Kajian Kitab Lum’atul I’tiqad #3
Kajian Kitab Lum’atul I’tiqad

Seandainya akal manusia, demikian pula hati-hati manusia, tidak mungkin terbetik di dalam mereka dan tidak mungkin mereka membayangkan menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kenapa demikian? Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”). Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah Yang Maha Sempurna, kesempurnaan-Nya mencapai puncaknya, maka tidak ada yang serupa dengan Allah. Bagaimanapun akal manusia berpikir, bagaimanapun hati-hati mereka membayangkan, tidak mungkin mereka menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada yang serupa dengan Allah, baik di dalam zat-Nya, nama-nama-Nya, maupun sifat-sifat-Nya. وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ, dan Dialah Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Firman Allah di dalam Surah Asy-Syura ayat ke-11 ini adalah kaidah yang agung yang menjadi dasar berpijak Ahlus Sunnah wal Jama’ah di dalam mengimani seluruh sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kaidah-kaidah yang ada itu kembalinya ke dalam firman Allah لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ. Tidak ada yang serupa dengan Allah. Kita mengharamkan تَشْبِيه (penyerupaan) dan تَجْسِيم (menjasmanikan), mengharamkan menyerupakan Allah dengan makhluk, menyerupakan zat Allah dengan zat makhluk, menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Bahkan kita katakan bahwasanya orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk, maka dia telah keluar dari agama Islam, sebagaimana dinukil dari guru dari Al-Imam Al-Bukhari رَحِمَهُ اللهُ, Nu’aim ibn Hammad, beliau mengatakan: مَنْ شَبَّهَ اللَّهَ بِخَلْقِهِ فَقَدْ كَفَرَ (“Barang siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka sungguh dia telah kafir”). Kita berlepas diri dari keyakinan مُشَبِّهَة (kaum yang menyerupakan Allah) dan kita berlepas diri dari keyakinan مُجَسِّمَة (kaum yang menjasmanikan Allah), orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk. لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ, tidak ada yang serupa dengan Allah di dalam sesuatu apa pun.
وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Semua kita meyakini bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah Yang Maha Mendengar, dan masing-masing dari kita ketika menetapkan sifat mendengar bagi Allah, tidak terbetik di dalam diri kita bahwasanya pendengaran Allah sama dengan pendengaran manusia. Tapi kita semuanya meyakini, iya, Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah Yang Maha Mendengar, dan pendengaran Allah adalah pendengaran yang sempurna. Maha mendengar segala sesuatu, tidak ada suara sekecil apa pun, dengan bahasa apa pun, kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah yang mendengarnya, dan tidak ada yang samar bagi Allah sedikit pun. Kita meyakini bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah Yang Maha Mendengar, memiliki sifat pendengaran, dan sifat mendengar yang Allah Subhanahu wa Ta’ala miliki tidak sama dengan sifat pendengaran yang dimiliki oleh manusia.
Nah, seperti itulah harusnya kita menetapkan seluruh sifat-sifat Allah. Setiap kali Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan, mengabarkan kepada kita satu di antara sifat-Nya, kita yakini sifat tersebut dan kita yakini bahwasanya sifat tersebut tidak sama dengan sifat makhluk, sebagaimana kita meyakini sifat mendengar. Demikian pula ketika kita meyakini Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah Yang Maha Melihat, الْبَصِيرُ. Semuanya kita meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Melihat dan kita yakini bahwasanya penglihatan Allah tidak sama dengan penglihatan makhluk. Penglihatan Allah adalah penglihatan yang sempurna, yang Maha Melihat segala sesuatu yang ada di atas maupun yang ada di bawah, yang kecil maupun yang besar. Makhluk melihat, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga melihat, tetapi kita yakini bahwasanya penglihatan Allah tidak sama dengan penglihatan manusia. Ketika kita menetapkan sifat mendengar dan juga sifat melihat bagi Allah, bukan berarti kita menyerupakan Allah dengan makhluk. Demikianlah kaidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ketika disebutkan sifat اسْتِوَاء, sama. Ketika kita menetapkan mendengar dan melihat bagi Allah, kita tetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki sifat اسْتِوَاء, tetapi tidak sama اسْتِوَاء Allah dengan اسْتِوَاء makhluk. Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang sifat marah, kita tetapkan sifat marah bagi Allah sesuai dengan keagungan-Nya, tidak sama dengan sifat marah yang dimiliki oleh makhluk, dan seterusnya.
Sehingga Ahlus Sunnah tidak mempermasalahkan yang demikian. Kalau memang ada dalil yang sahih di dalam Al-Qur’an atau di dalam hadis-hadis Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, di mana Allah atau Rasul-Nya mengabarkan tentang satu sifat di antara sifat-sifat Allah, maka kita tetapkan sebagaimana datangnya dan kita yakini bahwasanya sifat tersebut sesuai dengan keagungan Allah, tidak sama dengan sifat yang dimiliki oleh makhluk. Sehingga tidak ada dulu para sahabat رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمْ ketika mereka mendengar tentang ayat اسْتِوَاء atau hadis yang menunjukkan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala (turun). Ini adalah kaidah umum yang dimiliki oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah di dalam masalah beriman dengan nama dan juga sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka pegang erat-erat kaidah ini dan tidak ada masalah, tidak ada di antara mereka yang datang kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan mengatakan, “يَا رَسُولَ اللهِ, kalau kita menetapkan sifat اسْتِوَاء bagi Allah, berarti kita menyerupakan Allah dengan makhluk.” Tidak ada di antara mereka yang demikian. لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ. Kalau kita memahami ayat yang satu ini, maka إِنْ شَاءَ اللهُ kita akan banyak paham dan mudah untuk memahami bab beriman dengan nama dan juga sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kemudian beliau mengatakan: لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ وَالصِّفَاتُ الْعُلَىٰ (“Bagi-Nyalah nama-nama yang paling baik dan sifat-sifat yang paling tinggi”). Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang memiliki Al-Asma’ul Husna. Di dalam Surah Al-A’raf Allah mengatakan: وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُsْنَىٰ (“Dan bagi Allah nama-nama yang paling baik”). Kemudian di dalam Surat Al-Isra: فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ (“Maka bagi-Nyalah nama-nama yang paling baik”). Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang memiliki nama-nama yang Al-Qur’anul Karim menunjukkan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang memiliki Al-Asma’ul Husna. Kewajiban kita tentunya mengimani, jangan kita mengingkari, jangan seperti orang-orang جَهْمِيَّة yang mereka mengingkari nama-nama dan juga sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengatakan bahwasanya Allah tidak memiliki nama. Allah tidak memiliki nama الرَّحْمَنُ, الرَّحِيمُ, الْمَلِكُ, الْقُدُّوسُ. Allah tidak memiliki nama, mengingkari nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an mengabarkan لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ, Dia memiliki nama-nama yang Husna. Dan Allah perinci nama-nama tersebut di akhir-akhir Surah Al-Hasyr, berapa nama yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengatakan إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا. Kenapa mereka mengingkari? Karena kalau menetapkan nama bagi Allah, berarti kita menyerupakan Allah dengan makhluk. Kalau Allah punya nama الرَّحْمَنُ (Yang Maha Penyayang), berarti kita menyerupakan Allah dengan makhluk karena di antara manusia juga ada yang memiliki sifat penyayang. Kalau kita menetapkan nama mendengar السَّمِيعُ, berarti kita menyerupakan Allah dengan makhluk karena ada di antara makhluk yang memiliki sifat mendengar. Bagaimana supaya kita terlepas dari menyerupakan Allah di sini? Ya sudah, kita ingkari nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini pemikiran Jahmiyah, sehingga banyak nukilan dari para salaf, mereka mengkafirkan orang-orang Jahmiyah.
لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ. Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki Al-Asma’ul Husna. Al-Asma’ artinya adalah nama-nama, Al-Husna artinya adalah yang paling baik. الْحُسْنَى ini adalah, kalau yang sudah belajar bahasa Arab, ini مُؤَنَّث dari أَحْسَن. Kalau laki-laki itu أَحْسَن (مُذَكَّر), kalau مُؤَنَّث-nya adalah حُسْنَى, dan keduanya adalah اسْمُ تَفْضِيل, isim yang menunjukkan tentang pendahuluan atau pengutamaan. أَحْسَن artinya adalah yang paling baik, yang paling; أَكْبَرُ yang paling besar, أَصْغَرُ yang paling kecil, أَقْرَبُ yang paling dekat, dan seterusnya. Ada makna “yang paling”, itu وَزْنُ أَفْعَلُ kalau مُذَكَّر, kalau مُؤَنَّث فُعْلَى. Berarti nama-nama Allah di sini disifati dengan حُسْنَى, yang paling baik, yang mencapai puncak kesempurnaan di dalam kebaikannya.
Para ulama menjelaskan, dari sisi mana saja nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala ini disifati dengan yang paling baik.
Pertama, karena nama-nama ini menunjukkan kepada zat yang paling sempurna, zat yang paling suci, zat yang paling agung, yaitu Allah, Rabb semesta alam. Karena nama-nama ini menunjukkan kepada zat yang paling suci, zat yang paling agung, maka dia mendapatkan sifat ini, dia adalah nama-nama yang paling indah, nama-nama yang paling baik.
Kedua, dilihat dari sisi lafaznya, ditemukan bahwasanya lafaz-lafaz pada Al-Asma’ul Husna, nama-nama Allah yang paling Husna, kalau di dalam bahasa Arab dibandingkan dengan lafaz-lafaz yang lain, itu adalah lafaz-lafaz yang paling baik. Contoh misalnya, الْعَلِيمُ, yang artinya apa? Yang Maha Mengetahui. Kalau yang sudah pernah belajar bahasa Arab, ada lafaz misalnya الْعَارِفُ. Ada orang namanya Arif, itu dari bahasa Arab. ‘Arif’ artinya apa? Yang tahu. ‘Arafa’ yang dia ma’rifah, yang dia tahu. Ada kemiripan makna atau tidak antara ‘Arif’ dengan ‘Alim’? Ada, ada kemiripan, tapi di dalam bahasa Arab ternyata memiliki tingkatan. الْعَلِيمُ lebih tinggi daripada الْعَارِفُ. Mana yang merupakan Asma’ul Husna? الْعَلِيمُ. Contoh misalnya, الرَّحْمَنُ, Yang Maha Menyayangi. Di dalam bahasa Arab ada istilah شَفُوقٌ. شَفُوقٌ artinya adalah yang memiliki sifat menyantuni, menyayangi. هَذَا رَجُلٌ شَفُوقٌ, ini adalah seorang laki-laki yang sangat menyayangi kepada anak-anaknya, kepada keluarganya. Tapi mana yang merupakan Asma’ul Husna? الرَّحْمَنُ. Kenapa? Karena di sana ada ketinggian makna. Jadi, nama-nama Allah yang Husna seluruhnya, dari sisi yang kedua, lafaznya adalah lafaz yang paling أَحْسَن, lafaz yang paling baik, yang paling sempurna, sehingga dia dinamakan dengan Al-Asma’ul Husna.
Jadi, kalau kita, orang Arab sendiri atau orang yang sudah belajar bahasa Arab, antum datangkan lafaz yang sinonim dengan الرَّحْمَنُ, niscaya tidak akan bisa dia mendatangkan lafaz di dalam bahasa Arab yang sinonim dengan الرَّحْمَنُ yang benar-benar sama maknanya. Tidak akan mungkin dia bisa mendatangkan lafaz yang benar-benar maknanya sama, mengandung sesuatu yang sama kandungannya, apalagi mendatangkan lafaz dari selain bahasa Arab. Sesama bahasa Arab saja, tidak mungkin dia mendatangkan lafaz yang sederajat dengan الرَّحْمَنُ, الرَّحِيمُ, الْمَلِكُ, الْقُدُّوسُ, السَّلَامُ, الْمُؤْمِنُ. Tidak mungkin. Seandainya dia seorang tukang syair yang paling ahli, yang paling dalam dalam bahasa Arab misalnya, dia tidak akan mungkin menemukan kata yang sepadan dengan nama-nama Allah tersebut, apalagi dalam bahasa yang lain. Ketika para ulama menjelaskan kepada kaum muslimin, “Wahai kaum muslimin, الْقُدُّوسُ maknanya adalah demikian dan demikian,” dengan bahasa Arab, maka mereka maksudkan dengan penjelasan itu hanyalah untuk mendekatkan makna supaya kita memahami apa yang dimaksud. Itu saja, dan bukan maksud mereka mendatangkan sesuatu yang sinonim dengan nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut karena tidak mungkin mereka bisa mendatangkan lafaz yang benar-benar sepadan dengan nama Allah عَزَّ وَجَلَّ. Mereka mengatakan ini adalah untuk تَقْرِيبُ الْفَهْمِ, untuk mendekatkan pemahaman saja. Sehingga ketika kita mengatakan, “Bapak Ibu sekalian, makna dari الرَّحْمَنُ adalah Yang Maha Penyayang,” menterjemahkan dengan kata “Yang Maha Penyayang” itu hanya sekadar apa? Mendekatkan pemahaman saja. Kita tidak sedang mendatangkan sesuatu yang sinonim dengan الرَّحْمَنُ, supaya orang yang mendengar paham, “Oh, makna الرَّحْمَنُ adalah demikian,” dan kita katakan bahwasanya sifat sayang yang terkandung di dalam nama Allah الرَّحْمَنُ ini adalah sifat sayang yang mencapai puncak kesempurnaan.
Ketiga, dia adalah yang paling baik dilihat dari sisi maknanya. Makna-makna yang terkandung di dalam nama-nama Allah itu adalah makna-makna dan sifat-sifat yang merupakan sifat-sifat kesempurnaan: kesucian, kedermawanan, kasih sayang, pengampunan, ilmu, semuanya adalah sifat-sifat kesempurnaan bagi Allah. Tidak ada satu pun yang merupakan sifat kekurangan atau sifat عَيْب. Semuanya adalah sifat-sifat yang baik, semuanya adalah sifat-sifat kesempurnaan, dan dia adalah sifat-sifat yang baik yang mencapai puncak kesempurnaan. Ilmu Allah yang terkandung di dalam nama Allah الْعَلِيمُ mencapai puncak kesempurnaan ilmu. الْمَغْفِرَة yang tercantum di dalam nama Allah الْغَفُورُ mencapai puncak pengampunan. التَّوْبَة yang terdapat di dalam nama Allah التَّوَّابُ mencapai puncak kesempurnaan pemberian taubat, dan seterusnya. Karena nama-nama tersebut mengandung sifat-sifat yang baik yang mencapai puncak kesempurnaan, sehingga dia dinamakan, disifati dengan Al-Husna, nama-nama Allah yang paling baik.
Berarti sebabnya ada berapa tadi? Tiga. Kenapa nama-nama Allah adalah Husna? Yang pertama, karena dia menunjukkan kepada zat yang paling sempurna. Yang kedua, karena lafaz-lafaznya adalah yang paling baik. Dan yang ketiga, karena makna-makna yang terkandung di dalamnya, sifat-sifat yang terkandung di dalamnya adalah sifat-sifat yang baik yang mencapai puncak kesempurnaan.
Dari sini kita mengetahui bahwasanya nama-nama Allah adalah تَوْقِيفِيَّة. Nama-nama Allah, kita sebagai seorang hamba hanya menerima jadi saja, tidak bisa kita mendatangkan nama bagi Allah عَزَّ وَجَلَّ. Dengan penjelasan tadi bahwasanya nama Allah adalah mencapai puncak kesempurnaan, maka tidak mungkin seorang makhluk bisa mendatangkan nama kemudian kita beri Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama tersebut. Kita hanya terima jadi saja. Apa yang sampai kepada kita di dalam Al-Qur’an berupa nama-nama Allah, ya kita tetapkan bagi Allah. Apa yang sampai kepada kita di dalam hadis dari nama-nama Allah, maka kita tetapkan bagi Allah. Tidak boleh seseorang mendatangkan nama-nama Allah عَزَّ وَجَلَّ dari dirinya sendiri, atau dari mimpi, atau dari ijtihad seorang makhluk. Semuanya harus berdasarkan dalil. Ada dalilnya atau tidak bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama الْمَوْجُود? Karena ada yang meyakini bahwasanya di antara nama Allah adalah الْمَوْجُود, sehingga anaknya dikasih nama عَبْدُ الْمَوْجُود. Ini harus ada dalilnya. Tidak ada di sana dalil dari Al-Qur’an maupun hadis bahwasanya nama Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah الْمَوْجُود. Kembali kepada Al-Qur’an, kembali kepada السُّنَّة tentang penetapan nama dan juga sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dari sini kita mengetahui bahwasanya setiap nama Allah itu mengandung makna, setiap nama Allah itu mengandung sifat. Makanya dia dinamakan Husna, yang paling baik, karena dia mengandung makna yang paling baik. Kenapa kita sebutkan di sini? Ada aliran مُعْتَزِلَة. Ini antum sedikit-sedikit tahu tentang aliran-aliran yang menyimpang yang menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Kalau tadi Jahmiyah mengingkari apa? Mengingkari nama, iya kan? Mengingkari nama. Ada Mu’tazilah, menetapkan nama tapi mengingkari sifat. Mereka mengatakan, “Iya, Allah memiliki nama الرَّحْمَنُ, tetapi tidak mengandung sifat رَحْمَة. Nama Allah ya الرَّحْمَنُ, betul, tapi tidak mengandung sifat رَحْمَة, tidak memiliki sifat kasih sayang.” “Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah الْعَلِيمُ, tetapi tidak memiliki ilmu, tidak memiliki sifat ilmu.” Jadi, nama Allah kosong dari makna, nama Allah tidak mengandung sifat. Ini adalah kesesatan yang lain.
Dalil menunjukkan bahwasanya nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala itu memiliki sifat. Allah mensifati nama-nama-Nya dengan Husna, dan di antara sebab mengapa disifati dengan Husna karena dia memiliki sifat. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan di dalam ayat yang lain: وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (“dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”). وَرَبُّكَ الْغَفُورُ ذُو الرَّحْمَةِ (“dan Rabb-mu Maha Pengampun, ذُو الرَّحْمَةِ“). Dzu artinya adalah yang memiliki, الرَّحْمَةِ (kasih sayang). Berarti ini adalah menjelaskan makna الرَّحِيمُ. الرَّحِيمُ artinya adalah ذُو الرَّحْمَةِ, الرَّحِيمُ artinya adalah yang memiliki sifat kasih sayang. Banyak di sana ayat dan juga hadis yang menunjukkan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki sifat رَحْمَة: وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا (“Rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu”). Orang-orang Mu’tazilah mengatakan bahwasanya nama-nama Allah itu kosong dari sifat, tidak memiliki makna. Jadi seperti nama-nama manusia, terkadang dia hanya memiliki nama yang baik saja tapi tidak memiliki sifat yang terkandung di dalam nama tersebut. Ada orang namanya Abdullah, tapi ternyata dia orang munafik, Abdullah ibn Ubay ibn Salul, dia adalah ra’isul munafiqin, ketuanya orang-orang munafik di zaman Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Namanya Abdullah, baik, tapi ternyata tidak menyembah Allah. Ada namanya صَالِح, tapi ternyata dia tidak saleh. Nama-nama yang dimiliki oleh sebagian makhluk hanya sekadar nama, tapi tidak ada sifat di dalamnya. Nah, orang-orang Mu’tazilah demikian keyakinan mereka.
Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka mereka meyakini bahwasanya setiap nama Allah itu mengandung minimal satu sifat. Makanya kenapa kita mengatakan, “يَا رَحْمَنُ” (Wahai Zat Yang Maha Penyayang). Kita memanggil nama يَا رَحْمَنُ karena kita tahu bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan hanya memiliki nama الرَّحْمَنُ, tapi Dia juga memiliki sifat رَحْمَة. Dialah yang menyayangi, Dialah yang mengabulkan doa. Kita mengatakan, “يَا تَوَّابُ (Wahai Zat yang memberikan taubat), تُبْ عَلَيَّ (berikanlah taubat kepadaku),” karena kita yakin bahwasanya nama Allah التَّوَّابُ bukan hanya sekadar nama, tapi dia mengandung makna.
لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ. Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang memiliki nama-nama yang Husna, dan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak dibatasi dengan bilangan tertentu. Dia memiliki nama-nama yang Husna, dan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak dibatasi dengan bilangan tertentu, baik dengan angka 99, atau 999, atau 1001. Nama-nama Allah tidak dibatasi dengan angka tertentu. Di dalam sebuah hadis, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ketika mengabarkan tentang sebuah zikir, sebuah doa yang kalau dibaca oleh seseorang maka akan hilang keresahan, kegelisahan yang ada di dalam dirinya. Doa tersebut adalah ucapan beliau:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي1…
Barang siapa yang membaca doa ini maka akan dihilangkan darinya kegelisahan dan juga keresahan. Sebelumnya dia mikir, tidak bisa tidur, ke mana-mana terlihat murung, maka إِنْ شَاءَ اللهُ ketika dia membaca doa ini dan dia memahami maknanya, akan dihilangkan darinya keresahan tersebut, sehingga ke mana saja, dalam keadaan apa pun, kelihatan dia bergembira, berbahagia karena iman yang ada di dalam hatinya.
Kita lihat makna dari doa ini: “اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ (Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dengan seluruh nama yang itu adalah milik-Mu), سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ (Engkau memberi nama diri-Mu dengan nama-nama tersebut).” Ini kembali kepada kaidah tadi, bahwasanya kita dalam menetapkan nama Allah adalah terima jadi saja. Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang memberi nama diri-Nya dengan nama-nama tersebut. Kalau Allah tidak memberi nama, jangan kita yang memberi nama. Hati-hati dengan yang tersebar, ini adalah termasuk Asma’ul Husna padahal ada sebagiannya yang tidak berdasarkan dalil.
Kemudian beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memperinci, ternyata nama-nama tersebut ada tiga jenis.
Jenis yang pertama: أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ (“Engkau turunkan sebagian nama-nama tersebut di dalam kitab-Mu”). Ada sebagian nama-nama Allah kita temukan di dalam Al-Qur’an.
Kemudian yang kedua: أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ (“Atau Engkau ajarkan nama tersebut kepada salah seorang di antara hamba-hamba-Mu”). Siapa di sini? Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, karena wahyu tidak diberikan kepada semua, hanya diberikan kepada orang yang dipilih oleh Allah sebagai rasul, sebagai seorang utusan. Berarti jenis yang pertama, ada nama Allah yang ada di dalam Al-Qur’an, dan ada nama yang ditemukan di dalam hadis Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Di dalam Al-Qur’an contohnya apa? الْمَلِكُ, الْقُدُّوسُ, السَّلَامُ, الْمُؤْمِنُ, الْمُهَيْمِنُ. Di sana ada nama yang disebutkan di dalam hadis, contohnya الطَّيِّبُ. إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا. Di antaranya adalah السِّتِّيرُ. إِنَّ اللهَ سِتِّيرٌ. Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah Yang Maha Menutupi, cinta dengan as-sitr, yaitu sifat menutupi. Kalau memang disebutkan di dalam hadis yang sahih, maka kita tetapkan.
Kemudian beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyebutkan jenis yang ketiga: أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ (“Atau nama-nama yang Engkau simpan, ya Allah, di dalam ilmu gaib di sisi-Mu”). Disimpan oleh Allah di dalam ilmu gaib di sisi Allah, tidak diturunkan di dalam Al-Qur’an dan tidak diturunkan di dalam hadis. Kita tahu atau tidak? Tidak mengetahui nama-nama yang Allah simpan di dalam ilmu gaib di sisi-Nya.
Sehingga tidak bisa kita menentukan dan mengatakan bahwasanya nama Allah ada 99, atau ada 101, atau ada 1001. جُمْهُورُ الْعُلَمَاء dari berbagai mazhab semuanya mengatakan, termasuk di antaranya adalah An-Nawawi, Ibnu Hajar, mereka mengatakan bahwasanya nama-nama Allah tidak dibatasi dengan jumlah tertentu. Yang menyelisihi hanya Ibnu Hazm saja. Ibnu Hazm Azh-Zhahiri mengatakan bahwasanya nama Allah adalah 99, berdalil dengan hadis Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا، مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا، مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ. Hadisnya sahih. “Sesungguhnya bagi Allah 99 nama, 100 kurang 1. Barang siapa yang meng-ihsa’-nya, maka dia akan masuk ke dalam surga.”
Tapi apa makna hadis ini? Karena tidak mungkin bertentangan antara satu hadis dengan hadis yang lain. Di sana ada hadis Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengatakan: لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ (“Ya Allah, aku tidak mungkin bisa memuji-Mu dengan meliputi seluruh pujian”). Tidak mungkin memuji Allah dengan seluruh pujian. Para ulama menjelaskan ini menjadi dalil bahwasanya nama-nama Allah tidak diketahui dengan jumlah yang tertentu. Kenapa? Seandainya kita bisa mengetahui seluruh nama Allah, niscaya kita bisa memuji Allah dengan seluruh pujian karena pujian ada di dalam nama-nama tersebut. Tidak mungkin bertentangan antara satu hadis dengan hadis yang lain.
Lalu bagaimana kita memahami hadis, “Sesungguhnya bagi Allah 99, 100 kurang 1 nama”? Para ulama menjelaskan, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan juga ulama-ulama yang lain, bahwasanya makna hadis ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki banyak nama, dan di antara nama-nama tersebut ada 99 nama. Barang siapa yang bisa meng-ihsa’ nama-nama tersebut, maka dia akan masuk ke dalam surga. Sekali lagi, Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki banyak nama, di antara nama-nama tersebut ada 99 yang keutamaannya, barang siapa yang bisa meng-ihsa’-nya, maka dia akan masuk ke dalam surga. Itu maknanya.
Seperti orang yang kaya, dia memiliki 1000 dinar. Kemudian dia mengatakan, “Aku memiliki 100 dinar yang aku siapkan untuk berjihad di jalan Allah.” Dia kabarkan kepada orang atau kepada pemimpin, وَلِيُّ الْأَمْرِ, “Saya menyiapkan 100 dinar yang aku siapkan untuk berjihad di jalan Allah.” Ketika dia mengatakan, “Saya memiliki 100 dinar yang aku siapkan untuk memberi makan orang miskin, yang aku siapkan untuk berhaji, yang aku siapkan untuk berjihad di jalan Allah,” apakah maknanya dia tidak memiliki selain 100 dinar? Tidak. Dia tidak mengatakan, “Uang saya hanya 100 dinar.” Tidak. Dia hanya mengabarkan, “Saya memiliki 100 dinar yang saya siapkan untuk memberi makan orang miskin,” dan dia memiliki lebih dari 100 dinar. Tidak ada di dalam lafaz tersebut pembatasan.
Di manakah kita temukan 99 nama tadi? Tentunya ketika Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyebutkan tentang keutamaannya, “Barang siapa yang meng-ihsa’-nya, dia akan masuk surga,” nama-nama tersebut tentunya berada di dalam Al-Qur’an dan juga hadis. Tidak mungkin Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyebutkan keutamaannya kemudian ternyata nama-nama tersebut ada di dalam ilmu gaib di sisi Allah. Bagaimana kita bisa mengamalkan, bagaimana kita meng-ihsa’-nya kalau nama-nama tersebut tidak berada di dalam Al-Qur’an dan juga hadis? Pasti ditemukan nama-nama tersebut di dalam Al-Qur’an dan hadis. Sehingga para ulama, mereka berijtihad. Berijtihad karena masing-masing dari mereka membenarkan ucapan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan masing-masing dari mereka ingin mendapatkan keutamaan meng-ihsa’ nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bagaimana mereka berijtihad? Mereka berusaha untuk mengumpulkan dari Al-Qur’an maupun hadis-hadis Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, menyebutkan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dari awal. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ, ada nama apa di situ? الرَّحْمَنُ dan juga الرَّحِيمُ. Di situ ada lafzhul jalalah juga, الله. Kemudian membaca ayat yang selanjutnya lagi, الْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. رَبِّ الْعَالَمِينَ. الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ sudah disebutkan tadi di بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ, tulis مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ, dan seterusnya sampai Surat Al-Baqarah, kemudian Ali Imran, dan seterusnya sampai An-Nas. Ada daftar nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mungkin saja lebih dari 99. Kemudian mereka mencari di dalam hadis-hadis Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang sahih, mereka kumpulkan. Ketika mereka mendapatkan, mereka jadikan satu antara yang ada di dalam Al-Qur’an dan hadis, dan ternyata mereka menemukan lebih dari 99 nama Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Masing-masing berijtihad, mungkin saja menurut sebagian ulama ini adalah nama Allah, dan menurut sebagian yang lain itu bukan termasuk nama Allah. Ada perbedaan di antara para ulama tersebut, tapi mereka menemukan ternyata lebih dari 99 nama. Di sini mereka berijtihad lagi, mana di antara nama-nama tersebut yang lebih dari 99 nama yang dimaksud di dalam hadis ini? Karena di hadis ini disebutkan Allah memiliki 99 nama, barang siapa yang meng-ihsa’ maka dia akan masuk ke dalam surga. Akhirnya mereka berijtihad lagi, 100 sekian nama mereka pilih, mana kira-kira yang termasuk 99 nama yang memiliki keutamaan dalam hadis tadi. Kita akan dapatkan ijtihad dari masing-masing ulama itu berbeda-beda. Di antaranya yang pernah berusaha berijtihad untuk menentukan 99 nama adalah Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, sudah meninggal dunia رَحِمَهُ اللهُ. Di dalam kitab beliau الْقَوَاعِدُ الْمُثْلَى, beliau berijtihad menyebutkan nama dan juga dalilnya. Kalau itu adalah dari Al-Qur’an disebutkan dalilnya dari Al-Qur’an, kalau dia memiliki dalil dari hadis, beliau sebutkan dalil dari hadis, sehingga terkumpul di dalam kitab beliau 81 berasal dari Al-Qur’an, 18 dari hadis Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, disebutkan dengan dalil-dalilnya satu persatu. Kalau kita ingin lebih berhati-hati, seandainya kita meng-ihsa’ semuanya, lebih dari 100 nama tadi, misalnya ada 126 nama misalnya, lebih, maka إِنْ شَاءَ اللهُ hati kita lebih tenang karena 99 pastinya masuk di dalam 120 nama tadi. Selisihnya cuma sedikit. Seandainya seseorang mengamalkan seluruh nama-nama tadi, maka إِنْ شَاءَ اللهُ dia sudah mengamalkan hadis ini karena pahalanya di sini besar, yaitu apa? Masuk ke dalam surga. Jadi, seandainya seseorang capek untuk meng-ihsa’ Asma’ul Husna, maka memang pahalanya adalah sangat besar, yaitu masuk ke dalam surga-Nya Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sekarang, apa yang dimaksud dengan meng-ihsa’ nama-nama Allah yang Husna? Para ulama menyebutkan bahwasanya إِحْصَاء di sini ada tiga atau empat tingkatan.
Pertama, meng-ihsa’ artinya menghitung. أَحْصَاهُ اللَّهُ وَنَسُوهُ (“Allah menghitungnya (mencatatnya) dan mereka melupakannya”). Menghitung nama-nama Allah maksudnya adalah mengumpulkan nama-nama tersebut, menghafalnya. Itu masuk di dalam makna menghitung di sini. Menghafal nama-nama tersebut, dan إِنْ شَاءَ اللهُ bukan sesuatu yang sulit ya, karena nama Allah hanya satu kata saja, lebih mudah daripada seorang menghafal misalnya satu lembar atau dua lembar dari Al-Qur’an. Itu cuma satu kata saja: الْعَلِيمُ, الْقَدِيرُ, السَّمِيعُ, الْبَصِيرُ, dan seterusnya. Seandainya satu hari seseorang menghafal satu nama saja, dia selesai dalam waktu 3 bulan. Satu nama dia menghafal, dan setiap nama tadi mengandung apa? Sifat. Jadi, setiap hari seseorang semakin kenal dengan Rabb-nya, semakin kenal dengan sifat Allah.
Kedua, adalah memahami maknanya. إِحْصَاء di antara maknanya adalah memahami. Karena seorang mengatakan ذُو حَصَاةٍ maksudnya adalah dzu ‘aqlin. Dia memiliki hashatin maksudnya adalah memiliki akal. Sehingga makna إِحْصَاء yang kedua adalah memahami dengan akalnya nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jadi dia menghafal nama Allah adalah الْغَفُورُ, maknanya apa? Ya, الْغَفُورُ adalah Yang Maha Memberikan Ampunan. Kemudian dia berusaha untuk memahami, mencerna. Kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah Yang Maha Memberikan Ampunan, berarti seseorang sebanyak apa pun dosa yang dia miliki, karena dia memiliki Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rabb Yang Maha Pengampun, maka dia tidak akan putus asa dari ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga ini akan berpengaruh di dalam kehidupan dia, dia tidak putus asa dari rahmat Allah. Ketika dia memberikan nasihat kepada orang lain yang sepertinya dia sudah putus asa, merasa dirinya sudah hancur, dirinya sudah tidak ada gunanya, sudah jauh dari jalan yang lurus, kita sampaikan, “Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah الْغَفُورُ, Dialah Yang Maha Pengampun. Sebanyak apa pun dosa yang engkau lakukan, kalau engkau bertobat kepada Allah, kembali kepada Allah, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuni dosamu.” Ini akan terlihat dari kebijaksanaan seorang dai ketika dia memahami bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah Yang Maha Pengasih, Dialah Yang Maha Pengampun. Berarti makna yang kedua di antara makna إِحْصَاء adalah dia memahami makna yang terkandung di dalam nama-nama Allah yang Husna. Kalau satu hari satu nama dan kita berusaha untuk memahami maknanya, إِنْ شَاءَ اللهُ bukan sesuatu yang sulit. Dalam waktu 3 bulan, dia إِنْ شَاءَ اللهُ sudah bisa memahami nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketiga, adalah mengamalkan dalam kehidupan dia sehari-hari, mengamalkan masing-masing dari nama-nama tersebut. Contoh misalnya tadi itu, ketika kita memahami nama Allah adalah الرَّحِيمُ, الْغَفُورُ, maka kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Seorang tidak putus asa dari ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala, diamalkan ketika dia berdakwah. Kemudian juga misalnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala di antara nama-nama-Nya adalah السَّمِيعُ, Yang Maha Mendengar. Kita hafalkan, kita pahami maknanya, kemudian kita amalkan dalam kehidupan kita sehari-hari, tidak berbicara kecuali dengan ucapan yang baik. Kalau seseorang punya تَعْظِيم kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dia sadar bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah Yang Maha Mendengar segala sesuatu, maka akan menjaga lisannya, tidak berbicara kecuali dengan perkara yang baik. Karena dia sadar bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala mendengar satu persatu ucapan yang dia ucapkan. Kalau kita di dunia dan kita berada di depan orang yang kita segani, kita hormati, maka kita akan berusaha untuk menjaga lisan kita. Karena dia adalah orang yang kita hormati, kita segani, kita akan menjaga ucapan kita. Setiap kita mau berbicara, kita akan pikir terlebih dahulu, “Kira-kira ucapan ini berkenan tidak di hati beliau?” Apalagi itu adalah pimpinan kita, tentunya kita tidak akan sembarang bergurau dengan beliau sebagaimana kalau kita bergurau dengan teman-teman kita. Ketika dia berada di depan kita, tapi kalau sudah beliau berada di dalam ruang kerjanya dan kita bersama di ruang kerja kita bersama teman-teman kita, maka sudah berbeda. Kita akan merasa lebih bebas karena pimpinan kita tidak mendengar apa yang kita ucapkan. Kita bisa leluasa bercanda, kita bisa leluasa berbicara. وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَى (“Dan bagi Allah perumpamaan yang lebih tinggi”). Ketika seorang muslim, muslimah, menyadari bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah Yang Mendengar dan Maha Mendengar setiap apa yang dia ucapkan, maka dia akan menjaga lisannya. Meskipun yang ada di depannya hanya suaminya, yang di depannya hanya istrinya, tapi dia sadar Allah sedang mendengar ucapannya, dan dia malu untuk mengucapkan ucapan yang tidak baik, ucapan dusta, malu apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala mendengar dia mengghibahi saudaranya, atau dia mengangkat suaranya di depan suaminya, atau dia mengucapkan ucapan celaan, gelar yang buruk, mengejek. Dia akan malu untuk mengucapkan ucapan tersebut ketika dia sadar bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah Yang Maha Mendengar segala sesuatu. Itu namanya mengamalkan Asma’ul Husna.
Jadi bukan hanya sekadar dihafal السَّمِيعُ, الْبَصِيرُ. Dihafal Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Mendengar, tapi tingkatan yang ketiga adalah mengamalkan Asma’ul Husna. Baru satu namanya saja, السَّمِيعُ, apabila diamalkan oleh seseorang akan baik kehidupannya. Karena kalau seseorang sudah pandai menjaga lisan, biasanya perkara-perkara yang lain akan baik. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ (“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah ucapan yang lurus, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memperbaiki amalan kalian”). Ada hubungan yang erat antara menjaga lisan dengan amalan. Jadi seseorang terkadang dilihat, kalau dari lisannya dia sudah bisa menjaga, maka إِنْ شَاءَ اللهُ amalan yang lain dia akan baik. Makanya Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengatakan kepada seorang sahabat, kalau tidak salah Mu’adz, “أَلَا أَدُلُّكَ بِمِلَاكِ ذَلِكَ كُلِّهِ؟ (Maukah aku tunjukkan kepadamu sesuatu yang menguasai ini semuanya?) كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا (Hendaklah engkau menjaga lisanmu).” Kalau seseorang sudah bisa menjaga lisan, maka إِنْ شَاءَ اللهُ amalan-amalan yang lain ini baik.
Ini baru satu nama saja akan memperbaiki kehidupan seseorang dalam berperilaku setiap harinya. Dia merasa diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencintai orang tersebut, sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ… (“Senantiasa seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan (amalan-amalan sunnah) sampai Aku mencintai dia. Kalau Aku sudah mencintai dia, maka Akulah pendengarannya yang dia mendengar dengannya”). Maksudnya adalah, tidak dia mendengar kecuali apa yang diridai oleh Allah. Kalau Allah sudah mencintai seorang hamba, dijadikan dia tidak mendengar kecuali yang diridai oleh Allah. “…وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ (dan Aku adalah penglihatannya yang dia melihat dengannya),” maksudnya dia tidak melihat kecuali apa yang diridai oleh Allah. “…وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا (dan Aku adalah tangannya yang dia memegang dengannya),” maksudnya dia tidak memegang menggunakan tangan tersebut kecuali di dalam keridaan Allah. “…وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا (dan Aku adalah kakinya yang dia berjalan dengannya),” dia tidak berjalan kecuali di tempat-tempat yang diridai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalau Allah sudah cinta kepada seorang hamba, maka dijadikan dia melakukan, mengucapkan sesuatu yang diridai oleh Allah. Sehingga kita bisa mengukur diri kita masing-masing, berapa kadar kecintaan Allah kepada kita. Kalau kita menggunakan mata di dalam perkara yang diridai oleh Allah, menggunakan telinga di dalam perkara yang diridai oleh Allah, maka kita berharap ini adalah menunjukkan cinta Allah kepada seorang hamba. Disebutkan oleh sebagian masyaikh faedah ini ketika beliau mensyarah, menjelaskan tentang hadis ini. Jadi, seorang hamba bisa mengetahui berapa kadar kecintaan Allah kepada kita dari sisi ketaatan dia kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Baru dua nama saja, seseorang bisa berubah, إِنْ شَاءَ اللهُ, kehidupan dia. Lalu bagaimana seandainya dia setiap hari bertambah ilmunya, bertambah makrifatnya kepada Allah, mengamalkan nama-nama tersebut di dalam kehidupan dia? Tidak heran kalau balasannya adalah apa? Surga Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini pentingnya mengenal Asma’ul Husna, mempelajari Asma’ul Husna. Karena mempelajari Asma’ul Husna berarti seseorang berusaha untuk mengenal Allah, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala itu dikenal dengan cara kita mempelajari nama-nama-Nya. Allah memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya dengan mengabarkan nama dan juga sifat di dalam Al-Qur’anul Karim dan juga di dalam sunah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Inilah makna مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ. “Barang siapa yang meng-ihsa’-nya, maka dia akan masuk ke dalam surga-Nya Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Bapak Ibu sekalian yang dimuliakan oleh Allah, beliau mengatakan setelahnya: وَالصِّفَاتُ الْعُلَىٰ. Harus kita imani bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki sifat yang ‘Ula. Al-‘Ula itu adalah مُؤَنَّث dari Al-A’la, dan A’la artinya adalah yang paling tinggi, sifat-sifat Allah yang paling tinggi. Allah memiliki nama dan Allah memiliki sifat. Apa bedanya? Kita misalnya, kita punya nama, punya sifat. Namanya Abdurrahman, sifatnya penyayang. Namanya Abdullah, sifatnya pemarah. Abdullah dan Abdurrahman adalah nama. Menyayangi, memarahi, suka marah, ini adalah apa? Sifat. Tahu bedanya ya, antara nama dan juga sifat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki sifat. Setiap nama pasti mengandung apa tadi? Sifat. Tapi tidak semua sifat kemudian diambil darinya sebuah nama. Contoh, misalnya di antara sifat Allah adalah sifat wajah. وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ, كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ. Maka sifat wajah adalah di antara sifat Allah, tapi bukan berarti diambil darinya kemudian nama. Jadi, mana yang lebih luas, nama atau sifat? Sifat. Karena setiap nama mengandung minimal satu sifat, tapi tidak setiap sifat memiliki nama yang diambil dari sifat tersebut.
Maka kita sebagai seorang muslim meyakini bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dialah yang memiliki sifat-sifat yang Maha Tinggi. Dalilnya apa? Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَى (“Dan bagi Allah perumpamaan yang paling tinggi”). Yang dimaksud dengan matsal di sini adalah sifat. Bagi Allah sifat yang paling tinggi, sifat yang paling sempurna. Ketika seorang membaca firman Allah الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ dan menetapkan bahwasanya Allah memiliki sifat اسْتِوَاء, maka اسْتِوَاء yang dimiliki oleh Allah adalah اسْتِوَاء yang paling tinggi, اسْتِوَاء yang paling sempurna. Ketika Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengabarkan bahwasanya Allah memiliki sifat nuzul, يَنْزِلُ رَبُّنَا… (“Rabb kita turun…”), setiap malam pada sepertiga malam yang terakhir ke langit dunia, maka kita tetapkan sifat nuzul bagi Allah, dan sifat nuzul tersebut adalah yang paling sempurna, yang paling tinggi, dan demikian seterusnya. Al-matsal di sini adalah maknanya adalah sifat, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: مَثَلُ الْجَنَّةِ… (“Sifat dari surga…”), kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan beberapa sifat surga dan sungai-sungai yang ada di dalamnya. Berarti matsal di sini maknanya adalah sifat.
Sehingga seorang muslim berdasarkan apa yang ada di dalam Al-Qur’an dan juga hadis harus mengimani bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama dan juga sifat. Sekali lagi, ketika seorang menetapkan nama dan juga sifat tersebut, bukan berarti dia menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk. Kita katakan sifat-sifat tersebut adalah sifat-sifat yang sesuai dengan keagungan Allah, tidak sama dengan sifat yang dimiliki oleh makhluk. Orang-orang Mu’tazilah tadi, kenapa mereka mengatakan Allah punya nama tapi tidak punya sifat? Karena mereka khawatir kalau meyakini Allah punya sifat, mereka menyerupakan Allah dengan makhluk. Mereka mengatakan: رَحْمَنٌ بِلَا رَحْمَةٍ, عَلِيمٌ بِلَا عِلْمٍ. Allah Ta’ala Dialah yang الرَّحْمَنُ tapi tidak punya sifat رَحْمَة. Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah الْعَلِيمُ tapi tidak memiliki sifat ilmu. Karena kalau sampai menetapkan sifat ilmu, sifat رَحْمَة bagi Allah, berarti menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk. Dan itu adalah keyakinan yang keliru. Antum lihat, ternyata sama, Jahmiyah, Mu’tazilah, dan yang lain, ketika mereka menafikan, alasannya adalah karena khawatir menyerupakan Allah dengan makhluk. Padahal jelas jawabannya di dalam Al-Qur’an: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ. Kita menetapkan nama dan juga sifat bagi Allah tidak mengharuskan kita menyerupakan Allah dengan makhluk karena kita katakan itu adalah sesuai dengan keagungan Allah, tidak sama dengan sifat yang dimiliki oleh manusia. بَارَكَ اللهُ فِيكُمْ. إِنْ شَاءَ اللهُ kita cukupkan sampai di sini dan mungkin ada pertanyaan berkaitan dengan materi, kami persilakan.
Tanya Jawab
Pertanyaan: Apakah yang menjadi dasar pemikiran orang yang menetapkan nama-nama Allah 99 saja dan menetapkan 20 sifat wajib bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala?
Jawaban: Seperti yang tadi kita sebutkan, (pertama) salah memahami sabda Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا، مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا، مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ. Kemudian di antara sebabnya adalah tidak mengumpulkan di antara dalil-dalil yang ada. Seorang sebelum dia meyakini, maka hendaklah dia mengumpulkan dalil secara keseluruhan, barulah setelah itu dia bisa mengambil kesimpulan. Jangan mengambil sebagian dalil kemudian meninggalkan dalil yang lain, karena kalau kita lihat, kesesatan yang ada sebabnya adalah karena seseorang hanya mengambil sebagian dalil dan juga meninggalkan dalil-dalil yang lain.
Menetapkan 20 sifat wajib bagi Allah, di antara sebabnya adalah karena dari sisi dasar pijakannya sudah berbeda. Ahlus Sunnah wal Jama’ah di dalam masalah nama dan juga sifat Allah, mereka menyadari bahwasanya nama dan juga sifat Allah ini adalah تَوْقِيفِيَّة, kembali kepada Al-Qur’an dan hadis Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Dikatakan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara, selama kalian berpegang teguh dengan keduanya, maka kalian tidak akan tersesat selama-lamanya: كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ رَسُولِهِ (Al-Qur’an, kitab Allah, dan juga sunah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ).” Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan: “…taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul.”
Adapun ahlul kalam, mereka menjadikan akal sebagai dasar pijakan. Ketika ada dalil dari Al-Qur’an dan hadis yang sesuai dengan akal, mereka terima. Kalau bertentangan dengan akal, mereka tolak. Hadis dipelintir, entah itu dikatakan ini adalah hadis Ahad, atau dia adalah hadis yang dhaif, atau dia adalah hadis yang syadz, dan seterusnya. Maka ketika mereka kembali kepada akal, padahal sama-sama gurunya adalah ilmu kalam, kita lihat akidah Jahmiyah berbeda dengan akidah Mu’tazilah. Akidah Mu’tazilah berbeda dengan akidah أَشْعَرِيَّة. Makanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika membantah mereka secara umum, “Baik, kalau misalnya agama ini kita kembali kepada akal, akal siapa yang kita gunakan? Karena akal Mu’tazilah berbeda dengan akalnya Jahmiyah.” Semuanya kembali kepada akal, tetapi ternyata hasilnya berbeda semuanya yang mengaku kembali kepada akal. Akal siapa yang digunakan? Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang sebenarnya, mereka kembali kepada Al-Qur’an dan juga hadis. Jadi, penetapan 20 sifat ini, ya dasarnya itu tadi, karena kembali kepada akal. Mereka menetapkan sifat dengan akal, menolak sifat dengan akal. Contoh, misalnya mereka menolak sifat اسْتِوَاء itu dengan akal, mereka menolak sifat nuzul itu dengan akal, menolak sifat wajah dengan akal. Ketika menetapkan sifat juga dengan akal, menetapkan sifat yang tujuh: الْإِرَادَةُ وَالْقُدْرَةُ…
Pertanyaan: Apakah nama Allah Al-Hakim hanya mengandung satu sifat saja?
Jawaban: Tidak. Ada di antara nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengandung lebih dari satu sifat, seperti الْحَكِيمُ. Pertama, dia mengandung sifat الْحُكْمُ, Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukumi, menurunkan syariat. Sifat yang kedua adalah الْحِكْمَةُ, Allah Subhanahu wa Ta’ala bijaksana. Sifat yang ketiga adalah الْإِحْكَامُ, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala itqan, maksimal dalam melakukan segala sesuatu, sempurna dalam melakukan segala sesuatu. Ketika Allah mencipta, sempurna ciptaan-Nya. Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan syariat, sempurna syariat-Nya. Ada tiga sifat yang terkandung dalam nama tersebut.
Sifat Allah ada dua: ada صِفَاتٌ ذَاتِيَّةٌ, ada صِفَاتٌ فِعْلِيَّةٌ. Sifat dzatiyyah ini sifat yang berkaitan dengan zat Allah dan tidak mungkin terpisah dari diri Allah. Sifat fi’liyyah adalah sifat yang berkaitan dengan perbuatan Allah, berkaitan dengan kehendak Allah. Kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala bersifat dengannya, tidak mungkin berpisah dari zat Allah. Sifat ilmu, Allah senantiasa mengetahui. Di sana ada sifat fi’liyyah yang berkaitan dengan perbuatan Allah. Kadang Allah menghendaki, kadang tidak. Seperti misalnya mencipta. Pohon yang ada di sini, ini berkaitan dengan kehendak Allah. Kalau Allah menghendaki, Allah mencipta. Kalau Allah menghendaki, maka Allah tidak menciptakannya. Ini berkaitan dengan مَشِيئَةُ اللهِ. Jadi, nama Allah misal الْخَالِقُ itu mengandung sifat fi’liyyah, الْخَلْقُ (sifat mencipta).
Pertanyaan: Apakah urutan 99 nama-nama Allah yang disusun ulama menunjukkan urutan keutamaan atas nama-nama Allah tersebut?
Jawaban: Tidak, ya. Tidak menunjukkan tentang keutamaan. Menyusun itu tidak kemudian mereka menyusunnya berdasarkan keutamaan dari nama-nama tersebut. Memang nama-nama Allah ini bertingkat-tingkat, ya. Di sana ada اسْمُ اللهِ الْأَعْظَمُ (nama Allah yang paling agung). Sebagian ulama mengatakan nama Allah yang paling besar adalah lafzhul jalalah, yaitu الله, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat. Ada yang mengatakan nama Allah yang paling besar adalah الْحَيُّ الْقَيُّومُ. Dan اسْمُ اللهِ الْأَعْظَمُ, nama Allah yang paling besar, hadis ini menunjukkan bahwasanya nama Allah itu bertingkat-tingkat satu dengan yang lain, dan semuanya adalah Husna.
Baik, waktunya sudah habis ya. إِنْ شَاءَ اللهُ kita lanjutkan pada kesempatan yang akan datang.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُ hَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ.
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.