akan menjaga pendengaran, penglihatan, tangan, dan kaki hamba tersebut. Artinya, hamba itu tidak akan menggunakan anggota tubuhnya kecuali untuk hal-hal yang diridai Allah. Ini menjadi tolok ukur bagi kita. Jika kita mendapati diri kita mampu menjaga anggota tubuh dari yang haram, maka semoga itu adalah tanda cinta Allah. Jika tidak, maka kita harus beristigfar dan memperbaiki diri.

Pertanyaan 3: Saya diuji dengan keraguan tentang Allah karena bisikan setan. Bagaimana menghilangkannya?

Jawaban: Setan adalah musuh kita yang tujuannya menyesatkan manusia. Cara menghadapinya adalah:

  1. Berlindung kepada Allah: Ucapkan أَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ. Allah Maha Mendengar dan akan melindungi hamba-Nya.
  2. Jangan ikuti bisikannya: Ketika setan membisikkan keraguan atau ucapan kufur, jangan diikuti atau dipikirkan lebih lanjut. Sadari bahwa itu bukan dari keyakinan Anda, melainkan waswas dari luar.
  3. Jangan sering menyendiri: Carilah teman-teman yang saleh yang bisa saling menasihati dan menguatkan.
  4. Sibukkan diri: Isi waktu dengan hal-hal bermanfaat seperti menuntut ilmu, membaca Al-Qur’an, beribadah, atau kegiatan duniawi yang positif seperti berolahraga. Jangan biarkan pikiran kosong sehingga mudah dimasuki setan.

Pertanyaan 4: Bolehkah suami mencintai istri dan anaknya melebihi dirinya sendiri? Bagaimana menyikapi jika hal ini mendorongnya mencari nafkah yang haram atau lalai dari ibadah?

Jawaban: Mencintai keluarga adalah fitrah, namun cinta yang paling sempurna adalah cinta karena Allah. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengingatkan agar mencintai sekadarnya, jangan berlebihan hingga menjadi “cinta buta” yang membuat lalai dari mengingat Allah. Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya harus tetap menjadi yang tertinggi. Motivasi mencari nafkah seharusnya datang dari kesadaran akan tanggung jawab di hadapan Allah. Seorang pemimpin keluarga akan ditanya tentang apa yang ia pimpin. Cukuplah ini menjadi pendorong, tanpa harus terjatuh pada jalan yang haram atau melalaikan kewajiban agama. Hadis Nabi menyebutkan: كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَعُولُ (“Cukuplah seseorang berdosa ketika dia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya”).

Pertanyaan 5: Bagaimana sikap anak kepada ayah yang diam-diam berpoligami dari ibu?

Jawaban: Seorang anak harus berusaha agar keadaan tidak menjadi fitnah dan tidak memperkeruh suasana. Poligami bukanlah sesuatu yang haram, melainkan dihalalkan oleh Allah. Masalahnya terletak pada cara ayah melakukannya yang sembunyi-sembunyi, yang berpotensi menimbulkan konflik. Sebagai anak, Anda bisa mencoba menjadi penengah. Beri nasihat kepada ayah dengan bijak agar terus terang. Anda juga bisa mempersiapkan mental ibu secara perlahan, tanpa menimbulkan kejutan. Tujuannya adalah meredam potensi konflik yang lebih besar. Yang terpenting adalah berdoa kepada Allah dan tetap berbakti kepada kedua orang tua, apa pun yang terjadi setelahnya. Bahkan jika terjadi perpisahan, kewajiban berbakti kepada keduanya tidak gugur.


Related Articles

Back to top button