Dr. Ali Musri Semjan Putra, M.A – Biografi Imam Nawawi

Biografi al-Imam an-Nawawi rahimahullahu Ta’ala

Oleh: Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, hafizhahullahu ta’ala

Pembukaan

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, was sholatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa ashabihi wa man tamassaka bi sunnatihi ila yaumiddin. Amma ba’du.

Puji dan syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, di pagi hari ini kita dimudahkan oleh Allah untuk melanjutkan kajian rutin kita tentang faedah dari sejarah Islam. Tak lupa pula di kesempatan ini kami pesankan kepada kaum muslimin dan muslimat di hari Jumat yang berkah ini untuk memperbanyak shalawat dan salam bagi Baginda Rasulullah ﷺ. Allahumma sholli wa sallim ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in.

Para pemirsa yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala, pada kesempatan ini kita akan melanjutkan pembahasan biografi beberapa ulama yang wafat di masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Mesir. Setelah pada pertemuan lalu kita membahas sekilas biografi Imam al-Qurthubi, kali ini kita akan membahas biografi Imam an-Nawawi. Beliau adalah ulama yang sangat masyhur dan fenomenal, baik di kalangan ulama maupun orang awam, terkhusus bagi mereka yang mengikuti mazhab Syafi’i.

Beliau bukan hanya seorang pakar dalam ilmu fikih saja, tetapi juga ahli dalam ilmu hadis dan bahasa. Inilah yang membuat beliau sangat berpengaruh dalam mazhab Imam Syafi’i. Pendapat-pendapat beliau tidak hanya berdasarkan qiyas (analogi) semata, tetapi lebih sering merujuk pada hadis-hadis Nabi ﷺ.

Materi ini kami ambil dari kitab murid beliau sendiri, Ibnul ‘Attar, dalam bukunya yang berjudul “Tuhfatuth Thalibin fi Tarjamati al-Imam Muhyiddin an-Nawawi”. Karena berasal langsung dari murid beliau, kitab ini memuat banyak kisah otentik tentang beliau.


1. Nasab, Gelar, dan Kepribadian Beliau

Nasab Beliau

Garis keturunan beliau adalah Yahya bin Syarf bin Murri bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam al-Hizami an-Nawawi ad-Dimasyqi.

Kunya dan Kehidupan Pribadi

Beliau dikuniai Abu Zakariya, meskipun beliau tidak menikah dan tidak memiliki anak hingga wafat. Memberikan kunyah (panggilan kehormatan) meskipun seseorang tidak memiliki anak adalah hal yang dibolehkan, sebagaimana Nabi ﷺ pernah memanggil seorang anak kecil dengan panggilan “Yaa Abaa ‘Umair, maa fa’alan nughair?” (Wahai Abu ‘Umair, apa yang dilakukan oleh si burung kecil?).

Gelar “Muhyiddin” dan Sikap Tawadhu’ Beliau

Beliau sering digelari Muhyiddin (Penghidup Agama), tetapi beliau sangat tidak menyukai gelar tersebut karena sifat tawadhu’ dan rasa takutnya kepada Allah. Beliau merasa bahwa agama ini sudah kokoh dan tidak membutuhkan seseorang untuk “menghidupkannya”. Beliau khawatir gelar tersebut termasuk dalam perbuatan memuji-muji diri sendiri yang dilarang dalam firman Allah:

فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ

“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci.” (QS. An-Najm: 32)

Bahkan, diriwayatkan beliau pernah berkata: “Laa aj’alu fii hillin man laqqabanii Muhyiddin” (Aku tidak menghalalkan orang yang memberiku gelar Muhyiddin).

Sikap tawadhu’ beliau juga terlihat ketika beliau meluruskan nasabnya. Ada yang mengira bahwa leluhur beliau yang bernama Hizam adalah seorang sahabat Nabi. Namun, Imam an-Nawawi menegaskan bahwa anggapan itu keliru. Ini adalah pelajaran berharga tentang kejujuran nasab dan bahaya menisbatkan diri kepada garis keturunan yang bukan miliknya hanya untuk mencari kemuliaan.

Pujian dari Muridnya, Ibnul ‘Attar

Ibnul ‘Attar memuji gurunya dengan mengatakan bahwa Imam an-Nawawi adalah:

  • Sosok yang memiliki tulisan-tulisan yang sangat berfaedah dan karangan-karangan yang terpuji.
  • Ulama pilihan di masanya, bahkan sangat jarang ditemukan sosok yang semisal beliau.
  • Seorang ash-shawwam (banyak berpuasa), al-qawwam (banyak salat malam), dan az-zahid fid dunya (zuhud terhadap dunia).
  • Seorang ulama Rabbani yang keilmuan dan keimanannya disepakati oleh semua.
  • Sangat menjaga lisan, perbuatan, dan seluruh kondisinya.
  • Memiliki karamah dan sangat peduli dengan urusan kaum muslimin.
  • Seorang penasihat yang tulus bagi para penguasa, yang ia sampaikan melalui surat-surat.
  • Orang yang sangat banyak membaca Al-Qur’an dan berdzikir kepada Allah.

2. Kelahiran dan Wafat

  • Kelahiran: Beliau dilahirkan pada pertengahan bulan Muharram tahun 631 Hijriah di desa Nawa (tanpa alif lam), sebuah wilayah di dataran Jawlan, bagian dari Damaskus.
  • Kisah Masa Kecil: Ayah beliau menceritakan bahwa ketika Imam an-Nawawi berumur 7 tahun, pada malam ke-27 Ramadan, ia terbangun di tengah malam dan membangunkan ayahnya seraya berkata, “Maa hadzadh dhau’ulladzii qad zhahara fil bait?” (Cahaya apa ini yang muncul di dalam rumah?). Seluruh keluarga pun terbangun, namun tidak ada yang melihat cahaya itu selain beliau. Ayahnya kemudian menyadari bahwa malam itu adalah Lailatul Qadar.
  • Wafat: Beliau wafat pada malam Rabu, tanggal 24 Rajab tahun 676 Hijriah, dalam usia 45 tahun. Umur beliau yang sangat singkat namun dipenuhi dengan karya-karya monumental menunjukkan keberkahan luar biasa yang Allah berikan pada waktu dan ilmunya. Beliau wafat karena sakit sekembalinya dari menziarahi Baitul Maqdis.

3. Awal Mula Menuntut Ilmu dan Kesungguhannya

Syaikh Yasin bin Yusuf al-Marakishi menceritakan, “Aku melihat Syaikh Muhyiddin (an-Nawawi) saat berumur 10 tahun di Nawa. Anak-anak sebayanya (wash shibyaanu yukrihuunahu ‘alal la’bi) memaksa beliau untuk bermain, namun (wa huwa yahribu minhum) beliau lari dari mereka dan (wa yabki li ikraahihim) menangis karena paksaan mereka, lalu menyibukkan diri dengan membaca Al-Qur’an.”

Melihat hal itu, Syaikh Yasin merasa cinta kepadanya dan menasihati guru ngaji beliau, “Aku berharap anak ini akan menjadi orang paling alim dan paling zuhud di zamannya, serta paling banyak memberikan manfaat bagi manusia.”

Ayah beliau juga sangat memperhatikan pendidikannya. Beliau telah hafal Al-Qur’an sebelum mencapai usia baligh.

Hijrah ke Damaskus

Imam an-Nawawi bercerita, “Ketika umurku 19 tahun (pada tahun 649 H), ayahku membawaku ke Damaskus. Fasakantu al-Madrasah ar-Rawahiyyah (Lalu aku tinggal di Madrasah ar-Rawahiyyah). Selama dua tahun di sana, lam adha’ janbii ilal ardh (aku tidak meletakkan sisi tubuhku ke lantai/tikar untuk tidur nyenyak).”

Beliau hidup dengan sangat sederhana, hanya memakan apa yang disediakan oleh madrasah. Beliau belajar kepada guru besar, al-Imam al-‘Allamah Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad al-Maghribi asy-Syafi’i, yang sangat menyayangi beliau karena kesungguhan dan sifatnya yang tidak suka membuang-buang waktu.

Dalam waktu singkat, beliau berhasil menghafal:

  • Kitab fikih At-Tanbih dalam waktu empat setengah bulan.
  • Bagian ibadah dari kitab Al-Muhadzdzab dalam sisa tahun tersebut.

Jadwal Belajar yang Luar Biasa

Beliau berkata, “Aku membaca (mempelajari) setiap hari dua belas pelajaran.” Pelajaran tersebut mencakup:

  1. Dua pelajaran kitab Al-Wasith (fikih).
  2. Satu pelajaran kitab Al-Muhadzdzab (fikih).
  3. Satu pelajaran kitab Al-Jam’u Baina ash-Shahihain (hadis).
  4. Satu pelajaran Shahih Muslim (hadis).
  5. Satu pelajaran Al-Luma’ karya Ibnu Jinni (nahwu).
  6. Satu pelajaran Ishlahul Manthiq (bahasa).
  7. Pelajaran tentang Tashrif (morfologi bahasa Arab).
  8. Pelajaran tentang Ushul Fiqh (terkadang dari kitab Al-Luma’ karya Abu Ishaq, terkadang dari Al-Muntakhab karya Fakhruddin ar-Razi).
  9. Pelajaran tentang Asma’ ar-Rijal (biografi perawi hadis).
  10. Pelajaran tentang Ushuluddin (akidah).

Beliau mengatakan, “Allah telah memberkahi waktuku.”

Kisah Belajar Ilmu Kedokteran

Beliau pernah bercerita, “Pernah terlintas di benakku untuk mempelajari ilmu kedokteran, lalu aku membeli kitab Al-Qanun (karya Ibnu Sina). Namun setelah itu, azhlama ‘alayya qalbii (hatiku menjadi gelap). Selama beberapa hari, aku tidak bisa melakukan aktivitas (ilmu) apa pun. Lalu aku merenung, dari mana datangnya masalah ini? Fa alhamaniyllahu ta’ala anna sababa dzalika isytighaali bith thibb (Maka Allah mengilhamkan kepadaku bahwa penyebabnya adalah kesibukanku dengan ilmu kedokteran). Seketika itu aku menjual kitab Al-Qanun dan mengeluarkan semua yang berhubungan dengan ilmu kedokteran dari rumahku. Setelah itu, fa istaanaara qalbii wa ruju’tu ilaa haalii (hatiku kembali terang dan kondisiku kembali seperti semula).”


4. Guru-guru Beliau

Beliau belajar dari banyak ulama besar di berbagai bidang, di antaranya:

  • Dalam Fikih: Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad al-Maghribi.
  • Dalam Ushul Fiqh: Al-‘Allamah al-Qadhi ‘Umar bin Bundar asy-Syafi’i.
  • Dalam Nahwu dan Sharaf: Syaikh Fakhruddin al-Maliki dan Abul ‘Abbas Ahmad bin Salim al-Mishri.
  • Dalam Ilmu Hadis: Beliau belajar dari banyak sekali guru, di antaranya Syaikh Abu Ishaq Ibrahim al-Wasithi dan Al-Hafizh Abul Baqa’ Khalid bin Yusuf an-Nabulusi.

5. Aqidah Beliau

Imam an-Nawawi hidup di zaman di mana pemikiran Asy’ariyah berkembang pesat. Meskipun dalam sebagian karyanya (seperti Syarah Shahih Muslim) beliau terkadang menukil pendapat ahli kalam, para ulama menyebutkan bahwa di akhir hayatnya beliau kembali kepada akidah Salafus Shalih. Bukti terkuatnya adalah sebuah risalah yang beliau tulis berjudul “Juz’un fii Dzikri I’tiqadi as-Salaf fil Huruuf wal Ashwaat”, di mana beliau menetapkan sifat kalam (berbicara) bagi Allah dengan huruf dan suara, sesuai dengan keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan membantah pandangan Asy’ariyah dalam masalah ini.


6. Sikap Beliau Terhadap Bid’ah

Imam an-Nawawi sangat tegas dalam mengingkari perbuatan bid’ah.

  • Membangun Kuburan: Ketika beliau wafat, kerabatnya hendak membangun kubah di atas kuburannya. Namun, beliau mendatangi bibinya dalam mimpi dan melarang perbuatan itu, seraya berkata, “Sampaikan kepada saudaraku dan jamaah, jangan lakukan apa yang mereka rencanakan. Sungguh, setiap kali mereka membangun sesuatu, bangunan itu akan runtuh menimpa mereka.” Akhirnya, mereka tidak jadi membangunnya dan hanya memagari kuburannya dengan batu.
  • Hadis Palsu: Ketika ditanya tentang hadis “Man zaara qabrii wa qabra abii Ibrahima fii ‘aamin waahid, dhamintu lahul jannah” (Barangsiapa menziarahi kuburanku dan kuburan ayahku Ibrahim dalam satu tahun, aku jamin surga untuknya), beliau dengan tegas mengatakan, “Hadis ini batil dan palsu (maudhu’).”
  • Amalan di Bulan Ramadan: Beliau ditanya tentang kebiasaan membaca Surah Al-An’am pada rakaat terakhir salat tarawih di malam ke-17 Ramadan. Beliau menjawab, “Perbuatan ini bukan sunnah, melainkan bid’ah yang dibenci (bid’atun makruhatun).”
  • Berkumpul untuk Ta’ziyah: Dalam kitabnya Al-Majmu’, beliau menukil pendapat Imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyah lainnya yang memakruhkan perbuatan duduk-duduk di rumah duka untuk menerima ucapan ta’ziyah, karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan keluarga yang ditinggalkan.

Penutup

Semoga apa yang telah kita sampaikan dapat kita ambil faedahnya. Semoga Allah memberikan kita kesehatan dan kesempatan untuk selalu mengisi waktu dalam ketaatan kepada-Nya, serta memberkahi umur dan nikmat yang telah Dia berikan.

Subhanakallahumma wa bihamdika, asyhadu an laa ilaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

10

#Prolog

Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ’anhu. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara langsung dengan melenyapkan ilmu itu dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang berilmu lagi, orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.’” (HR. Bukhari)

Sumber: https://muslim.or.id/93486-malapetaka-akhir-zaman.html
Copyright © 2025 muslim.or.id