Dr. Abdullah Roy, M.AKajian KitabSyarah Ushul As-Sunnah

Syarh Ushul As-Sunnah Imam Ahmad Bin Hambal #2


ٱلْحَمْدُ لِلَّٰهِ, kita bersyukur kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ yang telah memberikan rahmat dan anugerah-Nya kepada kita semuanya, sehingga kembali pada sore hari ini kita dimudahkan oleh-Nya untuk berkumpul di sebuah rumah di antara rumah-rumah Allah. Tujuan kita adalah untuk bersama-sama mendalami agama Allah عَزَّ وَجَلَّ dengan membaca sebuah kitab yang ditulis oleh seorang imam di antara imam-imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beliau adalah ٱلْإِمَامُ أَبُو عَبْدِ ٱللَّهِ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَنْبَلٍ (wafat 241 H). Kitab yang akan kita kaji adalah Ushul as-Sunnah.

Sanad (Rantai Periwayatan) Kitab Ushul as-Sunnah

Sebelum kita memasuki pembahasan kitab, naskah yang ada di hadapan kita membawakan sanad dari Asy-Syaikh Al-Imam Abul Muzhaffar ‘Abdul Malik bin ‘Ali bin Muhammad Al-Hamdzani, yang meriwayatkan kitab ini dengan sanad beliau hingga sampai kepada Al-Imam Ahmad bin Hanbal رَحِمَهُ ٱللَّهُ. Jika kita perhatikan, antara beliau dengan Al-Imam Ahmad terdapat tujuh perawi dalam sanad ini.

Kitab ini juga diriwayatkan secara utuh oleh Al-Imam Al-Lalaka’i di dalam kitab beliau, Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah. Beliau membawakannya dalam bab:

سِيَاقُ ذِكْرِ مَن رُّوِيَ عَنهُم مِن أَئِمَّةِ الهُدَىٰ القِيَامُ بِالسُّنَّةِ وَالدَّعوَةُ وَالإِرشَادُ إِلَى سَبِيلِ الحَقِّ بَعْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

(Rangkaian Penyebutan Para Imam Pembawa Petunjuk yang Menegakkan Sunnah, Dakwah, dan Bimbingan ke Jalan yang Benar Setelah Rasulullah صَلَّى ٱللَّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ).

Di antara yang beliau sebutkan adalah akidah Al-Imam Ahmad bin Hanbal, di mana beliau menukil kitab Ushul as-Sunnah ini secara keseluruhan. Antara Al-Imam Al-Lalaka’i dengan penulis kitab (Al-Imam Ahmad) terdapat lima perawi. Sanad yang paling penting dalam periwayatan kitab ini adalah melalui ‘Abdus bin Malik Al-‘Aththar, yang merupakan salah seorang murid terdekat Al-Imam Ahmad. Sebagian ulama menyebutkan bahwa kitab ini ditulis langsung oleh Al-Imam Ahmad sendiri dan diriwayatkan oleh murid dekatnya tersebut.


Makna dan Kedudukan Judul Kitab

Al-Imam Ahmad memulai kitab ini dengan kalimat:

أُصُولُ ٱلسُّنَّةِ عِنْدَنَا “Pokok-pokok As-Sunnah menurut kami…”

Sebagaimana telah dibahas, kata ushul adalah bentuk jamak dari ashlun, yang artinya adalah pokok atau dasar. Adapun istilah As-Sunnah, memiliki dua kemungkinan makna:

  1. Islam Secara Keseluruhan. Terkadang, dalil-dalil syar’i menggunakan kata “As-Sunnah” untuk merujuk pada agama Islam secara utuh. Rasulullah صَلَّى ٱللَّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “…maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku (بِسُنَّتِي).” Maksud “sunnahku” di sini adalah jalan hidup beliau, yaitu agama Islam. Dengan demikian, Ushul as-Sunnah dapat berarti “Dasar-dasar di dalam Agama Islam menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”
  2. Akidah Secara Khusus. Sebagian ulama terdahulu menamakan ilmu akidah dengan “As-Sunnah”. Contohnya adalah Al-Imam Abu Dawud رَحِمَهُ ٱللَّهُ yang menyusun bab كِتَابُ ٱلسُّنَّةِ (Kitab As-Sunnah) di dalam Sunan-nya, yang berisi hadis-hadis seputar akidah.

Berdasarkan makna kedua, judul kitab ini dapat diartikan sebagai “Pokok-pokok Akidah.” Dalam masalah akidah, terdapat prinsip-prinsip dasar (ushul) dan cabang-cabangnya (furu’). Yang ingin beliau sebutkan di sini adalah pokok-pokok akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang membedakan mereka dari para pelaku bidah (Ahlul Bid’ah).


Prinsip Pertama: Berpegang Teguh pada Jalan Para Sahabat

Al-Imam Ahmad رَحِمَهُ ٱللَّهُ memulai kitabnya dengan menyebutkan prinsip pertama dan paling fundamental, yaitu:

التَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَالِاقْتِدَاءُ بِهِمْ “Berpegang teguh dengan apa yang dianut oleh para sahabat Rasulullah صَلَّى ٱللَّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, dan meneladani mereka.”

Beliau menjadikan ini sebagai pondasi pertama karena inilah titik pembeda utama antara Ahlus Sunnah dan Ahlul Bid’ah. Perbedaan paling mendasar terletak pada cara memahami agama. Ahlus Sunnah wal Jama’ah senantiasa kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman generasi terbaik, yaitu para sahabat رَضِيَ ٱللَّهُ تَعَالَىٰ عَنْهُمْ, yang telah dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya. Sementara itu, Ahlul Bid’ah, meskipun seringkali juga berdalil dengan Al-Qur’an dan hadis, mereka tidak merujuk kepada pemahaman para sahabat, sehingga mereka terjatuh ke dalam bidah.

Berikut adalah dalil-dalil yang menguatkan pondasi ini:

Dalil dari Al-Qur’an

  1. Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ berfirman: وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا “Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115). Ketika ayat ini turun, “orang-orang mukmin” yang dimaksud tidak lain adalah para sahabat Rasulullah صَلَّى ٱللَّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Ayat ini memberikan ancaman keras bagi siapa saja yang menentang jalan mereka, yang menunjukkan wajibnya mengikuti jalan para sahabat.
  2. Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ juga berfirman: وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلْأَوَّلُونَ مِنَ ٱلْمُهَٰجِرِينَ وَٱلْأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحْسَٰنٍ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّٰتٍ تَجْرِى تَحْتَهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100). Ayat ini memuji tiga golongan: Kaum Muhajirin, Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka “بِإِحْسَٰنٍ” (dengan baik). Mengikuti dengan baik berarti mengikuti mereka secara lahir dan batin, dalam seluruh permasalahan agama, bukan hanya pada perkara yang sesuai dengan hawa nafsu.

Dalil dari As-Sunnah

  1. Dalam hadis tentang perpecahan umat (hadits iftiraqul ummah), Nabi صَلَّى ٱللَّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjelaskan bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu. Ketika ditanya siapa golongan yang selamat itu, beliau menjawab: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي “(Mereka adalah) orang-orang yang berada di atas jalanku dan jalan para sahabatku.” Hadis ini menegaskan bahwa jalan keselamatan adalah dengan berpegang teguh pada apa yang dipegang oleh Nabi dan para sahabatnya.
  2. Rasulullah صَلَّى ٱللَّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ “Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya.” Pujian “sebaik-baik manusia” ini merujuk pada kebaikan dalam urusan agama. Pujian ini tidak lain bertujuan agar kita meneladani dan mengikuti jalan hidup mereka.

Ucapan Para Salaf

Abdullah bin Mas’ud رَضِيَ ٱللَّهُ تَعَالَىٰ عَنْهُ berkata: “Barangsiapa di antara kalian yang ingin mencari teladan, maka teladanilah orang-orang yang telah wafat. Mereka adalah para sahabat Muhammad صَلَّى ٱللَّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Mereka adalah umat ini yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, dan paling sedikit dalam membebani diri. Mereka adalah kaum yang dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya. Maka kenalilah keutamaan mereka dan ikutilah jejak mereka.”


Bahaya Memahami Dalil Tanpa Merujuk pada Pemahaman Sahabat

Pernyataan Al-Imam Ahmad, “التَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ“, mengandung isyarat akan kewajiban memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai pemahaman para sahabat. Jika tidak, maka setiap orang akan menafsirkan dalil sesuai hawa nafsunya, yang akan menyebabkan perpecahan.

Contoh Penyimpangan:

  1. Kaum Sufi Ekstrem: Mereka berdalil dengan firman Allah: وَٱعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ ٱلْيَقِينُ “Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu Al-Yaqin.” (QS. Al-Hijr: 99). Mereka menafsirkan Al-Yaqin sebagai “tingkat keyakinan spiritual yang tinggi”, sehingga jika seseorang telah mencapainya, gugurlah kewajiban ibadah baginya. Padahal, para sahabat menafsirkan Al-Yaqin dalam ayat ini sebagai “ٱلْمَوْتُ” (kematian), karena kematian adalah sesuatu yang paling pasti terjadi.
  2. Kesesatan dalam Memahami Lafaz Jamak: Sebagian non-muslim bisa saja berdalil dengan ayat Al-Qur’an untuk membenarkan keyakinan mereka. Misalnya, mereka menggunakan kata ganti jamak “إِنَّا” (Sesungguhnya Kami) dalam ayat seperti: إِنَّآ أَنزَلْنَٰهُ فِى لَيْلَةِ ٱلْقَدْرِ “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan.” (QS. Al-Qadr: 1). Mereka bisa berargumen bahwa ini menunjukkan Tuhan lebih dari satu. Padahal, dalam bahasa Arab, lafaz ini digunakan untuk menunjukkan keagungan (li at-ta’zhim), bukan jumlah.

Contoh-contoh ini menunjukkan betapa berbahayanya memahami Al-Qur’an dan Sunnah tanpa kembali kepada pemahaman para sahabat رَضِيَ ٱللَّهُ تَعَالَىٰ عَنْهُمْ.

Ini adalah pondasi pertama yang disebutkan oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal di dalam kitab ini. Insya Allah, kita akan melanjutkan pada pertemuan berikutnya.

وَاللهُ تَعَالَى أَعْلَمُ، وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ


Related Articles

Back to top button