Shahih Jami’ As-Shagir: Meraih Syafaat

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَبِهِ نَسْتَعِينُ عَلَى أُمُورِ الدُّنْيَا وَالدِّينِ. وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى الْمَبْعُوثِ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحَابَتِهِ وَالتَّابِعِينَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.
أَمَّا بَعْدُ, kaum muslimin dan muslimat, pemirsa Rodja TV, pendengar Radio Rodja, dan seluruh kaum muslimin yang mengikuti pengajian malam hari ini. Semoga Allah عز وجل memberikan keberkahan pada ilmu kita, waktu, dan semua yang kita laksanakan.
Dalam salah satu nasihat yang dinukil oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam kitab beliau Taqyidul ‘Ilm, beliau mengatakan, “الْبُخْلُ بِالْعِلْمِ عَلَى غَيْرِ أَهْلِهِ قَضَاءٌ لِحَقِّهِ وَفَوْتٌ لِفَضْلِهِ” (Sungguh sifat pelit dengan ilmu kepada orang yang tidak pantas untuk menerimanya merupakan sikap yang tepat dalam mengagungkan sebuah ilmu). Ketika ada orang yang tidak pantas menerima, dia acuh atau tidak memiliki kesiapan, baik iman, ketakwaan, atau tidak tertarik, maka ketika seorang alim bisa menjaga agar ilmu ini tidak murah diberikan begitu saja—padahal orang tidak suka dipaksakan—maka ini merupakan bentuk kemuliaan, pengagungan, dan penghormatan kepada ilmu.
Maka, Al-Khatib Al-Baghdadi juga menukil perkataan sebagian ulama, “إِنَّ مِنْ حَقِّ الْعِلْمِ إِعْزَازُهُ” (Di antara hak ilmu yang harus kita tunaikan adalah kita memuliakannya) dengan cara untuk tidak memberikan kepada yang tidak pantas. Maka, para ulama ketika mereka ingin meminjamkan buku sekalipun, mereka memperhatikan siapa yang akan meminjam buku itu. Apakah dia pantas untuk dipinjami buku itu, sehingga buku yang kita pinjamkan tidak disia-siakan, tidak ditelantarkan.
Maka, Al-Khatib Al-Baghdadi lagi-lagi menukil perkataan sebagian ulama, “لَا تُعِرْ كِتَابَكَ حَتَّى تَكُونَ عَلَى يَقِينٍ أَنَّهُ صَاحِبُ عِلْمٍ وَدِينٍ” (Kamu tidak perlu meminjamkan bukumu sampai kamu betul-betul yakin bahwa orang yang meminjam buku itu memiliki ilmu dan memiliki agama). Kalau seandainya tidak, maka bukumu akan tersia-siakan. Sehingga, mereka tidak jarang ketika akan dipinjam bukunya, mereka mengetes orang yang akan meminjam buku itu, apakah dia bisa membaca minimalnya. Itu paling tidak. Itu disebutkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi رحمه الله. Kalau kamu ingin tahu apakah orang yang meminjam buku ini bisa memanfaatkan, coba begitu dia akan pinjam, suruh dia untuk membaca. Kalau ternyata tidak bisa, wah, jangan-jangan dia hanya akan menyia-nyiakan buku yang kita pinjamkan kepadanya.
Maka, Subhanallah, kalau kita perhatikan, para ulama betul-betul menjadikan posisi belajar orang yang berhak menerima adalah posisi terhormat. رَحِمَهُ اللهُ سُفْيَان بْن عُيَيْنَة, salah seorang ulama Makkah. Beliau wafat tahun 198 Hijriah. Sufyan Ibnu ‘Uyainah, beliau pernah mengatakan, “إِنِّي لَأَحْرِمُ جُلَسَائِي الْحَدِيثَ الْغَرِيبَ لِمَوْضِعِ رَجُلٍ وَاحِدٍ ثَقِيلٍ” (Aku pernah mau menyampaikan sebuah hadis yang jarang dipelajari, tapi tidak jadi. Semua tidak jadi mendengar karena ada di antara mereka satu orang yang berat dalam memahami). Aku khawatir jika aku sampaikan kepada semuanya, maka orang ini tidak paham dan sendirian dia untuk tidak memahami. Maka gara-gara ini, aku tidak ajarkan semuanya.
Dan Subhanallah, sebagian ulama mengatakan, ketika orang belajar, maka penting kiranya dia memiliki kawan-kawan pilihan. Kalau seandainya kawan yang memiliki keterbatasan berpikir saja merugikan—hampir dipelajari hadis yang gharib ini, tapi rupanya tidak jadi gara-gara satu orang seperti itu—lalu bagaimana seandainya seorang belajar, kawannya bukan hanya tidak bisa mengimbangi dia, bahkan menghalangi dia untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat? Ibadahnya jelek, omongan dan perilakunya, kemudian semangat dalam belajarnya hampir tidak ada, bahkan kalau perlu menggembosi. Maka, semoga Allah عز وجل memberikan hidayah-Nya, bimbingan-Nya kepada kita semua, agar kita ini dengan umur yang sudah kita lewati sekarang, kemampuan yang sangat terbatas ini, tetap bisa mendalami agama kita dan tetap Allah عز وجل mencurahkan ilmu kepada kita. Dan kita masih dianggap pantas untuk memahami ilmu agama, sehingga ada pencerahan, ada hidayah, dan ada satu nikmat yang bisa kita rasakan dan kita sebarkan nanti kepada orang-orang di sekitar kita.
Kaum muslimin رَحِمَنَا وَرَحِمَكُمُ اللهُ, kita melanjutkan pembahasan hadis Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir dan kita sampai pada hadis yang ke-51. Kita sampai pada hadis yang diriwayatkan dari beberapa sahabat. Ya, penulis menyebutkan bahwa hadis ini disebutkan tidak hanya dari jalur satu sahabat Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, akan tetapi dari riwayat beberapa orang. Yang pertama disebutkan ini dalam Musnad Imam Ahmad, ya, disebutkan hadis yang ke-51 dari Musnad Imam Ahmad (م), Tirmidzi (ت), dan Ibnu Majah (ه) dari sahabat ‘Ali رَضِيَ اللهُ عَنْهُ. Kemudian Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Juhaifah. Abu Juhaifah ini sahabat Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Abu Juhaifah Wahab ibn Abdillah As-Suwa’i namanya. Kemudian ada (‘ain), ‘ain itu Abu Ya’la, dan (dha’) maksudnya Adh-Dhiya’ Al-Maqdisi dalam kitab Al-Mukhtarah. Mereka meriwayatkan dari Anas bin Malik رَضِيَ اللهُ عَنْهُ. Kemudian (tha’) ini artinya Ath-Thabarani dalam kitab Al-Mu’jam Ash-Shaghir. Beliau meriwayatkan dari Jabir dan Abu Sa’id Al-Khudri رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا. Artinya hadis ini terkenal ketika para sahabat banyak yang meriwayatkan, hadisnya sahih.
Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyatakan, “أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ سَيِّدَا كُهُولِ أَهْلِ الْجَنَّةِ” (Abu Bakar dan Umar merupakan pimpinan, pembesar, dan orang yang dijadikan tokoh kuhul ahli jannah). Kuhul ahli jannah itu artinya adalah orang-orang yang berumur. Ya, kita sebutkan di sini kuhul ahli jannah. Seringkali kahl merupakan umur yang bisa dikatakan tua. Di bawahnya seringkali yang disebutkan sebagai padanannya adalah syabab. Seperti, “الْحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ سَيِّدَا شَبَابِ أَهْلِ الْجَنَّةِ” (Al-Hasan dan Al-Husain رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا merupakan pimpinan dari para anak muda di surga). Nah, sementara di sini disebutkan, “أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ سَيِّدَا كُهُولِ أَهْلِ الْجَنَّةِ“. Dua orang ini, Abu Bakar dan Umar, merupakan pimpinan orang-orang yang umurnya sudah tua di surga. “مِنَ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ“, untuk semua orang yang masuk surga dari sejak diciptakannya manusia sampai nanti akan diciptakannya oleh Allah عز وجل. Kemudian mereka masuk surga, maka yang menjadi pimpinan orang-orang yang seumuran adalah Abu Bakar dan Umar, “إِلَّا النَّبِيِّينَ وَالْمُرْسَلِينَ“. Kecuali kalau dibanding dengan para nabi dan para rasul, maka Abu Bakar dan Umar bukan pimpinannya, karena para rasul lebih tinggi dari umat biasa.
Baik, hadis ini sahih dan menunjukkan tentang keistimewaan dua sahabat ini. Abu Bakar dan Umar calon penghuni surga, bahkan pimpinan calon penghuni surga nanti ketika masuk surga. Dan dalam beberapa riwayat disebutkan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyampaikan kepada ‘Ali, “لَا تُخْبِرْهُمَا يَا عَلِيُّ” (Jangan engkau beritahu mereka). Selama masih hidup, jangan engkau beritahu mereka. Al-Munawi رحمه الله dalam kitab Faidhul Qadir mengatakan, artinya agar nanti aku sendiri yang memberitahukan. Ini kata Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, “Aku sendiri yang memberitahukan sehingga lebih membahagiakan mereka.”
Ditambah lagi, pembahasan para ulama di sini adalah ketika disebutkan Abu Bakar dan Umar merupakan pimpinan orang-orang yang masuk surga tapi umurnya sudah tua. Disebutkan كُهُول (jamak dari kahl), tidak tua-tua banget. Kalau tua sekali namanya شُيُوخ. Baik. Disebutkan pula oleh Al-Qurthubi رحمه الله, maksudnya dengan dikatakan mereka berdua adalah orang-orang yang akan menjadi pemimpin orang-orang penghuni surga yang umurnya tua, kata Al-Qurthubi رحمه الله, di surga ini tidak ada orang tua. Dalam riwayat At-Tirmidzi, dan hadis ini disahihkan oleh Syaikh Al-Albani, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyatakan, “يَدْخُلُ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ“, nanti pada hari kiamat akan ada para penghuni surga yang masuk ke surga. “جُرْدًا مُرْدًا مُكَحَّلِينَ“, mereka ini masuk masih muda semua. Ya, tidak ada bulu-bulu di badannya seperti orang berumur dan itu ada jenggotnya begini. Murd ini tidak ada jenggotnya. Mereka masuk masih muda sekali. Kemudian bahkan bulu-bulu di badan belum banyak. Mukahhalin, bahkan sampai di tempat sini ini juga tidak banyak rambutnya. “أَبْنَاءُ ثَلَاثِينَ وَثَلَاثٍ وَثَلَاثِينَ“, bahkan umur mereka kisaran 30 sampai 33. Artinya masih muda sekali. Kira-kira umur kita sekarang lebih tua, ya.
Baik. Abu Bakar dan Umar ketika wafat usia mereka 63 tahun. Abu Bakar رَضِيَ اللهُ عَنْهُ lebih muda dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ meninggal ketika usia 63 tahun. Abu Bakar wafat dua tahun berikutnya, 63 tahun pula. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Umar رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ketika wafat pun usianya segitu, padahal 10 tahun setelah Abu Bakar رَضِيَ اللهُ عَنْهُ. Ini menunjukkan mereka akan menjadi orang-orang yang masuk surga dan pimpinannya, dan dihitung kalau mereka sudah wafat pada saat umur mereka memang sudah tua di dunia. Kalau di surga, mereka akan menjadi muda. Semua penduduk surga akan menjadi muda. Ya, tadi kita sebutkan, أَبْنَاءُ ثَلَاثِينَ, orang yang masuk surga umurnya muda semua. Dan nanti disebutkan dalam beberapa riwayat, penghuni surga itu akan memiliki fisik yang sama, طُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا seperti Adam ketika diciptakan, 60 hasta. Nah, sehingga yang dimaksudkan di sini bahwa Abu Bakar dan Umar adalah pimpinan dari orang-orang tua di surga, ini maksudnya ketika wafat. Ini disebutkan oleh Al-Qurthubi رحمه الله.
Tetapi, sebagian ulama mengatakan, “Oh, ini kayaknya maknanya kurang pas.” Kenapa demikian? Karena 63 tahun itu sudah bukan merupakan kahl lagi. Orang tua itu kalau sudah lewat dari umur kahalah, dia sudah menjadi شَيْخ. Syaikhukhah, sudah tua sekali. Umur 60 tahun itu sudah tua banget, tidak menjadi “سَيِّدَا كُهُولِ“, tapi “سَيِّدَا الشُّيُوخِ“. Kalau seandainya memang Al-Qurthubi mengatakan ditinjau dari waktu wafatnya, maka harusnya hadis ini tidak berbunyi “سَيِّدَا كُهُولٍ“, tapi “سَيِّدَا شُيُوخٍ“. Tapi rupanya yang disebutkan adalah كُهُول. Lalu apa artinya? Artinya, وَاللهُ أَعْلَمُ, kata Al-Munawi رحمه الله, maksudnya dari kuhul ini bukan orang tua, tetapi orang yang paling bijaksana, orang yang paling cerdas, orang yang paling berpikir yang bisa dijadikan tokoh, dan dia adalah عُمْدَة. Umdah itu artinya rujukan, ya, selalu diandalkan. Ini maksudnya juga dalam bahasa Arab kuhul atau kahl, sampai dikatakan, “فُلَانٌ كَهْلُ بَنِي فُلَانٍ“, maksudnya dia adalah andalannya bangsa ini. Dia orang bijaknya, orang berakalnya, dan selalu dijadikan tempat permintaan nasihat. Ini yang dimaksudkan. Maka, menurut Al-Munawi رحمه الله setelah menukil perkataan Al-Qurthubi, yang dimaksudkan dengan Abu Bakar dan Umar adalah pimpinan orang-orang yang kuhul itu maksudnya adalah orang-orang yang cerdas. Nanti akan ada orang-orang cerdas, orang yang bijak di surga, dan pimpinan mereka adalah Abu Bakar dan Umar. Ini juga yang intinya merupakan keistimewaan yang Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sebutkan untuk mereka berdua, رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا وَأَرْضَاهُمَا.
Baik, kita pindah ke hadis kedua, hadis ke-52. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, dan ini disebutkan dalam riwayat Ath-Thabarani dalam Mu’jam Kabir dan juga Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak dari sahabat Abu Habbah Al-Badri رَضِيَ اللهُ عَنْهُ. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “أَبُو سُفْيَانَ بْنُ الْحَارِثِ خَيْرُ أَهْلِي” (Abu Sufyan ibn Al-Harits adalah sebaik-baik keluargaku). وَاللهُ أَعْلَمُ, ana belum sempat melihat di cetakan Ath-Thabarani atau Al-Mu’jam Al-Kabir seperti yang disebutkan di sini, maupun dalam kitab Al-Mustadrak. Akan tetapi, Al-Munawi dalam Faidhul Qadir, beliau ketika mensyarah hadis ini, beliau tidak sebutkan khairu ahli. Beliau sebutkan lafaz berbeda yang mengatakan, “أَبُو سُفْyَانَ بْنُ الْحَارِثِ خَيْرُ أَهْلِ الْجَنَّةِ“. Jadi bukan khairu ahli, tetapi khairu ahlil jannah. Abu Sufyan ibn Al-Harits adalah orang yang terbaik menjadi penduduk surga. Ya, bahkan dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Abu Sufyan ibn Al-Harits adalah “سَيِّدُ فِتْيَانِ أَهْلِ الْجَنَّةِ“, beliau adalah pimpinan para pemuda di surga. Ya. Lalu, yang benar yang mana? Beliau atau Al-Hasan dan Al-Husain, “سَيِّدَا شَبَابِ أَهْلِ الْجَنَّةِ“? Nah, beliau, Al-Hasan dan Al-Husain adalah pimpinan dari anak-anak mudanya penduduk surga. Nah, Abu Sufyan ibn Al-Harits, kalau disebutkan dalam riwayat yang tadi dikatakan “خَيْرُ فِتْيَانِ أَهْلِ الْجَنَّةِ“, orang terbaik dalam penduduk surga yang umurnya masih pada muda, begitu. وَاللهُ أَعْلَمُ, tidak ada kontradiksi di sini karena di sini adalah penyebutan fadhilah atau keistimewaan dari sahabat Abu Sufyan ibn Al-Harits bahwa dia akan menjadi orang terbaik di antara sekian orang baik-baik dan terbaik juga, begitu. Sedangkan yang paling baik adalah Al-Hasan dan Al-Husain.
Ditambah pula bahwa riwayat ini menunjukkan tentang sosok orang yang oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dipuji setelah tadinya menjadi orang yang paling bermasalah. Jadi, Abu Sufyan ibn Al-Harits ini sepupu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Ayah beliau adalah anaknya kakek Rasul صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, yaitu Abdul Muthalib, Al-Harits. وَاللهُ أَعْلَمُ, ini adalah paman tertua, Al-Harits. Lalu, sempat menjadi saudara sepersusuan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ juga, karena (istri) Al-Harits juga menyusui Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Sebelum Rasul صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ diutus, orang ini betul-betul hormat, perhatian dengan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, banyak membantu, dan seterusnya. Saudara, keponakan, dan ya, istilahnya saudara sepersusuan dan juga saudara sepupu, ya. Setelah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ diutus menjadi seorang rasul, ternyata Abu Sufyan bin Al-Harits menjadi musuh yang keras permusuhannya. Nah, setelah Fathu Makkah atau penaklukan kota Makkah, beliau termasuk orang yang masuk Islam dan Islamnya baik. Nah, sehingga Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyebutkan beliau sebagai orang yang mulia karena Islamnya baik sekali. Dikatakan, Abu Sufyan ibn Al-Harits رَضِيَ اللهُ عَنْهُ “خَيْرُ أَهْلِ الْجَنَّةِ“, beliau adalah sebaik-baik penghuni surga. Abu Sufyan namanya Al-Mughirah ibn Al-Harits, seperti yang disebutkan oleh Al-Munawi رحمه الله dalam biografi beliau.
Baik, kemudian hadis berikutnya, hadis yang ke-53 dan ke-54, menyebutkan tentang keistimewaan penduduk Yaman. Disebutkan dalam hadis yang atas, ya, disebutkan dari hadis Abu Hurairah رَضِيَ اللهُ عَنْهُ, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “أَتَاكُمْ أَهْلُ الْيَمَنِ” (Lihat, ahlul Yaman atau penduduk Yaman datang kepada kalian). “هُمْ أَرَقُّ أَفْئِدَةً” (Mereka adalah orang yang hatinya lembut, jiwa mereka lembut). Hati mereka juga lemah lembut, ini menguatkan, “الْإِيمَانُ يَمَانٍ وَالْحِكْمَةُ يَمَانِيَةٌ” (Ya, iman itu ada di daerah Yaman dan hikmah atau ilmu atau semua akhlak dan perangai baik terletak juga pada Yaman, di daerah Yaman). “وَالْفَخْرُ وَالْخُيَلَاءُ فِي أَصْحَابِ الْإِبِلِ” (Sementara sifat sombong ini seringkali dimiliki oleh orang-orang yang menggembala unta). “وَالسَّكِينَةُ وَالْوَقَارُ فِي أَهْلِ الْغَنَمِ” (Sementara sifat tenang, wibawa, tidak tergesa-gesa ini menjadi ciri khas orang yang menggembalakan kambing).
Banyak yang mengatakan bahwa masing-masing hewan itu memberikan watak dan penularan kepada penggembalanya. Ketika unta ini memang tabiatnya pemarah, pendendam, kemudian kuat, maka orang yang merawat otomatis dia akan terbiasa dengan kekuatan, dengan jafa’ atau kaku, dan seterusnya. Sementara orang yang merawat atau menggembala domba, kambing, maka dia tahu bahwa kambing ini merupakan salah satu tipe binatang ternak yang nurut, tenang, jumlahnya banyak. Akan tetapi, ketika mereka dituntun, gampang untuk kompak, ikut, dan berduyun-duyun. Nah, sehingga orang yang menggembalakan kambing akan sedikit ketularan dengan tabiat itu. Artinya tenang, kemudian telaten, dan seterusnya. Maka dalam sebuah hadis dikatakan, “Tidaklah Allah utus seorang nabi kecuali dia adalah رَاعِيَ غَنَمٍ, dia adalah seorang penggembala kambing.” Seorang sahabat mengatakan, “Ya Rasulullah, antum juga pernah menggembala kambing?” “Iya. Dulu kami menggembala kambing عَلَى قَرَارِيطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ. Kita mengharapkan duit bayaran. Kita ini orang miskin dan kita bekerja itu untuk menjadi penggembala,” begitu.
Baik, dalam hadis yang ini tadi disebutkan tentang fadhilah atau keistimewaan maupun ciri khas orang Yaman. Hatinya lembut, lemah. Maksudnya bukan lemah artinya gampang untuk dikalahkan, tetapi maksudnya adalah orang yang mudah untuk menerima kebenaran. Ini yang disebutkan oleh Al-Munawi رحمه الله. Ini adalah sisi keistimewaannya ketika orang yang hatinya lunak. Kenapa lunak? Hati yang keras, kering, bagaikan akar—bukan akar, bahkan dahan pohon—ini susah sekali untuk diubah. Keras juga kaku dia untuk dilenggokkan, dibengkokkan, atau dibuat apa, susah. Berbeda dengan hati yang memang dia memiliki kelembaban sehingga kelunakan itu ada. Nah, Al-Munawi رحمه الله mengatakan, “Kenapa hatinya bisa menjadi lunak?” Lunak karena bisa jadi dia sering disiram dengan cahaya keimanan kepada Allah سبحانه وتعالى. Maka hati ini menjadi lemah, lembut, mudah untuk menerima hidayah dan bimbingan dari Allah سبحانه وتعالى.
Maka, ini yang dimaksudkan dalam hadis fadhilah orang-orang Yaman, “أَتَاكُمْ أَهْلُ الْيَمَنِ هُمْ أَرَقُّ أَفْئِدَةً وَأَلْيَنُ قُلُوبًا“. Hati mereka lemah lembut sehingga gampang untuk menerima nasihat. Nah, disebutkan dalam kitab Faidhul Qadir oleh Al-Munawi رحمه الله, maksudnya tidak semuanya. Ini adalah sebagian orang, ini adalah sebagian besar, meskipun yang akhirnya Allah mudahkan mereka untuk menerima hidayah, masuk Islam, dan baik Islamnya, bisa berdakwah juga. Dicontohkan orang-orang Yaman seperti Al-Asy’ariyyin. Al-Asy’ari, orang-orang dari kabilah Al-Asy’ari seperti Abu Musa dan lainnya. Kemudian seperti Himyar. Himyar ini juga sama, dari daerah Yaman. Dikatakan daerah Yaman karena dia letaknya di yamin al-qiblah, dia letaknya di arah kanannya kiblat. وَاللهُ أَعْلَمُ, ini maksudnya adalah untuk orang yang menghadap ke mana. Akan tetapi yang jelas, Al-Munawi رحمه الله menyebutkan, kenapa dikatakan Yaman? Karena dia letaknya di arah yang merupakan arah kanannya Ka’bah.
Kemudian disebutkan pula bahwa mereka ini merupakan lambang keimanan. “الْإِيمَانُ يَمَانٍ وَالْحِكْمَةُ يَمَانِيَةٌ“. Kalau antum ingin tahu bagaimana iman, ah, lihat tuh orang Yaman. Bagaimana hikmah? Maka inilah yang ada, tadi perangai, watak, karakter, dan kebiasaan mereka. Tadi kita sebutkan bahwa ini adalah salah satu sifat yang sifatnya mayoritas. Sifat untuk mayoritas penduduk Yaman itu seperti itu. Tetapi, ada pula orang Yaman yang tidak mendapatkan hidayah dari Allah سبحانه وتعالى sehingga kebobrokan maupun kekerasannya masih ada. Di antaranya orang yang menjadi pengikut Al-Aswad Al-‘Ansi, orang yang mengaku nabi. Kemudian diikuti oleh orang-orang Yaman. Bahkan sebagian orang Yaman, ketika mereka mengetahui ini adalah sebuah kesalahan dan kesesatan, tetapi karena dia memiliki fanatisme, maka dia ikuti tetap ini, ya. Kesalahan itu tetap diikuti. Ini orang Yaman. Sehingga, yang dimaksudkan bukan semua orang Yaman, akan tetapi orang-orang yang memang sudah terbiasa mendapatkan siraman hidayah dari Allah سبحانه وتعالى. Sehingga dikatakan mereka adalah tolak ukur, mereka adalah pedoman bahwa iman itu adalah iman seperti orang-orang Yaman. “وَالْحِكْمَةُ يَمَانِيَةٌ“.
Nah, kemudian disebutkan hikmah. Ada yang mengatakan hikmah itu adalah “وَضْعُ الشَّيْءِ فِي مَحَلِّهِ” (meletakkan sesuatu pada tempatnya). Nah, ini tempatnya di Yaman. Ini kata Al-Munawi رحمه الله dalam Faidhul Qadir. Ada yang juga mengatakan kenapa kok mereka menjadi orang percontohan? Orang Yaman adalah tempatnya keimanan. Kenapa dijadikan percontohan? Disebutkan karena kebanyakan mereka orang Anshar, ada yang mengatakan demikian. Tapi tidak mesti seperti itu, karena yang sekarang diajak ngobrol oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah orang Anshar. “Lihat nih, orang Yaman mau datang kepada kalian. Mereka adalah orang-orang yang hatinya lemah,” begitu. Apakah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengajak ngobrol orang-orang Madinah sementara yang dipuji adalah orang-orang Madinah juga? Nah, ini sepertinya tidak nyambung. Sehingga, maksudnya di sini orang-orang Yaman ini bukan orang-orang Madinah. Kemudian disebutkan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, “الْإِيمَانُ يَمَانٍ“. Jadi, iman itu seperti orang-orang Yaman, begitu. Nah, dikatakan bahwa mereka nanti akan menjadi orang terakhir yang beriman sebelum akhirnya pada hari kiamat Allah سبحانه وتعالى akan utus angin yang akan mewafatkan orang yang memiliki kebaikan sekecil apapun dan keimanan sekecil apapun. Sisanya adalah orang-orang yang kufur, kotor, dan berdosa. Lalu merekalah yang akan menyaksikan hari kiamat betul-betul terjadi. Kata Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, “لَا تَقُومُ السَّاعَةُ إِلَّا عَلَى شِرَارِ الْخَلْقِ” (Kiamat ini tidak akan terjadi kecuali akan dilihat oleh orang-orang yang paling jelek, makhluk yang paling kotor dan berdosa). Baik, نَعُوذُ بِاللهِ. Semoga Allah عز وجل memberikan kepada kita semuanya husnul khatimah.
Baik. Kemudian di hadis berikutnya, sama, dalam hadis yang ke-54 Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyatakan, “أَتَاكُمْ أَهْلُ الْيَمَنِ هُمْ أَضْعَفُ قُلُوبًا” (Nah, penduduk Yaman datang nih kepada kalian. Gitu). Mereka adalah orang-orang yang hatinya lemah, maksudnya lembut. Maksudnya memiliki sifat penyayang, perhatian, dan seterusnya, dan mudah untuk menerima kebenaran seperti yang disebutkan tadi. Nah, itu paling penting. Ketika mereka, orang-orang Yaman, memiliki kelebihan ini, maka maksudnya adalah mereka mudah untuk menerima kebenaran. “وَأَرَقُّ أَفْئِدَةً“, hati mereka juga lembut. Tadi kita sebutkan itu af’idah jamaknya fuad. Al-Munawi رحمه الله mengatakan bahwa ini adalah tempat yang paling dalam di dalam hati. Sehingga ini merupakan keistimewaan ketika hati yang paling inti itu saja lembut, mudah untuk menerima kebenaran. “الْفِقْهُ يَمَانٍ“, al-fiqhu yamanin itu artinya pelajaran agama ini juga bisa dilihat di sana. Begitu. “وَالْحِكْمَةُ يَمَانِيَةٌ” tadi. Ini yang seperti yang kita sebutkan.
Baik, pindah ke hadis yang ke-55. Dan hadis ini berkaitan dengan bulan Ramadhan. Sering kita bahas dan kita dengar tentang kabar gembira yang disampaikan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tentang bulan Ramadhan. Beliau mengatakan, “أَتَاكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ” (Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang mengandung keberkahan, dan Allah عز وجل jadikan puasanya menjadi wajib dan fardhu). “تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ” (Pintu surga dibuka semua, pintu neraka ditutup semua). Dan disebutkan oleh para ulama maksudnya adalah karena banyaknya kesempatan untuk masuk ke dalam surga sehingga seolah-olah pintu surga dibuka. Orang gampang untuk beramal yang bisa memasukkan ke dalam surga, ini di bulan Ramadhan seperti itu. Kemudian disebutkan pula bahwa pintu neraka ditutup. Pintu neraka ditutup maksudnya karena peluang untuk bermaksiat di bulan Ramadhan mengecil. Di samping dia berpuasa sehingga lemah, lunglai badannya, tidak sempat untuk berpikir maksiat. Maka, seperti ini sebagai salah satu makna kenapa pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup. Sekalipun ada juga yang memahami apa adanya bahwa pintu surga betul-betul dibuka, pintu neraka ditutup.
Kemudian disebutkan di sini, “وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ” (Setan-setan yang biasa menggoda dibelenggu). Maradatusy syayathin artinya pimpinannya. Nah, dibelenggu. Para ulama mengatakan, apakah berarti ketika setan dibelenggu, berarti tidak ada lagi maksiat sama sekali, tidak ada dosa sama sekali? Jawabannya tidak. Tetap dosa ada, karena tidak semua dosa itu melalui hasutan setan. Akan tetapi, ketika orang sudah terbiasa pula dengan perbuatan dosa, tidak perlu digoda setan. Dia sudah memiliki النَّفْسُ الْأَمَّارَةُ بِالسُّوءِ. Jadi, jiwa dia kotor, menyuruh untuk melakukan kejelekan seperti itu. Nah, ini tidak ada setan pun dia tetap jalan di bulan Ramadhan, وَلِيَعَاذُ بِاللهِ.
Nah, kemudian disebutkan, “وَفِيهِ لَيْلَةٌ هِيَ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ” (Di dalam bulan itu ada satu malam yang lebih baik dari 1000 bulan. Orang yang tidak dapat kebaikan dari bulan itu atau Lailatul Qadar, maka dia telah mendapatkan kejelekan yang banyak, dia tidak dapat kebaikan yang banyak), begitu. Baik, ini merupakan keistimewaan bulan Ramadhan. Allah عز وجل Maha Pengampun. Dan ketika di bulan ini, model-model ampunan dibuka peluangnya: membaca Al-Qur’an, mengaji, shalat tahajud, berdoa, istighfar, memberi makan orang-orang buka puasa, kemudian puasanya itu sendiri, shalat fardhunya, dan seterusnya. Ini menunjukkan bahwa pada bulan Ramadhan, ibadah itu terkondisi, ya. Ibadah itu agak lebih mudah karena kawan-kawan banyak, kemudian memang Allah عز وجل seolah sudah menyiapkan Ramadhan ini merupakan momen sakral untuk lebih dekat kepada Allah سبحانه وتعالى.
Baik. Disebutkan bahwa pada bulan suci Ramadhan akan dibuka pintu-pintu kebaikan dan ditutup pintu-pintu keburukan. Dalam hadis lain disebutkan tambahannya, “وَيُنَادِي مُنَادٍ يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَلِلهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ“. Malaikat ada yang ditugaskan untuk menyeru. Lalu mengatakan kepada orang-orang yang ingin melakukan kebaikan pada bulan Ramadhan, dikatakan, “أَقْبِلْ“, ayo cepat lakukan ini, sambut sekarang ada kesempatan, jangan disia-siakan. Ini adalah seruan malaikat yang ada di hati kaum beriman yang menghendaki kebaikan. “وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ“, orang-orang yang ingin melakukan maksiat, ah, sekarang tahan dulu nih, ini bukan waktunya, ini adalah bulan suci Ramadhan.
Nah, ini hadis yang ke-55. Kemudian hadis yang ke-56, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ingin memberitahukan tentang masalah penting, yaitu masalah syafaat. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyatakan dalam Musnad Imam Ahmad dari Abu Musa. Ya, ini dalam hadis Musnad Imam Ahmad dari Abu Musa. Kemudian riwayat At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban dari sahabat ‘Auf ibn Malik Al-Asyja’i رَضِيَ اللهُ عَنْهُ. Disebutkan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “أَتَانِي آتٍ مِنْ عِنْدِ رَبِّي” (Ada orang yang datang sebagai utusan dari Allah سبحانه وتعالى). Dia datang untuk menemui aku, kata Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. “فَخَيَّرَنِي بَيْنَ أَنْ يُدْخِلَ نِصْفَ أُمَّتِي الْجَنَّةَ وَبَيْنَ الشَّفَاعَةِ“, nah, malaikat tadi yang diutus Allah سبحانه وتعالى untuk menghadap Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, dia memberitahu aku dengan dua pilihan. Silakan dipilih. Mau Allah masukkan setengah dari umatmu ke dalam surga, ya, setengah dari umatmu akan dimasukkan semuanya ke dalam surga. Nah, dan ini disebutkan yang dimaksudkan ummati adalah ummatul ijabah. Karena para ulama mengatakan, umat Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ itu ada dua: ada ummatul ijabah, ada ummatud da’wah. Umat yang didakwahi oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, ini mencakup semua orang. Ada orang Yahudinya, ada orang Nashraninya, ada orang-orang yang tidak beriman, dan ada orang beriman. Ini semua namanya ummatud da’wah, umat yang didakwahi oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Nah, yang lebih mengerucut dari mereka adalah ummatul ijabah, umat yang memenuhi ajaran Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Nah, inilah yang dijanjikan bahwa mereka akan dijadikan sebagai setengah dari penduduk surga.
Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mendengar tawaran itu, disuruh memilih antara Allah سبحانه وتعالى memasukkan setengah dari umat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ke dalam surga, atau beliau lebih memilih untuk diberi kesempatan memberikan syafaat. Maka disebutkan, “فَاخْتَرْتُ الشَّفَاعَةَ” (Aku pun lebih memilih untuk diberikan syafaat oleh Allah). Kenapa kok memilih syafaat daripada beliau memilih setengah umatnya akan masuk surga? Beliau memikirkan bahwa jika seandainya beliau memilih setengah umatnya yang masuk surga, maka setengah sisanya akan masuk neraka. Maka, beliau lebih memilih syafaat agar kemampuan yang Allah berikan itu lebih maksimal untuk menolong umat-umatnya. Ini merupakan pembahasan orang yang akan mendapatkan syafaat.
Syafaat itu juga artinya adalah genap. Kalau dalam bahasa Arab, syafa’ itu artinya dhiddul witr. Dia bukan jumlah bilangan ganjil, akan tetapi jumlah bilangan yang genap. Artinya, ketika seseorang tidak mampu untuk menghadapi perhitungan Allah سبحانه وتعالى, maka dibantu oleh orang lain. Ya, dibantu dengan syafaat. Ini namanya kata-kata syafaat, ya. Jadi, syafaat itu artinya seorang memberikan penguatan kepada orang yang dibantu. Ini namanya syafaat.
Baik. Di dunia, apakah ada namanya syafaat? Ada. Justru sampai sekarang pun kata-kata syafaat ini merupakan istilah yang sering digunakan untuk rekomendasi. “Rekom, enggak, nih?” “Rekom.” “Iya, benar.” Nah, ini akhirnya menggunakan kata-kata syafaat. Orang ini direkomendasikan oleh fulan. Nah, yang merekomendasikan itu seolah-olah memberikan syafaat, memberikan bantuan, memberikan pengertian, sosialisasi tentang orang itu. Siapa yang melakukan? Orang lain, agar orang lain lebih tertarik kepada orang tadi. Seperti itu. Ini namanya syafaat.
Para ulama mengatakan, boleh seorang makhluk minta agar dibantu oleh makhluk juga, dikasih syafaat, tapi mintanya ke makhluk juga. Para ulama mengatakan boleh kalau hanya sekadar minta didoakan. Ya. Jadi, orang yang akan memberikan syafaat dalam urusan dunia, pertama dia harus hidup. Yang kedua, dia harus hadir. Hadir itu artinya ada orangnya di sekitar kita, bukan jauh di tempat yang jauh. Dia berdoa, “Saya ingin agar anak saya lulus.” Lalu dia berdoa kepada orang agar orang itu bisa memberikan syafaat. Orangnya di mana? Tidak di kampung itu, di tempat yang jauh. Bagaimana dia menghubungi orang yang jauh itu? Bagaimana dia akan bisa memberikan syafaat atau pertolongan kepada orang ini, sementara dia sendiri jauh, begitu. Nah, sehingga disebutkan oleh para ulama, syafaat itu boleh dilakukan dari seorang hamba kepada hamba lainnya, makhluk ke makhluk lainnya. Ya, boleh. Akan tetapi syaratnya, ketentuannya adalah orang yang dimintai itu mampu. Kemudian yang kedua, orang itu tidak jauh-jauh banget. Mau dimintai rekomendasi kok malah dianya di tempat yang jauh, di kota yang jauh, begitu. Kemudian dia mampu, itu mampu untuk memberikan rekomendasi karena dia dikenal dan karena dia punya posisi. Nah, seperti itu dia mampu. Nah, kemudian yang keempat adalah orang yang minta pertolongan dan syafaat dalam masalah dunia, dia meyakini bahwa urusan ini adalah urusan yang bisa selesai dengan izin Allah, sementara orang ini hanya menjadi perantara. Nah, ini namanya syafaat, masalah urusan keduniaan yang diminta kepada selain Allah dan dibolehkan. Boleh kita minta syafaat atau minta pertolongan agar diarahkan, dibantu untuk ketemu siapa, begitu. Nah, itu. Tapi catatannya yang tadi itu. Yang pertama, orangnya tadi masih hidup yang kita minta tolong untuk menyampaikan itu. Yang kedua, orang tadi hadir, bukan jauh. Yang ketiga, dia mampu untuk memberikan pertolongan. Yang keempat, dia yakini bahwa minta syafaat yang seperti ini hanya sebagai wasilah dan perantara, sementara yang memberikan hasil akhir adalah Allah سبحانه وتعالى.
Baik. Syafaat ada macam-macam yang para ulama sebutkan. Di antaranya ada syafaat yang khusus Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, seperti memberikan bantuan kepada Abu Thalib, pamannya dulu yang membela, mendukung, bahkan menghalang-halangi orang kafir Quraisy untuk mencelakakan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Nah, ini Abu Thalib, pamannya. Sayangnya, beliau tidak beriman. Beliau tidak beriman. Lalu para sahabat bertanya, “إِنَّ عَمَّكَ كَانَ يَحُوطُكَ وَيَنْصُرُكَ” (Pamanmu ini dulu membantumu banyak). “فَهَلْ نَفَعْتَهُ؟” (Apakah kamu bisa memberikan manfaat untuk pamanmu?). “قَالَ: نَعَمْ، هُوَ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ، يَبْلُغُ كَعْبَيْهِ، يَغْلِي مِنْهُمَا دِمَاغُهُ” (Iya, aku bantu. Aku bantu sehingga dia hanya diletakkan di tempat paling dangkalnya neraka, hukumannya sampai mata kakinya, tapi otaknya mendidih karenanya). Hukuman yang diberikan kepada Abu Thalib di neraka adalah dia diberikan alas kaki dari neraka, tempat yang paling dangkal di neraka. Tapi meskipun tempat di neraka itu paling dangkal dan yang dibakar adalah telapak kakinya, tapi sampai ubun-ubun pun dia terbakar. نَعُوذُ بِاللهِ. Kata Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, “لَوْلَا أَنَا لَكَانَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ” (Kalau bukan karena bantuanku dengan izin Allah, maka dia sudah masuk neraka dalam kerak yang paling bawah). Ini kata Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tentang pamannya, Abu Thalib. Maka, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memberikan syafaat kepada Abu Thalib, tetapi syafaat itu hanya untuk meringankan hukuman, bukan untuk memasukkan ke dalam surga karena tidak diizinkan.
Nah, kemudian ada juga syafaat yang khusus dimiliki oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, yaitu namanya Asy-Syafa’atul ‘Uzhma. Asy-Syafa’atul ‘Uzhma adalah syafaat yang hanya dimiliki oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ketika para umat ini kebingungan mau minta syafaat ke siapa. Ke Nabi Adam, Adam tidak mau karena dulu Allah pernah murka kepadanya. Kemudian ke Nabi Ibrahim, kemudian datang ke Nabi Musa, kemudian datang ke Nabi ‘Isa, semuanya menolak untuk memberikan syafaat, termasuk Nabi Nuh. Sampai akhirnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ didatangi oleh semua umat. Lalu beliau mengatakan, “أَنَا لَهَا” (Iya, nanti aku yang akan berikan syafaat). Sampai Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ datang menghadap Allah kemudian bersimpuh, bersujud, bertasbih dengan tasbih-tasbih yang baru diajari oleh Allah سبحانه وتعالى di hari itu. Kemudian setelah itu disampaikan, “يَا مُحَمَّدُ، ارْفَعْ رَأْسَكَ، سَلْ تُعْطَهْ، وَاشْفَعْ تُشَفَّعْ” (Wahai Muhammad, angkat kepalamu. Mintalah, nanti kamu akan diberi. Kalau kamu mau memberikan syafaat pun, syafaatmu akan diterima oleh Allah سبحانه وتعالى). Maka, syafaat model ini khusus dimiliki oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Termasuk yang ketiga adalah syafaat untuk masuk surga, agar semua penduduk surga segera masuk ke dalam surga. Karena pintu surga ini memang dijaga oleh malaikat agar tidak ada yang masuk dulu sebelum Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Sampai Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyatakan, “أَنَا أَوَّلُ مَنْ يَقْرَعُ بَابَ الْجَنَّةِ” (Aku adalah orang pertama yang akan mengetuk pintu surga). Maka ketika diketuk, ada yang menyapa, dikatakan, “مَنْ؟” (Siapa?). “مُحَمَّدٌ” (Aku adalah Muhammad). “بِكَ أُمِرْتُ أَلَّا أَفْتَحَ لِأَحَدٍ قَبْلَكَ“. Kata malaikat, “Aku memang diperintahkan untuk menunggumu. Aku tidak boleh membuka pintu surga sebelum kamu datang.” Nah, para ulama mengatakan tiga model syafaat ini, yaitu syafaat buka pintu surga, kemudian untuk pamannya Abu Thalib, dan juga yang ketiga tadi yang kita sebutkan, Asy-Syafa’atul ‘Uzhma, ini hanya khusus Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Adapun ada beberapa syafaat yang tidak khusus untuk Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, tapi semua orang bisa memberikan syafaat, yaitu untuk orang agar tidak masuk neraka, atau sudah masuk neraka biar dikeluarkan. Nah, ini banyak yang bisa seperti itu. Di antaranya adalah para syuhada. Dalam hadis yang sahih dikatakan, “الشَّهِيدُ يَشْفَعُ فِي سَبْعِينَ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ“. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyatakan, orang yang mati syahid, dia akan bisa memberikan syafaat kepada 70 keluarganya. Ada juga syafaatnya malaikat, ada juga syafaatnya para nabi, kemudian ada juga syafaatnya anak-anak kecil. Nah, sehingga syafaat ini banyak.
Baik. Kemudian syafaat ini hanya akan diberikan Allah jika Allah mengizinkan. Entah izin untuk orang yang akan memberikan syafaat karena dia orang saleh lalu dia dimintai syafaat, maka yang perlu diperhatikan adalah orang ini sudah mendapatkan izin dari Allah untuk memberikan syafaat. Yang kedua, apakah calon penerima syafaat ini pantas untuk disyafaati atau tidak? Kalau seandainya tidak pantas disyafaati karena dia melakukan tindakan pelanggaran syariat yang berat, misalkan, maka meskipun yang akan memberikan syafaat itu adalah orang saleh, tetapi orang yang calon penerima syafaatnya tidak saleh, tidak pantas, maka tidak bakal dia mendapatkan syafaat itu. Allah menyatakan, “مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ” (Siapa yang akan memberikan syafaat di sisi Allah? Kecuali orang yang memang diberi izin oleh Allah سبحانه وتعالى). Allah juga mengatakan, “وَكَمْ مِنْ مَلَكٍ فِي السَّمَاوَاتِ لَا تُغْنِي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا إِلَّا مِنْ بَعْدِ أَنْ يَأْذَنَ اللهُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَرْضَى” (Berapa banyak malaikat di langit, tidak bisa memberikan syafaat kecuali sampai Allah memberikan izin dan ridha). Ini kalau ada orang yang mau disyafaati tapi dia ternyata tidak beriman, susah dia. Tidak bisa seperti itu.
Baik. Bagaimana cara mendapat dan menggapai, meraih syafaat? Ini ada beberapa cara yang ada dalam hadis. Mudah-mudahan Allah عز وجل memberikan kita kesempatan untuk mendapatkan syafaat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
- Berupaya untuk menjawab panggilan adzan. Ya, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyatakan, “مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ: اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ“. Barang siapa yang membaca doa ini setelah dia mendengarkan adzan, maka kata Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam Shahih Bukhari, “حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ” (Dia akan mendapatkan syafaatku pada hari kiamat).
- Orang yang bertauhid, tidak menyekutukan Allah, tidak syirik. Di antara dalilnya adalah dalam Shahih Bukhari, Abu Hurairah رَضِيَ اللهُ عَنْهُ bertanya, “يَا رَسُولَ اللهِ، مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟” (Siapa orang yang paling berbahagia dengan syafaatmu pada hari kiamat?). Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyatakan, “يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، لَقَدْ ظَنَنْتُ أَنْ لَا يَسْأَلَنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ، لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ” (Ya Abu Hurairah, aku memang mengira tidak ada yang akan bertanya kepadaku tentang ini sebelum kamu, karena aku sering melihat kamu semangat banget untuk mempelajari hadis). Nah, lalu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ kasih jawaban, “أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ” (Orang yang paling berbahagia dengan syafaatku adalah orang yang mengucapkan لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ tulus dari hatinya). Artinya dia mengucapkan لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ dan tahu konsekuensinya, tahu agama, dan dia bertauhid kepada Allah سبحانه وتعالى. Maka ini yang akan menjadi orang yang paling berbahagia mendapatkan syafaat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
- Membaca Al-Qur’an. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyatakan, “اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ” (Bacalah Al-Qur’an karena nanti Al-Qur’an akan menjadi syafaat untuk orang yang membacanya).
- Puasa. Dalam hadis yang sering kita dengar di bulan Ramadhan, “الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ” (Puasa dan Al-Qur’an akan memberikan syafaat pada hari kiamat). “يَقُولُ الْقُرْآنُ: مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ، فَشَفِّعْنِي فِيهِ” (Al-Qur’an mengatakan, “Ya Allah, aku telah menghalangi dia untuk tidur malam, maka izinkan aku untuk memberikan syafaat kepada orang ini”). Kemudian yang satu lagi, puasa. “يَقُولُ الصِّيَامُ: أَيْ رَبِّ، مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّرَابَ بِالنَّهَارِ، فَشَفِّعْنِي فِيهِ” (Ya Allah, aku menghalangi orang ini untuk makan dan minum pada siang hari, maka izinkan aku untuk memberikan syafaat kepada dia). Maka diizinkan Allah سبحانه وتعالى untuk memberikan syafaat kepada orang itu.
Berarti ada shalat, ada membaca Al-Qur’an, kemudian ada puasa, kemudian ada tauhid, kemudian ada membaca doa setelah adzan. Ini semua merupakan cara-cara agar seorang dimudahkan untuk mendapatkan syafaat dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Semoga Allah عز وجل memberikan kita kemudahan untuk mengikuti agama ini, mengikuti sunnah ini, tetap istiqamah sampai cita-cita kita sukses di akhirat betul-betul Allah عز وجل berikan kemudahan. Ini yang dapat kita pelajari, mudah-mudahan bermanfaat.
وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى عَبْدِهِ وَرَسُولِهِ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
Sesi Tanya Jawab
Pembawa Acara: Naam, Ustadz. جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا وَبَارَكَ اللهُ فِيكُمْ atas materi yang telah disampaikan, Ustadz, di kesempatan malam hari ini. Dan Ikhwatal Islam أَعَزَّنِي اللهُ وَإِيَّاكُمْ, kami buka sesi interaktif soal jawab. Bagi Anda semua yang bertanya, bisa menghubungi kami langsung di 021-8236543 ataupun Anda bertanya melalui chat WA di 081-989-6543. Baik Ustadz, kita akan angkat pertanyaan pertama, Ustadz, dari pesan singkat yang sudah masuk.
Pertanyaan 1: Ustadz, mohon dijelaskan, apakah syafaat ini hanya berlaku atau diberikan hanya kepada Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ saja? Dan adakah syafaat yang diberikan dari orang tua kepada anaknya, ataupun anaknya kepada orang tua, atau orang saleh kepada orang saleh lainnya, Ustadz? Silakan, Ustadz.
Jawaban: Baik. Di dalam hadis disebutkan bahwa orang beriman akan memberikan syafaat pada saudaranya, maksudnya saudara seiman. Anak akan memberikan syafaat kepada orang tuanya. Dalam hadis yang sahih disebutkan, “صِغَارُكُمْ دَعَامِيصُ الْجَنَّةِ” (Anak-anak kecil kalian itu seperti da’amish surga). Da’amish itu hewan yang tidak bisa keluar dari air; kalau keluar, mati. Nah, ini diistilahkan, dikiasankan anak kecil itu sudah masuk surga. Dia masuk surga, tidak bisa dikeluarkan dari surga karena memang itu tempat yang paling utama untuk mereka. Anak kecil yang meninggal sebelum baligh, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyatakan, “صِغَارُهُمْ دَعَامِيصُ الْجَنَّةِ” (Anak-anak kecil mereka sudah menjadi penghuni surga, tidak bisa keluar). “يَتَلَقَّى أَحَدُهُمْ أَبَاهُ” (Salah satu dari anak kecil itu bertemu dengan ayahnya). Kemudian dia akan bertemu dengan ayahnya, digeretnya ayah itu dari kerah bajunya ini, begini. Dan tidak akan dibiarkan orang itu sampai “حَتَّى يُدْخِلَهُ اللهُ وَأَبَاهُ الْجَنَّةَ” (Allah عز وجل kabulkan anak ini bisa memasukkan orang tuanya ke dalam surga). Dikatakan, anak kecil itu tidak akan melepaskan genggamannya sampai Allah عز وجل masukkan orang tuanya ke dalam surga bersamanya.
Ini menunjukkan syafaat anak kepada orang tua. Dan ada juga syafaat sesama muslim. Disebutkan dalam hadis, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ بِأَشَدَّ مُنَاشَدَةً لِلهِ فِي اسْتِقْصَاءِ الْحَقِّ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ لِلهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِإِخْوَانِهِمُ الَّذِينَ فِي النَّارِ” (Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada di antara kalian yang lebih gigih memohon kepada Allah daripada orang-orang beriman pada hari kiamat untuk saudara-saudara mereka yang berada di neraka). Jadi, kalian, orang-orang beriman, akan semakin semangat dan betul-betul meminta kepada Allah, mengiba, agar aku bisa mengeluarkan sebanyak mungkin orang-orang yang aku kenal di neraka agar mereka bisa diselamatkan. Ini maksudnya bahwa orang beriman juga akan memberikan syafaat untuk sesama saudara beriman. Baik. وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Pertanyaan 2: Ustadz, berdasarkan yang pernah saya dapatkan, bahwasanya anak bisa memberikan syafaat kepada orang tua, tapi orang tua tidak bisa memberikan syafaat kepada anak. Apakah memang demikian, Ustadz? Mohon Ustadz berikan penjelasan.
Jawaban: Ana tidak tahu apakah orang tua tidak bisa memberikan syafaat kepada anak. Bahkan di dalam perkataan Ibnu ‘Abbas رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا dalam tafsir surah Al-Hadid, “وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ” (Orang-orang beriman lalu diikuti oleh anak keturunannya dengan iman juga, maka nanti pada hari kiamat kita akan kumpulkan mereka di dalam surga). Disebutkan dalam tafsir dari Ibnu ‘Abbas رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا, beliau mengatakan, “إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ ذُرِّيَّةَ الْمُؤْمِنِ إِلَى دَرَجَتِهِ، وَإِنْ كَانُوا دُونَهُ فِي الْعَمَلِ، لِتَقَرَّ بِهِمْ عَيْنُهُ“. Jadi disebutkan bahwa Ibnu ‘Abbas menceritakan tentang orang-orang beriman nanti pada hari kiamat akan dikumpulkan bersama mereka anak keturunan yang juga turut beriman, meskipun anak keturunan mereka dalam amal masih kalah dengan kakeknya. Kakeknya orang ahli amal, kemudian anak keturunannya masih saleh, tetapi tidak sampai seperti level ayah atau kakeknya dalam beramal. Tetap Allah kumpulkan mereka, dipertemukan agar orang tuanya bahagia dengan dikumpulkannya bersama anak keturunannya. وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ. Kalaupun seandainya orang tua tidak memberikan syafaat kepada anaknya, maka orang lain pun bisa memberikan syafaat. وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Pertanyaan 3: Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ustadz. Apakah seorang guru bisa memberikan syafaat kepada muridnya? Syukran, Ustadz.
Jawaban: عَفْوًا. Tadi kita sebutkan bahwa syafaat itu umum, ya. Ada syafaat yang memang sifatnya umum dari orang beriman kepada saudaranya. Nah, sehingga kalau kita mau spesifikasi lebih detail, kita butuh dalil, ya. Seorang guru kepada muridnya, murid kepada gurunya, orang tua kepada anaknya, anak kepada gurunya, kakak kepada adiknya, adik kepada kakaknya, paman kepada keponakannya. Nah, ini وَاللهُ أَعْلَمُ, membutuhkan dalil. Akan tetapi, secara umum, syafaat-syafaat ini akan dibagi oleh Allah سبحانه وتعالى kepada orang beriman agar mereka mampu untuk memberikan syafaat kepada orang beriman juga, seperti itu. وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Pertanyaan 4: Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ustadz. Apakah anak-anak yang kelak memberikan syafaat itu adalah anak-anak yang ketika mereka meninggal dalam usia belum baligh atau dalam kandungan? Ataukah bisa anak-anak yang keguguran yang memberikan syafaat? Apakah anak-anak yang meninggal dalam kandungan atau keguguran juga bisa memberikan syafaat kepada orang tuanya, Ustadz? Syukran.
Jawaban: عَفْوًا. Baik. Anak kecil yang akan memberikan syafaat adalah anak kecil yang belum baligh, mereka wafat sebelum baligh. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyatakan ini seperti dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, “مَا مِنَ النَّاسِ مُسْلِمٌ، يَمُوتُ لَهُ ثَلَاثَةٌ مِنَ الْوَلَدِ لَمْ يَبْلُغُوا الْحِنْثَ، إِلَّا أَدْخَلَهُ اللهُ الْجَنَّةَ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ إِيَّاهُمْ” (Tidaklah seorang muslim ditinggal mati oleh tiga orang anaknya yang semuanya belum baligh, melainkan Allah سبحانه وتعالى akan memasukkannya ke dalam surga dengan segala kemurahan dan keutamaan dari Allah سبحانه وتعالى). Ya, ini menunjukkan bahwa yang wafat sebelum baligh itulah yang akan memberikan syafaat. Apakah saqt atau janin yang gugur bisa memberikan syafaat? Ada sebuah riwayat menunjukkan bahwa saqt atau keguguran ini tetap sama ketika dia sudah berumur dan sudah ditiupkan ruh, maka dia akan, وَاللهُ أَعْلَمُ, mengikat orang tuanya dengan tali pusarnya agar orang tuanya selamat dari api neraka. وَاللهُ أَعْلَمُ seperti itu.
Pertanyaan 5: Ustadz, orang tua saya memiliki adik-adik kembar dua yang meninggal di bawah usia 1 tahun, sekitar 6 bulan. Apakah mereka dapat memberikan syafaat pada orang tua, Ustadz? Kemudian yang kedua, saya punya anak perempuan tiga. Kemudian saya nikahkan, insyaallah dapat jodoh yang saleh. Apakah bagi saya, orang tuanya yang menikahkan, juga mendapatkan syafaat, Ustadz? Demikian. بَارَكَ اللهُ فِيكُمْ. Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Jawaban: Iya. Tadi anak kecil yang ditanyakan, intinya yang disebutkan dalam hadis adalah yang meninggal sebelum baligh, itu yang akan memberikan syafaat untuk orang tua. Adapun anak yang sudah besar, ya sudah tidak kecil lagi, nah ini sudah menjadi orang dewasa, masing-masing akan mempertanggungjawabkan amalnya. Ya, ada beberapa riwayat, anak bisa memberikan syafaat. Seperti tadi kita sebutkan, kalau anaknya syahid, dia akan memberikan syafaat 70 orang keluarganya. Ada riwayat lain jika seandainya anak ini juga merupakan penghafal Al-Qur’an dan semacamnya. وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ. Adapun tadi yang ditanya tentang orang yang memiliki anak perempuan, mereka akan menjadi sebab dilindunginya seseorang dari api neraka. Ya, dalam hadis disebutkan, “مَنْ كَانَ لَهُ ثَلَاثُ بَنَاتٍ، فَصَبَرَ عَلَيْهِنَّ، وَأَطْعَمَهُنَّ، وَسَقَاهُنَّ، وَكَسَاهُنَّ مِنْ جِدَتِهِ” (Barang siapa yang memiliki tiga anak perempuan, dia sabar dalam mendidik mereka, diberi makan, diberi minum, diberi pakaian). Kemudian disebutkan juga dia memberikan perhatian semuanya, ya, “كُنَّ لَهُ حِجَابًا مِنَ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ” (Maka mereka akan menjadi penyelamat dari api neraka pada hari kiamat). Ini disebutkan dalam riwayat Ibnu Majah dengan sanad yang sahih. وَاللهُ أَعْلَمُ.
Pertanyaan 6: Seseorang yang tidak mendapatkan syafaat Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ disebabkan karena perbuatan bid’ah yang dia lakukan, sebagaimana dalam sebuah hadis seseorang yang tidak bisa mendekati telaga Rasulullah adalah orang yang tidak mendapatkan syafaat. Apakah orang yang tidak mendapatkan syafaat dari Rasulullah juga tidak akan bisa mendapatkan syafaat dari orang-orang saleh atau orang beriman lainnya, Ustadz?
Jawaban: Iya. Perbuatan bid’ah ini merupakan tindakan berbahaya. Kalaupun seandainya seseorang tidak bisa meminum dari telaga Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, bukan berarti dia tidak bisa masuk surga. Para ulama mengatakan, dia tetap masih ada peluang untuk masuk surga. Ya, hanya dia rugi ketika tidak dapat kesempatan yang mestinya dia bisa dapatkan. Ketika beliau mengatakan, “Umatku, umatku,” tapi ternyata mereka dihalau, tidak bisa mendekati telaga. Ketika ditanya apa sebabnya, maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ akan diberitahu, “إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَاذَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ” (Kamu, Muhammad, tidak tahu apa yang mereka ada-adakan setelahmu). Kalau tidak salah, Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan, berarti seberapa besar perubahan yang dilakukan, itu yang akan membuat dia terhalang dari haudh atau telaga Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Kalau seandainya perubahan yang dilakukan adalah perubahan dasar alias murtad, otomatis sudah selesai dia, ya. Tapi kalau seandainya dia merubah tidak sampai murtad, maka seberapa besar kadar perubahan yang dia timbulkan, maka sekadar itu pula dia akan semakin jauh dari haudh atau telaga Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Kalau seandainya syafaat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak dapat, apakah kemudian dari yang lain dapat? وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ. Kita tidak tahu dan tidak bisa memastikan. Yang jelas, yang ada dalil, itu yang bisa kita berikan jawaban. وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Pertanyaan 7: Dalam sebuah kajian, disampaikan bahwa seseorang yang amalannya ketika ditimbang baik dan buruknya seimbang, maka dia berada di satu tempat di antara surga dan neraka. Ketika mereka melihat ke neraka, mereka ketakutan, dan ketika melihat penghuni surga, mereka berharap dimasukkan ke surga. Di mana tempat tersebut, Ustadz? Apakah orang tersebut nanti akan masuk ke neraka atau ke surga? Mohon penjelasannya.
Jawaban: Baik, بَارَكَ اللهُ فِيكَ. Itu namanya tempatnya Al-A’raf, ya. Tempat yang tinggi, disebutkan Ashabul A’raf. Pernah disebutkan oleh Al-Hafizh Al-Hakami dalam kitab Ma’arijul Qabul bahwa itu tempatnya memang antara surga dan neraka. وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Ikhtitam (Penutup)
Baik, Ikhwah sekalian. Ketika kita melihat peluang orang sudah belajar, kemudian sudah beramal, ternyata dalam sisi pembahasan para ulama seperti syafaat, syafaat ini artinya adalah seorang tidak mampu untuk berjuang sendiri, masih butuh bantuan. Tadi kita sebutkan, syafaat artinya genap. Orang ketika beramal sendiri tidak cukup, maka perlu digenapkan dengan bantuan orang. Nah, ketika kita mengandalkan amal sendiri masih kurang, maka kita masih berharap ada syafaat dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, ini menunjukkan bahwa amal kita masih banyak kekurangan.
Maka kita perlu banyak mengkaji dan mempelajari bagaimana ibadahnya para ulama ketika mereka belajar, ketika mereka diberi kecerdasan, kemudian mereka memberi manfaat kepada kaum muslimin. Rupanya mereka juga masih membutuhkan bantuan, doa, dan juga syafaat dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Lalu bagaimana dengan kita yang amal kita serba kurang? Sehingga kita ingin agar syafaat dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ini dapat kita raih dengan cara yang benar, dan semoga Allah عز وجل termasuk menjadikan kita orang-orang yang mendapatkan izin dan ridha untuk mendapatkan syafaat itu. وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى عَبْدِهِ وَرَسُولِهِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ. وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.