إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَ1شْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ صَلَّى اللَّهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ، أَمَّا بَعْدُ.
Segala puji bagi Allah. Kita memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, serta kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari keburukan jiwa-jiwa kita dan dari kejelekan amal perbuatan kita. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, dan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan utusan-Nya. Semoga shalawat, salam, serta keberkahan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti petunjuknya dengan benar hingga hari Kiamat.
فَإِنَّهُ لَيَسُرُّنِي وَيَمْلَأُ قَلْبِي حِينَمَا أَرَى مِثْلَ هَذِهِ الْوُجُوهِ الَّتِي تَقْصِدُهُ طَلَبًا لِلْعِلْمِ، وَحَقِيقَةً هَذِهِ مِيزَةٌ تَمَيَّزْتُمْ بِهَا أَنْتُمْ يَا أَهْلَ إِنْدُونِيسِيَا، فَهَنِيئًا لَكُمْ.
Adapun selanjutnya, maka sesungguhnya hati saya sangat bergembira ketika melihat wajah-wajah yang bersemangat seperti antum sekalian, yang mendatangi rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam rangka menuntut ilmu. Ini merupakan sebuah keistimewaan dan kelebihan yang ada pada diri antum semua. Wahai penduduk Indonesia, ini merupakan sebuah kemuliaan dan kebaikan bagi kalian.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ”. (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadis yang sahih bersabda, “Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dengan tujuan untuk mencari ilmu, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim).
Kedudukan Ulama Salaf
نَحْمَدُ اللَّهَ تَعَالَى أَنْ جَمَعَنِي وَإِيَّاكُمْ عَلَى مَوَائِدِ سَلَفِنَا الصَّالِحِ الَّذِينَ نَنْتَسِبُ إِلَيْهِمْ، نَحْمَدُهُ لِأَنَّهُمْ أَهْلُ الْهُدَى مِنَ الْأَخْيَارِ، اللَّهُ تَعَالَى رَضِيَ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ.
Kita memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mengumpulkan kita semua di atas petunjuk dan pemahaman para ulama salaf, yang kita senantiasa menisbatkan diri kepada petunjuk dan jalan mereka. Kita memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memudahkan taufik-Nya bagi kita untuk mengenal pemahaman ini. Karena para ulama salaf, merekalah ahlul atsar, ahlul hadis, yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ridai dan mereka pun rida kepada-Nya, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:
“وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ”.
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya.”
Ayat ini merupakan satu-satunya ayat yang menyebutkan jaminan surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya tanpa menggunakan huruf jar atau kata depan مِنْ (dari). Di ayat-ayat lain, disebutkan مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ (yang mengalir dari bawahnya surga). Namun, di ayat ini langsung disebutkan تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ, yang menunjukkan di bawah surga tersebut mengalir sungai-sungai yang indah.
Enam Prinsip Dasar Ahlus Sunnah wal Jama’ah
لِلسَّلَفِ -رَحِمَهُمُ اللَّهُ- أَهْلِ الْآثَارِ، أَهْلِ الْحَدِيثِ، أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ أُصُولٌ كَانُوا يُرَكِّزُونَ عَلَيْهَا فِي دَعْوَتِهِمْ تَعَلُّمًا وَتَعْلِيمًا، سَأَخْتَارُ لَكُمْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ سِتَّةَ أُصُولٍ مُوجَزَةٍ.
Para ulama salaf, yang merupakan ahlul atsar, ahlul hadis, dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, memiliki prinsip-prinsip dasar yang mereka jadikan sebagai pegangan dalam meniti jalan agama ini dan sebagai landasan dalam berdakwah, baik dalam mempelajari maupun mengajarkan ilmu. Di sini, saya akan memilih enam di antara prinsip-prinsip dasar mereka, yang akan saya sebutkan secara ringkas.
Prinsip Pertama: Ikhlas (Tauhidullah)
أَوَّلُ أَصْلٍ رَكَّزُوا عَلَيْهِ فِي دِينِهِمْ هُوَ إِخْلَاصُ الدِّينِ لِلَّهِ، وَإِخْلَاصُ الدِّينِ لِلَّهِ هُوَ تَوْحِيدُ اللَّهِ، أَنْ لَا يُعْبَدَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ، لَا يُشَارِكُهُ فِي الْعُبُودِيَّةِ أَحَدٌ.
Prinsip dasar yang pertama adalah mengikhlaskan agama semata-mata untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu mentauhidkan Allah. Maksudnya, tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, tanpa ada sekutu bagi-Nya. Tidak ada satu pun yang menjadi sekutu dalam peribadatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta’ala berfirman:
“أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ”
“Ketahuilah, hanya milik Allah-lah agama yang murni (ikhlas).”
Dan Dia berfirman:
“فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ”
“Maka beribadahlah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama hanya bagi-Nya.”
Artinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima ibadah seseorang kecuali yang ditujukan hanya untuk-Nya semata.
وَجَعَلُوا هَذَا الْأَصْلَ أَصْلَ الْأُصُولِ بِإِطْلَاقٍ، لِأَنَّهُ حَقُّ اللَّهِ. الْحُقُوقُ كَثِيرَةٌ: حَقُّ الْوَالِدَيْنِ، حَقُّ الْجِوَارِ، حَقُّ الزَّمَالَةِ، حَقُّ الْأَبْنَاءِ، حَقُّ الْأَقَارِبِ. أَعْظَمُ الْحُقُوقِ حَقُّ اللَّهِ.
Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjadikan prinsip ini sebagai fondasi dari segala prinsip secara mutlak, karena ini menyangkut hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang merupakan hak terbesar dan paling agung. Kita tahu bahwa hak-hak yang menjadi kewajiban manusia itu banyak, seperti hak berbakti kepada kedua orang tua, hak berbuat baik kepada tetangga, hak dalam pertemanan, hak terhadap anak-anak, dan hak-hak lainnya. Namun, hak yang paling agung adalah hak Allah. Mengapa demikian? Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu saat membonceng di belakang beliau:
“يَا مُعَاذُ، أَتَدْرِي مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ؟” قَالَ: “اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ.” قَالَ: “حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا.” ثُمَّ قَالَ: “أَتَدْرِي مَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ إِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ؟ أَنْ لَا يُعَذِّبَهُمْ، وَأَنْ يُدْخِلَهُمُ الْجَنَّةَ إِذَا لَمْ يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا.”
“Wahai Mu’adz, apakah engkau tahu apa hak Allah atas hamba-hamba-Nya?” Mu’adz menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau tahu apa hak hamba-hamba atas Allah jika mereka melakukannya?” Mu’adz menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hak Allah atas hamba-hamba-Nya adalah mereka beribadah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Adapun hak hamba atas Allah adalah Allah tidak akan mengazab mereka dan akan memasukkan mereka ke dalam surga jika mereka tidak berbuat syirik kepada-Nya.”
فَمَنْ صَلَّى لِلَّهِ وَحْدَهُ فَقَدْ وَحَّدَ اللَّهَ، وَمَنْ صَلَّى لِلَّهِ وَلِغَيْرِهِ فَقَدْ أَشْرَكَ بِاللَّهِ.
Maka, barang siapa melaksanakan salat hanya untuk Allah semata, dia telah mentauhidkan Allah. Namun, barang siapa salat untuk Allah dan juga untuk selain-Nya, seperti mendatangi kuburan yang dikeramatkan lalu salat untuk penghuninya, maka dia telah melakukan perbuatan syirik.
وَمَنْ ذَبَحَ تَقَرُّبًا إِلَى اللَّهِ وَحْدَهُ فَقَدْ وَحَّدَ اللَّهَ، وَمَنْ ذَبَحَ فِي أَحَدِ مَوَاسِمِهِ لِوَلِيٍّ صَالِحٍ مُتَوَفًّى، ذَبَحَهُ تَقَرُّبًا إِلَيْهِ، فَقَدْ أَشْرَكَ بِاللَّهِ.
Barang siapa menyembelih kurban dalam rangka mendekatkan diri hanya kepada Allah semata, maka dia telah bertauhid. Akan tetapi, barang siapa menyembelih untuk selain Allah, misalnya pada musim tertentu mendatangi kuburan orang yang dianggap saleh lalu menyembelih untuk penghuni kubur tersebut, maka sungguh dia telah berbuat syirik kepada Allah. Dalilnya adalah firman Allah:
“قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ.”
“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Sesungguhnya salatku, sembelihanku (nusuk), hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (kepada Allah).'” An-Nusuk artinya adalah sembelihan.
وَمَنْ ارْتَكَبَ مُخَالَفَةً، فَيَحْلِفُ بِاللَّهِ كَاذِبًا وَيَخَافُ أَنْ يَحْلِفَ بِالْوَلِيِّ صَادِقًا، فَهَذَا مُشْرِكٌ، لِأَنَّهُ خَافَ مَخْلُوقًا أَكْثَرَ مِنْ خَوْفِهِ لِلَّهِ. نَسْأَلُ اللَّهَ السَّلَامَةَ.
Barang siapa melakukan pelanggaran, lalu di hadapan pengadilan Islam diminta bersumpah dengan nama Allah, lalu ia bersumpah dusta. Kemudian ketika diminta bersumpah dengan nama wali fulan, ia justru takut untuk berdusta karena khawatir wali tersebut akan menimpakan keburukan padanya, maka ini adalah perbuatan syirik. Ia lebih takut kepada makhluk daripada kepada Allah. Kita memohon keselamatan kepada Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ أَوْ كَفَرَ.”
“Barang siapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah berbuat syirik atau kufur.”
Oleh karena itu, sahabat mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
“لَأَنْ أَحْلِفَ بِاللَّهِ كَاذِبًا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَحْلِفَ بِغَيْرِهِ وَأَنَا صَادِقٌ، لِأَنَّ الشِّرْكَ أَعْظَمُ مِنْ كَبَائِرِ الذُّنُوبِ.”
“Sungguh, aku bersumpah dengan nama Allah dalam keadaan dusta lebih aku sukai daripada aku bersumpah dengan nama selain-Nya meskipun aku jujur.” Mengapa? Karena bersumpah dusta dengan nama Allah adalah dosa besar, sedangkan bersumpah dengan nama selain Allah adalah kesyirikan, dan syirik jauh lebih besar daripada dosa besar mana pun.
لِأَجْلِ هَذَا، أَوَّلُ أَمْرٍ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ فِي سُورَةِ الْبَقَرَةِ هُوَ الْأَمْرُ بِالتَّوْحِيدِ: “يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ”.
Karena inilah, perintah pertama dalam Al-Qur’an (berdasarkan urutan mushaf) adalah perintah untuk bertauhid, yaitu firman-Nya: “Wahai manusia, beribadahlah kepada Rabb-mu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertakwa.”
Ayat ini menunjukkan dua makna:
- Perintah pertama dalam Al-Qur’an adalah untuk mentauhidkan Allah dalam ibadah.
- Seorang hamba tidak akan bisa menjadi orang yang bertakwa ( لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ) sampai ia mentauhidkan Allah.
وَالْغَرِيبُ كَيْفَ يَعْبُدُ الْعَبْدُ مَعَ اللَّهِ غَيْرَهُ، وَلَمْ يَخْلُقْهُ إِلَّا اللَّهُ، وَرِزْقُهُ مِنَ اللَّهِ، وَحِفْظُهُ مِنَ اللَّهِ؟ فَكَيْفَ تَعْبُدُ مَعَهُ غَيْرَ اللَّهِ؟
Sungguh mengherankan jika ada seorang hamba yang menyembah selain Allah bersama-Nya. Padahal, hanya Allah yang menciptakannya, memberinya rezeki, dan menjaganya dari segala keburukan. Bagaimana mungkin ia menyembah selain Allah?
فَمَنْ دَعَا غَيْرَ اللَّهِ، يَا فُلَانُ أَدْرِكْنِي، يَا سَيِّدِي فُلَانُ نَجِّحْنِي فِي دِرَاسَتِي، فَقَدْ أَشْرَكَ بِاللَّهِ.
Maka, barang siapa berdoa kepada selain Allah, seperti datang ke kuburan lalu berkata, “Wahai fulan, tolonglah aku,” atau seorang wanita berkata, “Wahai wali fulan, berilah aku keturunan,” atau seorang penuntut ilmu berkata, “Wahai fulan, luluskanlah aku dalam studiku,” maka sungguh ia telah berbuat syirik. Allah Ta’ala berfirman:
“فَادْعُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ.”
“Maka berdoalah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya, walaupun orang-orang kafir tidak menyukainya.”
Dalam ayat ini, Allah menyebut bahwa berdoa hanya kepada-Nya adalah bentuk ikhlas dalam beragama, dan perbuatan sebaliknya (berdoa kepada selain-Nya) dibenci oleh orang-orang kafir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ.”
“Doa adalah ibadah.”
Berarti, barang siapa berdoa kepada selain Allah, ia telah beribadah kepada selain Allah. Allah juga berfirman tentang sesembahan selain-Nya:
“إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ.”
“Jika kamu menyeru mereka, mereka tidak akan mendengar seruanmu. Dan kalaupun mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan pada hari Kiamat, mereka akan mengingkari kesyirikanmu itu.”
اللَّهُ يُحِبُّ مِنَّا أَنْ نُحِبَّ أَوْلِيَاءَهُ، لَكِنْ لَا نَعْبُدُهُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ.
Allah mencintai hamba-Nya yang mencintai para wali-Nya (kekasih-Nya). Kita diperintahkan untuk mencintai mereka, akan tetapi bukan untuk menjadikan mereka sebagai sesembahan selain Allah. Inilah perkara yang sering disalahpahami oleh sebagian kaum muslimin.
Ada sebuah kisah khurafat yang saya baca dalam sebuah kitab. Seorang penulis menceritakan karamah syekhnya yang dianggap wali. Saat kapalnya menuju India mengalami kebocoran hebat, semua orang panik. Penulis ini pun berdoa menyebut nama syekhnya yang sudah wafat, “يَا سَيِّدِي فُلَانُ، أَغِثْنِي وَأَدْرِكْنِي” (“Wahai tuanku fulan, tolonglah aku”). Seketika ia tertidur dan bermimpi syekhnya datang membawa kain putih lalu menambal kebocoran kapal itu. Ketika terbangun, ia berteriak bahwa mereka telah diselamatkan oleh syekh fulan. Mereka pun mendapati kain putih benar-benar menutupi bagian yang bocor. Kisah seperti ini jelas merupakan khurafat dan kesyirikan kepada Allah.
أَوَّلُ أَمْرٍ فِي الْقُرْآنِ هُوَ التَّوْحِيدُ، وَأَوَّلُ نَهْيٍ هُوَ النَّهْيُ عَنِ الشِّرْكِ. “فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ.”
Jika perintah pertama dalam Al-Qur’an adalah tauhid, maka larangan pertama adalah larangan berbuat syirik. Di lanjutan ayat tadi, Allah berfirman: “Maka janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”
Demikian pula, setiap kali Allah menyebutkan larangan-larangan, larangan syirik selalu menjadi yang pertama.
“قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا.”
“Katakanlah: ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Rabb-mu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia…'”
Bahkan dalam baiat wanita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yang pertama disebutkan adalah:
“يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لَا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا.”
“Mereka berbaiat kepadamu untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun.”
جَمِيعُ الرُّسُلِ -عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ- رَكَّزُوا عَلَى التَّوْحِيدِ.
Semua nabi dan rasul menjadikan tauhid sebagai fokus utama dakwah mereka. Allah menceritakan dakwah Nuh, Hud, Shalih, dan Syu’aib ‘alaihimussalam, yang semuanya menyeru kaumnya:
“يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ.”
“Wahai kaumku, sembahlah Allah! Sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.”
Keutamaan terbesar yang mereka ajarkan adalah tauhid, dan keburukan terbesar yang mereka peringatkan adalah syirik. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, beliau berpesan:
“فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ.”
“Maka jadikanlah perkara pertama yang kamu serukan kepada mereka adalah agar mereka mentauhidkan Allah.”
Nasihat Luqman al-Hakim kepada putranya juga dimulai dengan larangan syirik:
“يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ.”
“Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang besar.”
Nasihat Nabi Ibrahim kepada ayahnya pun demikian:
“يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا.”
“Wahai ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun?”
التَّوْحِيدُ أَيُّهَا الْكِرَامُ يَنْقَسِمُ إِلَى: تَوْحِيدِ الرُّبُوبِيَّةِ، وَتَوْحِيدِ الْأُلُوهِيَّةِ، وَتَوْحِيدِ الْأَسْمَاءِ وَالصِّفَاتِ.
Wahai saudara-saudaraku yang mulia, tauhid terbagi menjadi tiga:
- Tauhid Rububiyah: Meyakini bahwa hanya Allah satu-satunya Pencipta, Pemberi rezeki, yang Menghidupkan, Mematikan, dan Mengatur alam semesta. Orang-orang musyrik di zaman Nabi pun mengakui ini. “وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ” (“Dan jika engkau bertanya kepada mereka siapa yang menciptakan langit dan bumi, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah'”). Namun, pengakuan ini saja tidak cukup untuk memasukkan seseorang ke dalam Islam.
- Tauhid Uluhiyah: Mengesakan Allah dalam segala bentuk ibadah. Salat, puasa, zakat, haji, doa, dan kurban hanya ditujukan kepada Allah semata. Allah berfirman dalam lafaz yang ringkas namun padat makna: “فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ” (“Maka laksanakanlah salat karena Rabb-mu, dan berkurbanlah”).
- Tauhid Asma’ was Sifat: Menetapkan bagi Allah nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang Maha Tinggi sebagaimana yang Dia tetapkan untuk diri-Nya dalam Al-Qur’an dan Sunnah, tanpa menyerupakannya dengan makhluk, dan meyakini hanya Allah yang memiliki kesempurnaan mutlak. Hampir setiap ayat dalam Al-Qur’an ditutup dengan nama dan sifat Allah, seperti: “إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ” atau “وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا”. Ini adalah jenis tauhid yang paling banyak disebutkan dalam Al-Qur’an.
Saya pernah membaca kisah khurafat tentang seorang hakim di Yaman yang istrinya meninggal. Karena sangat sedih, ia meminta kepada seorang yang dianggap wali untuk menghidupkan kembali istrinya. “إِنْ لَمْ يُحْيِهَا اللَّهُ لِي لَأَمُوتَنَّ” (“Jika Allah tidak menghidupkannya untukku, aku akan mati”). Si ‘wali’ itu kemudian memanggil nama istrinya, “يَا فُلَانَةُ”, lalu si istri menjawab “نَعَمْ” (Iya) dan hidup kembali. Ini adalah kesyirikan yang nyata karena menisbatkan sifat Allah (menghidupkan yang mati) kepada makhluk.
Prinsip Kedua: Jalan Menuju Allah Hanya Satu
الْأَصْلُ الثَّانِي: الطَّرِيقُ إِلَى اللَّهِ وَاحِدٌ. الْجَنَّةُ وَاحِدَةٌ.
Prinsip dasar yang kedua adalah jalan yang menyampaikan kita kepada Allah hanya satu. Surga itu satu. Dalam doa kita, kita memohon:
“اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ.”
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.”
Jalan ini hanya satu-satunya. Oleh karena itu, ketika Al-Qur’an menyebutkan golongan-golongan sesat (الْأَحْزَابِ), ia menyebutkannya dalam bentuk jamak (banyak). Namun, ketika menyebutkan golongan Allah (حِزْبُ اللَّهِ), ia menyebutkannya dalam bentuk tunggal (satu).
“أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ.”
“Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, sesungguhnya golongan Allah itulah yang beruntung.”
Jalan yang satu ini sumber pengambilannya pun satu, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي أَبَدًا: كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِي.”
“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selamanya jika berpegang teguh padanya: Kitabullah dan Sunnahku.”
Para ulama salaf, jika telah datang kepada mereka dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah, mereka tidak akan menoleh kepada ucapan siapa pun. Allah berfirman:
“وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا.”
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.”
Abdullah bin Mas’ud berkata, “حَبْلُ اللَّهِ هُوَ كِتَابُ اللَّهِ” (Tali Allah adalah Kitabullah).
Prinsip Ketiga: Mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah dengan Pemahaman Salafus Shalih
الْأَصْلُ الثَّالِثُ: اتِّبَاعُ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ بِفَهْمِ سَلَفِ الْأُمَّةِ.
Prinsip dasar yang ketiga adalah mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman para ulama salaf. Karena manusia bisa berselisih dalam memahami Al-Qur’an dan Sunnah, maka rujukan kita adalah pemahaman para sahabat dan generasi setelahnya. Dalilnya adalah firman Allah:
“وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا.”
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”
“Jalan orang-orang mukmin” (سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ) pada saat ayat ini turun adalah jalannya para sahabat. Ini menunjukkan wajibnya mengikuti pemahaman mereka. Dalil dari Sunnah adalah hadis tentang perpecahan umat:
“وَإِنَّ هَذِهِ الْأُمَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً.” قَالُوا: “وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟” قَالَ: “مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي.”
“Dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu.” Para sahabat bertanya, “Siapakah golongan itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mereka yang mengikuti jalanku dan jalan para sahabatku pada hari ini.”
Juga sabda beliau: “خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ” (“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya”).
Contohnya adalah fitnah di zaman Khalifah Bani Abbasiyah yang memaksa para ulama untuk meyakini bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Ketika seorang syekh yang dipenjara dihadapkan kepada khalifah dan qadhinya (Ibnu Abi Duad), syekh tersebut bertanya:
“هَذَا الْقَوْلُ بِأَنَّ الْقُرْآنَ مَخْلُوقٌ، هَلْ دَعَا إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ أَبُو بَكْرٍ؟ عُمَرُ؟ عُثْمَانُ؟ عَلِيٌّ؟”
“Keyakinan bahwa Al-Qur’an ini makhluk, apakah pernah diserukan oleh Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Utsman, atau Ali?” Ibnu Abi Duad menjawab tidak untuk semuanya. Lalu syekh itu berkata:
“أَمْرٌ لَمْ يَدْعُ إِلَيْهِ الرَّسُولُ وَلَا أَصْحَابُهُ، أَعَلِمْتُمُوهُ وَجَهِلُوهُ؟”
“Sebuah perkara yang tidak pernah diserukan oleh Rasul dan para sahabatnya, apakah kalian mengetahuinya sedangkan mereka tidak mengetahuinya?”
Mendengar argumen ini, sang khalifah tertawa, tersadar, lalu bertaubat dari keyakinan tersebut dan membebaskan sang syekh. Ini menunjukkan bahwa kembali kepada pemahaman salaf adalah solusi dari perselisihan.
Prinsip Keempat: Meraih Kemuliaan dengan Ilmu
الْأَصْلُ الرَّابِعُ: نَيْلُ السُّؤْدُدِ بِالْعِلْمِ.
Prinsip dasar yang keempat adalah meraih kemuliaan dan kedudukan tinggi dengan ilmu. Allah Ta’ala berfirman:
“يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ.”
“Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
Kisah yang indah terjadi di zaman Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Ketika beliau bertemu gubernur Makkah di luar kota, beliau bertanya, “مَنِ اسْتَخْلَفْتَ عَلَى أَهْلِ الْوَادِي؟” (“Siapa yang engkau jadikan penggantimu untuk memimpin penduduk Makkah?”). Gubernur menjawab, “Ibnu Abza.” Umar bertanya, “وَمَنِ ابْنُ أَبْزَى؟” (“Siapa Ibnu Abza?”). Gubernur menjawab, “عَبْدٌ مِنْ مَوَالِينَا” (“Seorang bekas budak kami”). Umar terkejut, “اسْتَخْلَفْتَ عَلَيْهِمْ عَبْدًا؟” (“Engkau mengangkat seorang budak untuk memimpin mereka?”). Gubernur menjelaskan:
“إِنَّهُ قَارِئٌ لِكِتَابِ اللَّهِ، عَالِمٌ بِالْفَرَائِضِ.”
“Sesungguhnya dia adalah seorang yang ahli Al-Qur’an dan alim dalam ilmu waris (faraid).”
Maka Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ.”
“Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat sebagian kaum dengan Kitab ini (Al-Qur’an) dan akan merendahkan kaum yang lain dengannya.”
Prinsip Kelima: Membantah Kesalahan sebagai Bentuk Amar Ma’ruf Nahi Munkar
الْأَصْلُ الْخَامِسُ: الرَّدُّ عَلَى الْمُخَالِفِ مِنْ بَابِ الْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ.
Prinsip dasar yang kelima adalah membantah kesalahan orang yang menyimpang sebagai bagian dari amar ma’ruf nahi munkar. Jika kita saling mendiamkan kesalahan karena rasa tidak enak, maka kemungkaran akan menyebar. Ini adalah kebiasaan orang Yahudi yang dicela oleh Allah:
“كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ.”
“Mereka satu sama lain tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mendiamkan kesalahan. Ketika Mu’adz bin Jabal mengimami salat Isya dengan membaca surah Al-Baqarah hingga seorang makmum keluar dari barisan dan salat sendiri, Mu’adz menuduhnya munafik. Setelah orang itu mengadu kepada Nabi, beliau menegur Mu’adz:
“أَفَتَّانٌ أَنْتَ يَا مُعَاذُ؟”
“Apakah engkau ingin menjadi penebar fitnah, wahai Mu’adz?”
Meskipun Mu’adz adalah sahabat senior, Rasulullah tetap meluruskan kesalahannya. Karena:
“الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ.”
“Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya.”
Prinsip Keenam: Pemurnian dan Pendidikan (At-Tasfiyah wat-Tarbiyah)
الْأَصْلُ السَّادِسُ: التَّصْفِيَةُ وَالتَّرْبِيَةُ.
Prinsip dasar yang keenam adalah At-Tasfiyah (pemurnian) dan At-Tarbiyah (pendidikan). Seiring berjalannya waktu, banyak penyimpangan, bid’ah, dan pemahaman keliru yang masuk ke dalam ajaran Islam. Maka, kita membutuhkan dua hal:
- Tasfiyah: Membersihkan Islam dari segala hal yang bukan darinya, seperti syirik, bid’ah, hadis palsu, dan pemahaman yang menyimpang.
- Tarbiyah: Mendidik umat di atas Islam yang murni dan bersih setelah proses pemurnian tersebut.
Prinsip ini diambil dari doa dalam surah Al-Fatihah:
“غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ.”
“Bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
Rasulullah menafsirkan al-maghdhubi ‘alaihim (yang dimurkai) adalah Yahudi (yang punya ilmu tapi tidak beramal), dan adh-dhallin (yang sesat) adalah Nasrani (yang beramal tanpa ilmu). Kita memohon kepada Allah agar jalan kita dimurnikan dari jalan kedua golongan ini.
Dalam khotbahnya, Rasulullah selalu mengingatkan:
“إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.”
“Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan, setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”
Para ulama telah berjasa melakukan tasfiyah dengan membedakan hadis sahih dari yang lemah dan palsu. Contohnya hadis palsu yang dibuat oleh pedagang kacang ‘adas untuk melariskan dagangannya: “Makanlah ‘adas, karena ia disucikan oleh lisan 70 nabi.” Ini adalah kebohongan yang dijelaskan kepalsuannya oleh para ulama.
Penutup
Inilah ringkasan dari enam prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang saya sebutkan secara singkat. Semoga kita bisa memahami prinsip dasar mereka berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah, dan semoga Allah mengumpulkan kita bersama mereka. Semangat antum sekalian dalam menuntut ilmu adalah kabar gembira bagi umat ini. Saya memohon kepada Allah agar senantiasa memberikan taufik kepada kita semua.
بَارَكَ اللَّهُ فِيكُمْ.
Sesi Tanya Jawab
Pertanyaan Pertama:
Assalamualaikum, Syekh. Mohon solusinya, bagaimana mengingatkan ayah saya karena beliau sering menggunakan jimat yang dipercayai bisa melindungi dari marabahaya? Beliau sudah sering diingatkan, tapi malah semakin menjadi. Beliau juga sulit diajak salat ke masjid.
Jawaban Syekh:
Semoga Allah memberikan balasan kebaikan atas semangat Anda mendakwahi orang tua. Yang terpenting adalah Anda terus berusaha menasihatinya dan mengajaknya kepada kebaikan. Adapun hidayah, itu ada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ.”
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufik) siapa yang dikehendaki-Nya.” Teruslah bersemangat mendakwahinya, dan serahkan urusan hidayah kepada Allah.
Pertanyaan Kedua:
Bagaimana hukum beribadah kepada Allah, tetapi ada sedikit terbersit tujuan agar dimudahkan rezeki?
Jawaban Syekh:
Seseorang yang beribadah ikhlas karena Allah, namun bersamaan dengan itu ia berharap Allah memberinya rezeki, maka ini tidak mengapa, selama motivasi utamanya adalah ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah sendiri menyebutkan kaitan antara iman dan takwa dengan keberkahan:
“وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ.”
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.”
Namun, ini berbeda dengan orang yang menjadikan tujuan duniawi sebagai syarat. Saya teringat ada pemuda yang berkata, “Kami salat untuk kesembuhan teman kami. إِنْ لَمْ يَشْفِهِ اللَّهُ فَلَنْ نُصَلِّيَ (Jika Allah tidak menyembuhkannya, kami tidak akan salat lagi).” Ini adalah adab yang sangat buruk kepada Allah, dan ibadah seperti ini tidak akan mendapatkan pahala sedikit pun karena tujuannya bukan ikhlas.
Pertanyaan Ketiga:
Bagaimana agar kita bisa selalu istiqamah di atas pemahaman salafus shalih?
Jawaban Syekh:
Cara untuk tetap istiqamah adalah dengan terus menuntut ilmu, mempelajari Al-Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman para ulama salaf. Perbanyaklah membaca kitab-kitab yang memuat riwayat (atsar) para sahabat, seperti kitab-kitab tafsir (Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Ath-Thabari) dan kitab-kitab Sunnah yang juga menukil riwayat para sahabat. Dengan cara inilah kita bisa kokoh di atas pemahaman mereka.
جَزَاكُمُ اللَّهُ خَيْرًا. أَسْأَلُ اللَّهَ لِي وَلَكُمْ التَّوْفِيقَ. اللَّهُمَّ انْفَعْنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا وَعَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا… وَصَلِّ اللَّهُمَّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ.
(Kemudian Syekh menutup dengan doa kebaikan untuk kita semua, untuk negeri ini, dan memohon agar kita senantiasa diberi hidayah dan istiqamah di atas Islam yang benar).
Subhanakallahumma wabihamdika, asyhadu alla ilaha illa anta, astaghfiruka wa atubu ilaik.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.