Kajian Kitab Lum’atul I’tiqad #4

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
Segala puji hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Kita bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dan diibadahi kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan kita bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba Allah dan juga Rasul-Nya. Selawat dan salam semoga senantiasa Allah Subhanahu wa Ta’ala limpahkan kepada beliau, keluarga beliau, para sahabat beliau, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai akhir zaman.
Para jemaah sekalian yang dimuliakan oleh Allah. Masih kita bersama Ibnu Qudamah al-Maqdisi رَحِمَهُ اللهُ di dalam kitab beliau لُمْعَةُ الْاِعْتِقَادِ الْهَادِي إِلَى سَبِيلِ الرَّشَادِ (Kilatan Akidah yang Menunjukkan kepada Jalan yang Lurus). Masih kita di awal pembahasan kitab ini berkaitan dengan nama-nama dan juga sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang merupakan cara kita untuk beriman kepada Allah. Iman kepada Allah, sebagaimana kita tahu, adalah termasuk rukun iman yang tidak sempurna keimanan seseorang kecuali dengannya, dan dia adalah yang paling penting di antara rukun iman, sehingga didahulukan oleh mualif.
Terakhir kita membahas tentang ucapan beliau: لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى. Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama-nama yang Husna. Sudah kita jelaskan beberapa poin berkaitan dengan Al-Asma’ul Husna dan bahwasanya Al-Asma’ul Husna tidak dibatasi dengan jumlah tertentu, dan faedah-faedah yang bisa kita ambil dari keyakinan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama-nama yang Husna. Sudah kita sebutkan juga keutamaan menghafal, memahami, dan mengamalkan Al-Asma’ul Husna. Sudah dua bulan berlalu, ada yang sudah hafal Asma’ul Husna? Sebelah kiri? Hah? Sebelah kanan, sudah ada yang hafal? Baik, kita kasih waktu lagi satu bulan lagi ya.
Baik, beliau mengatakan رَحِمَهُ اللهُ: لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَالصِّفَاتُ الْعُلَى. Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang memiliki nama-nama yang Husna dan sifat-sifat yang ‘Ula. Di sana ada nama dan di sana ada sifat. Seseorang namanya Abdullah, sifatnya pendiam. Ada yang namanya Ibrahim, sifatnya pemarah, misal. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang memiliki nama-nama dan Dialah yang memiliki sifat. Nama-nama Allah semuanya Husna dan sifat-sifat Allah semuanya adalah Al-‘Ula. Yang dimaksud dengan الْعُلَى adalah tinggi. الْعُلَى adalah jamak dari A’la atau muannas dari A’la, sebagaimana الْكُبْرَى muannas dari الْأَكْبَر. Al-‘Ulya muannas dari Al-A’la, artinya adalah yang Maha Tinggi.
Maka sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, kata beliau, الْعُلَى, semuanya adalah tinggi. Maksud sifat-sifat Allah adalah Maha Tinggi adalah Maha Sempurna. Sifat yang dimiliki oleh Allah adalah sifat kesempurnaan semuanya, tidak terkecuali, dan semuanya adalah sifat pujian, tidak ada di dalamnya kekurangan sedikit pun. Contoh misalnya, sifat الْحَيَاةُ (sifat hidup), maka hidup ini adalah sifat yang terpuji. Sifat الْعِلْمُ, ini juga sifat yang merupakan sifat yang baik, sifat kesempurnaan. الْقُدْرَةُ, memiliki kudrah yaitu kemampuan, ini juga termasuk sifat kesempurnaan. السَّمْعُ وَالْبَصَرُ (mendengar dan melihat), kebijaksanaan, رَحْمَة (kasih sayang), ketinggian, dan lain sebagainya. Maka keyakinan seorang muslim dan juga muslimah, seluruh sifat yang dimiliki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sifat-sifat kesempurnaan. Tidak ada sedikit pun di antara sifat-sifat Allah yang merupakan sifat kekurangan atau sifat aib (cacat). Allah Subhanahu wa Ta’ala مُنَزَّهٌ عَنْ جَمِيعِ النَّقَائِصِ (Maha Suci dari seluruh kekurangan).
Apa dalilnya bahwasanya sifat-sifat Allah semuanya adalah ‘Ula? Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَى (“Dan bagi Allah perumpamaan yang paling tinggi”). Yang dimaksud dengan Al-Matsal di sini adalah sifat. Al-A’la yang Maha Tinggi. Berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala sifat-sifat-Nya adalah Maha Sempurna, Maha Tinggi, tidak ada kekurangan di dalamnya sedikit pun. Di antara ayat yang menunjukkan bahwasanya Al-Matsal di dalam bahasa Arab terkadang maknanya adalah sifat adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ (“Sifat surga yang dijanjikan untuk orang-orang yang bertakwa…”). Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan di antara sifat-sifat surga: di dalamnya ada air yang tidak akan basi, di dalamnya ada sungai susu, di dalamnya ada sungai khamar, dan seterusnya. Berarti Al-Matsal di dalam bahasa Arab terkadang maknanya adalah apa? Sifat. Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: ذَٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ ۚ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ (“Yang demikian adalah matsal mereka,” maksudnya adalah sifat mereka, sifat para sahabat رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمْ yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan di dalam Taurat dan sifat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan di dalam Injil). Karena para sahabat رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمْ, sifat-sifat mereka telah tersebut di dalam kitab Taurat dan juga Injil. Sudah dikabarkan akan adanya para sahabat Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang mereka menemani Rasul yang terakhir, menyampaikan risalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Berarti Al-Matsal sekali lagi artinya apa? الصِّفَةُ. Allah mengatakan وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَى, dan bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala sifat yang tinggi, sifat yang sempurna.
Maka seluruh sifat Allah adalah sifat-sifat kesempurnaan, tidak ada sedikit pun sifat-sifat kekurangan di dalam sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalau demikian, maka tidak mungkin Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki sifat-sifat kekurangan. Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak disifati dengan الْمَوْتُ (kematian), karena الْمَوْتُ ini adalah kekurangan. Yang memiliki sifat الْمَوْتُ adalah kita, makhluk. كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ (“Setiap jiwa yang diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala akan merasakan kematian”). Itulah kekurangan kita. Diberikan kita kehidupan, tapi kita memiliki ajal, memiliki akhir dari kehidupan kita yang dinamakan dengan kematian. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memiliki sifat الْمَوْتُ karena الْمَوْتُ ini adalah sifat kekurangan. وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ (“Dan hendaklah engkau bertawakal kepada Zat Yang Maha Hidup yang tidak akan meninggal dunia”). Tawakal hanya kepada Yang Maha Hidup yang tidak akan meninggal dunia. Adapun hidup tapi akan meninggal dunia, maka tidak boleh kita bertawakal kepada makhluk tersebut. Tawakal kepada seorang yang saleh, bertawakal kepada pimpinan, bertawakal kepada manusia, dia hidup tapi dia akan meninggal dunia. Maka kita tidak bertawakal kepada makhluk yang memiliki sifat الْمَوْتُ. Bertawakal kepada Yang Maha Hidup dan tidak akan meninggal dunia. Di antara sifat kekurangan: الْجَهْلُ (bodoh), lawan dari ilmu. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memiliki sifat الْجَهْلُ karena sifat الْجَهْلُ ini adalah sifat kekurangan. Sifat lemah, tuli, buta, dan lain sebagainya, maka ini adalah sifat-sifat kekurangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Suci dari sifat-sifat kekurangan tersebut. Sehingga sekali lagi, keyakinan seorang muslim bahwasanya seluruh sifat yang dimiliki oleh Allah adalah sifat yang sempurna.
Bapak Ibu sekalian, saudara dan juga saudari sekalian, tabiat manusia senang dengan sesuatu sifat yang sempurna. Antum mendengar misalnya ada orang yang memiliki hafalan Quran yang luar biasa. Antum tanya langsung, sebutkan, kemudian ditanya tiga halaman berikutnya apa, dia bisa langsung menyebutkan.
Ini adalah sesuai dengan keagungan Allah, tidak sama dengan sifat yang dimiliki oleh makhluk. Di dalam Al-Qur’an Allah sebutkan tujuh ayat tentang sifat istiwa. Satu di antaranya adalah dalam Surah Thaha ini: الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ. Enam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan di dalam Surah Al-A’raf, kemudian Surah Yunus, kemudian Surah Ar-Ra’d, kemudian Surah Al-Furqan, As-Sajdah, dan juga Al-Hadid dengan lafaz yang sama: ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ (“Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala beristiwa di atas ‘Arsy”). Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengulang-ulang dengan lafaz yang sama di dalam enam ayat, dan di ayat yang lain Allah mengatakan الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ, menunjukkan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin mengabarkan bahwasanya istiwa tersebut adalah hakikat. Ini adalah istiwa yang sebenarnya yang sesuai dengan keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini bantahan bagi sebagian yang mengatakan bahwasanya istiwa di sini adalah majaz, karena majaz tidak demikian. Kalau sampai diulang-ulang dengan lafaz yang sama, menunjukkan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan di sini hakikat dari istiwa, maksudnya adalah yang sesuai dengan keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka kita tetapkan sifat istiwa bagi Allah, dan sifat istiwa tersebut adalah sifat istiwa yang sempurna, masuk di dalam As-Sifatul ‘Ula, tidak sama dengan istiwa yang dimiliki oleh makhluk.
لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرَىٰ
Allah sebutkan di dalam ayat selanjutnya tentang kesempurnaan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Milik Allah apa yang ada di langit, langit yang tujuh yang demikian besarnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah yang menciptakan, Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah yang memiliki, Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah yang mengatur, menjaganya, menahannya sehingga tidak jatuh ke bumi. Ini, itu adalah milik Allah, menunjukkan tentang besarnya kekuasaan Allah. وَمَا فِي الْأَرْضِ (dan apa yang ada di bumi), dan masuk di dalam apa yang ada di bumi segala sesuatu yang ada di permukaan bumi ini, manusia, jin. Dan apa yang ada di langit, penduduk yang ada di langit, malaikat yang jumlahnya sangat banyak yang tidak mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala, benda-benda di langit. وَمَا بَيْنَهُمَا (dan apa yang ada di antara keduanya), yaitu antara bumi dan juga langit, berupa benda-benda angkasa, bintang-bintang, meteor, maka semuanya adalah milik Allah. وَمَا تَحْتَ الثَّرَىٰ (dan apa yang ada di dalam bumi), berupa hewan, barang-barang tambang, minyak, air, dan seluruh apa yang ada di dalam bumi ini, semuanya adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ini menunjukkan betapa besarnya kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan kita semua dan apa yang kita miliki adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita ini adalah milik Allah. Allah yang menciptakan kita, memiliki kita, dan juga mengatur kita semuanya. Maka semuanya adalah milik Allah. Kita, istri, dan juga anak kita adalah milik Allah. Harta yang kita senangi, rumah yang kita banggakan, mobil yang kita banggakan, maka itu adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala semuanya. Sewaktu-waktu Allah Subhanahu wa Ta’ala bisa berkenan mengambil sebagian dari apa yang Dia miliki atau seluruh apa yang Dia miliki. Sehingga seseorang ketika mendapatkan musibah, hilang sebagian apa yang dia miliki, maka dia mengatakan: إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (“Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan sesungguhnya kita akan kembali kepada-Nya”). Sesungguhnya kita adalah milik Allah. Ketika seseorang sadar bahwasanya kita semuanya adalah milik Allah dan semuanya akan kembali kepada Allah, akan diambil oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka ini menjadi pelipur lara, penghibur, karena itu memang bukan miliknya. Itu adalah titipan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sementara kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala mengambil sewaktu-waktu apa yang menjadi milik-Nya, maka kembali kepada yang memiliki.
Seperti kalau seseorang dititipi oleh orang lain benda yang berharga, kemudian suatu saat dia ambil barang tersebut, maka tidak ada perasaan sedikit pun karena memang ini adalah milik dia. Dia datang, “Pak, saya titip mobil saya, mau safar sebentar sekeluarga ke luar kota.” Pulang dari safar, mampir untuk mengambil mobilnya. Berhak tidak kita untuk marah? Kita tidak berhak untuk marah karena memang ini adalah milik dia, dititipkan sebentar kepada kita kemudian diambil. Itu yang dahulu dilakukan oleh sebagian sahabat Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Ada kisah di mana dua orang suami istri, kalau enggak salah Abu Thalhah, di mana anaknya dalam keadaan sakit beberapa hari. Kemudian suatu saat akhirnya dia meninggal dunia dan sang ayah tidak tahu bahwasanya anaknya meninggal dunia. Datang di malam hari, kemudian dilayani oleh istrinya, dan dia belum tahu kalau anaknya meninggal dunia dan dia sangat sayang kepada anaknya ini. Di pagi hari, istri yang salehah dan istri yang memiliki pemahaman terhadap agama ini, dia mengatakan, “Bagaimana seandainya ada orang yang titip kepadamu sebuah barang, kemudian dia mengambilnya? Apakah engkau marah?” Dia mengatakan, “Tidak.” Kemudian disampaikan bahwasanya anakmu telah diambil oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maksudnya adalah supaya dia sadar bahwasanya putranya ini adalah milik Allah dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengambilnya. Tidak boleh seorang kemudian dia tidak rida dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan.
Demikianlah seorang muslim, ketika dia menyadari bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang memiliki kita semuanya, musibah apa pun yang menimpa dia, maka ini tidak menjadikan dia kemudian putus asa, berlarut-larut dalam kesedihan. Diambil jabatannya, diambil anaknya, diambil istrinya, diambil hartanya, maka itu adalah, memang itu semua adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan kembali semuanya kepada Allah dalam waktu dekat ataupun dalam waktu yang lama. لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرَىٰ. Dan ini juga menjadikan seseorang, ketika menyadari bahwasanya semuanya adalah milik Allah, dia tidak terlalu bangga dan tidak menyombongkan di hadapan orang lain. Jika dia sadar, “Iya, rumah besar yang saya miliki, Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memiliki. Jabatan yang sekarang saya pegang, Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah yang memberikan, Dialah yang memiliki.” Kalau dia sadar bahwasanya semua itu bukan miliknya, bahkan dirinya bukan miliknya, maka dia akan merendahkan dirinya di hadapan orang lain.
Demikian pula, kalau dia sadar bahwasanya semua ini adalah milik Allah, dia akan berusaha untuk menjaga. Dia akan berusaha untuk melakukan, bermuamalah dengan apa yang menjadi milik Allah tersebut dengan sesuatu yang diridai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Contoh misalnya, kalau dia tahu bahwasanya harta ini adalah milik Allah, maka dia tidak akan إِسْرَاف (berlebih-lebihan) karena ini adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, dititipkan kepada kita, maka dia berusaha untuk hemat, tidak إِسْرَاف, karena ini adalah amanah. Nanti akan ditanya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat, “Dari mana engkau dapatkan hartanya dan untuk apa engkau gunakan?” Sehingga akan dia praktikkan dalam kehidupan dia sehari-hari. Melihat anaknya mengambil makanan terlalu banyak kemudian dibuang, ingat, ini adalah harta yang Allah Subhanahu wa Ta’ala titipkan, ini bukan harta Ayah. Kemudian juga dalam kehidupan sehari-hari, karena ini adalah harta Allah Subhanahu wa Ta’ala, ketika dia diminta untuk mengeluarkan zakat, maka dengan mudahnya dia akan keluarkan zakat karena ini adalah harta Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk mengeluarkan harta ini, dengan mudahnya dia mengeluarkan zakat. Ketika dia ada tetangganya, keluarganya yang membutuhkan, membutuhkan bantuan, minta untuk diantar misalnya dengan kendaraannya, maka dia sadar ini adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan kalau digunakan untuk membantu orang lain, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan rida, memberikan pahala, dan seterusnya.
Kesadaran bahwasanya kita semuanya adalah milik Allah akan membawa perilaku yang baik di dalam kehidupan kita sehari-hari. Kalau seseorang sadar bahwasanya dirinya juga milik Allah, anggota badan yang kita miliki adalah titipan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka kita akan berusaha untuk menjaganya. Menjaga bagaimana supaya pendengaran tidak mendengar kecuali yang diridai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, menjaga bagaimana penglihatan tidak melihat kecuali apa yang diridai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia tidak akan semena-mena terhadap dirinya sendiri karena ini adalah amanah. Dia akan menjaga bagaimana dirinya dalam keadaan sehat, tidak memudarati dirinya sendiri dengan aktivitas atau dengan makanan tertentu karena dia sadar ini adalah amanah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga di dalam Islam, orang yang bunuh diri ini ada ancaman yang berat karena dia telah semena-mena terhadap dirinya sendiri. Jiwa raganya adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia tidak berhak untuk menghilangkan nyawanya sendiri, sehingga nanti di hari kiamat Allah Subhanahu wa Ta’ala akan, apabila menghendaki, akan mengazab orang yang melakukan dosa besar tersebut, yaitu membunuh dirinya sendiri, karena dia telah semena-mena dan menzalimi dirinya sendiri, padahal itu bukan miliknya. Dirinya adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Banyak faedah yang bisa kita ambil ketika kita menyadari bahwasanya seluruh apa yang ada di langit dan ada di bumi adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian pula ketika kita menyadari hal ini, melihat orang lain memiliki kekayaan yang luar biasa, dia memiliki jabatan yang tinggi, kita tidak akan terlalu takjub dengan yang demikian. Apa yang dia miliki, hutan yang berhektar-hektar, uang yang bertriliun-triliun, itu adalah milik Allah, Rabb semesta alam. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan bertanya kepada dia, “Dari mana dia dapatkan dan untuk apa dia gunakan?” Ketika kita melihat ada orang yang memiliki jabatan yang tinggi, demikian pula kita sadar Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan. Engkau memberikan kekuasaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan engkau mengambil kekuasaan dari orang yang Engkau kehendaki. Kekuasaan adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah berikan kepada siapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki. Sehingga kita tidak terlalu “wah” ketika melihat orang lain mereka memiliki kekuasaan, karena ini adalah semuanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rabb semesta alam.
Kemudian Allah mengatakan: وَإِنْ تَجْهَرْ بِالْقَوْلِ فَإِنَّهُ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَىٰ (“Dan jika engkau mengeraskan suaramu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi”). Kalau kita mengeraskan ucapan kita, ketahuilah bahwasanya seandainya kita memiliki rahasia atau ucapan yang lirih, Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah yang mengetahui. Kalau yang lirih saja, yang rahasia saja, Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah yang mengetahui, lalu bagaimana dengan ucapan yang dikeraskan? Sama bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala antara suara yang lirih maupun suara yang keras, tidak ada bedanya di sisi Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah Yang Maha Mendengar. Dan apa yang lebih samar daripada itu, selirih apa pun seseorang mengucapkan, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mendengar. Tidak ada yang samar bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan banyaknya suara yang ada. Seandainya semua orang berbicara, semua makhluk berbicara, semua benda mengeluarkan suara, maka tidak ada yang samar bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala karena sifat As-Sam’u (pendengaran) yang Allah Subhanahu wa Ta’ala miliki adalah sifat yang sempurna. Sifat ilmu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala miliki adalah sifat ilmu yang sempurna. Ini di antara ayat-ayat yang menunjukkan kesempurnaan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga didatangkan oleh mualif di sini setelah beliau mengatakan وَالصِّفَاتُ الْعُلَى, Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah yang memiliki sifat-sifat yang tinggi, sifat-sifat yang sempurna.
Bapak Ibu sekalian, saudara dan juga saudari yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, lihat bagaimana seorang muslim ketika dia mau membaca dan juga mencerna, mentadaburi Al-Qur’anul Karim, meskipun satu ayat, dua ayat, tapi kalau kita mau mentadaburi, memahami maknanya, memikirkan isinya, maka ini akan menambah keimanan, akan menambah makrifah kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan menambah kebahagiaan kita, dan semakin kita memiliki ilmu, memiliki pegangan di dalam mengarungi kehidupan dunia ini. Lalu bagaimana seandainya setiap hari kita bermuamalah dengan Al-Qur’an, setiap hari kita membaca Al-Qur’an, setiap hari ada ayat-ayat Al-Qur’an yang kita tadaburi, bagaimana dia tidak merasakan kebahagiaan seterusnya di dalam kehidupannya? Inilah yang dilakukan oleh para ulama, orang-orang yang saleh, mereka sangat dekat dengan Al-Qur’anul Karim, sehingga kehidupan mereka terarah dan merasakan kebahagiaan yang tidak pernah dirasakan oleh para raja, anak-anak raja, dan orang-orang yang memiliki harta yang banyak sekalipun. Alhamdulillah, kita masing-masing memiliki mushaf, masing-masing bisa membaca Al-Qur’an, dan dengan mudah kita memahami apa yang ada di dalam Al-Qur’an. Di sana ada terjemah-terjemah Al-Qur’an, ada tafsir-tafsir Al-Qur’an yang diterjemahkan, maka hendaknya seorang muslim dan juga muslimah memiliki bagian waktu di dalam kehidupannya, di dalam sehari semalam dia untuk memahami apa yang ada di dalam Al-Qur’an, dan itu adalah wahyu yang merupakan petunjuk di dalam kehidupan kita.
Kemudian beliau mengatakan: وَسِعَ كُلَّ شَيْءٍ حُكْمًا وَرَحْمَةً وَعِلْمًا. Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang meliputi segala sesuatu dengan ilmu-Nya. Segala sesuatu di bawah ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang nampak di luar dan apa yang ada di dalam, semuanya adalah di bawah ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada yang samar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sekecil apa pun. وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا… (“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya…”). Berapa jumlah daun yang ada di bumi ini? Ada di antaranya yang jatuh, dan setiap hari bahkan setiap menit ada saja daun-daun yang jatuh. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui kapan jatuhnya, dengan sebab apa, di mana dia terjatuh, itu semuanya adalah di bawah ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maka beliau ingin menyampaikan di sini, mengabarkan kepada kita, mengenalkan kepada kita bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang mengetahui segala sesuatu. Meskipun Allah berada di atas ‘Arsy, tadi sudah disebutkan عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ, Allah Subhanahu wa Ta’ala beristiwa di atas ‘Arsy, Maha Tinggi berada di atas ‘Arsy, tapi apa yang terjadi di bumi, tidak ada yang samar bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui segala sesuatu. Sehingga kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah yang ilmunya meliputi segala sesuatu, menjadikan seorang muslim dan juga muslimah merasa diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di mana pun dia berada. Bertakwa kepada Allah, menjalankan perintah, menjauhi larangan di mana pun dia berada, baik ketika dia bersama orang lain ataupun dia sendirian, baik ketika dia berada di masjid ataupun ketika dia di rumah bersama keluarganya, baik ketika dia di rumah ataupun ketika dia di kantor bersama teman-temannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang ilmunya meliputi segala sesuatu. Di mana pun kita berada, apa pun yang kita lakukan, maka Dialah Yang Maha Mengetahui yang dilakukan oleh manusia. اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ (“Hendaklah kalian bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di mana pun kalian berada”). Semakin seseorang menyadari bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah yang mengetahui segala sesuatu, maka semakin dia berhati-hati di dalam kehidupannya.
Kita kalau kerja, di hadapan kita ada pimpinan kita ya, atau kepala bagian atau kepala divisi, dan dia menunggu apa yang kita kerjakan dan melihat, mengawasi, maka kita berusaha untuk ya segera, tidak menyia-nyiakan waktu, tidak guyon, mungkin kalau enggak ngerjakan pun sok sibuk ya. Itu ketika ada orang yang mengawasi kita, pimpinan kita atau yang semisalnya. Maka seharusnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang setiap hari dan setiap detik tidak ada waktu kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala mengawasi keadaan kita, maka seseorang merasa diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di mana pun dia berada. Ketahuilah, orang yang merasa demikian, orang yang merasa demikian yaitu merasa diawasi oleh Allah di mana pun dia berada, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menolong orang tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menolong orang tersebut, akan memberikan dia taufik, akan memberikan dia kemudahan. إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ (“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan bersama orang-orang yang muhsin”). Siapa orang-orang yang muhsin? Orang yang merasa diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Siapa orang yang bertakwa? Menjalankan perintah, menjauhi larangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama mereka. Maksud bersama di sini adalah ditolong oleh Allah. Ketika dia terjatuh ke dalam sebuah permasalahan, Allah berikan solusi. Ketika dia menemui sebuah kesulitan, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan berikan kemudahan. Ketika dia butuh dalam keadaan darurat sesuatu, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mudahkan, ada saja di sana jalan keluar. Ini balasan bagi orang yang merasa diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam setiap keadaan. Coba kita praktikkan dalam kehidupan kita sehari-hari ya. Ketika kita merasa saat itu diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik di dalam mobil atau di dalam rumah atau ketika kita di kantor atau ketika kita mengajar, kita belajar, merasa diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita akan merasakan perbedaan yang luar biasa. Di sana ada kemudahan, di sana ada ketenangan, di sana ada taufik. Ini adalah balasan bagi orang yang senantiasa merasa diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan apa pun.
…dan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang menguasai seluruh makhluk-Nya dengan kekuatan dan juga hukum-Nya. Seluruh makhluk adalah di bawah kekuasaan Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengatur kehidupan mereka. Tidak ada yang bisa menentang apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah putuskan. Kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala menentukan hukum-Nya adalah si Fulan mendapatkan musibah, maka tidak ada yang bisa menolaknya, meskipun seluruh apa yang ada di bumi ini dan seluruh manusia yang ada di bumi ini berusaha untuk menahan musibah tersebut. Kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah menentukan terjadi musibah pada si Fulan, akan terjadi musibah tersebut. Dan kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala menentukan si Fulan dia mendapatkan nikmat, mendapatkan harta, mendapatkan jabatan, mendapatkan kekuasaan, maka tidak ada yang bisa menghalangi apa yang sudah Allah tentukan. Tidak ada yang bisa menolak ketentuan dan juga kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (“Sesungguhnya urusan-Nya apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki sesuatu, tinggal mengatakan ‘Kun’ (Jadilah), maka akan jadilah sesuatu tersebut”). Meskipun kita tidak menghendaki yang demikian. Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah yang menguasai seluruh makhluk-Nya, yang muslim maupun yang kafir, yang beriman kepada Allah maupun yang tidak beriman kepada Allah, semua berada di bawah kekuasaan Allah. Tidaklah bergerak sesuatu kecuali dengan kehendak Allah dan tidaklah diam sesuatu kecuali dengan kehendak Allah. Tidaklah orang yang taat melakukan ketaatan kecuali dengan kehendak Allah dan tidaklah orang berbuat maksiat kecuali dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada di dunia ini, di bumi maupun di langit, sesuatu yang bisa keluar dari kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semuanya di bawah kekuasaan Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ, dan Dialah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Berkuasa. Di antara nama Allah adalah الْقَهَّارُ. Dialah الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ. Dialah Yang Maha Esa dan Dialah Yang Maha Berkuasa. Dialah Yang Maha Esa, Maha Tunggal, Maha Satu, dan Dialah Yang Maha Berkuasa. Seluruh makhluk di bawah kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik dari sisi kekuatan, kekuatan mereka di bawah kekuasaan Allah, hukum juga demikian. Hukum di sini bisa diartikan dia adalah hukum kauni seperti yang tadi kita sebutkan, hal-hal yang berkaitan dengan alam semesta ini, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah yang mengatur.
…dan ilmu Allah dan juga rahmat Allah meliputi segala sesuatu. Tadi sudah disebutkan, rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala meliputi segala sesuatu dan ilmu Allah juga meliputi segala sesuatu. Rahmat yang ada di dalam diri kita dan diri semua makhluk yang dengannya mereka saling menyayangi satu dengan yang lain, itu adalah bagian dari rahmat Allah. Ketika seekor binatang buas misalnya harimau, dia menyayangi anaknya, mencarikan makan untuk anaknya, maka itu adalah bagian dari kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Allah berikan, yang Allah jadikan di dalam diri harimau tersebut.
يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا. Kemudian kembali beliau mendatangkan ayat yang disebutkan di dalam Surah Thaha. Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah yang mengetahui apa yang ada di depan mereka dan apa yang ada di belakang mereka. Ada yang menafsirkan, mengetahui apa yang ada di depan mereka maksudnya adalah apa yang terjadi dahulu di masa yang lalu. Tidak ada yang samar bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala apa yang terjadi di masa yang lalu dengan detailnya. Demikian pula وَمَا خَلْفَهُمْ, dan apa yang ada di belakang mereka, maksudnya adalah apa yang terjadi di masa yang akan datang. Tidak ada yang samar bagi Allah apa yang terjadi di masa lalu maupun apa yang terjadi di masa yang akan datang. Semuanya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahuinya. وَلَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا, dan mereka tidak menguasai, tidak meliputi, ilmu mereka (tidak meliputi) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Artinya, ilmu mereka tidak bisa meliputi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bagaimanapun ilmu yang dimiliki oleh makhluk, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah yang Maha Besar. Hanya sebagian saja yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada kita berupa ilmu. وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا (“Dan tidaklah kalian diberikan dari ilmu ini kecuali sangat sedikit”). Bahkan nama-nama Allah, tidak semuanya Allah Subhanahu wa Ta’ala ajarkan kepada kita karena Allah Azza wa Jalla tahu tentang keterbatasan apa yang kita miliki. Allah ajarkan kita Al-Asma’ul Husna sebagiannya, dan di sana ada nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Allah simpan di dalam ilmu gaib yang ada di sisi-Nya. Tidaklah diberikan kepada kita dari ilmu ini kecuali sangat sedikit. Tapi yang sedikit ini kita merasakan bagaimana berkahnya, bagaimana ilmu yang sedikit ini menjadikan kita terang-benderang, menjadikan kita paham apa yang harus kita lakukan di dunia ini. Maka itulah kesempurnaan ilmu Allah dan menunjukkan kekurangan apa yang ilmu yang kita miliki. Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah yang mengetahui segala sesuatu. Adapun manusia, maka dia tidak tahu kecuali apa yang diajarkan oleh Allah kepada mereka.
مَوْصُوفٌ بِمَا وَصَفَ بِهِ نَفْسَهُ فِي كِتَابِهِ وَعَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ الْكَرِيمِ. Allah Subhanahu wa Ta’ala bersifat dengan sifat yang Allah sifatkan diri-Nya di dalam Al-Qur’anul Karim. Di sana ada sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Allah sebutkan di dalam Al-Qur’an. Dan di sana ada sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Allah sebutkan melalui lisan Nabi-Nya yang mulia. Beliau ingin menunjukkan kepada kita bahwa untuk mengenal sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sempurna tadi, tidak ada jalan lain kecuali kita kembali kepada Al-Qur’an dan juga sunah, karena di dua perkara inilah Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan. Tidak ada cara lain. Tidak ada bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang sifat-sifat-Nya di dalam mimpi misalnya. Allah tidak jadikan mimpi manusia sebagai jalan untuk mengenal Allah. Allah tidak jadikan cara untuk mengenal Allah dengan akal manusia berpikir kemudian berusaha untuk mencari apa itu sifat Allah, apa itu nama Allah. Bukan dengan cara itu seseorang bisa mengenal dan bisa menemukan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sifat Allah hanya Allah kabarkan di dalam dua perkara ini. Yang pertama adalah di dalam Al-Qur’an: sifat istiwa, sifat tangan, sifat mata, sifat-sifat yang lain akan kita dapatkan itu semuanya di dalam Al-Qur’an. Terkadang juga Allah Subhanahu wa Ta’ala kabarkan tentang sebagian sifat-sifat-Nya melalui lisan Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, yaitu hadis-hadis yang sahih. Seperti misalnya sifat الْقَدَمُ, yaitu sifat kaki bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sifat النُّزُولُ, yaitu sifat turunnya Allah Subhanahu wa Ta’ala ke langit dunia di setiap sepertiga malam yang terakhir. Tidak kita dapatkan di dalam Al-Qur’an, tapi akan kita dapatkan di dalam sunah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Sedikit lagi. Maka setiap apa yang datang di dalam Al-Qur’an atau sahih dari Al-Musthafa, yaitu Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, berupa sifat-sifat Ar-Rahman… Perhatikan ucapan beliau di sini: “atau sahih”. Berarti tidak semua yang disandarkan kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ hukumnya adalah sahih. Di sana ada hadis disandarkan kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan ternyata dia tidak sahih, hadisnya dhaif atau bahkan dia adalah hadis yang palsu. Maka beliau mengingatkan di sini, yang dipakai tentunya hadis-hadis yang sahih. Kalau di sana ada hadis yang sahih yang isinya adalah sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, وَجَبَ الْإِيمَانُ بِهِ, wajib bagi kita semuanya untuk beriman dengannya. Harus percaya Allah Subhanahu wa Ta’ala turun, Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki الْقَدَمُ, Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki sifat jari. Harus kita imani karena kita adalah orang yang beriman. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ… (“Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah kalian kepada Allah dan juga Rasul-Nya…”). Dan sifat orang yang bertakwa adalah beriman dengan perkara yang gaib. هُدًى لِلْمُتَّقِينَ… الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ (“Petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa… (yaitu) mereka yang beriman dengan sesuatu yang gaib”). Termasuk di antara yang gaib adalah sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan atau Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengabarkan di dalam hadis, ya wajib kita imani. Ini beda antara kita dengan selain kita yang mereka adalah orang-orang yang tidak beriman.
بِالتَّسْلِيمِ وَالْقَبُولِ. Dan meriwayatkan, menerima kabar-kabar tersebut dengan menyerahkan diri dan juga menerima. Artinya, tidak boleh menolak, tidak boleh membangkang, tidak boleh membantah. Harus kita terima dengan menyerahkan diri, dengan sebenar-benar penyerahan diri. فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (“Maka demi Rabb-mu, mereka tidak (dikatakan) beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”). Kalau memang sudah ada di dalam Al-Qur’an sifat-sifat-Nya atau di dalam hadis-hadis yang sahih, maka tidak boleh menolaknya. Kemudian mengatakan misalnya menolak ayat, mengatakan bahwa ini bukan dari Al-Qur’an, atau menolak hadis, menganggap bahwasanya ini mengharuskan kita menyerupakan Allah dengan makhluk. Akhirnya dia tolak ayat, akhirnya dia tolak hadis, meskipun ada di dalam Bukhari dan juga Muslim. Ini enggak boleh yang demikian, ini bukan sifat orang yang beriman. Menolak ayat, menolak hadis, dan kalau dia menolak dan mendustakan, maka ini bisa membatalkan keimanan dia. Ini bukan sifat orang yang beriman, ini sifat orang yang kufur. Mendustakan meskipun hanya satu ayat, sama dengan mendustakan satu Al-Qur’an. Maka tidak boleh. وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ (“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka”). Allah mengabarkan, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengabarkan, kemudian dia menolaknya, ini bukan sifat orang yang beriman.
…dan tidak boleh mentakwilnya. Maksud dari mentakwil di sini adalah تَأْوِيل yang digunakan istilah ini oleh ahlul kalam, yaitu memalingkan makna sebuah kata dengan makna yang lain, memalingkan makna dari sebuah kata dengan makna yang lain yang tidak ada dasarnya. Istilah ini adalah istilah yang baru. Di zaman dahulu mereka tidak mengenal تَأْوِيل dengan pengertian seperti ini. Karena kalau kita melihat istilah تَأْوِيل yang ada di dalam Al-Qur’an, di dalam As-Sunnah, maka hanya ada dua makna.
Makna yang pertama, تَأْوِيل yang artinya adalah tafsir. Muhammad ibn Jarir At-Thabari di dalam tafsirnya, beliau sering menggunakan istilah ini: wa ta’wilu qaulihi Ta’ala… (“Dan takwil dari firman Allah…”), maksudnya adalah tafsir. Perhatikan ucapan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ketika beliau mendoakan untuk Abdullah ibn Abbas: اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ (“Ya Allah, pahamkan dia tentang agama ini dan ajarkan kepada dia takwil”). Akhirnya Abdullah ibn Abbas menjadi turjumanul Qur’an, menjadi ahli tafsir, menjadi rujukan di dalam masalah tafsir Al-Qur’an. Beliau dikenal di antara para sahabat, meskipun beliau adalah anak yang masih muda, termasuk shigharus shahabah, tapi dari sisi ilmu tafsir, beliau lebih dalam daripada yang lain. Memahami firman Allah: إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ… فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا. Ketika ditanya, “Apa yang kamu pahami dari surat ini?” Dia mengatakan, “Ini menunjukkan tentang dekatnya ajal Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.” Para sahabat yang lain mungkin sama memahami, tapi memahami bukan pemahaman sedalam pemahaman Abdullah ibn Abbas. Ayat ini menunjukkan bahwasanya apabila datang pertolongan Allah, apabila dibuka kota Makkah, maka kita disuruh untuk bertasbih, kita diperintahkan untuk beristigfar. Sampai di situ saja. Tapi Abdullah ibn Abbas memahami bahwasanya ayat ini menunjukkan tentang dekatnya kematian Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Berarti takwil di sini maknanya apa? Tafsir.
Makna yang kedua, تَأْوِيل yang ada di dalam Al-Qur’an dan juga hadis adalah hakikat dari sesuatu. Kalau sesuatu tersebut adalah perintah atau larangan, maka hakikatnya adalah menjalankan perintah, menjauhi larangan. Aisyah رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهَا beliau menyebutkan bahwasanya Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ di dalam sujudnya sering membaca: سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي. Kemudian beliau mengatakan, يَتَأَوَّلُ الْقُرْآنَ. Beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ membaca zikir ini karena beliau يَتَأَوَّلُ الْقُرْآنَ. Maksudnya adalah melaksanakan apa yang ada di dalam Al-Qur’an. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ, maka hendaklah engkau bertasbih dan beristigfar. سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ (tasbih), kemudian diakhiri dengan اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي (istigfar). Berarti ada tasbih, ada istigfar. Melaksanakan perintah yang ada di dalam Al-Qur’an.
Kalau sesuatu tersebut adalah kabar atau berita, maka hakikatnya adalah terjadinya berita tersebut. Sekarang kita di dunia, di sana ada kabar-kabar tentang hari kiamat: akan terjadi dikumpulkan manusia, manusia akan dibangkitkan, manusia akan ditimbang amalannya, dan seterusnya. Itu adalah kabar-kabar, sekarang ini berupa berita. Ketika nanti terjadi, maka itu dinamakan dengan takwil dari berita tersebut. Berarti takwil dari sebuah berita adalah kejadian yang sebenarnya. Di dalam Al-Qur’an Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan: هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا تَأْوِيلَهُ… (“Tidaklah mereka (orang-orang kafir) menunggu-nunggu kecuali kejadian yang sebenarnya (dari hari kiamat)…”). Karena mereka mendustakan, “Masa sih terjadi hari kiamat?” mereka mengingkari terjadinya hari kiamat. Allah mengatakan tidaklah mereka menunggu kecuali kejadian yang sebenarnya dari hari kiamat yang mereka ingkari. Mereka akan merasakan nanti bagaimana siksaan di dalam alam kubur, bagaimana ketika mereka dibangkitkan, bagaimana mereka dikumpulkan di Padang Mahsyar, mereka akan merasakan sendiri apa yang mereka ingkari sekarang. Inilah makna takwil yang kedua, yaitu hakikat dari sesuatu.
Contoh yang lain adalah mimpi yang dilihat oleh Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Ketika beliau menceritakan mimpinya kepada bapaknya, “Saya melihat demikian dan demikian.” Kemudian ketika dia melihat saudara-saudaranya sujud dengan sujud penghormatan, maka dia mengatakan: هَٰذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِنْ قَبْلُ. “Ini adalah takwil dari mimpiku yang sebelumnya, wahai Ayahku.” Maksudnya adalah, ini baru terjadi sekarang. Yang dulu aku ceritakan aku melihat 11 bintang demikian dan demikian, sekarang aku melihat saudara-saudaraku mereka sujud kepadaku dengan sujud penghormatan. Ini adalah takwil dari mimpiku sebelumnya, sekarang baru kejadian, sekarang baru terjadi apa yang dikabarkan sebelumnya.
Adapun takwil dengan makna yang disebutkan oleh ahlul kalam, maka ini adalah istilah yang baru, istilah yang muhdats, yang mubtada’, yang tidak dimiliki oleh para salafus saleh. Yang dimaksud oleh beliau di sini adalah takwil yang dimiliki oleh ahlul kalam. Maka tidak boleh kita mentakwil اسْتَوَى dengan اسْتَوْلَى (menguasai), atau yad (tangan) ditakwil dengan qudrah (kemampuan), atau tingginya Allah ditakwil dengan tingginya kedudukan Allah. Maka ini semua adalah takwil. Meskipun dia secara zahir menerima lafaznya, beriman dengan lafaznya, tetapi dia mengubah maknanya. Kewajiban kita adalah menerima lafaz dan juga makna. Tidak boleh kita merubah lafaz dan tidak boleh kita merubah makna.
…dan tidak boleh kita menyerupakan dan tidak boleh kita memisalkan. تَشْبِيه dan juga تَمْثِيل ini hampir sama maknanya, yaitu meyakini bahwasanya sifat Allah serupa dengan sifat makhluk. Ini juga tidak diperbolehkan, diharamkan. Ini termasuk penyimpangan di dalam agama Islam. Mengatakan, “Saya beriman bahwasanya Allah beristiwa, tetapi istiwa Allah sama dengan istiwa makhluk.” Ah, ini salah ya, karena dia berlebihan di dalam menetapkan. Menetapkan secara berlebihan sampai menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk. “Saya beriman bahwasanya Allah turun ke langit dunia, tetapi turunnya sama dengan turunnya makhluk.” Berarti ini juga berlebihan di dalam menetapkan.
Semuanya ini adalah penyimpangan, bertentangan dengan dalil. Ahlus Sunnah bukan orang yang menolak, bukan orang yang mentakwil, bukan orang yang menyerupakan. Bagaimana sikap Ahlus Sunnah? Mereka adalah orang yang menerima apa yang sahih dari Allah dan juga Rasul-Nya. Mereka tetapkan lafaznya, mereka tetapkan maknanya sesuai dengan keagungan Allah, dan mereka tidak menyerupakan sifat tersebut dengan sifat makhluk. Apa yang mereka katakan? “Sifat ini sesuai dengan keagungan Allah. Saya tidak mengetahui tentang bagaimananya, tapi Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabarkan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki sifat ini.” Sehingga karena mereka kembali kepada dalil dan seluruh dalil mereka kumpulkan, mereka pun dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala bisa selamat dari penyimpangan yang dimiliki oleh mu’aththilah, dimiliki oleh mu’awwilah, yang dimiliki oleh para musyabbihah, dengan izin Allah, karena mereka berpegang dengan dalil. Demikianlah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga mereka, memberikan taufik kepada mereka karena mereka mau mengikuti apa yang Allah inginkan, melihat seluruh dalil, mengumpulkan dalil, berpegang dengan Al-Qur’an dan juga hadis. Akhirnya mereka pun diselamatkan dari penyimpangan-penyimpangan tersebut.
إِنْ شَاءَ اللهُ sampai di sini dulu. Kita buka mungkin pertanyaan, satu atau dua pertanyaan.
Tanya Jawab
Pertanyaan: Apakah Zahir Kitab Taurat yang telah ditulis langsung oleh tangan Allah itu yang berada di tangan malaikat dan kemudian diturunkan kepada Nabi Musa, atau hanya diturunkan berupa wahyu seperti Al-Qur’an?
Jawaban: Taurat diturunkan kepada Nabi Musa secara langsung, tidak berangsur-angsur seperti Al-Qur’anul Karim. Inilah yang juga terjadi pada Al-Injil dan juga Zabur. Semuanya turun kepada nabi-nabi yang diturunkan kepadanya dalam keadaan secara langsung, sekali diturunkan kepada mereka, bukan diturunkan berangsur-angsur seperti Al-Qur’anul Karim.
Pertanyaan: Apa bedanya sunah atau hadis yang diwahyukan oleh Allah melalui Malaikat Jibril kepada Rasulullah dengan Al-Qur’an yang juga diwahyukan melalui Malaikat Jibril kepada Rasulullah?
Jawaban: Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwasanya kalau berupa Al-Qur’an, maka ini lafaz dan juga maknanya adalah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun hadis, maka ada yang mengatakan maknanya dari Allah, tapi lafaznya dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Ini pendapat sebagian ulama, dan dua-duanya adalah wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kapan wahyu itu bisa dikatakan Al-Qur’an dan juga hadis? Jelas sekarang apa yang dimaksud dengan Al-Qur’an dan apa yang dimaksud dengan hadis Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Al-Qur’an adalah apa yang ada di antara dua sampul mushaf, dari Al-Fatihah sampai An-Nas. Maka itulah yang dimaksud dengan Al-Qur’an. Adapun hadis-hadis Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka ini adalah ucapan atau perbuatan atau taqrirat (persetujuan-persetujuan) Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Jadi hadis terkadang berupa perbuatan, ya, “Dahulu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melakukan demikian,” dinukil oleh seorang sahabat, maka ini juga dinamakan dengan hadis. Kalau Al-Qur’an semuanya adalah ucapan, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. Al-Qur’an adalah firman Allah, adapun hadis maka ini ucapan siapa? Ucapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Lalu siapakah yang memilahnya sehingga menjadikannya sebagai Al-Qur’an atau sebagai hadis? Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dahulu yang memerintahkan para sahabat untuk menulis Al-Qur’an, makanya di sana ada katabatul wahyi, para sahabat yang menulis wahyu. Maka beliaulah yang memerintahkan untuk menulis, ada yang ditulis di atas batu, atau di atas kayu, atau kulit. Sehingga mereka pun bisa membedakan itu adalah Al-Qur’anul Karim. Adapun hadis, maka dahulu mereka menghafalnya.
Pertanyaan: Apa bedanya ‘Arsy Allah dengan Kursi Allah?
Jawaban: ‘Arsy Allah, sebagaimana tadi disebutkan, lebih besar daripada Kursi Allah, dan ‘Arsy Allah lebih tinggi daripada Kursi Allah. Kursi Allah, sebagaimana yang Allah sebutkan وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ, Kursi Allah itu seluas langit dan juga bumi. Maksudnya adalah langit dan bumi itu lebih kecil daripada Kursi Allah, jadi meliputi langit dan juga bumi, lebih luas dan lebih besar daripada langit dan juga bumi. Adapun ‘Arsy, maka ini berada di atas Kursi atau lebih tinggi daripada Kursi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Disebutkan di dalam sebagian atsar, kalau tidak salah atsarnya Abdullah ibn Abbas, bahwasanya Kursi adalah مَوْضِعُ قَدَمَيْهِ, Kursi Allah ini adalah tempat kedua kaki Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka ini kita tetapkan karena seorang sahabat tidak mungkin dia mengabarkan dengan yang seperti ini kecuali mendengar dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Sehingga ini meskipun مَوْقُوف kepada Abdullah ibn Abbas, tapi hukumnya adalah مَرْفُوع, diangkat sampai kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Adapun ‘Arsy, maka ini adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala beristiwa di atas ‘Arsy. Ini menunjukkan perbedaan antara ‘Arsy dengan Kursi, karena sebagian ada yang menyamakan antara ‘Arsy dengan Kursi.
Pertanyaan: Setiap ujian apa pun pada seorang hamba, apakah itu pasti yang terbaik buat Allah ‘Azza wa Jalla?
Jawaban: Apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan bagi manusia, itu semuanya berdasarkan hikmah dan juga kebijaksanaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala meluaskan rezeki atau menyempitkan rezeki, maka itu berdasarkan hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala, berdasarkan kebijaksanaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pasti di sana ada maksud, tidak mungkin Allah Subhanahu wa Ta’ala melakukan sesuatu tidak berdasarkan hikmah. Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang Al-Hakim, Yang Maha Bijaksana. Sehingga seorang muslim yakin bahwasanya apa yang dilakukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala semuanya adalah baik. Apa yang dilakukan oleh Allah adalah sifat Allah, dan tadi sudah disebutkan, sifat Allah semuanya sempurna. Apa yang Allah lakukan pasti semuanya adalah berdasarkan hikmah. Adapun الْمَقْدُور (yang ditakdirkan) oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka di sana ada sesuatu yang ditakdirkan dan itu adalah خَيْر (baik) dan di sana ada sesuatu yang Allah takdirkan dan dia adalah شَرّ (buruk). Yang baik misalnya nikmat, yang jelek misalnya musibah. Terkadang Allah Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan nikmat, terkadang Allah Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan musibah. Yang baik di antaranya adalah ketaatan, yang jelek di antaranya adalah kemaksiatan. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang mentakdirkan ketaatan dan juga kemaksiatan. وَأَنْ تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ (“Dan engkau beriman dengan takdir Allah yang baik maupun yang buruk”). Yang dimaksud dengan takdir di sini adalah الْمَقْدُور atau الْمُقَدَّر, maf’ul-nya, yang ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ada yang خَيْر, ada yang baik. Tapi أَفْعَالُ اللهِ (pekerjaan-pekerjaan Allah) semuanya adalah خَيْر. Apa yang dilakukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah خَيْر semuanya, berdasarkan hikmah. Kewajiban seorang hamba adalah حُسْنُ الظَّنِّ kepada Allah dalam setiap keadaan, termasuk di antaranya adalah ketika dia mendapatkan musibah. Yakinlah bahwasanya di balik musibah tersebut ada hikmah. Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan kebaikan dari dirinya, entah itu ingin mengangkat derajatnya atau ingin menghilangkan dosanya. Dan mengingat sabda Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ (“Kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai sebuah kaum, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menguji kaum tersebut”). Jadi kita husnuzhan, Allah cinta kepada kita sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menguji kita, menurunkan musibah. Allah ingin kita datang kepada Allah dalam keadaan kita tidak memiliki dosa. لَا يَزَالُ الْمُؤْمِنُ يُبْتَلَى… حَتَّىٰ يَلْقَى اللَّهَ بِغَيْرِ خَطِيئَةٍ (“Senantiasa seorang yang beriman diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam hartanya, di dalam fisiknya, di dalam anaknya, sehingga dia bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat dalam keadaan dia tidak memiliki dosa”).
Pertanyaan: Apakah ucapan “Siapa tahu ini Ramadan terakhirku” termasuk doa?
Jawaban: Tidak tentunya ya, tidak semua ucapan adalah doa. Doa sesuatu yang makruf, yaitu seorang mengatakan, “Ya Allah, jadikanlah…”, “Ya Allah, tolonglah…”, maka ini dinamakan dengan berdoa. Adapun ucapan, maka sekadar berucap, tidak ada di situ makna meminta atau memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pertanyaan: Apakah bukti kafir Quraisy belum masuk Islam walau sudah meyakini Allah Ta’ala Maha Pencipta? Apakah karena belum bersyahadat?
Jawaban: Iya, kafir Quraisy belum masuk Islam, buktinya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerangi mereka, dan tidaklah beliau memerangi kecuali orang-orang yang kafir dan belum masuk ke dalam agama Islam. Di dalam sebuah hadis Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengatakan: أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّىٰ يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ (“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan dua kalimat syahadat”). Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memerangi mereka di Perang Badar, memerangi mereka di Perang Uhud, memerangi mereka di Perang Khandaq, menunjukkan bahwasanya mereka, meskipun meyakini Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah Yang Maha Pencipta, mereka tidak dianggap sebagai seorang muslim, dan mereka memang belum bersyahadat. Karena mereka sangat paham sekali makna syahadat yang seandainya itu mereka ucapkan, kalau mereka sudah mengatakan أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ, maka mereka harus meninggalkan sesembahan selain Allah.
Pertanyaan: Jika kita berdoa dan ingin sekali dikabulkan, syaratnya apa?
Jawaban: Kita diperintahkan untuk berdoa dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan dengan ijabah. وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ (“Dan Rabb kalian berkata, ‘Berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya Aku akan mengijabahi kalian'”). Menunjukkan bahwasanya salah seorang di antara kita kalau berdoa kepada Allah dan memenuhi syarat doa tersebut, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan istijabah (pengabulan). Dan ijabah dalam bahasa kita adalah jawaban. Jawaban di sini ada tiga kemungkinan.
Kemungkinan yang pertama, jawabannya adalah diberikan apa yang kita minta. Antum minta diberikan ilmu menguasai ilmu hadis misalnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan ijabah, antum bisa menguasai ilmu hadis seperti Ibnu Hajar dan juga Adz-Dzahabi, misal. Itu yang pertama.
Atau yang kedua, dipalingkan dari kita musibah. Ini adalah bagian dari jawaban Allah. Kita berdoa kemudian dipalingkan dari kita sebuah musibah. Permintaan kita mungkin enggak dikabulkan oleh Allah, enggak diberikan permintaan tersebut. Kita minta rumah yang besar misalnya, ternyata kita masih memiliki rumah yang kecil, tetapi dari satu sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala menghilangkan, menghindarkan dari kita sebuah musibah. Maka ini bagian dari jawaban.
Atau yang ketiga, bagian dari jawaban tersebut adalah diberikan kita karunia di hari kiamat, diakhirkan ijabah doa tadi di hari kiamat. Jadi mungkin di dunia dari sisi permintaan tadi, dia tidak melihat kenyataannya di dunia. Musibah dia juga kena terus, tetapi di akhirat Allah Subhanahu wa Ta’ala akan berikan pahalanya, pahala dari doa tadi di hari kiamat. Dimudahkan di Padang Mahsyar, dimudahkan ketika hisab, ketika dia menerima kitab, ketika dia melewati sirat, dimudahkan oleh Allah. Maka ini semuanya adalah bagian dari apa? Ijabah.
Jadi, ijabah lebih luas dari apa yang kita pahami selama ini. Kita memahami ijabah doa itu adalah apa yang kita minta, kita lihat di situ di dunia. Padahal ijabah lebih luas daripada itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengijabahi, tapi dengan syarat doanya juga terpenuhi syaratnya: ikhlas, tidak tergesa-gesa, ya, kemudian kita misalnya di sepertiga malam yang terakhir, itu adalah termasuk waktu-waktu yang mustajab, ketika kita sujud. Kalau doa kita sampai diterima oleh Allah, maka akan diberikan satu di antara tiga perkara ini. Kira-kira ada satu di antara tiga ini yang merugikan kita? Semuanya untung atau rugi? Semuanya adalah untung. Kita dapat yang pertama, alhamdulillah. Dapat yang kedua, dihindarkan dari musibah, juga alhamdulillah. Untuk apa kita dapat mobil sebagaimana yang kita minta tapi setelah itu kita tabrakan misalnya? Yang pertama keuntungan bagi kita, yang kedua keuntungan bagi kita, yang ketiga apalagi, keuntungan di hari kiamat. Di dunia tidak kita melihat ijabahnya, tapi kita melihat ijabahnya di akhirat. Sehingga sebagian sahabat yang mereka mendengar hadis ini, “Tidak ada seorang muslim yang berdoa kepada Allah dengan sebuah doa yang tidak ada di dalamnya dosa dan juga memutus tali silaturahim, kecuali dia mendapatkan satu di antara tiga perkara ini.” Ketika dia mendengar hadis ini, dia mengatakan kepada Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “يَا رَسُولَ اللهِ، إِذًا نُكْثِرُ” (“Wahai Rasulullah, kalau demikian kita akan memperbanyak doa”). Setiap hari kita akan berdoa terus, ketika berjalan kita berdoa, ketika duduk kita berdoa. Karena orang yang berdoa pasti, kalau dia diterima oleh Allah doanya, akan mendapatkan satu di antara tiga perkara. Kalau demikian, kami akan memperbanyak doa. Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengatakan: اللهُ أَكْثَرُ (“Allah akan lebih banyak lagi (memberi)”). Semakin kamu banyak berdoa, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan semakin banyak memberi. Cuma, banyak di antara kita yang lalai, padahal dia memiliki waktu untuk banyak berdoa, tapi dia lebih memilih membuka HP-nya, menghabiskan waktu dengan media sosial. Padahal kalau dia bisa gunakan 15 menit, setengah jam, 1 jam untuk berdoa kepada Allah, akan semakin banyak kebaikan-kebaikan yang dia dapatkan.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufik. Itulah yang bisa kita sampaikan.
صَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ.
وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.