As-Sirah An-NabawiyahDr. Abdullah Roy, M.A

As-Sirah An-Nabawiyah Ash-Shahihah #7

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ.

Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang masih memberikan banyak nikmat dan karunia kepada kita semua. Tentunya, nikmat Islam dan iman adalah nikmat yang paling besar, disusul dengan nikmat kesehatan, waktu luang, dan keamanan. Hingga pada kesempatan ini, insyaallah kita dapat melanjutkan kembali kajian Sirah an-Nabawiyah dari kitab As-Sirah an-Nabawiyah as-Sahihah.

Pada pertemuan sebelumnya, kita telah membahas kondisi Jazirah Arab kala itu, di mana masih tersisa syiar-syiar tauhid dari الملة الإبراهيمية (millah Ibrahimiyah), ajaran Nabi Ibrahim, yang terlihat dalam praktik manasik haji dan tawaf di tengah masyarakat jahiliah.

Selanjutnya, penulis kitab ini hendak menjelaskan upaya sebagian musuh Islam dalam menjauhkan manusia dari ajaran yang benar dengan mengangkat isu keserupaan antara ibadah kaum muslimin dengan ibadah masyarakat jahiliah. Sebagaimana telah kita jelaskan, praktik-praktik tersebut pada dasarnya adalah peninggalan ajaran tauhid Nabi Ibrahim yang diwarisi oleh nenek moyang mereka, sebelum akhirnya terjadi penyimpangan di dalamnya.

Adanya keserupaan—seperti orang jahiliah yang mengelilingi Ka’bah dan kaum muslimin yang juga melakukannya—dipahami oleh sebagian orang sebagai bukti bahwa ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ hanyalah kelanjutan dari apa yang sudah ada di zaman jahiliah. Ini adalah sebuah syubhat (kerancuan berpikir) yang disebarkan oleh musuh-musuh Islam.

Penulis menyatakan:

وَقَدْ حَاوَلَ الْبَعْضُ اسْتِغْلَالَ التَّشَابُهِ فِي مَنَاسِكِ الْحَجِّ بَيْنَ الْجَاهِلِيَّةِ وَالْإِسْلَامِ، وَسَائِرِ الشَّعَائِرِ التَّعَبُّدِيَّةِ الْأُخْرَى لِإِثَارَةِ شُبْهَةٍ.

“Dan sungguh, sebagian pihak telah berusaha memanfaatkan adanya keserupaan dalam manasik haji antara zaman jahiliah dengan Islam, serta syiar-syiar ibadah lainnya, untuk menyebarkan syubhat-syubhat.”

Syubhat tersebut adalah:

هِيَ أَنَّ تَعَالِيْمَ الْإِسْلَامِ امْتِدَادٌ لِلْعَصْرِ الْجَاهِلِيِّ مَعَ تَغَيُّرَاتٍ يَسِيْرَةٍ فِي الطُّقُوْسِ.

“Bahwasanya ajaran Islam hanyalah perpanjangan (kelanjutan) dari masa jahiliah dengan sedikit perubahan dalam tata cara ritualnya.”

Mereka berargumen:

  1. Akidah Tauhid: فَعَقِيْدَةُ التَّوْحِيْدِ نَادَى بِهَا بَعْضُ شُعَرَاءِ الْعَصْرِ الْجَاهِلِيِّ. (“Akidah tauhid juga pernah diserukan oleh sebagian penyair di zaman jahiliah”). Mereka mengklaim bahwa syair-syair jahiliah telah mengisyaratkan tauhid, sehingga ajaran tauhid dalam Islam dianggap sebagai kelanjutan dari ajaran jahiliah.
  2. Haji ke Ka’bah: وَالْحَجُّ إِلَى الْكَعْبَةِ كَانَ مَوْجُوْدًا مِنْ قَبْلُ. (“Dan haji ke Ka’bah sudah ada sebelumnya”). Setiap tahun, orang-orang jahiliah menunaikan haji, sebagaimana kaum muslimin juga melakukannya.
  3. Pengagungan Bulan Haram: وَكَذَلِكَ تَقْدِيْسُ الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ. (“Demikian pula pengagungan terhadap bulan-bulan haram”). Orang-orang Arab jahiliah juga menghormati bulan-bulan haram dengan tidak berperang di dalamnya, meskipun terjadi penyimpangan seperti memindahkan bulan haram sesuai hawa nafsu mereka.
  4. Pemikiran tentang Qadha dan Qadar: وَظُهُوْرُ أَفْكَارٍ تَتَنَاوَلُ الْقَضَاءَ وَالْقَدَرَ مَعَ غَلَبَةِ الْجَبْرِ. (“Dan munculnya pemikiran tentang qadha dan qadar, meskipun didominasi oleh paham Jabriyah”). Mereka mengenal konsep takdir, sebagaimana tercermin dalam firman Allah yang mengisahkan ucapan kaum musyrikin: سَيَقُوْلُ الَّذِيْنَ أَشْرَكُوْا لَوْ شَاءَ اللهُ مَا أَشْرَكْنَا (“Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan akan mengatakan: ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak mempersekutukan-Nya’.”) (QS. Al-An’am: 148). Ini menunjukkan paham Jabriyah mereka, di mana mereka berhujah dengan takdir untuk membenarkan kemaksiatan, tanpa membedakan antara إِرَادَة كَوْنِيَّة (iradah kauniyah) dan إِرَادَة شَرْعِيَّة (iradah syar’iyyah).
  5. Ajakan pada Akhlak Mulia: فَضْلًا عَنِ التَّشَابُهِ فِي الدَّعْوَةِ إِلَى الْمُرُوْءَةِ وَالصِّدْقِ وَالْكَرَمِ وَالشَّجَاعَةِ. (“Selain itu, ada pula kemiripan dalam ajakan kepada muru’ah (kehormatan diri), kejujuran, kedermawanan, dan keberanian”). Memuliakan tamu, misalnya, sudah ada di zaman jahiliah dan juga diajarkan dalam Islam: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ (“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.”).

Dari berbagai keserupaan ini, mereka menyimpulkan bahwa Islam hanyalah kelanjutan dari masa jahiliah.

Bantahan Terhadap Syubhat Tersebut

Penulis kemudian memberikan bantahan dan penjelasan yang benar.

Pertama: Mengakui Adanya Wahyu dan Kenabian

إِنَّ الْفَهْمَ الصَّحِيْحَ لِهَذَا التَّمَاثُلِ لَا يَتَحَقَّقُ إِلَّا بِالْاِعْتِرَافِ بِالْوَحْيِ وَالنُّبُوَّةِ.

“Sesungguhnya pemahaman yang benar terhadap adanya keserupaan ini tidak akan terwujud kecuali dengan mengakui (beriman pada) adanya wahyu dan kenabian.”

Untuk memahami hakikat ini, seseorang harus beriman terlebih dahulu. Agama Nabi Ibrahim (الدِّيَانَة الْإِبْرَاهِيْمِيَّة) telah meninggalkan ajaran, ibadah, dan nilai-nilai luhur di Makkah dan sekitarnya. Sebagaimana nabi-nabi lain (أَنْبِيَاء آخَرُوْن) juga telah menyampaikan agama yang benar di sepanjang Jazirah Arab dalam sejarah mereka yang panjang. Jadi, sisa-sisa kebaikan tersebut berasal dari ajaran para nabi, bukan dari budaya jahiliah itu sendiri.

Kedua: Islam Datang untuk Membatalkan Realitas Jahiliah

Pemahaman yang komprehensif terhadap Islam menegaskan bahwa agama ini datang sebagai نَاقِدًا لِلْوَاقِعِ الْفِكْرِيِّ وَالاجْتِمَاعِيِّ (pembatal realitas pemikiran dan sosial) yang ada pada masanya. Islam bukanlah perpanjangan dari ajaran sebelumnya. Apa yang dihancurkan oleh Islam dari realitas jahiliah jauh lebih besar dan lebih banyak daripada apa yang dipertahankannya. Meskipun akhlak seperti memuliakan tamu (ikramud dhaif) dilestarikan, namun jika dibandingkan dengan apa yang dihapuskan oleh Islam (seperti penyembahan berhala, riba, perzinaan, pembunuhan anak perempuan, dll.), maka perbandingannya sangatlah jauh. Lantas, bagaimana bisa dikatakan Islam adalah kelanjutan dari masa jahiliah?

Ketiga: Tujuan di Balik Syubhat Ini adalah Mengingkari Wahyu

إِنَّ مُرَادَ الْقَائِلِيْنَ بِأَنَّ الْإِسْلَامَ امْتِدَادٌ وَتَطَوُّرٌ وَانْعِكَاسٌ لِبِيْئَةٍ فِكْرِيَّةٍ وَاجْتِمَاعِيَّةٍ بِمَكَّةَ، التَّأْكِيْدُ عَلَى بَشَرِيَّةِ الْقُرْآنِ وَإِنْكَارِ النُّبُوَّةِ وَالْوَحْيِ.

“Sesungguhnya maksud orang yang mengatakan bahwa Islam adalah kelanjutan, perkembangan, dan refleksi dari lingkungan pemikiran dan sosial di Makkah adalah untuk menegaskan bahwa Al-Qur’an itu ciptaan manusia serta untuk mengingkari kenabian dan wahyu.”

Ujung dari argumen mereka adalah menuduh Al-Qur’an sebagai buatan Nabi Muhammad ﷺ, bukan wahyu dari Allah, dengan alasan bahwa ajaran beliau mirip dengan lingkungan jahiliah tempat beliau dibesarkan.

Keempat: Perlawanan Keras dari Kaum Jahiliah

Perlawanan sengit yang dihadapi oleh dakwah Islam di Makkah dan seluruh Jazirah Arab menjadi bukti nyata bahwa ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ sangat bertentangan dengan tradisi jahiliah. Jika Islam hanyalah kelanjutan, tentu tidak akan ada perlawanan sekeras itu dari para pembesar Quraisy. Perlawanan tersebut menunjukkan bahwa mereka menyadari betul perbedaan fundamental antara ajaran baru ini dengan keyakinan nenek moyang mereka. Ini membantah klaim bahwa Islam datang untuk merealisasikan cita-cita persatuan bangsa Arab (تَحْقِيْقًا لِطُمُوْحِ الْعَرَبِ).

Kelima: Hak-Hak Manusia dalam Islam Berasal dari Wahyu, Bukan Evolusi Sosial

Klaim bahwa Islam adalah produk pemikiran bangsa Arab untuk mencapai persatuan dan keadilan sosial (الْوِحْدَة وَالْعَدَالَة الْاِجْتِمَاعِيَّة) juga terbantahkan. Penulis menjelaskan bahwa kesadaran akan persatuan dan keadilan sosial bahkan hingga hari ini masih menjadi masalah yang sulit diatasi di banyak belahan dunia. Apalagi bagi bangsa Arab pra-Islam yang diliputi oleh kondisi primitif (الْبَدَاوَة) dan perpecahan (التَّشَتُّت).

Hak-hak asasi manusia yang diajarkan Islam—seperti hak hidup, hak kepemilikan, hak musyawarah, kebebasan akidah, dan hak-hak wanita—bukanlah hasil dari perjuangan sosial seperti yang terjadi dalam peradaban Barat. Sebaliknya, manusia memperoleh hak-hak ini melalui syariat yang datang dari kekuasaan tertinggi (سُلْطَة عُلْيَا), yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Islam datang dan langsung menekankan hak-hak ini, sebagaimana sabda Nabi ﷺ: إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ (“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian.”).

Meskipun setelah masa Khulafa’ur Rasyidin terjadi pelemahan dalam penerapan nilai-nilai ini, kesalahan tersebut tidak terletak pada ajaran Islam itu sendiri, melainkan pada manusianya. Islam tetaplah ajaran yang kokoh dan tidak berubah. Tanggung jawab atas penurunan tersebut ada pada manusia (الْمَسْؤُوْلِيَّة تَقَعُ عَلَى النَّاسِ) yang tidak mampu menjaga tingkat kesadaran untuk mempertahankan hak-hak mereka.


Tanya Jawab

Pertanyaan 1: Bagaimana memahami takdir bahwa segala sesuatu telah ditentukan, namun kita tetap diperintahkan beramal?

Jawaban: Beriman kepada takdir (qadar) adalah rukun iman. Allah berfirman, إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ (“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (takdir).”). Nabi ﷺ juga bersabda, كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ حَتَّى الْعَجْزُ وَالْكَيْسُ (“Segala sesuatu terjadi dengan takdir, hingga kelemahan dan kecerdasan seseorang.”).

Pertanyaan serupa pernah diajukan oleh para sahabat ketika Nabi ﷺ menjelaskan bahwa setiap jiwa telah dituliskan tempatnya di surga atau di neraka. Mereka bertanya, أَفَلَا نَتَّكِلُ؟ (“Tidakkah sebaiknya kita pasrah saja?”). Jawaban Nabi ﷺ memberikan pencerahan yang seharusnya juga memuaskan hati kita:

“اِعْمَلُوْا، فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ.”

“Tetaplah beramal, karena setiap orang akan dimudahkan untuk melakukan apa yang menjadi tujuan penciptaannya.”

Ini adalah perintah untuk terus beramal dan tidak mendengarkan bisikan setan yang ingin membuat kita berhenti. Jika seseorang telah ditakdirkan sebagai penduduk surga, maka Allah akan memudahkannya untuk mengerjakan amalan-amalan penduduk surga. Sebaliknya, jika ia ditakdirkan sebagai penduduk neraka, ia akan dimudahkan untuk melakukan amalan-amalan penduduk neraka.

Saat ini, Allah telah memudahkan kita untuk lahir sebagai muslim, mengucapkan dua kalimat syahadat, dan menjaga iman kita. Maka, kita harus berprasangka baik (husnudzon) kepada Allah bahwa Dia menghendaki kebaikan bagi kita. Kita harus bersyukur atas nikmat ini, karena hati kita berada di antara jari-jemari Allah (بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ), yang Dia bolak-balikkan sekehendak-Nya.


Pertanyaan 2: Di zaman jahiliah ada kebiasaan baik yang dilestarikan Islam. Bagaimana batasan kita dalam menormalisasi budaya atau warisan masyarakat yang baik di zaman sekarang?

Jawaban: Sikap Islam terhadap budaya (‘adah) yang ada di masyarakat dapat dibagi menjadi tiga kategori:

  1. Ditolak dan Diharamkan: Budaya yang secara jelas bertentangan dengan syariat Islam. Contohnya, praktik pernikahan jahiliah yang menyerupai perzinaan atau menjadikan istri ayah (selain ibu kandung) sebagai harta warisan. Budaya semacam ini dihapuskan oleh Islam.
  2. Dibiarkan (Mubah): Budaya yang tidak bertentangan dengan syariat dan hukumnya mubah (boleh). Contohnya adalah model pakaian. Orang Arab dahulu memakai gamis (qamis) dan sorban (‘imamah). Islam tidak melarangnya, namun juga tidak menjadikannya sebagai sunnah yang berpahala. Memakainya adalah bagian dari adat yang hukumnya boleh, bukan ibadah.
  3. Diakui dan Dijadikan Bagian dari Syariat: Adat istiadat yang baik, yang kemudian diadopsi dan diperkuat oleh Islam menjadi bagian dari syariat. Contohnya adalah menghormati tamu, yang asalnya adalah tradisi luhur bangsa Arab, kemudian dijadikan sebagai tanda keimanan dalam Islam.

Kaidah dasarnya adalah الأَصْلُ فِي الْعَادَاتِ الْإِبَاحَة (“Hukum asal dari adat istiadat adalah boleh”), selama tidak bertentangan dengan syariat. Pakaian khas daerah seperti sarung atau kemeja boleh dipakai selama menutup aurat. Justru, seorang muslim dianjurkan untuk memakai pakaian yang lazim di masyarakatnya agar tidak terjatuh ke dalam libas syuhrah (pakaian untuk mencari popularitas) yang diancam dalam hadis. Penilaian ini bersifat fleksibel, tergantung pada tempat dan zaman.

Jika ada budaya masyarakat yang bertentangan dengan agama, maka agama harus didahulukan. Jangan sampai kita mencari ridha manusia dengan melanggar aturan Allah. Namun, selama adat istiadat itu bersifat mubah, kita boleh berpartisipasi di dalamnya.


Pertanyaan 3: Bagaimana akhlak yang benar ketika tinggal di lingkungan yang banyak melakukan amalan tidak sesuai sunnah?

Jawaban: Intinya ada dua hal:

  1. Istiqamah: Tetap teguh di atas ajaran Islam yang benar, berdasarkan ilmu yang telah dipelajari. Selama kita hidup di bumi Allah dan menikmati rezeki dari-Nya, kita wajib istiqamah di atas agama-Nya.
  2. Berakhlak dan Bermuamalah yang Baik: Tetaplah bergaul, bersosialisasi, dan menunjukkan akhlak yang mulia kepada tetangga dan masyarakat sekitar. Contohlah Nabi ﷺ yang tetap baik kepada pamannya, Abu Lahab, meskipun ia menentang dakwah beliau dengan keras. Ikutlah dalam kegiatan sosial yang tidak melanggar syariat seperti kerja bakti, menjenguk orang sakit, atau bertakziah.

Jika ada penolakan atau ucapan yang menyakitkan hati karena perubahan kita, maka bersabarlah sebagaimana Nabi ﷺ dan para sahabatnya bersabar. Ingatlah janji Allah bagi orang yang istiqamah: إِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ، أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ (“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Rabb kami ialah Allah’, kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga.”).


Pertanyaan 4: Bagaimana hukum bacaan “amin” ketika shalat berjamaah?

Jawaban: Nabi ﷺ bersabda, وَإِذَا قَالَ “آمِيْن” فَقُوْلُوْا “آمِيْن” (“Apabila imam mengucapkan ‘amin’, maka ucapkanlah ‘amin'”). Ini menunjukkan bahwa makmum mengucapkannya bersamaan dengan imam. Ucapan “amin” termasuk kewajiban shalat. Jika ditinggalkan dengan sengaja, dapat membatalkan rakaat tersebut, dan jika lupa, disunnahkan untuk sujud sahwi.


Pertanyaan 5: Apakah ada shalat mutlak dan shalat awwabin?

Jawaban:

  • Shalat Mutlak: Ada. Shalat mutlak adalah shalat sunnah yang dikerjakan tanpa sebab tertentu dan tanpa batasan waktu (selama bukan di waktu terlarang) atau jumlah rakaat. Seseorang melakukannya murni karena ingin mendekatkan diri kepada Allah. Dikerjakan dua rakaat salam, dua rakaat salam.
  • Shalat Awwabin: Ini adalah nama lain untuk Shalat Dhuha. Nabi ﷺ bersabda, صَلَاةُ الْأَوَّابِيْنَ حِيْنَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ (“Shalatnya al-awwabin (orang-orang yang taat/kembali kepada Allah) adalah ketika anak-anak unta mulai kepanasan (waktu Dhuha)”). Dinamakan demikian karena pada waktu Dhuha, kebanyakan orang sibuk dengan urusan dunia (bekerja, berdagang). Orang yang menyempatkan diri untuk shalat di saat manusia lalai menunjukkan ketaatannya, sehingga pahalanya besar.

Semoga apa yang disampaikan bermanfaat.

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.

وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.

Related Articles

Back to top button