Dr. Abdullah Roy, M.AKajian KitabKitab Lum'atul I'tiqad

Kajian Kitab Lum’atul I’tiqad #8

Kajian Kitab Lum’atul I’tiqad

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا.

Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas limpahan rahmat dan juga karunia, dan tentunya karunia yang paling besar adalah karunia hidayah kepada Islam dan juga sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Kita berdoa semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mematikan kita di atas Islam dan juga sunah.

Kemudian, di antara nikmat yang besar yang Allah berikan kepada kita semuanya sebagai bangsa Indonesia adalah nikmat kemerdekaan. Dengan nikmat ini, kita bisa hidup secara aman dan tenang di negara kita sendiri, mengatur, dan juga mengelola. Tentunya nikmat yang besar ini harus kita syukuri bersama. Di antara bentuk syukur kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas nikmat kemerdekaan sebuah negara adalah mengisi kemerdekaan yang sudah Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan ini dengan segala sesuatu yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di antara, bahkan yang paling besar yang Allah inginkan dari kita semuanya, adalah mentauhidkan Allah, yaitu mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam ibadah. Tidak mungkin seseorang bisa mentauhidkan Allah dengan baik sesuai dengan yang diinginkan oleh Allah kecuali apabila kita mau mempelajari agama ini. Tidak mungkin kecuali dengan belajar.

Sehingga, apa yang dilakukan oleh kita dan juga saudara-saudara kita—menghidupkan majelis ilmu, menghadiri, mengajarkan—maka ini adalah termasuk cara bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan kemerdekaan kepada kita semuanya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kita keikhlasan dan keistiqamahan.

Bapak, Ibu sekalian, saudara, dan juga saudari yang dimuliakan oleh Allah. Masih kita bersama Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah di dalam kitab beliau, Lum’atul I’tiqad al-Hadi ila Sabili ar-Rasyad, kitab yang sangat bermanfaat yang berisi tentang akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, at-Thaifatil Mansurah, al-Firqatun Najiyah, yang bersumber dari Al-Qur’an dan juga hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan pemahaman para Salafus Shalih, yang dengannya wajib bagi seseorang untuk mengikat hatinya, mengisi hatinya dengan akidah-akidah yang shahihah, keyakinan-keyakinan yang benar, yang akhirnya nanti akan membuahkan buah-buah yang indah, buah-buah yang baik di dunia maupun di akhirat.


Terakhir kemarin, kita telah membaca bersama ucapan Umar bin Abdul Aziz tentang masalah kewajiban untuk mengikuti para salaf secara umum di dalam beragama ini, dan secara khusus adalah di dalam masalah akidah. Maka kita kembali kepada para sahabat radhiyallahu ta’ala anhum. Apa yang mereka yakini, maka itulah yang seharusnya kita yakini bersama. Apa yang bertentangan dengan keyakinan mereka, maka janganlah kita yakini keyakinan tersebut, sebagaimana yang telah kita baca bersama ucapan beliau: قِفْ حَيْثُ وَقَفَ الْقَوْمُ (Hendaklah engkau berhenti ketika kaum tersebut berhenti), maksudnya adalah para sahabat radhiyallahu ta’ala anhu.

Kemudian setelahnya, beliau menyebutkan ucapan seorang tabiut tabiin, beliau adalah Al-Imam Abu Amr al-Auza’i, yang meninggal dunia pada tahun 157 Hijriah, berarti hidup di abad yang kedua, termasuk di antara tiga generasi yang dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa mereka adalah sebaik-baik generasi.

وَقَالَ الْإِمَامُ أَبُو عَمْرٍو الْأَوْزَاعِيُّ (Dan berkata Al-Imam Abu Amr al-Auza’i), dan beliau ini adalah seorang al-faqih, seorang yang dikenal dengan ilmu fikihnya dan beliau tinggal di Syam. Syam ini adalah daerah sekitar Baitul Maqdis, dan digelari dengan Faqihus Syam (ahli fikihnya negeri Syam). Beliau mengatakan rahimahullah:

عَلَيْكَ بِآثَارِ مَنْ سَلَفَ وَإِنْ رَفَضَكَ النَّاسُ (Wajib bagimu untuk berpegang teguh dengan atsar-atsar orang yang terdahulu, meskipun manusia menolakmu).

عَلَيْكَ ini adalah ucapan yang maknanya adalah wasiat, perintah yang dikuatkan. Wajib bagimu sebagai seorang muslim maupun muslimah untuk berpegang teguh dengan atsar-atsar para salaf. Atsar secara bahasa adalah bekas, dan maksudnya adalah peninggalan-peninggalan para Salafus Shalih. Peninggalan tersebut terkadang berupa ucapan mereka; mereka mengucapkan sesuatu, ada peninggalannya tertulis di dalam kitab-kitab, atau sebuah perilaku, atau sebuah amalan, atau pekerjaan. Seorang sahabat melakukan demikian, mengamalkan demikian, maka ini dinamakan dengan atsar.

Kenapa kita memperhatikan dan diharuskan untuk berpegang dengan atsar-atsarnya para salaf? Karena para Salafus Shalih, yang mereka adalah para sahabat, para tabiin, para tabiut tabiin, telah dipuji oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di dalam ucapan beliau:خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ (Sebaik-baik manusia adalah yang hidup di zamanku, maksudnya adalah para sahabat, kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya).

Setelah para sahabat adalah para tabiin, mereka adalah orang-orang yang belajar dari para sahabat. Kemudian yang setelahnya adalah para tabiut tabiin, yang belajar dari para tabiin. Maka, wajib bagi kamu untuk berpegang teguh dengan atsar-atsar mereka. Ini masuk di dalamnya masalah akidah: apa yang mereka yakini tentang sifat Allah, tentang wajah Allah, tentang tangan Allah, tentang istiwa’ Allah. Apa yang mereka yakini, maka itulah yang harus kita yakini. Masuk di dalamnya masalah ibadah: apa yang mereka lakukan, bagaimana contoh mereka di dalam bertaharah, salat, berhaji, maka kita ikuti apa yang mereka lakukan. Dan alhamdulillah, atsar-atsar tersebut ditulis dengan lengkap oleh para ulama. Mereka catat. Alhamdulillah, mereka tidak seperti kita; mereka adalah orang-orang yang kuat di dalam menuntut ilmu. Mereka catat apa yang mereka dengar dari para sahabat, dari para salaf, sehingga faedahnya sampai sekarang. Meskipun sudah 1000 tahun lebih, kita masih membaca, masih melihat ucapan-ucapan mereka seakan-akan mereka hidup di tengah-tengah kita dengan sanad sampai kepada para sahabat, para tabiin, para tabiut tabiin.

“Meskipun manusia menolakmu,” ini ucapan Abu Amr al-Auza’i, وَإِنْ رَفَضَكَ النَّاسُ. Karena orang yang berpegang teguh dengan manhaj para salaf, yang mereka berada di atas jalan yang lurus, jalan yang pertengahan, yang menyelisihi mereka ini banyak, sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di dalam hadis iftiraqul ummah, hadis tentang perpecahan umat, di mana akan terpecah belah umat Islam menjadi 73 golongan. 72 golongan digambarkan oleh beliau akan masuk ke dalam neraka, hanya satu golongan saja yang selamat, menunjukkan sedikitnya mereka dan banyaknya orang-orang yang menyelisihi mereka. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam suatu hari pernah menggambar sebuah garis yang lurus, kemudian menggambar di sebelah kanan kirinya garis-garis yang banyak, kemudian mengatakan bahwasanya yang lurus ini adalah sabilullah, yang kita diperintahkan untuk meminta atau diperintahkan untuk menempuhnya. وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ (Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia), dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, maksudnya adalah jalan-jalan yang ada di sekitar jalan lurus tersebut, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri.

Sehingga, orang yang berpegang teguh di atas jalan ini, jalan tengah ini, tentunya dia akan memiliki banyak orang-orang yang menyelisihi dia, baik dari kanan maupun dari kiri. Maka, beliau berpesan, “Kamu mengikuti atsar para salaf meskipun ditolak oleh manusia.” Kenapa demikian? Karena jalan inilah yang akan menyampaikan kita kepada Allah. Jalan inilah satu-satunya yang akan menyampaikan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan selamat. Kalau memang kita tahu ini adalah jalan satu-satunya yang akan menyampaikan kita kepada tujuan, maka tentunya orang yang berakal yang ingin sampai ke tujuan dengan selamat, dia akan berusaha untuk bersabar meskipun orang-orang yang ada di sekitarnya, meskipun manusia menolak, menentang apa yang dia lakukan.


Kemudian beliau mengatakan:وَإِيَّاكَ وَآرَاءَ الرِّجَالِ وَإِنْ زَخْرَفُوهُ لَكَ بِالْقَوْلِ (Dan hati-hati kamu dengan pendapat-pendapat manusia, meskipun mereka berusaha untuk menghias-hiasi ucapan tersebut).

Maksudnya adalah pendapat manusia, ucapan manusia yang bertentangan dengan atsar-atsar para salaf. Hati-hati dengan pendapat-pendapat manusia yang bertentangan dengan atsar-atsar para salaf, meskipun mereka berusaha untuk menghias-hiasi ucapan tersebut. Sebuah pendapat yang sesat, yang menyimpang, kemudian dihiasi, diperindah supaya diterima oleh manusia dengan kata-kata yang indah. Seperti orang yang menamakan riba dengan “bunga”. Bunga adalah sebuah kata yang indah. Riba dosa, kemudian dinamakan dengan bunga. Atau khamr yang diharamkan, minuman-minuman keras, dinamakan dengan الشَّرَابُ الرُّوحِيُّ (minuman rohani). Ini menamakan sesuatu dengan kata-kata yang indah supaya menarik manusia.

Hati-hati dengan akidah-akidah, keyakinan-keyakinan yang dibumbu-bumbui oleh manusia sehingga seakan-akan itu adalah sebuah kebaikan, sebuah kebenaran. Contoh misalnya, merayakan Maulid Nabi dinamakan dengan sebagai bentuk cinta kita kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Atau berdoa kepada orang-orang yang saleh dinamakan sebagai bentuk takzim kita kepada wali-wali. Ini adalah bentuk penghargaan, pengagungan terhadap para ulama, kemudian mereka mengatakan, “Berarti kita datang ke kuburan mereka dan berdoa kepada mereka.” Kalau tidak melakukan yang demikian, berarti kita dianggap sebagai orang yang tidak cinta kepada para ulama, tidak cinta kepada para wali Allah. Jadi, berdoa kepada selain Allah dinamakan sebagai تَعْظِيمُ الْأَوْلِيَاءِ (penghormatan kepada para wali).

Tentunya ini adalah sesuatu yang membahayakan, apalagi kalau kita tidak belajar, kita orang awam, jahil, maka dengan mudah sekali dengan permainan kata, permainan ungkapan, istilah, kemudian seseorang terpengaruh dengan ucapan tersebut. Tapi kalau seseorang dia memiliki ilmu agama dan dia melihat kepada hakikat dari ucapan tersebut, apa maksudnya dengan menghormati wali di sini? Apa yang dimaksud dengan mencintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di sini? Apakah menghormati wali adalah dengan berdoa kepada selain Allah? Kalau di situ ada berdoa kepada selain Allah, maka dia tahu ini bukan penghormatan kepada wali, ini adalah syirik. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh kita untuk mentauhidkan-Nya dan melarang kita untuk menyekutukan Dia dengan siapa pun.

وَاعْبُدُوا اللهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا (Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun).

Apapun di sini, baik nabi, wali, kalau itu adalah ibadah, maka tidak boleh diserahkan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalau orang yang berilmu tahu ini hakikatnya adalah kesyirikan, cuma dibungkus dengan kata-kata yang indah sehingga dinamakan dengan تَعْظِيمُ الْأَوْلِيَاءِ atau احْتِرَامُ الْعُلَمَاءِ (penghormatan kepada ulama atau pengagungan terhadap wali-wali Allah). Sehingga di sini pentingnya kita belajar, supaya tidak terpedaya dengan kata-kata yang indah yang bisa menjerumuskan seseorang ke dalam kesesatan. Ini wasiat dari Abu Amr al-Auza’i, dan intinya beliau mengajak kita untuk berpegang teguh dengan ucapan para salaf dan amalan-amalan para salaf, termasuk di antaranya adalah di dalam masalah akidah.


Kemudian beliau mengatakan, “Dan berkata Muhammad Ibnu Abdurrahman al-Adrami kepada seorang laki-laki yang dia berbicara dengan bid’ah dan mengajak manusia untuk meyakini akidah tersebut.” Sebagian masyaikh berusaha untuk mencari siapakah yang dimaksud oleh Ibnu Qudamah di sini, karena di sini tertulis Muhammad Ibnu Abdurrahman al-Adrami, namun tidak menemukan dengan nama seperti ini. Yang mereka temukan adalah Abu Abdurrahman Abdullah Ibnu Muhammad al-Adrami. Beliau meriwayatkan hadis dari Waqi’, gurunya Al-Imam Syafi’i, kemudian dari Ibnu Uyainah, Ibnu Mahdi, dan di-tsiqah-kan oleh Abu Hatim dan juga an-Nasa’i. Maka, wallahu a’lam, di sini ada tashih (sedikit perubahan), yang seharusnya Abu Abdurrahman tertulis di sini Abdurrahman. Mungkin kesalahan dari penulis.

Beliau berkata kepada seorang laki-laki yang berbicara dengan bid’ah, dan maksudnya adalah seorang tokoh Mu’tazilah yang hidup di zaman beliau yang namanya adalah Ahmad Ibnu Abi Du’ad. Dia termasuk tokoh Mu’tazilah dan mengajak manusia untuk meyakini keyakinan-keyakinan Mu’tazilah. Saat itu, sebagian khulafa al-Abbasiyah, mulai dari al-Ma’mun kemudian dilanjutkan oleh al-Mu’tashim saudaranya, mereka terpengaruh dengan pemahaman Mu’tazilah, sehingga mereka pun mengharuskan rakyatnya saat itu untuk meyakini keyakinan orang-orang Mu’tazilah, di antaranya adalah meyakini bahwasanya Al-Qur’an adalah makhluk.

Setelah al-Mu’tashim meninggal dunia, datanglah putranya yang bernama al-Watsiq. Awalnya sama dengan bapaknya, dia pun juga terpengaruh dengan akidah orang-orang Mu’tazilah, dan Al-Imam Ahmad rahimahullah termasuk di antara yang tegar dalam menghadapi fitnah tersebut. Apa yang akan diceritakan oleh Ibnu Qudamah al-Maqdisi di sini adalah di antara yang terjadi di zaman al-Watsiq, di mana al-Adrami tadi bertemu dengan Ahmad bin Abi Du’ad di hadapan khalifah, dan khalifah di sini adalah al-Watsiq Ibnu al-Mu’tashim. Terjadilah dialog seperti yang dinukil oleh Ibnu Qudamah al-Maqdisi di dalam kitab ini.

Mulailah dengan ucapan dari al-Adrami:“هَلْ عَلِمَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ، أَوْ لَمْ يَعْلَمُوهَا؟” (Apakah bid’ah yang engkau serukan ini—yaitu mengatakan bahwasanya Al-Qur’an adalah makhluk—diketahui oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan juga Ali, atau mereka tidak mengetahuinya?)

Hanya ada dua pilihan: keyakinan ini diketahui oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan juga Ali, atau mereka tidak tahu.

Qala (maka dia mengatakan): لَمْ يَعْلَمُوهَا (Mereka tidak mengetahuinya). Dia mengatakan awalnya bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan juga para Khulafa Rasyidin tidak mengetahui tentang keyakinan bahwasanya Al-Qur’an adalah makhluk.

Kemudian dilanjutkan oleh al-Adrami: “فَشَيْءٌ لَمْ يَعْلَمْهُ هَؤُلَاءِ، عَلِمْتَهُ أَنْتَ؟” (Sesuatu yang tidak diketahui oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan juga para Khulafa Rasyidin, kemudian engkau mengetahuinya?)

Sesuatu yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak tahu, antum tahu? Padahal tentunya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah orang yang paling tahu tentang agama Allah. Tidak ada yang lebih tahu tentang agama Allah—perkara akidah, perkara ibadah—daripada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau Rasul, beliau yang diwahyukan, kepada beliau diturunkan Al-Qur’an, dan hadis-hadis adalah dari beliau. Maka tentunya beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah orang yang paling tahu tentang agama ini, luar dan dalamnya. Sehingga dalam sebuah hadis, beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengatakan: إِنِّي أَعْلَمُكُمْ بِاللهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ (Sesungguhnya aku adalah orang yang paling tahu di antara kalian tentang Allah dan orang yang paling bertakwa kepada-Nya). Sehingga ketika kita ditanya tentang masalah agama dan kita tidak tahu, maka kita mengatakan Allahu wa Rasuluhu a’lam (Allah dan juga Rasul-Nya lebih tahu).

Laki-laki ini mengatakan mereka tidak tahu. Al-Adrami kembali bertanya, “Sesuatu yang tidak diketahui oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, kemudian engkau tahu tentang sesuatu tersebut?” Padahal ini adalah perkara agama, engkau menganggap ini adalah bagian dari agama Islam. Bagaimana engkau bisa lebih tahu daripada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam?

Mungkin dia ketika di awal tidak sadar dengan konsekuensi tersebut. Maka, al-Adrami menunjukkan konsekuensi dari ucapannya, bahwasanya engkau berarti lebih pintar, lebih tahu tentang agama ini daripada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Tentunya orang seperti al-Watsiq, sang khalifah, ketika mendengar yang seperti ini—dan dia berada di atas fitrah, Allah memang menginginkan kebaikan bagi beliau saat itu—maka dia pun meskipun diam awalnya, tapi menyetujui apa yang diucapkan oleh al-Adrami.

Ibnu Abi Du’ad tidak mau kalah, kemudian dia mengatakan: “فَإِنِّي أَقُولُ قَدْ عَلِمُوهَا” (Maka sesungguhnya sekarang saya berkata, mereka sudah tahu). Dia meralat ucapannya. Sebelumnya dia mengatakan tidak tahu, sekarang dia mengatakan sudah tahu. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sudah tahu tentang akidah Al-Qur’an adalah makhluk, katanya. Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali sudah tahu bahwasanya Al-Qur’an adalah makhluk.

Thayyib, bagaimana ucapan al-Adrami setelahnya? Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan kepadanya taufik. Beliau mengatakan:“أَفَوَسِعَهُمْ أَلَّا يَتَكَلَّمُوا بِهِ وَلَا يَدْعُوا النَّاسَ إِلَيْهِ، أَمْ لَمْ يَسَعْهُمْ؟” (Apakah luas bagi mereka untuk tidak berbicara dengan bid’ah tersebut dan tidak mengajak manusia kepadanya, atau ini adalah sesuatu yang tidak luas bagi mereka?)

Maksudnya di sini, beliau ingin mengatakan kepada Ibnu Abi Du’ad, “Apakah mereka mengajak manusia kepada bid’ah ini atau tidak?” Ini pertanyaan yang bisa membuka mata hati. Apakah mereka mengajak manusia kepada bid’ah ini atau mereka diam?

Qala: “بَلَى وَسِعَهُمْ” (Iya, bahkan luas bagi mereka). Maksudnya adalah, luas bagi mereka untuk tidak berbicara, luas bagi mereka untuk tidak mengajak manusia kepada bid’ah ini. Artinya, dia mengatakan di sini bahwasanya dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau tahu tetapi beliau tidak mengajak manusia kepada bid’ah ini. Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, mereka tahu tetapi tidak mengajak manusia untuk melakukan bid’ah ini.

Kemudian beliau (al-Adrami) mengatakan:“فَشَيْءٌ وَسِعَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْخُلَفَاءَ الرَّاشِدِينَ، ثُمَّ لَا يَسَعُكَ أَنْتَ؟” (Sesuatu yang luas bagi Rasulullah dan para Khulafa Rasyidin, kemudian tidak luas bagimu?)

Kalau mereka saja tidak berbicara, kalau mereka saja tidak mengajak manusia kepada keyakinan bahwasanya Al-Qur’an adalah makhluk, lalu bagaimana engkau sekarang datang kemudian mengajak manusia untuk meyakini bahwasanya Al-Qur’an adalah makhluk? Maka, harusnya kalau mereka tidak mengajak, mereka tidak berbicara, antum pun juga diam. Tidak usah memaksa manusia untuk meyakini keyakinan ini.

Akhirnya, laki-laki itu pun diam, dia tidak bisa menjawab di depan khalifah al-Watsiq. Saat itu, khalifah yang menghadiri dialog singkat tersebut terbuka hatinya, mendapatkan hidayah, kemudian dia mendoakan secara umum:“لَا وَسَّعَ اللهُ عَلَى مَنْ لَمْ يَسَعْهُ مَا وَسِعَهُمْ” (Semoga Allah tidak meluaskan bagi orang yang tidak merasa luas dengan apa yang telah luas bagi mereka [Rasulullah dan para sahabat]).

Ada yang mengatakan ini adalah sebab dia mendapatkan hidayah, akhirnya dia tinggalkan mazhab atau aliran Mu’tazilah, kemudian kembali kepada sunah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.


Setelahnya, Ibnu Qudamah mengomentari dan mengatakan, “Demikianlah, barang siapa yang tidak merasa cukup dengan apa yang telah mencukupi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya, para tabiin yang mengikuti mereka dengan baik, dan para imam yang datang setelah mereka, serta orang-orang yang mendalam ilmunya—yaitu berupa mengikuti ayat-ayat tentang sifat, membaca berita-berita tentang sifat Allah, dan menjalankannya sebagaimana datangnya—maka semoga Allah tidak melapangkan (urusan) orang tersebut.”

Maksudnya adalah mengingatkan kita bahwasanya perilaku ini adalah perilaku yang menyimpang. Harusnya luas bagi kita apa yang luas bagi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan juga para sahabatnya.

Setelahnya, mulailah beliau menyebutkan beberapa dalil yang menunjukkan tentang sifat-sifat Allah. Sebelumnya adalah tentang kaidah, beliau sebutkan kaidahnya, kemudian sebutkan atsar-atsar dari para salaf. Setelah kita tahu kaidahnya, barulah setelah itu beliau menyebutkan dalil-dalil tentang sifat-sifat Allah dari Al-Qur’an dan juga sunah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Beliau mengatakan, maka di antara yang datang berupa ayat-ayat sifat adalah firman Allah:وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ (Dan akan kekal Wajah Rabb-mu).

Di dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang kekekalan Wajah Allah, menunjukkan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki sifat wajah. Maka, sebagaimana kaidah-kaidah yang telah berlalu, kewajiban kita adalah menetapkan apa yang ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Dialah yang lebih mengetahui tentang diri-Nya daripada kita. Allah mengatakan وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ, maka para salaf dahulu mereka menetapkan sifat wajah ini sebagaimana datangnya. Dan di sana ada dalil-dalil yang lain, banyak sekali di dalam Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah: وَمَا تُنفِقُونَ إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ (Dan tidaklah kalian berinfak kecuali untuk mencari Wajah Allah).


Kemudian firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ (Bahkan kedua Tangan Allah terbuka/terbentang).

Ayat ini, yang disebutkan oleh Allah di dalam Surat al-Maidah ayat ke-64, menunjukkan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki tangan dan bahwasanya jumlah tangan Allah ada dua. بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ. Bagaimana sikap kita sebagai seorang ahlus sunah yang mengikuti para salaf? Kita imani, kita tetapkan, kita jalankan sebagaimana datangnya. Datang dengan lafaz yad, datang dengan lafaz tangan, maka kita yakini atau kita tetapkan lafaz tersebut dan kita maknai sebagaimana yang Allah dan Rasul-Nya inginkan, yaitu makna tangan secara bahasa Arab. Dan kita sebagai ahlus sunah meyakini bahwasanya tangan tersebut لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ. Kita tetapkan dan kita yakini bahwasanya tangan tersebut tidak serupa dengan tangan makhluk, sesuai dengan keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ayat ini berkaitan dengan orang-orang Yahudi yang mereka mengatakan يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ (Tangan Allah terbelenggu). Allah mengatakan, غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ (tangan merekalah yang terbelenggu), justru yang bakhil adalah mereka. Maka Allah mengatakan, بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ (bahkan kedua Tangan Allah terbentang, Dia berinfak bagaimana Dia menghendaki). Sebagian diluaskan oleh Allah rezekinya, sebagian disempitkan. Allah memberikan rezeki sesuai dengan kehendak-Nya dengan hikmah.

Maka ayat ini menunjukkan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki sifat tangan. Di sana ada ayat-ayat yang lain, di antaranya adalah firman Allah ketika berkata kepada Iblis:مَا مَنَعَكَ أَن تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ (Apa yang menghalangimu untuk bersujud kepada (makhluk) yang Aku ciptakan dengan kedua Tangan-Ku?).

Ini juga menjadi dalil bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki dua tangan. Adapun hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, maka di sana juga banyak, di antaranya adalah hadis tentang syafaatul uzma, di mana manusia datang kepada Nabi Adam ‘alaihis salam di Padang Mahsyar, kemudian mereka berkata, “Wahai Adam, engkau adalah bapaknya manusia, خَلَقَكَ اللهُ بِيَدِهِ (Allah menciptakan dirimu dengan Tangan-Nya).”

Adapun sebagian orang yang mentakwil sifat tangan ini dengan makna yang lain, yaitu ditakwil dengan sifat qudrah (kemampuan atau kekuasaan), ini bertentangan dengan manhaj salaf. Seharusnya kita terima dan kita jalankan sebagaimana datangnya. Memaknai al-yad (tangan) di sini dengan qudrah akan membawa makna yang batil. Ketika Allah mengatakan kepada Iblis, لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ, kalau kita maknai “tanganku” di sini adalah “kekuasaanku”, maka maknanya tidak pas, karena ayat ini mengandung keutamaan Nabi Adam ‘alaihis salam dibandingkan dengan makhluk-makhluk yang lain. Kalau dimaknai tangan di sini adalah qudrah, maka tidak ada bedanya antara Nabi Adam dengan makhluk-makhluk yang lain, bukankah Iblis juga diciptakan oleh Allah dengan qudrah-Nya?

Kemudian, kalau dimaknai dengan qudrah, berarti dua tangan maknanya dua qudrah, dan ini adalah makna yang batil, seakan Allah hanya memiliki dua kekuasaan, padahal وَاللهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu).

Alasan mereka memaknai tangan dengan qudrah adalah karena mereka ingin lari dari tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk). Maka kita katakan, antum sekarang terjerumus ke dalam tasybih yang lain, karena makhluk pun memiliki qudrah. Berarti mereka tidak bisa lari dari tasybih dengan kaidah mereka. Adapun ahlus sunah, ketika Allah menyebutkan sebuah sifat, maka sifat tersebut tidak sama dengan makhluk, tetapi sesuai dengan keagungan Allah. Ketika kita menetapkan, bukan berarti kita menyerupakan Allah dengan makhluk, karena menyerupakan adalah mengatakan “tangan Allah seperti tangan makhluk.” Adapun meyakini bahwasanya Allah memiliki tangan sesuai dengan keagungan-Nya, maka tidak dinamakan dengan tasybih atau menyerupakan.

Sesi Tanya Jawab

Pertanyaan: Bolehkah menafsirkan wajah Allah dengan keridaan Allah sebagaimana dalam Surah Al-Baqarah ayat 272 dan Surah Ar-Ra’d ayat 22?

Jawaban: Tidak boleh menakwil wajah Allah dengan pahala atau dengan keridaan sebagaimana yang sudah kita jelaskan. Cara meyakininya adalah menetapkan sifat wajah tersebut bagi Allah Azza wa Jalla sesuai dengan keagungan-Nya. Tidak boleh kita takwil dengan keridaan atau dengan pahala. Dan tentunya, kita ketahui bersama bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki sifat Rida. Allah memiliki sifat Rida, tetapi ini ditetapkan dengan dalil yang lain. Allah mengatakan رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ (Allah rida terhadap mereka dan merekapun rida kepada-Nya), menunjukkan bahwasanya Allah memiliki sifat Rida. Jadi, wajah adalah sifat tersendiri, Rida juga adalah sifat tersendiri. Tidak boleh kita mentakwil wajah Allah dengan keridaan.

Pertanyaan: Apakah sikap mengasingkan diri dari teman dan keluarga besar untuk menjaga akidah dan hidayah sunah adalah sikap yang benar?

Jawaban: Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyebutkan bahwasanya sebaik-baik manusia adalah yang bergaul dengan manusia yang lain dan bersabar atas gangguan mereka. Jenis manusia seperti ini adalah yang lebih baik. Apabila seseorang merasa tidak bisa melaksanakan agama dengan baik di sebuah daerah—tidak bisa melaksanakan tauhid dengan baik, tidak bisa melaksanakan sunah dengan baik, diganggu, diancam—maka dalam keadaan demikian disyariatkan dia untuk berpindah dari tempat tersebut menuju tempat yang di situ dengan leluasa dia bisa menyembah Allah, atau yang dinamakan dengan hijrah. Sebagaimana dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berhijrah dari kota Makkah menuju ke kota Madinah.

Tetapi kalau misalnya di tempat tersebut kita masih bisa melaksanakan ibadah kita dengan baik, melaksanakan salat berjamaah, melaksanakan agama kita, meskipun ada gangguan tapi masih bisa kita hadapi, masih bisa kita sabari, maka tentunya hukumnya tidak sampai kepada kewajiban. Bahkan terkadang, keberadaan dia di masyarakat tersebut ada kebaikan, karena seseorang terkadang melihat orang lain terlebih dahulu, dia mengenal sunah, kembali kepada agama ketika melihat ada orang lain yang berada di atas sunah. Bisa menjadi sebab dia tergerak hatinya untuk mengikuti sunah tersebut. Jadi, wallahu ta’ala a’lam, asalnya seseorang kalau bisa tetap bergaul dengan yang lain dalam keadaan dia berpegang teguh dengan sunah dan bersabar di atas sunah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Demikian yang bisa kita sampaikan.

بَارَكَ اللهُ فِيكُمْ وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَوَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Related Articles

Back to top button