Syarh Ushul As-Sunnah Imam Ahmad Bin Hambal #1

Mukadimah: Pentingnya Akidah dalam Islam
ٱلْحَمْدُ لِلَّٰهِ yang memiliki nama-nama ٱلْحُسْنَىٰ dan sifat-sifat yang mulia. Dialah yang memberikan berbagai kenikmatan dan anugerah, di antaranya adalah nikmat Islam dan Sunnah. Kedua nikmat tersebut adalah nikmat terbesar yang Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ berikan kepada seorang hamba. Selawat dan salam semoga senantiasa Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ curahkan kepada Nabi kita Muhammad صَلَّى ٱللَّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, keluarga beliau, para sahabat beliau, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai akhir zaman.
Para ikhwah rahimakumullah, perkara akidah adalah perkara yang paling penting di dalam agama kita. Akidah adalah sesuatu yang dengannya seorang hamba mengikat hatinya. Apabila seorang hamba memiliki akidah yang benar, maka ini akan berpengaruh positif terhadap ibadahnya, akhlaknya, dan muamalahnya kepada sesama manusia. Di dalam sebuah hadis, Nabi صَلَّى ٱللَّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad seseorang ada segumpal daging. Apabila ia baik, maka akan baik seluruh tubuhnya, dan apabila ia rusak, maka akan rusak pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah jantung.”
Jantung adalah tempat bersemayamnya keyakinan dan akidah. Di dalam Al-Qur’an, Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ berfirman:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِى ٱلسَّمَآءِ تُؤْتِىٓ أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍۭ بِإِذْنِ رَبِّهَا “Apakah engkau tidak melihat bagaimana Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ membuat sebuah perumpamaan? Kalimat yang baik itu seperti pohon yang baik, akarnya menghunjam ke bawah dan cabangnya menjulang ke atas, yang menghasilkan buahnya setiap waktu dengan izin Allah.”
Ayat ini mengisyaratkan bahwa akidah yang benar, apabila dimiliki oleh seseorang, akan memiliki dampak yang baik pada ibadah dan akhlaknya. Nabi صَلَّى ٱللَّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, dengan rahmat Allah, telah menjelaskan kepada kita masalah akidah dan perkara-perkara agama lainnya dengan sejelas-jelasnya. Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ telah menyempurnakan agama ini, yang di dalamnya mencakup perkara akidah, muamalah, dan ibadah. Ini menunjukkan bahwa Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ telah menjelaskan agama ini secara keseluruhan, termasuk masalah akidah yang sahih.
Nabi صَلَّى ٱللَّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “Sesungguhnya tidak ada seorang nabi sebelumku, kecuali wajib baginya untuk menyampaikan kepada umatnya kebaikan yang ia ketahui dan mengingatkan mereka dari kejelekan yang ia ketahui.” Beliau صَلَّى ٱللَّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ juga menegaskan, “Aku telah tinggalkan kalian di atas sesuatu yang terang benderang, malamnya seperti siangnya, tidak ada yang menyimpang darinya kecuali orang yang celaka.” Tidaklah beliau صَلَّى ٱللَّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ wafat kecuali setelah menjelaskan agama ini kepada kita dengan sempurna. Ajaran ini diterima oleh para sahabat رَضِيَ ٱللَّهُ تَعَالَىٰ عَنْهُمْ, kemudian disampaikan kepada para tabi’in, dan diteruskan oleh para ulama dari generasi ke generasi, hingga sampailah akidah yang sahih itu kepada kaum muslimin di seluruh penjuru dunia.
Perpecahan Umat dan Peran Ulama Ahlus Sunnah
Kemudian, terjadilah apa yang dikabarkan oleh Nabi صَلَّى ٱللَّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tentang adanya perpecahan umat: “وَسَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً” (Akan terpecah umatku menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu golongan). Para sahabat bertanya, “مَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللهِ؟” (Siapakah mereka, wahai Rasulullah?). Beliau menjawab, “مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي” (Mereka adalah orang-orang yang berada di atas jalanku dan jalan para sahabatku).
Nabi صَلَّى ٱللَّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah mengabarkan akan adanya perpecahan, dan hal itu benar-benar terjadi. Muncullah kelompok Qadariyah yang mengingkari takdir; Khawarij yang mengafirkan pelaku dosa besar; Jahmiyah yang mengingkari nama dan sifat Allah; Mu’tazilah yang menetapkan nama tetapi mengingkari sifat Allah; dan Murji’ah yang mengatakan bahwa iman tidak bertambah dan tidak berkurang. Mereka membawa perpecahan dan menciptakan akidah-akidah baru yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah صَلَّى ٱللَّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, sehingga menimbulkan kerusakan di tengah umat.
Sebagai bentuk penjagaan terhadap agama ini, para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah terpanggil untuk membela agama dan sunah Nabi صَلَّى ٱللَّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Dengan segenap kemampuan, mereka menulis kitab-kitab yang berkaitan dengan akidah agar kaum muslimin dapat merujuk kepadanya ketika menghadapi kesamaran. Para ulama dari berbagai negeri masing-masing berperan dalam menjelaskan akidah yang benar kepada umat. Dari sinilah muncul kitab-kitab yang berisi akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, termasuk di antaranya adalah kitab Ushul as-Sunnah yang ditulis oleh salah seorang imam besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu Al-Imam Ahmad bin Hanbal.
Biografi Singkat Al-Imam Ahmad bin Hanbal (W. 241 H)
Sebelum membahas kitab ini lebih lanjut, pada pertemuan pertama ini kita akan mengenal sedikit tentang biografi penulisnya, Al-Imam Ahmad bin Hanbal.
Nama, Kelahiran, dan Pertumbuhan
Beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Asy-Syaibani, seorang imam besar dalam bidang hadis maupun fikih. Kuniah beliau adalah أَبُو عَبْدِ اللهِ. Ayah beliau, Muhammad bin Hanbal, membawanya dari kota asal mereka, Marw, dalam keadaan beliau masih di dalam kandungan ibunya. Oleh karena itu, terkadang beliau dinisbahkan dengan ٱلْمَرْوَزِيُّ. Beliau dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 Hijriyah, yaitu 14 tahun setelah kelahiran Al-Imam Asy-Syafi’i رَحِمَهُ ٱللَّهُ.
Di sanalah beliau tumbuh dan berkembang. Beliau mulai menuntut ilmu dan mencari hadis di hadapan para ulama ketika berusia 16 tahun. Setelah guru pertama beliau, Husyaim bin Basyir, wafat, Al-Imam Ahmad akhirnya meninggalkan Baghdad untuk berkelana mencari hadis-hadis Nabi صَلَّى ٱللَّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Perjalanan Menuntut Ilmu
Salah satu perjalanan monumental beliau adalah ke Yaman dengan berjalan kaki. Jarak dari Baghdad menuju Yaman sangatlah jauh, melewati Hijaz (Makkah). Tujuannya adalah untuk mencari ilmu dan hadis dari para ulama di sana, di antaranya adalah عَبْدُ ٱلرَّزَّاقِ ٱلصَّنْعَانِيِّ رَحِمَهُ ٱللَّهُ. Beliau berjalan kaki karena berasal dari keluarga yang tidak mampu, sementara biaya untuk menaiki kendaraan pada saat itu sangat mahal. Namun, semangat yang membara di dalam hatinya untuk mencari ilmu tidak menghalangi beliau. Perjalanan ini sangat memengaruhi kondisi fisik dan kesehatan beliau.
Beliau tinggal di Yaman selama dua tahun untuk menimba ilmu. Setelah itu, beliau kembali ke Makkah. Keletihan beliau dalam menuntut ilmu sangat terlihat, sampai ada yang berkata kepadanya, “Engkau sangat meletihkan dirimu, wahai أَبُو عَبْدِ اللهِ.” Beliau menjawab, “Betapa ringannya rasa lelah ini ketika aku mengambil faedah dari ‘Abdurrazzaq.” Ketika mendapatkan apa yang beliau inginkan berupa hadis-hadis Nabi, rasa lelah dan capek yang beliau rasakan menjadi sangat ringan. Ini adalah pelajaran besar bagi kita.
Beliau juga mengambil ilmu dari Yahya bin Ma’in. Al-Imam Asy-Syafi’i pernah mengundang beliau untuk datang ke Mesir, tetapi beliau tidak mampu memenuhi undangan tersebut karena keterbatasan finansial. Hingga akhirnya, Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ menakdirkan beliau bertemu dengan Al-Imam Asy-Syafi’i di Baghdad. Di sanalah Al-Imam Asy-Syafi’i berkata kepadanya, “Wahai أَبَا عَبْدِ اللهِ, apabila ada hadis yang sahih di sisimu, maka kabarkanlah kepadaku, niscaya aku akan bermazhab dengan hadis tersebut, baik itu hadis yang diriwayatkan oleh penduduk Hijaz, Syam, Irak, maupun Yaman.” Ucapan ini menunjukkan pengakuan Al-Imam Asy-Syafi’i terhadap keilmuan Al-Imam Ahmad dalam bidang hadis, sekaligus menunjukkan betapa para imam terdahulu selalu mencari kebenaran yang bersumber dari hadis yang sahih.
Keilmuan dan Pujian Para Ulama
Disebutkan oleh putra beliau sendiri, Abdullah, bahwa Al-Imam Ahmad bin Hanbal berhasil menghafal satu juta hadis. Sebagian kecil dari hadis-hadis tersebut beliau tuangkan di dalam kitab monumentalnya, Al-Musnad, yang memuat sekitar 30.000 hadis.
Banyak ulama yang memuji beliau. Guru beliau sendiri, Al-Imam Asy-Syafi’i, berkata, “Aku meninggalkan Baghdad, dan aku tidak meninggalkan seseorang yang lebih utama, lebih berilmu, lebih wara’, dan lebih bertakwa daripada Ahmad bin Hanbal.”
Yahya bin Ma’in mengatakan, “Di dalam diri Ahmad bin Hanbal ada sifat-sifat yang aku tidak pernah melihatnya terkumpul pada seorang alim pun. Beliau adalah seorang muhaddits, seorang yang hafidz, seorang yang zuhud, dan seorang yang berakal.”
Ketegaran dalam Menghadapi Fitnah
Al-Imam Ahmad tidak hanya dikenal dengan hafalan dan pemahaman fikihnya yang mendalam, tetapi Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ juga memberinya kemampuan luar biasa dalam berdebat (munazharah). Beliau hidup di zaman fitnah besar yang diprakarsai oleh kaum Mu’tazilah, yaitu fitnah khalqil Qur’an (keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk).
Selama masa tiga khalifah—Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiq—yang terpengaruh oleh paham Mu’tazilah, Al-Imam Ahmad dengan tegar dan sabar menghadapi fitnah tersebut. Beliau tidak pernah sekalipun mengikuti keinginan ahlul bid’ah saat itu dan dengan tegas menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk, meskipun harus dipenjara dan dicambuk. Beliau sadar bahwa sebagai seorang imam yang diikuti umat, jika beliau menyampaikan keyakinan yang salah, pengaruhnya akan sangat besar.
Di saat yang sama, beliau tetap berpegang teguh pada prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang mengharamkan pemberontakan terhadap penguasa muslim. Meskipun tidak setuju dengan akidah penguasa, beliau masih meyakini mereka sebagai muslim. Ketika sebagian orang memprovokasi beliau untuk memberontak, beliau menolaknya. Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ memberikan taufik kepada beliau untuk menggabungkan dua prinsip agung:
- ٱلْقَوْلُ بِالْحَقِّ أَيْنَ مَا كَانَ (Mengatakan yang benar di manapun berada).
- ٱلسَّمْعُ وَٱلطَّاعَةُ (Mendengar dan taat kepada penguasa dalam hal yang bukan maksiat).
Ini adalah cerminan pemahaman akidah yang lurus. Beliau mengerti kewajibannya sebagai rakyat untuk taat kepada penguasa, namun ketaatan itu tidak berarti mengikuti mereka dalam kemaksiatan atau penyimpangan akidah.
Karya, Murid, dan Sifat Zuhud Beliau
Al-Imam Ahmad meninggalkan banyak karya, yang paling terkenal adalah Musnad Al-Imam Ahmad. Di antara murid-murid beliau adalah Al-Imam Al-Bukhari, Abu Dawud, Ali bin Al-Madini, serta kedua putranya, Abdullah dan Shalih.
Beliau juga dikenal sebagai pribadi yang sangat zuhud. Suatu ketika, Al-Imam Asy-Syafi’i menyarankan kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk mengangkat Ahmad bin Hanbal sebagai hakim (qadhi) di Yaman. Ketika Al-Imam Asy-Syafi’i menawarkan jabatan itu kepadanya, Al-Imam Ahmad menolak dengan tegas seraya berkata, “Sesungguhnya aku mendatangimu (wahai Imam) untuk menuntut ilmu yang membuatku zuhud terhadap dunia. Lalu sekarang engkau menyuruhku untuk menerima jabatan? Seandainya bukan karena ilmu yang ingin aku dapatkan darimu, niscaya aku tidak akan berbicara lagi kepadamu.” Ucapan ini membuat Al-Imam Asy-Syafi’i merasa malu dan akhirnya diam.
Wafatnya Sang Imam
Al-Imam Ahmad bin Hanbal رَحِمَهُ ٱللَّهُ wafat pada hari Jumat di bulan Rabiul Awal tahun 241 Hijriyah setelah menderita sakit. Jenazah beliau dihadiri oleh lautan manusia. Saking banyaknya pelayat, disebutkan bahwa setiap rumah di Baghdad saat itu membuka pintunya agar orang-orang dapat berwudu untuk menyalatkan jenazah beliau.
Pengenalan Kitab Ushul as-Sunnah
Kitab yang akan kita pelajari ini ditulis oleh seorang imam yang keilmuan, keutamaan, dan kebenaran akidahnya disepakati oleh seluruh umat.
Penamaan Kitab
Penamaan kitab ini dengan Ushul as-Sunnah (Pokok-Pokok Sunnah) tampaknya berasal dari kalimat pembuka yang ditulis oleh Al-Imam Ahmad sendiri, di mana beliau mengatakan: “أُصُولُ ٱلسُّنَّةِ عِنْدَنَا…” (Pokok-pokok Sunnah menurut kami…). Wallahu a’lam, penamaan ini berasal dari ungkapan tersebut.
Makna “As-Sunnah”
Kata Ushul adalah bentuk jamak dari ashlun, yang berarti pokok atau prinsip. Adapun kata As-Sunnah dalam judul ini memiliki beberapa kemungkinan makna:
- Islam secara keseluruhan. Makna ini sejalan dengan sabda Rasulullah صَلَّى ٱللَّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ” (Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin). Sunnah di sini berarti jalan atau ajaran beliau, yaitu Islam. Al-Imam Al-Barbahari mengatakan, “Islam adalah As-Sunnah, dan As-Sunnah adalah Islam. Keduanya tidak dapat tegak sendiri-sendiri.”
- Akidah secara khusus. Para ulama terdahulu (mutaqaddimin) sering menggunakan istilah “As-Sunnah” untuk merujuk pada akidah. Contohnya, Al-Imam Abu Dawud memiliki bab “كِتَابُ ٱلسُّنَّةِ” dalam kitab Sunan-nya, yang berisi hadis-hadis tentang akidah.
Dengan demikian, Ushul as-Sunnah dapat diartikan sebagai “Prinsip-Prinsip Dasar Agama Islam” atau “Prinsip-Prinsip Dasar Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”
Isi Kitab
Di dalam kitab ini, Al-Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan prinsip-prinsip dasar akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, di antaranya:
- Berpegang teguh dengan pemahaman para sahabat رَضِيَ ٱللَّهُ تَعَالَىٰ عَنْهُمْ.
- Keyakinan terkait masalah iman, Hari Akhir, melihat wajah Allah di surga, timbangan amal (mizan), dan bahwa Allah akan berbicara kepada hamba-Nya.
- Beriman kepada telaga (haudh), syafaat Rasulullah صَلَّى ٱللَّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, dan Dajjal.
- Akidah bahwa pelaku dosa besar tidak keluar dari Islam.
- Definisi iman menurut Ahlus Sunnah, yaitu ucapan dan perbuatan, yang bisa bertambah dan berkurang.
- Kewajiban mendengar dan taat kepada penguasa.
- Sikap Ahlus Sunnah terhadap para sahabat Nabi صَلَّى ٱللَّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
- Keyakinan bahwa surga dan neraka telah diciptakan.
Dibandingkan dengan kitab-kitab akidah yang lebih akhir seperti Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah atau Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, kitab ini lebih ringkas. Kita berharap semoga Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ memberikan kemudahan dan taufik kepada kita untuk dapat menyelesaikan pembahasan kitab ini.
Demikian yang bisa kita sampaikan pada pertemuan kali ini.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ