Ustad Abu Yahya Badru Salam, Lc

18 Wasiat ‘Umar bin Al-Khattab

Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya. وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا (Dan kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan dari keburukan amal perbuatan kami). مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ (Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Dia sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk). وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ (Dan aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya).

قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الكَرِيْمِ (Allah Ta’ala berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia):

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali ‘Imran: 102).

أَمَّا بَعْدُ (Adapun setelah itu).

Saudaraku seiman, alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah atas limpahan karunia dan nikmat yang Allah berikan kepada kita. Pada kesempatan ini, kita akan membahas 18 wasiat dari ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu. Kedelapan belas wasiat ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dengan banyak jalur periwayatan yang saling menguatkan satu sama lain, sehingga sebagian ulama menyatakan hadis ini berderajat hasan.

قَالَ سَعِيْدُ بْنُ المُسَيِّبِ (Berkata Sa’id bin Al-Musayyib), seorang tabi’in kibar (generasi tabi’in senior):

وَعَظَ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ لِلنَّاسِ ثَمَانِيَ عَشْرَةَ كَلِمَةً، كُلُّهَا حِكَمٌ

(“‘Umar bin Al-Khattab memberikan 18 kalimat nasihat untuk manusia, yang semuanya adalah hikmah.”)


18 Wasiat ‘Umar bin Al-Khattab

Pertama: Balasan Terbaik untuk Pelaku Maksiat

مَا عَاقَبْتَ مَنْ عَصَى اللهَ فِيْكَ بِمِثْلِ أَنْ تُطِيْعَ اللهَ فِيْهِ

“Tidaklah engkau memberikan sanksi (balasan) kepada orang yang bermaksiat kepada Allah terhadap dirimu dengan sesuatu yang lebih baik daripada engkau menaati Allah terkait orang itu.”

Apa maksud dari wasiat ini? Ada orang yang berbuat maksiat kepada Allah dengan cara menyakiti kita. Contohnya, orang tersebut mencaci maki, menggunjing (ghibah), atau menjelek-jelekkan nama baik kita. Ini adalah bentuk maksiat kepada Allah yang dampaknya tertuju kepada kita. Lantas, bagaimana cara membalas orang yang demikian? Menurut beliau, balasan terbaik adalah dengan cara menaati Allah dalam menyikapi perbuatannya.

Sebagai contoh, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an mengenai cara menghadapi orang-orang seperti itu:

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا (“Dan balasan suatu keburukan adalah keburukan yang serupa.”) فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللهِ (“Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, pahalanya atas (tanggungan) Allah.”) (QS. Asy-Syura: 40).

Misalnya, jika ada orang yang menggunjing kita, apakah kita membalasnya dengan menggunjingnya kembali? Jawabannya adalah tidak. Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ bersabda: إِنْ عَيَّرَكَ رَجُلٌ بِأَمْرٍ يَعْلَمُهُ فِيْكَ، فَلَا تُعَيِّرْهُ بِأَمْرٍ تَعْلَمُهُ فِيْهِ (“Jika ada seseorang yang mencelamu dengan aib yang ia ketahui ada padamu, maka janganlah engkau membalas mencelanya dengan aib yang engkau ketahui ada padanya.”). Inilah bimbingan dari Rasulullah ﷺ.

Al-Hasan Al-Bashri pernah diberitahu bahwa ada seseorang yang menggunjing beliau. Bagaimana sikap beliau? Beliau segera mengambil satu keranjang kurma dan berkata kepada orang yang menyampaikan berita itu, “Tolong sampaikan kepadanya ucapan terima kasihku, شُكْرًا.”

Hakikatnya, orang yang menggunjing kita telah mentransfer pahalanya kepada kita. Jika kita digunjing, sejatinya kita tidak rugi. Kerugian justru ada pada pihak yang menggunjing: ia telah mendapatkan dosa dan mentransfer pahalanya. Kerugian bagi kita baru akan terjadi jika kita memasukkannya ke dalam hati, menjadi baper (terbawa perasaan), marah, lalu membalas menjelek-jelekkannya. Pada akhirnya, kedua belah pihak sama-sama berdosa.

Di sinilah ‘Umar bin Al-Khattab memberikan sebuah kalimat yang indah. Ini memang berat, karena sebagai manusia, siapa yang suka nama baiknya dijelek-jelekkan? Namun, jika kita berpikir dengan tenang, akan tampak bahwa perbuatannya sama sekali tidak merugikan kita.


Kedua: Tempatkan Urusan Saudaramu pada Tempat Terbaik

وَضَعْ أَمْرَ أَخِيْكَ عَلَى أَحْسَنِهِ حَتَّى يَأْتِيَكَ مِنْهُ مَا يَغْلِبُكَ

“Letakkanlah urusan saudaramu pada tempat yang paling baik sampai datang darinya sesuatu yang tidak bisa engkau toleransi lagi.”

Ini adalah kaidah penting dalam persahabatan. Jika kita ingin persahabatan kita berjalan dengan baik, maka kita harus memenuhi hak-hak teman kita. Sebagai sesama muslim, salah satu kewajiban kita adalah menutup aib-aibnya. Rasulullah ﷺ bersabda: مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ (“Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat.”).

Saat kita sedang senang dan cinta kepada teman, sangat mudah untuk menutupi aibnya. Namun, ketika terjadi pertengkaran atau kesenjangan di antara kita, di situlah kita menjadi sangat mudah untuk membongkar aibnya. Oleh karena itu, berhati-hatilah. Tempatkanlah urusan saudaramu pada posisi yang paling baik; hormati dia, jaga perasaannya, dan tutupi aibnya. Bantulah ia saat ia berada dalam kesusahan dan doakan ia dari kejauhan.


Ketiga: Jangan Berprasangka Buruk pada Ucapan Seorang Muslim

وَلَا تَظُنَّنَّ بِكَلِمَةٍ خَرَجَتْ مِنْ مُسْلِمٍ شَرًّا وَأَنْتَ تَجِدُ لَهَا فِي الخَيْرِ مَحْمَلًا

“Dan janganlah sekali-kali engkau berprasangka buruk terhadap suatu kalimat yang keluar dari seorang muslim, selama engkau masih bisa membawanya pada makna yang baik.”

Bila saudara kita mengucapkan suatu perkataan yang tampaknya bermakna tidak baik, selama kita masih bersaudara sesama muslim, pahamilah perkataannya pada makna yang baik terlebih dahulu. Contohnya, ketika seorang teman berkata, “Mengapa kamu kalau hadir selalu terlambat?” Mungkin kita merasa sakit hati. Namun, berbaik sangkalah (husnudzon), mungkin tujuannya adalah untuk menasihati kita. Jangan langsung berburuk sangka (su’udzon) dengan berpikir, “Orang ini kerjaannya hanya menjelek-jelekkan saya.”

Jika dalam pertemanan kita selalu diawali dengan su’udzon, maka pertemanan itu akan sulit terjalin. Terutama jika kita sudah sangat akrab dengan seseorang, gaya bicara sering kali menjadi lebih ceplas-ceplos. Oleh karena itu, janganlah membawa ucapan teman kita pada makna yang tidak baik.

Para ulama mengatakan bahwa memvonis seseorang dengan konsekuensi dari ucapannya (lazimul qaul) adalah terlarang. Misalnya, jika seseorang berkata, “Saya meyakini suara saya ini adalah makhluk,” kita tidak boleh langsung menyimpulkan bahwa ia meyakini Al-Qur’an adalah makhluk. Bisa jadi yang ia maksudkan adalah suara (getaran pita suara) yang ia hasilkan adalah makhluk, bukan Kalamullah itu sendiri. Menghukumi dengan konsekuensi ucapan tidak diperbolehkan karena bisa jadi orang yang mengucapkannya tidak memahami konsekuensi dari perkataannya tersebut.

Hal ini pernah terjadi pada Imam Al-Bukhari. Ketika beliau ditanya tentang orang yang mengatakan لَفْظِي بِالقُرْآنِ مَخْلُوْقٌ (“Pelafalanku terhadap Al-Qur’an adalah makhluk”), beliau menjawab bahwa suara manusia adalah makhluk. Sebagian orang salah paham dan menuduh Imam Al-Bukhari sependapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, hingga beliau di-tahdzir (diperingatkan) dan diusir dari kota Naisabur. Padahal, ucapan Imam Al-Bukhari benar, tetapi orang lain telah berburuk sangka dan menghukuminya dengan konsekuensi ucapan.


Keempat: Jangan Mencampakkan Diri pada Tuduhan

وَمَنْ تَعَرَّضَ لِلتُّهْمَةِ فَلَا يَلُوْمَنَّ مَنْ أَسَاءَ بِهِ الظَّنَّ

“Dan barangsiapa yang menempatkan dirinya pada posisi yang mengundang tuduhan, maka janganlah ia mencela orang yang berburuk sangka kepadanya.”

Maksudnya, jika kita melakukan suatu perbuatan yang dapat membuat orang lain berburuk sangka kepada kita, maka jangan salahkan mereka jika mereka berburuk sangka. Kesalahan ada pada diri kita sendiri. Contohnya, jika Anda sengaja bermain ke tempat maksiat, meskipun niat Anda bukan untuk berbuat maksiat, orang lain akan berburuk sangka. Atau jika Anda berteman akrab dengan seorang penganut Syi’ah, jangan heran jika orang lain curiga Anda juga seorang Syi’ah.

Dalam kondisi seperti ini, kewajiban kita adalah menjelaskan. Suatu ketika, Shafiyyah radhiyallahu ‘anha mengunjungi Rasulullah ﷺ yang sedang i’tikaf di masjid. Saat Rasulullah ﷺ mengantar Shafiyyah pulang, beliau berpapasan dengan seorang sahabat. Khawatir sahabat tersebut berburuk sangka, Rasulullah ﷺ berkata, “Ini adalah istriku.” Sahabat itu menjawab, “Subhanallah, masakan kami berburuk sangka kepadamu, wahai Rasulullah?” Rasulullah ﷺ lalu bersabda, إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ (“Sesungguhnya setan mengalir dalam tubuh anak Adam sebagaimana aliran darah.”).

Rasulullah ﷺ tidak ingin perbuatannya menjadi sebab sahabatnya berburuk sangka. Maka, jika kita melakukan sesuatu yang mengundang kecurigaan, jelaskanlah.


Kelima: Jaga Rahasiamu

“Barangsiapa yang menyembunyikan rahasianya, maka pilihan (untuk menjaganya) ada pada dirinya.”

Artinya, jika Anda memiliki rahasia pribadi, terserah Anda apakah akan menyebarkannya atau tidak. Namun, jika rahasia itu adalah milik orang lain yang dipercayakan kepada Anda, maka haram hukumnya untuk menyebarkannya. Ini termasuk perbuatan khianat.


Keenam: Bertemanlah dengan Orang yang Jujur

عَلَيْكَ بِأَصْدِقَاءِ الصِّدْقِ

“Hendaklah engkau berteman dengan teman-teman yang jujur, dan hiduplah di tengah-tengah mereka. Karena teman yang jujur adalah hiasan di saat senang dan penolong di saat susah.”

Ada orang yang berteman dengan kita karena ketulusan, namun ada pula yang berteman karena “ada udang di balik batu”. Kapan kita bisa mengetahui kejujuran seorang teman? Saat kita diuji. Ketika kita kaya, semua orang mengaku sebagai teman. Namun, ketika kita susah, hanya teman yang jujur yang akan tetap membersamai kita.

Emas memang berharga, tetapi ketika Anda tenggelam, Anda akan memilih berpegangan pada kayu, bukan emas. Teman yang jujur, meskipun miskin, akan lebih berharga daripada teman kaya yang meninggalkan kita saat kita jatuh. Kejujuran dalam pertemanan hakikatnya adalah berteman karena Allah, bukan karena kekayaan, kedudukan, atau manfaat duniawi lainnya.


Ketujuh: Berpegang Teguh pada Kejujuran

عَلَيْكَ بِالصِّدْقِ وَإِنْ قَتَلَكَ الصِّدْقُ

“Hendaklah engkau berlaku jujur, walaupun kejujuran itu membunuhmu.”

Jujur artinya sinkronisasi antara ucapan dan hati, antara lahir dan batin. Jika tidak sinkron, itu adalah dusta, sifat orang munafik. Kita harus jujur kepada Allah dalam mengucapkan laa ilaha illallah, dalam shalat, dalam taubat, dan dalam hijrah kita.

Ketika seseorang menyatakan telah berhijrah, biasanya Allah akan mengujinya untuk melihat kejujurannya. Allah berfirman:

الم. أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ. وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الكَاذِبِينَ

“Alif Lam Mim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut: 1-3).

Kejujuran dalam iman sangatlah dibutuhkan. Salah satu dari tujuh syarat laa ilaha illallah adalah الصِّدْقُ (kejujuran).

Suatu ketika, seorang sahabat baru masuk Islam. Setelah perang, Rasulullah ﷺ memberinya bagian ghanimah (harta rampasan perang). Sahabat itu berkata, “Wahai Rasulullah, aku masuk Islam bukan karena ini. Aku masuk Islam karena berharap ada panah yang menancap di leherku dan aku mati syahid.” Rasulullah ﷺ menjawab, إِنْ تَصْدُقِ اللهَ يَصْدُقْكَ (“Jika engkau jujur kepada Allah, niscaya Allah akan mewujudkan kejujuranmu.”). Tak lama kemudian, terjadi perang, dan sahabat itu gugur dengan panah menancap tepat di lehernya. Rasulullah ﷺ pun berkata, صَدَقَ اللهَ فَصَدَقَهُ (“Ia telah jujur kepada Allah, maka Allah pun mewujudkan keinginannya.”).


Kedelapan: Tinggalkan yang Tidak Bermanfaat

وَلَا تَعَرَّضْ لِمَا لَا يَعْنِيْكَ

“Janganlah engkau menyibukkan diri dengan perkara yang tidak bermanfaat bagimu.”

Meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat adalah tanda baiknya keislaman seseorang. Rasulullah ﷺ bersabda: مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ المَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيْهِ (“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.”).

Jika kita masih sibuk dengan hal-hal yang tidak ada manfaatnya, berarti keislaman kita belum baik. Banyak orang menghabiskan waktu di media sosial untuk mengikuti berita-berita yang jika kita tidak mengetahuinya pun tidak akan rugi, dan jika kita mengetahuinya pun tidak ada manfaatnya. Jangan sampai kita menjadi seperti kumbang kotoran yang hanya menyukai hal-hal yang kotor dan tidak mau mendekati keharuman (ilmu Al-Qur’an dan Sunnah).


Kesembilan: Jangan Bertanya Sesuatu yang Belum Terjadi

لَا تَسْأَلْ عَمَّا لَمْ يَكُنْ، فَإِنَّ فِيْمَا كَانَ شُغْلًا عَمَّا لَمْ يَكُنْ

“Jangan bertanya tentang sesuatu yang belum terjadi, karena sesungguhnya pada apa yang telah terjadi sudah cukup menyibukkanmu daripada (membahas) apa yang belum terjadi.”

Para ulama merinci bahwa bertanya tentang sesuatu yang belum terjadi terbagi menjadi dua:

  1. Kemungkinan besar terjadi: Boleh ditanyakan. Contoh: “Ustadz, saya akan safar ke tempat yang kemungkinan sulit air. Apa yang harus saya lakukan untuk bersuci?”
  2. Kemungkinan kecil terjadi: Makruh untuk ditanyakan. Contoh: “Jika babi kawin dengan kambing, anaknya halal atau haram?”

Pertanyaan yang tidak menimbulkan amal juga sebaiknya dihindari. Contohnya, bertanya tentang jenis daun yang digunakan Nabi Adam untuk menutupi auratnya di surga. Para sahabat tidak pernah menanyakan hal-hal seperti tanggal pasti terjadinya Isra’ Mi’raj, karena mereka paham hal itu tidak akan menambah amal.


Kesepuluh: Jangan Meminta Tolong pada Orang yang Tidak Suka Keberhasilanmu

لَا تَطْلُبَنَّ حَاجَتَكَ إِلَى مَنْ لَا يُحِبُّ لَكَ نَجَاحَهَا

“Jangan sekali-kali engkau meminta pertolongan untuk suatu keperluan kepada orang yang tidak menyukai keberhasilanmu dalam urusan itu.”

Jangan pernah meminta tolong kepada orang yang dengki kepada kita. Ia tidak akan pernah membantu, bahkan bisa jadi akan mencelakakan kita. Mintalah pertolongan kepada orang yang kita yakini ikhlas dan tulus ingin membantu.


Kesebelas: Jangan Bersahabat dengan Orang Jahat (Fajir)

وَلَا تَصْحَبَنَّ الفَاجِرَ فَتَتَعَلَّمَ مِنْ فُجُوْرِهِ

“Jangan bersahabat dengan orang yang jahat (fajir), karena engkau akan belajar dari kejahatannya.”

Dalam Islam, kita diperintahkan untuk memilah dan memilih teman. Kita tidak dianjurkan bergaul dengan siapa saja. Rasulullah ﷺ bersabda: المَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ (“Seseorang itu tergantung pada agama teman akrabnya.”).

Jangan meremehkan masalah pertemanan. Abu Thalib meninggal dalam keadaan kafir karena pengaruh teman-teman buruknya. Allah mengabadikan penyesalan penghuni neraka dalam Al-Qur’an:

يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيْلًا. لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ

“Aduhai, celakalah aku! Kiranya (dulu) aku tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku. Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur’an (peringatan).” (QS. Al-Furqan: 28-29).


Kedua Belas: Jauhi Musuhmu

وَاعْتَزِلْ عَدُوَّكَ

“Jauhilah musuhmu.”

Jangan jadikan musuh sebagai orang kepercayaan. Ini sama saja dengan bunuh diri. Jika kita tahu seseorang memusuhi kita, jauhilah dia. Bukan berarti kita tidak boleh berbuat baik kepadanya, tetapi jangan pernah mempercayakan urusan penting kepadanya karena tujuan utama seorang musuh adalah merugikan kita.


Ketiga Belas: Waspadai Temanmu, Kecuali yang Amanah

وَاحْذَرْ صَدِيْقَكَ إِلَّا الأَمِيْنَ

“Waspadalah terhadap temanmu, kecuali orang yang terpercaya (amanah).”

Teman yang amanah adalah teman sejati yang akan menjaga rahasia kita. Cara mudah untuk mengetahui amanah atau tidaknya seorang teman adalah dengan mengujinya dengan sebuah rahasia kecil. Jika ia menjaganya, insya Allah ia amanah. Orang yang sulit membayar utang juga merupakan indikasi bahwa ia tidak amanah.

‘Umar bin Al-Khattab pernah berkata bahwa untuk benar-benar mengenal seseorang, kita harus pernah safar jauh dengannya, bermuamalah (bisnis) dengannya, atau bertetangga dengannya. Saat safar, karakter asli seseorang akan terlihat.


Keempat Belas: Amanah Hanya Dimiliki oleh Orang yang Takut kepada Allah

وَلَا أَمِيْنَ إِلَّا مَنْ يَخْشَى اللهَ

“Dan tidak ada orang yang amanah, kecuali orang yang takut kepada Allah.”

Artinya, orang yang takut kepada Allah bi idznillah pasti akan amanah. Sebaliknya, orang yang tidak amanah dan berkhianat, itu menunjukkan kurangnya rasa takutnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Kelima Belas: Khusyuklah di Sisi Kuburan

وَتَخَشَّعْ عِنْدَ القُبُوْرِ

“Dan khusyuklah engkau di sisi kuburan.”

Ketika kita berada di pemakaman, yang seharusnya kita lakukan adalah mengingat kematian. Sungguh mengherankan jika ada orang yang mengantar jenazah sambil tertawa-tawa. Para salafus shalih ketika mengantar jenazah sangat khusyuk karena mereka teringat akan kematian. Rasulullah ﷺ bersabda: زُوْرُوا القُبُوْرَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الآخِرَةَ (“Berziarahlah ke kubur, karena sesungguhnya ia dapat mengingatkan kalian kepada akhirat.”).


Keenam Belas: Merendahlah saat Melakukan Ketaatan

وَذِلَّ عِنْدَ الطَّاعَةِ

“Dan merendahlah (tunduklah) saat melakukan ketaatan.”

Ketika kita melakukan ketaatan, hendaknya hati kita khusyuk dan merendah di hadapan Allah, mengakui dosa-dosa dan kelemahan kita sebagai hamba. Jangan sampai kita taat tetapi hati kita sombong. Ketaatan yang disertai kesombongan dapat menimbulkan sifat ‘ujub (bangga diri).

Sadari bahwa ketaatan yang bisa kita lakukan adalah murni pertolongan dari Allah. Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Ada orang masuk surga karena maksiat, dan ada orang masuk neraka karena ketaatan.” Seseorang berbuat maksiat, lalu ia menyesalinya seumur hidupnya, dan karena penyesalannya itu Allah memasukkannya ke surga. Sebaliknya, ada orang yang melakukan ketaatan, lalu ia merasa hebat, tinggi derajatnya, dan meremehkan orang lain. Karena kesombongannya itu, ia masuk ke dalam neraka.


Ketujuh Belas: Mintalah Perlindungan saat Ada Maksiat

وَاعْتَصِمْ عِنْدَ المَعْصِيَةِ

“Dan mintalah perlindungan (kepada Allah) saat (menghadapi) maksiat.”

Ketika ada godaan untuk berbuat maksiat, segeralah meminta perlindungan kepada Allah dan kuatkan hati untuk meninggalkannya. Di zaman sekarang, maksiat ada di mana-mana, terutama melalui gawai kita. Ingatlah kematian. Bayangkan jika malaikat maut datang saat kita sedang berbuat maksiat. Saat itu, tidak akan ada waktu untuk bertaubat.


Kedelapan Belas: Bermusyawarahlah dengan Orang yang Takut kepada Allah

وَشَاوِرْ فِي أَمْرِكَ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ اللهَ

“Dan bermusyawarahlah dalam urusanmu dengan orang-orang yang takut kepada Allah.”

Musyawarah adalah perintah Allah. Bahkan Rasulullah ﷺ, manusia terbaik yang menerima wahyu, diperintahkan untuk bermusyawarah. Allah berfirman: وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ (“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.”). (QS. Ali ‘Imran: 159).

Namun, tidak semua orang layak diajak bermusyawarah. Pilihlah orang-orang yang takut kepada Allah, terutama dalam urusan agama. Untuk urusan dunia, kita bisa bermusyawarah dengan para ahlinya. Orang yang tidak takut kepada Allah bisa memberikan usulan yang menyesatkan atau bahkan menipu kita. Biasakanlah bermusyawarah dengan orang yang berilmu, berpengalaman, dan bertakwa.


Tanya Jawab

Tanya: Mohon nasihat untuk akhwat agar tidak merekam video atau mengambil gambar (saat kajian), karena ada akhwat lain yang membuka cadar dan khawatir gambarnya tersebar.

Jawab: Tujuan datang ke majelis ilmu adalah untuk menuntut ilmu. Duduk, catat, dan dengarkan dengan baik. Jangan menjadikan pengajian sebagai ajang untuk live di media sosial. Sebagian akhwat membuka cadar di majelis khusus wanita untuk menghindari su’udzon (karena ada kasus laki-laki yang menyamar memakai cadar). Maka, mengambil gambar atau video tanpa izin adalah perbuatan yang tidak dibenarkan. Jika memang tujuannya untuk syiar, lakukan dengan sangat hati-hati dan dengan izin, misalnya mengambil gambar dari belakang tanpa menampakkan wajah siapapun. Namun, hal ini tetap kurang baik karena fitnah wanita sangat besar.

Tanya: Mendawamkan (merutinkan) suatu amalan yang tidak ada contohnya dari Rasulullah ﷺ merupakan bid’ah. Bagaimana penjelasannya?

Jawab: Merutinkan suatu amalan seakan-akan amalan itu adalah sunnah, padahal tidak ada dasarnya, maka ini tidak diperbolehkan dan termasuk bid’ah. Bahkan, menurut Ibnu Qayyim, sesuatu yang hukumnya sunnah sekalipun tidak boleh dirutinkan jika dapat menyebabkan orang awam menyangka hal itu wajib. Contohnya, membaca surah As-Sajdah pada rakaat pertama dan surah Al-Insan pada rakaat kedua shalat Subuh di hari Jumat. Jika dirutinkan terus-menerus hingga orang menganggapnya wajib, maka tidak disyariatkan untuk dirutinkan. Sebaiknya sesekali membaca surah lain untuk menunjukkan bahwa hukumnya sunnah. Apalagi jika amalan tersebut sama sekali tidak ada sunnahnya, lalu dirutinkan seakan-akan bagian dari syariat, maka ini lebih berbahaya.

Tanya: Bolehkah berburuk sangka kepada seorang pelajar yang jelas-jelas menyontek saat ujian?

Jawab: Jika sudah jelas terlihat ia menyontek, maka itu bukanlah buruk sangka, melainkan fakta yang terlihat. Yang tidak boleh adalah jika kita tidak pernah melihatnya menyontek, lalu nilainya bagus, kemudian kita berburuk sangka, “Jangan-jangan dia menyontek.” Itu yang dilarang.

Tanya: Apa hukum membaca atau melihat status orang lain di WhatsApp?

Jawab: Jika seseorang memasang statusnya untuk publik (umum), maka itu seakan-akan memberikan sinyal bahwa status tersebut boleh untuk dikonsumsi secara umum. Sama halnya dengan unggahan di media sosial yang disetel untuk publik. Jika ia menginginkannya sebagai konsumsi khusus, seharusnya ia tidak mengunggahnya untuk umum.

Demikian, semoga yang disampaikan bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Related Articles

Back to top button