Dr. Emha Hasan Ayatullah M.AKajian KitabShahih Jami' As- Shagir

Shahih Jami’ As-Shagir: Kabar dari Jibril (Bag.3)

Ikhwah sekalian, orang ketika sakit sering kali putus asa. Dia kadang merasa, “Ya, saya berdosa,” dan seolah-olah lemah. Dan barangkali dia pasrah. Orang sampai memberi motivasi mengatakan, “Ayo semangat, ayo semangat!” Masalahnya bukan semangat atau tidak semangat. Ketika seorang dalam kondisi lemah, dia tidak mampu untuk berbuat apa pun. Dan sering kali ketika dia sudah sembuh, dia lupa dengan kondisi waktu sakit.

Sekuat apa pun orang ketika sakit, dia betul-betul berada pada sisi yang terlemah dan dia pasrah, tidak bisa berbuat apa-apa. Orang kaya, pejabat, memiliki semuanya, ketika sakit, selesai urusannya. Seolah dia akan pasrah kepada orang yang bisa membantunya: dunia medis, obat-obatan. Disuruh istirahat, tidak beraktivitas. Kekuatan yang dibanggakan hilang. Ini bisa jadi teguran dari Allah Subhanahu wa Ta’ālā.

Maka kita akan merasa nikmat sehat itu pada saat Allah menguji dengan sakit. Maka ini yang juga disampaikan oleh Ibnu Rajab al-Ḥanbalī raḥimahullāh. Beliau mengatakan, وَأَكْثَرُ هَذِهِ النِّعَمِ إِنَّمَا يُعْرَفُ قَدْرُهَا عِنْدَ فَقْدِهَا (Wa aktsaru hādzihin-ni’am innama yu’rafu qadruhā ‘inda faqdihā). Kebanyakan nikmat yang Allah berikan ini baru dirasakan berharganya pada saat hilang.

Maka beruntunglah orang-orang yang bisa mengambil pelajaran dari orang lain. Sampai di dalam pepatah Arab mengatakan, فَالْسَعِيدُ مَنْ وُعِظَ بِغَيْرِهِ (Fa as-Sa’īdu man wu’iẓa bighayrihi). Orang yang berbahagia adalah orang yang bisa mengambil nasihat dari kejadian orang lain. Mendapat musibah, diuji Allah, dia tahu bahwa musibah itu bisa menimpa dia, maka dia bersyukur dan dia memanfaatkan (nikmat sehatnya). Selama dia tidak memiliki dan tidak diuji Allah, maka dia manfaatkan kesempatannya, kesehatannya, dan iman dan akalnya, sebelum Allah ‘Azza wa Jalla mampu untuk memberikan hal serupa kepada dirinya.

Sampai orang Arab juga mengatakan, وَالشَّقِيُّ مَنِ اتُّعِظَ بِهِ غَيْرُهُ (Wa asy-Syaqiyyu man uttu’iẓa bihi ghayruhū). Orang yang celaka adalah orang yang dijadikan pelajaran (bagi) orang lain, sementara dia tidak mengambil pelajaran. Ikhwah sekalian, kita akan berusaha untuk memanfaatkan umur kita, ilmu kita, dengan mempelajari dan menyelami sabda Rasul ṣallallāhu ‘alaihi wasallam.

Wasiat Malaikat Jibril (Lima Hal)

Baik, kita melanjutkan pembahasan yang telah kita sampaikan pada pertemuan sebelumnya tentang kehadiran Malaikat Jibril. Kini kita akan mempelajari tentang wasiat yang disebutkan oleh Jibril kepada Rasul ṣallallāhu ‘alaihi wasallam. Sehingga pesan ini juga disampaikan kepada para sahabatnya, kepada umatnya. Sebuah kaidah disebutkan lima hal dan menjadi sebuah kepastian, sehingga orang yang tahu dan menyadari dia akan mengambil solusi, sikap yang bijaksana, atau persiapan.

Baik, hadis yang ke-73 dari sahabat Saḥl Ibnu Sa’ad ini yang diriwayatkan dalam kitab Al-Ḥākim dan Al-Baihaqī. Dan juga disebutkan di sini oleh As-Suyūṭī dalam kitab Asy-Syīrāzī (Asy-Syīrāzī Abu Bakar Aḥmad ibn ‘Abdurraḥmān wafat di tahun 431 Hijriah). Beliau memiliki kitab seperti yang disebutkan Al-Alqāb wal Kunā. Dan ini menyebutkan tentang hadis dan kitab ini wallāhu a’lam barangkali belum tercetak. Akan tetapi sebagian ulama sempat meringkas buku tersebut dan buku ringkasan itu dicetak dan bisa dimanfaatkan. Kemudian juga disebutkan oleh Al-Baihaqī dalam kitab Syu’abul Īmān dari hadis Jābir. Kemudian dari hadis ‘Alī raḍiyallāhu ‘anhu yang meriwayatkan adalah Abū Nu’aim dalam kitab beliau Ḥilyatul Auliyā’.

Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda, أَتَانِي جِبْرِيلُ (Atānī Jibrīl). Jibril mendatangiku. فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ (Faqāla yā Muḥammad). Maka Jibril mengatakan, “Wahai Muhammad.”

Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam sering ditegur Allah ‘Azza wa Jalla dan dipanggil dengan panggilan rasul, panggilan nabi. يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ اتَّقِ اللَّهَ (Yā Ayyuhan-Nabiyyu-t-Taqillāh), يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ (Yā Ayyuha-r-Rasūlu Balligh mā Unzila Ilaik). “Wahai nabi, bertakwalah kepada Allah. Wahai rasul, sampaikan risalah yang engkau emban.” Dan ini merupakan panggilan penghormatan. Akan tetapi, dalam riwayat ini Jibril memanggilnya dengan nama langsung dikatakan يَا مُحَمَّدُ (yā Muḥammad).

Al-Munāwī raḥimahullāh dalam Fayḍul Qadīr Syarḥ Jāmi’ Ṣaghīr mengatakan, ini memang situasi untuk memberi nasihat. Seperti orang yang akan mendapat pujian dari Allah, dan itu pasti. Maka ketika dia dipanggil dengan nama, dia akan lebih memperhatikan. Dan ketika Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam dinasihati, “Engkau akan melihat kematian, engkau akan mendapatkan sesuatu yang tidak bisa engkau hindari.” Ini lima hal yang akan disampaikan ini, maka pantas sekali dengan panggilan nama agar lebih diperhatikan.

Kemudian disebutkan, اِعْمَلْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَيِّتٌ (I’mal mā syi’ta fa innaka mayyitun). “Wahai Muhammad, beramallah sesukamu, karena nanti engkau akan mati cepat atau lambat.” Orang yang tahu bahwa usianya panjang pun tahu. Orang berakal paham, dia pasti akan mati. Tidak ada orang yang kekal. إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ (Innaka mayyitun wa innahum mayyitūn). Engkau, wahai Muhammad, mati, dan mereka semua akan mati. كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ (Kullu nafsin dzā’iqatul mawt). Setiap jiwa akan mati. Kalaupun seandainya ada yang diberi kesempatan panjang umur, kita tahu bahwa umur umat Muhammad ṣallallāhu ‘alaihi wasallam terbatas.

Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam menyatakan, أَعْمَارُ أُمَّتِي بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى السَّبْعِينَ وَقَلِيلٌ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ (A’māru ummatī bayna s-sittīna ilā s-sab’īna, wa qalīlun man yajūzu dzālik). Umur umat ini atau umur umatku, kata Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam, berkisar 60 sampai 70 tahun. Jarang yang lebih dari itu. Kalau ada yang lebih berarti sedikit. Dulu ada umat-umat yang panjang umurnya. Dan mereka juga mati, seperti disebutkan dalam Al-Qur’an, فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلَّا خَمْسِينَ عَامًا (Fa labitsa fīhim alfa sanatin illā khamsīna ‘āmā). Nabi Nūḥ diutus Allah ‘Azza wa Jalla berdakwah di kaumnya 950 tahun. Itu berdakwahnya. Umur beliau sebelum berdakwah berapa? Mungkin sekali umur beliau 1.000 tahun.

Dan ada yang diberi kesempatan milih umur sendiri. Di dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan Muslim, Nabi Mūsā ‘alaihiṣ-ṣalātu was-salām didatangi malakul maut (Malaikat Maut), tapi dalam bentuk manusia. Ketika datang, Nabi Mūsā tidak tahu bahwa yang datang ini adalah malakul maut. Lalu dia mengatakan, يَا مُوسَى أَجِبْ رَبَّكَ (Yā Mūsā Ajib Rabbak). “Wahai Mūsā, penuhi panggilan Rabb-mu.” Maksudnya siap-siap mati. Kamu sudah waktunya mati. Maka Nabi Mūsā tidak kenal. Dan tiba-tiba orang itu mengatakan demikian, maka beliau marah. فَصَكَّهُ (Fa ṣakkahū), maka dipukul muka malakul maut yang berbentuk manusia ini. فَفَقَأَ عَيْنَهُ (Fafaqa’a ‘aynahū). Sampai matanya keluar.

Maka malakul maut melapor kepada Allah sambil mengatakan, يَا رَبِّ أَرْسَلْتَنِي إِلَى عَبْدٍ لَا يُرِيدُ الْمَوْتَ (Yā Rabbi arsaltanī ilā ‘abdin lā yurīdul mawt). “Wahai Rabb, Engkau utus aku kepada hamba-Mu yang tidak mau mati.” Maka Allah ‘Azza wa Jalla mengembalikan mata itu, lalu dikatakan, اِذْهَبْ إِلَيْهِ وَقُلْ لَهُ (Idzhab ilayhi wa qul lahū). “Kamu pergi ke Mūsā lagi. Kamu katakan kepada dia, يَضَعُ يَدَهُ عَلَى مَتْنِ ثَوْرٍ (Yaḍa’ yadahu ‘alā matni tsawr), biar dia meletakkan tangannya di punggung lembu. فَلَهُ عَلَى مَا غَطَّتْ يَدُهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ سَنَةٌ (Fa lahū ‘alā mā ghaṭṭat yaduhu bi-kulli sya’ratin sanah). Dia sebesar tangannya menutupi bagian lembu, dan yang ada di bawah tangan ini ada bulu-bulu yang dimiliki oleh lembu itu. Satu helai bulu bisa dijadikan sebagai satu tahun tambahan umur. Dikatakan, kalau seandainya dia mau, letakkan tanganmu saja sudah di lembu itu. Nanti ada bulu yang engkau tutupi dengan tanganmu. Satu helai lembu harganya sama dengan satu umur, satu tahun lagi tambah umurmu.

Tapi Nabi Mūsā ‘alaihiṣ-ṣalātu was-salām mengatakan, يَا رَبِّ ثُمَّ مَاذَا (Yā Rabbi tsumma mādzā?). “Setelah itu apa?” Kalaupun anggap saja ini bulunya banyak sekali, ratusan bulu. Anggap saja tambah ratusan tahun umurnya Nabi Mūsā ‘alaihiṣ-ṣalātu was-salām. “Setelah itu apa?” Maka Allah mengatakan, ثُمَّ الْمَوْتُ (Tsumma al-mawt). “Ya, setelah itu mati.” Maka Nabi Mūsā mengatakan, فَالْآنَ إِذَنْ (Fal-āna idzan). “Kalau begitu sekarang saja.” Enggak ada bedanya. Dan ini mestinya disadari oleh semua orang yang hidup. Kalau sudah pernah hidup berarti siap-siap mati.

Ketika Abū Bakar raḍiyallāhu ‘anhu melihat Rasul ṣallallāhu ‘alaihi wasallam sudah wafat, beliau sempat memeluk Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam, mencium antara dua mata beliau. Kemudian beliau menangis lalu mengatakan, لَنْ يَجْمَعَ اللَّهُ عَلَيْكَ مَوْتَتَيْنِ (Lan yajma’allāhu ‘alayka mawtatayn). “Allah tidak akan mengumpulkan kepada engkau, ya Rasul, dua kematian. أَمَّا الْمَوْتَةُ الَّتِي مُتَّهَا، أَمَّا الْمَوْتَةُ الأُولَى فَقَدْ مُتَّهَا (Ammal mawtatullatī muttahā, ammal mawtatul ūlā faqad muttahā). Adapun yang pertama, engkau telah melewatinya.” Semua akan melewati kematian.

Maka ini juga sudah disampaikan Rasul ṣallallāhu ‘alaihi wasallam kepada umatnya. Dan beliau mendengar dari Jibril, يَا مُحَمَّدُ، اِعْمَلْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَيِّتٌ (Yā Muḥammad, I’mal mā syi’ta fa innaka mayyitun). Mau hidup sesukamu, engkau akan mati. Ini pesan pertama.

Yang kedua, وَأَحْبِبْ مَنْ شِئْتَ فَإِنَّكَ مُفَارِقُهُ (Wa aḥbib man syi’ta fa innaka mufāriquhū). “Cintailah semua orang yang kamu suka, dan sesukamu, tapi satu saat engkau akan meninggalkannya.” Engkau akan berpisah dengannya. Entah engkau berpisah dengannya dengan tempat atau dengan kematian atau dengan cara lain. Artinya kecintaan seseorang akan berujung dengan perpisahan. Maka kata Al-Munāwī raḥimahullāh, orang yang sadar dia tidak akan bisa selama-lamanya bersama orang atau bersama seseorang, maka dia tidak akan menambatkan semua hatinya pada orang yang akan ditinggalkan.

Memang orang tidak tahu akan berapa lama dia bersama. Tetapi orang yang sadar dia tidak akan selamanya, maka dia akan membatasi. Tidak seperti orang yang menyangka akan selama-lamanya. Ya, seperti orang yang tahu dia tinggal di sebuah negara sebatas dia bekerja. Kalau tidak diperpanjang masa kerjanya, dia akan pulang. Kemungkinan satu tahun, kemungkinan dua tahun. Maka tidak mungkin kurun waktu dua tahun ini dia akan manfaatkan untuk sebuah aktivitas yang membutuhkan waktu lama. Dia butuh misalkan bisnis proyek yang kisaran waktu yang dibutuhkan 10 tahun. Padahal dia tahu dua tahun mungkin dia akan pulang. Atau barangkali orang yang diajak kerja sudah tua sakit-sakitan, dia tahu orang ini enggak bakal lama. Sehingga dia akan mengambil langkah hati-hati dan waspada. Atau barangkali dia sendiri paham, orang ini datang kepadaku loyal karena ada kepentingan, dan kepentingan itu ada padaku. Kemungkinan hanya bertahan dua tahun ini. Setelah ini barangkali orang ini akan meninggalkanku, maka dia akan memikirkan apakah dia manfaat kalau dilakukan perpanjangan kontrak atau kerja sama. Ya, ini namanya seseorang realistis. Dan mestinya ketika dia sadar orang yang ada di dekatnya tidak akan lama dengan dia, maka dia pun harusnya seperti itu. Maka Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam menyatakan, أَحْبِبْ مَنْ شِئْتَ فَإِنَّكَ مُفَارِقُهُ (Aḥbib man syi’ta fa innaka mufāriquhū). Engkau akan suka dengan siapapun. Engkau harus sadar satu saat kau akan berpisah dengan dia.

Kemudian berikutnya, وَاعْمَلْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَجْزِيٌّ بِهِ (Wa’mal mā syi’ta fa innaka majziyyun bih). “Silakan engkau mau melakukan apa pun, tapi ingat engkau pasti akan mendapat balasannya.” Dan ini sejalan dengan firman Allah, فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (Fa may ya’mal mitsqāla dzarratin khayran yarah, wa may ya’mal mitsqāla dzarratin syarran yarah). Orang yang mau beramal dengan kebaikan sekecil apa pun, dia akan melihat balasannya. Sebaliknya, sekecil apa pun sebuah kejelekan, dia juga akan melihat akibatnya. Artinya tidak ada sia-sia. Allah Subhanahu wa Ta’ālā melihat, tidak ada yang terlewatkan, dan semua orang tidak akan dizalimi.

الْيَوْمَ تُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ لَا ظُلْمَ الْيَوْمَ (Al-Yawma tujzā kullu nafsin bimā kasabat lā ẓulmal yawm). Kata Allah Subhanahu wa Ta’ālā dalam surat Ghāfir, “Hari ini semua akan diberi balasan. Tidak ada yang akan dizalimi.” Allah juga mengatakan dalam Al-Fātiḥah, kita baca terus, مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (Māliki Yawmiddīn), raja hari pembalasan. Dan ini merupakan pembalasan seadil-adilnya. Tidak ada keadilan yang lebih adil pada hari kiamat daripada hari kiamat. Orang tidak mendapatkan haknya di dunia karena dia lemah, karena tidak memiliki kekuatan, tidak memiliki bayaran, tidak memiliki koneksi, dan seterusnya, dia akan mendapatkan semua haknya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ālā pada hari kiamat. Sehingga ayat-ayat tadi berikut juga adalah dalil ini menjadi kabar gembira untuk orang-orang yang terzalimi dan belum mendapatkan haknya. Sekaligus ancaman untuk orang-orang yang berbuat zalim. Hati-hati nanti tidak akan ada yang terlewat di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ālā. Maka amal itu semuanya juga akan dibalas oleh Allah Subhanahu wa Ta’ālā. Maka ini pesan dari Jibril kepada Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam. Dan Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam sampaikan kepada kita sebagai umatnya agar kita tidak ada yang terlewat.

Kemudian disebutkan, وَاعْلَمْ أَنَّ شَرَفَ الْمُؤْمِنِ قِيَامُهُ بِاللَّيْلِ (Wa’lam anna syarafal mu’mini qiyāmuhu bi-l-layl). “Ketahuilah wahai Muhammad, sesungguhnya kemuliaan seorang mukmin terletak pada salat malamnya.” وَعِزَّهُ اسْتِغْنَاؤُهُ عَنِ النَّاسِ (Wa ‘izzahu istighnā’uhū ‘ani-n-nās). “Dan kehormatan (keperkasaan) dia, agar tidak gampang diremehkan atau dianggap rendah oleh siapa pun, agar dia selalu terhormat dan mulia.” Apa kuncinya? اِسْتِغْنَاؤُهُ عَنِ النَّاسِ (Istighnā’uhū ‘ani-n-nās), ketika dia bisa tidak tergantung pada orang lain.

Ini diawali dengan وَاعْلَمْ (Wa’lam), ketahuilah. Dan subḥānallāh, Al-Munāwī raḥimahullāh menukil perkataan ulama lain (wallāhu a’lam, ini perkataan Syaikhul Islām Ibnu Taymiyyah raḥimahullāh). Ketika dikatakan اِعْلَمْ (I’lam), artinya ini ada pesan sesuatu yang tadinya engkau tidak tahu, kamu harus tahu. Dan ketika engkau belajar, engkau harus ajarkan. Ini isyaratnya begitu. Karena ilmu itu tidak dapat dihasilkan atau kelihatan tsamarah (buah) dan buahnya, kecuali kalau sudah dipelajari kemudian diajarkan. Maka dalam riwayat اِعْلَمْ (I’lam) ketahuilah, ini menunjukkan ada pesan kamu harus belajar dan kamu ajarkan biar ilmu ini bisa estafet dan bermanfaat.

Kemudian dikatakan شَرَفُ الْمُؤْمِنِ (Syaraful mu’min), kehormatan, kemuliaan. Ini jalan bergandengan antara syaraf dan ‘izzah, kehormatan dan kemuliaan agar tidak gampang diremehkan. Kapan itu? Ada satu hubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ālā: قِيَامُهُ بِاللَّيْلِ (Qiyāmuhu bi-l-layl), selalu menjaga salat malamnya. Kemudian yang satu: اِسْتِغْنَاؤُهُ عَنِ النَّاسِ (Istighnā’uhū ‘ani-n-nās), agar tidak suka gampang bergantung pada orang. Sebatas apa dia bisa mengukur qanā’ah-nya (kecukupan diri), bisa mandiri, tidak menggantungkan kepada orang lain, maka sekadar itu pula dia akan semakin terhormat.

Dan ini adalah pesan agar seorang mulia, wibawa, dan tidak gampang diatur-atur, pada saat memang dia tidak gampang berhutang budi. Ada pepatah Arab bagus sekali dinukil oleh Al-Munāwī raḥimahullāh. Beliau mengatakan, اِسْتَغْنِ عَمَّنْ شِئْتَ فَأَنْتَ نَظِيرُهُ، وَاحْتَجْ إِلَى مَنْ شِئْتَ فَأَنْتَ أَسِيرُهُ، وَأَحْسِنْ إِلَى مَنْ شِئْتَ فَأَنْتَ أَمِيرُهُ (Istaghnī ‘amman syi’ta fa anta naẓīruhū, waḥtaj ilā man syi’ta fa anta asīruhū, wa aḥsin ilā man syi’ta fa anta amīruhū). Ini bagus sekali perkataannya, singkat tapi maknanya dalam.

Yang pertama, اِسْتَغْنِ عَمَّنْ شِئْتَ فَأَنْتَ نَظِيرُهُ (Istaghnī ‘amman syi’ta fa anta naẓīruhū). Engkau bersikap tidak butuh kepada orang. Jangan bergantung pada orang, maka engkau seolah-olah satu level dengan dia. Dan engkau, وَاحْتَجْ إِلَى مَنْ شِئْتَ فَأَنْتَ أَسِيرُهُ (Waḥtaj ilā man syi’ta fa anta asīruhū), kalau mau bergantunglah sama semua orang yang kamu mau, maka engkau dengan otomatis akan menjadi tawanannya. Dan yang ketiga, وَأَحْسِنْ إِلَى مَنْ شِئْتَ فَأَنْتَ أَمِيرُهُ (Wa aḥsin ilā man syi’ta fa anta amīruhū), berbuat baiklah kepada semua orang. Kalau engkau bisa tanam jasa, maka engkau adalah amīr-nya, atau ketuanya, atasannya.

Ya, seseorang barangkali dia kaya, barangkali dia terhormat. Tetapi ketika dia menjadi bawahan seseorang yang lebih atas, lebih kaya, lebih terhormat, dan dia merasa butuh sekali dengan atasannya, maka antum bisa bandingkan bagaimana dia betul-betul merendah, tidak menghargai dirinya yang dia sombong, yang dia congkak, bangga, bahkan dia merasa tidak butuh kepada orang lain karena kekayaan dan kekuatannya, atau karena posisinya. Begitu kena atasannya, seperti mengerut, seperti ular kena panas. Ya, artinya dibanding dengan orang yang sama dengan dia, bukan kekayaannya, tapi sama-sama manusia, sama-sama berjalan, sama-sama menghirup udara pagi, siang, sore, dan dia sama-sama mencari nafkah, meskipun tidak sebanyak uang dia, tidak setinggi jabatan dia, tapi melihat ada orang yang tadi menjadi atasannya, orang yang tidak ada hubungan sama sekali, dia tenang. Senang sekali ketemu di masjid, ketemu di lapangan, ketemu di tempat belanja. Ah, salaman biasa. Karena memang ini manusia biasa, dan ini yang miskin juga manusia biasa. Ketemu tidak ada hubungan dan tidak ada ketergantungan, maka dia lebih merasa mulia. Berbeda dengan orang yang tadi bergantung di bawahnya, dan seolah keuntungan dia hanya pada orang ini, maka dia terlihat akan sangat bukan rendah lagi, bahkan mungkin terhina. Dia tidak berani ngomong apa-apa. Kalaupun dia ingin memiliki pilihan, tidak berani untuk menyelisihi atasannya, maka berbeda dengan orang yang bebas ketika dia bisa menentukan semua atas pilihan karena dia tidak tergantung pada orang lain. Merdeka. Dan ini mahal, kita katakan mahal sekali.

Lihat bagaimana Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam. Beliau bukan orang yang kaya, makan dengan segala kecukupan, kemudian permata, singgasana, kepengawalan, dan seterusnya. Kita tidak berbicara bahwa itu semua tidak boleh. Selama tidak berlebihan, maka seorang menggunakan fasilitas sesuai dengan kemampuan, tidak mengapa. Seorang pengin pasang pembantu, memberi pengawal, atau menggunakan kendaraan, rumah yang bagus, dan semuanya, tidak ada masalah.

Tetapi kita ingin sedang melihat bagaimana kesempurnaan yang dimiliki dalam kehidupan Rasul ṣallallāhu ‘alaihi wasallam. Beliau bukan orang kaya, bukan orang yang betul-betul rindu dengan penghormatan, akan tetapi beliau terhormat dengan wahyu, terhormat dengan agama, dan terhormat ketika beliau tidak merasa bergantung pada orang lain. Satu sisi beliau pemimpin, dan beliau mengharap para sahabatnya yang mau sedekah silakan. Dan beliau puji beberapa sahabat yang memang bisa menguntungkan pasukan kaum muslimin. Sampai beliau mengatakan dalam sebuah riwayat tentang ‘Uthmān raḍiyallāhu ‘anhu menyiapkan sekian ribu ekor unta, sekian ribu dinar, dan seterusnya. Lalu beliau mengatakan, مَا ضَرَّ عُثْمَانُ مَا فَعَلَ بَعْدَ الْيَوْمِ (Mā ḍarra ‘Uthmān mā fa’ala ba’dal yawm). Apa yang dilakukan oleh ‘Uthmān setelah sedekahnya yang begitu besar ini tidak akan merugikan dia. Ya, artinya Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam sering dibantu orang, tetapi ketika beliau merasa tidak butuh kepada orang lain, karena memang beliau bukan menumpuk semua maṣlaḥat (kepentingan) pribadinya, akan tetapi beliau berdakwah memberi motivasi untuk bersedekah atau untuk mendapat semua pahala karena urusan akhirat, sehingga beliau tetap wibawa, dan beliau bisa tetap mulia, tidak kelihatan rendah di depan orang lain. Kuncinya di sini.

Dan Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam pernah mengatakan, اِزْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبَّكَ النَّاسُ (Izhad fīmā fī aydi-n-nās, yuḥibbak an-nās). Kamu tidak bergantung kepada orang lain, tidak banyak minta kepada yang dimiliki orang lain, maka engkau akan disukai oleh orang lain. Disebutkan oleh Ibnu Rajab raḥimahullāh dalam syarah hadis ini, sehebat dan sesuka apa pun seseorang kepada orang lain, kalau suka diminta, maka dia tidak suka.

Maka Al-Ḥasan Al-Baṣrī raḥimahullāh beliau pernah ditanya tentang Al-Ḥasan Al-Baṣrī. Ini seorang penduduk Baṣrah. Ditanya, “Siapa orang yang paling hebat di kota ini?” Maka orang tadi mengatakan Al-Ḥasan, maksudnya Al-Ḥasan Al-Baṣrī adalah orang hebat nomor satu di situ. “Kenapa?” بِمَاذَا (Bi-mādzā), apa yang membuat Al-Ḥasan Al-Baṣrī raḥimahullāh hebat dan menjadi pemimpin di tengah kalangan masyarakatnya? Dikatakan, اِحْتَاجَ النَّاسُ إِلَى عِلْمِهِ، وَاسْتَغْنَى هُوَ عَمَّا فِي أَيْدِيهِمْ (Iḥtājan-nāsu ilā ‘ilmihi, wa-stagnā huwa ‘ammā fī aydīhim). Semua orang butuh kepada ilmunya, akan tetapi beliau tidak butuh kepada harta orang-orang. Ini mahal sekali.

Jadi intinya di dalam hadis ini, kata Al-Munāwī menukil beberapa perkataan ulama, ada pesan untuk melatih jiwa bagaimana dia tampil ideal dan terhormat dunia akhirat, di depan Allah dan di depan manusia, agar dia bisa menjadi seorang yang ideal ẓāhiran wa bāṭinan (lahir dan batin). Dikatakan perlu dia banyak memperbaiki hubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ālā. قِيَامُهُ بِاللَّيْلِ (Qiyāmuhu bi-l-layl) disebutkan oleh Al-Munāwī menukil perkataan beberapa ulama yang menafsirkan, artinya muḥāfaẓah (menjaga), disiplin untuk selalu salat di tengah malam, tidak dihabiskan waktunya untuk tidur. Apalagi jika seandainya yang dimaksudkan salat di malam hari adalah salat fardu-nya seperti salat subuh, tidak dihabiskan dengan waktu istirahat, akan tetapi dia bisa menjaga bukan sekali dua kali salat malam, akan tetapi kalau dia bisa merutinkan salatnya di tengah malam, maka dia akan menjadi orang yang mulia. Intinya ini ada lima pesan yang kita sebutkan tadi sebagai kaidah sekaligus sebagai sebuah kepastian. Ketika orang pasti akan mati, pasti akan berpisah dengan orang yang dicintai, pasti akan melihat hasil apa yang dilakukan. Kemudian kemuliaan yang dia dapatkan dapat diraih dengan salat malam. Kemudian yang berikutnya yang terakhir, pada saat dia ingin terhormat di depan orang lain, jangan dijadikan orang rendahan, ketergantungan, bahkan dipandang remeh oleh orang lain. Caranya itu tadi, dalam hadis disebutkan, jangan gampang bergantung, suka minta, dan seterusnya.

Hadis tentang Doa Perlindungan (No. 74)

Baik, hadis berikutnya, hadis 74. Disebutkan dari riwayat ‘Abdurraḥmān Ibnu Khambas. ‘Abdurraḥmān Ibnu Khambas ini yang meriwayatkan hadis ini, dan hadis ini disebutkan dalam Musnad Imām Aḥmad, At-Tabarānī dalam kitab Mu’jam beliau.

Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam menyatakan, أَتَانِي جِبْرِيلُ (Atānī Jibrīl). Jibril mendatangiku. فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ قُلْ (Faqāla yā Muḥammad qul), “Wahai Muhammad, cepat baca.” قَالَ مَا أَقُولُ (Qāla mā aqūl), “Apa yang aku baca?” قَالَ قُلْ (Qāla qul), “Katakanlah atau bacalah ini:”

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ الَّتِي لَا يُجَاوِزُهُنَّ بَرٌّ وَلَا فَاجِرٌ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ وَذَرَأَ وَبَرَأَ، وَمِنْ شَرِّ مَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ، وَمِنْ شَرِّ مَا يَعْرُجُ فِيهَا، وَمِنْ شَرِّ مَا ذَرَأَ فِي الْأَرْضِ وَبَرَأَ، وَمِنْ شَرِّ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا، وَمِنْ شَرِّ فِتَنِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ، وَمِنْ شَرِّ كُلِّ طَارِقٍ يَطْرُقُ إِلَّا طَارِقًا يَطْرُقُ بِخَيْرٍ يَا رَحْمَنُ (A’ūżu bi Kalimātillāhit Tāmmāti Allatī Lā Yujāwizuhunna Barrun wa Lā Fājirun, min Syarri mā Khalaqa wa Dzara’a wa Bara’a, wa min Syarri mā Yanzilu minas-Samā’i, wa min Syarri mā Ya’ruju fīhā, wa min Syarri mā Dzara’a fil-Arḍi wa Bara’a, wa min Syarri mā Yakhruju Minhā, wa min Syarri Fitanil Layli wan-Nahār, wa min Syarri Kulli Ṭāriqin Yaṭruq, Illā Ṭāriqan Yaṭruqu bi Khayrin, Yā Raḥmān).

Artinya: Aku minta perlindungan dengan kalimat Allah yang sempurna, yang tidak terlewatkan oleh seorang yang bertakwa maupun orang yang bermaksiat (yang tidak akan dilalaikan oleh orang bertakwa dan orang jelek). Dan aku berlindung dari apa? Dari semua kejelekan yang Allah telah ciptakan makhluk-Nya. Kejelekan yang ada pada makhluk-Nya. Dan ini tidak menunjukkan bahwa berarti Allah menciptakan jelek-jelek meskipun semua yang ada di dunia ini Allah yang menciptakan. Akan tetapi, tidak layak dan tidak pantas ketika seseorang menisbatkan kejelekan kepada Allah. Dan dalam sebuah doa disebutkan, Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda, وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ (Wasy-syarru laysa ilayk). Keburukan tidak dinisbatkan kepada Allah, akan tetapi dinisbatkan kepada makhluk-Nya yang membuat kejelekan itu.

Nah, maka di sini Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam diperintah oleh Jibril untuk membaca agar beliau meminta perlindungan dengan kalimat Allah yang sempurna. Dari apa? مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ (Min syarri mā khalaq), dari kejelekan apa-apa yang Allah ciptakan. وَذَرَأَ وَبَرَأَ (wa dzara’a wa bara’a), ini artinya sama (yang Allah Subhanahu wa Ta’ālā ciptakan). وَمِنْ شَرِّ مَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ (Wa min syarri mā yanzilu minas-samā’) Dan minta perlindungan kepada Allah dari yang Allah turunkan dari langit. Apa yang Allah turunkan dari langit? Balā’ (bencana), musibah. Jika seandainya Allah mengutus makhluk-Nya dari langit untuk melakukan sesuatu yang dikhawatirkan merugikan, seperti petir atau hujan batu, wal ‘iyāżu billāh (kita berlindung kepada Allah), atau air bah, hujan berkepanjangan, angin topan, dan seterusnya. Kemudian وَمِنْ شَرِّ مَا يَعْرُجُ فِيهَا (Wa min syarri mā ya’ruju fīhā). Dan juga berlindung kepada Allah dari apa yang naik ke atas langit. Apa yang naik ke atas langit? Disebutkan tafsirnya: الْأَعْمَالُ السَّيِّئَةُ (Al-a’māl as-sayyi’ah), amal-amal yang kotor, yang jelek. Maksiat yang akan dilaporkan kepada Allah otomatis akan berbuah catatan keburukan. Maka Allah ‘Azza wa Jalla, atau Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam mengajarkan agar kita minta perlindungan kepada Allah dari amal-amal jelek yang akan dilaporkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ālā. وَمِنْ شَرِّ مَا ذَرَأَ فِي الْأَرْضِ وَبَرَأَ (Wa min syarri mā dzara’a fil-arḍi wa bara’) Dan minta perlindungan kepada Allah dari semua yang Allah ciptakan di atas tanah. Apa saja yang di atas tanah? Bisa jadi binatang buas, bisa jadi jin, dan semua yang Allah ciptakan di atas tanah. وَمِنْ شَرِّ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا (Wa min syarri mā yakhruju minhā). Dan setiap yang Allah ciptakan bisa keluar dari tanah. Apa yang ada keluar dari tanah? Macam-macam yang Allah ciptakan dari dalam tanah. Disebutkan contohnya adalah al-ḥasyarāt wal hawāmm (binatang-binatang buas akan tetapi yang timbul dari dalam tanah). Baik. Kemudian وَمِنْ شَرِّ فِتَنِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ (Wa min syarri fitanil layli wan-nahār). Dan agar aku minta perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ālā dari bahayanya setiap kejadian di malam maupun di siang hari. وَمِنْ شَرِّ كُلِّ طَارِقٍ يَطْرُقُ (Wa min syarri kulli ṭāriqin yaṭruq). Dan aku diminta agar minta perlindungan kepada Allah dari setiap apa yang akan terjadi di dunia (yang datang untuk menemui dia). إِلَّا طَارِقًا يَطْرُقُ بِخَيْرٍ (Illā ṭāriqan yaṭruqu bi khayr). Kecuali apa yang datang untuk datang dengan kebaikan. Ṭāriq itu artinya mengetuk. Nah, di sini dikatakan إِلَّا طَارِقًا يَطْرُقُ بِخَيْرٍ يَا رَحْمَنُ (Illā ṭāriqan yaṭruqu bi khayrin yā Raḥmān).

Hadis ini disebutkan dalam beberapa riwayat dengan sanad yang disahihkan pula oleh Syekh Al-Albānī, bahwa setan datang kepada Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam. جَاءَ شَيَاطِينُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْأَوْدِيَةِ (Jā’a syayāṭīn ilā Rasūlillāhi ṣallallāhu ‘alayhi wasallam mina-l-awdiyah). Setan ini datang kepada Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam dari beberapa lembah. وَتَحَدَّرَتْ عَلَيْهِ مِنَ الْجِبَالِ (Wa taḥaddarat ‘alayhi mina-l-jibāl). Dan ada sekumpulan setan turun dari gunung menuju Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam. Ada pula setan-setan yang turun bersama mereka membawa api yang berkobar-kobar ingin membakar Rasul ṣallallāhu ‘alaihi wasallam. Ini setan ingin mendatangi Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam untuk membakar Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam, menyerang. Dan itu dari bangsa jin setan. Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam sempat ketakutan. Disebutkan dalam riwayat itu, فَرُعِبَ (fa ru’iba), sampai Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam ketakutan. فَجَعَلَ يَتَأَخَّرُ (Fa ja’ala yata’akhkhar). Sampai dalam beberapa riwayat disebutkan Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam sempat mundur ketika melihat ada setan datang dari arah lembah, dari arah gunung, maka beliau sempat ketakutan. Ini setan bawa api dan setan ini akan membakar Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam, menyerang. Dan itu dari bangsa jin setan. Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam ketakutan. Bahkan beliau sempat jalan mundur begini.

Maka Jibril datang lalu beliau mengatakan, يَا مُحَمَّدُ قُلْ (Yā Muḥammad qul), “Muhammad, ayo kamu komong (ucapkan), kamu baca apa yang saya baca. Baca ini: أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ الَّتِي لَا يُجَاوِزُهُنَّ بَرٌّ وَلَا فَاجِرٌ (A’ūżu bi Kalimātillāhit Tāmmāti Allatī Lā Yujāwizuhunna Barrun wa Lā Fājirun). Aku berlindung kepada Allah dengan kalimat yang sempurna yang tidak akan dilewatkan oleh orang yang baik dan buruk. مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ (Min syarri mā khalaq), dari semua yang Allah ciptakan.” Doa yang serupa ini sering kita dengar: أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ (A’ūżu bi Kalimātillāhit Tāmmāti min Syarri mā Khalaq), aku berlindung dengan kalimat-Mu yang sempurna dari semua kejelekan yang engkau ciptakan atau dari semua kejelekan yang Allah ciptakan.

Hadis ini dalam Ṣaḥīḥ Muslim ada seorang ṣaḥābiyyah (sahabat wanita) namanya Khawlah binti Ḥakīm Al-Sulamiyyah. Beliau meriwayatkan dari Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam, مَنْ نَزَلَ مَنْزِلاً (Man nazala manzilan). Orang yang mendatangi tempat baru, akan lewat atau mengunjungi sebuah tempat, lalu dia membaca doa ini, أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ (A’ūżu bi Kalimātillāhit Tāmmāti min Syarri mā Khalaq). Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari semua kejelekan makhluk Allah yang ia ciptakan. لَمْ يَضُرَّهُ شَيْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ ذَلِكَ الْمَنْزِلِ (Lam yaḍurrahū syay’un ḥattā yartaḥila min dzālikal manzil). Maka dia tidak akan ditimpa bahaya sampai dia meninggalkan tempat itu lagi. Ya, ini dalam Ṣaḥīḥ Muslim. Dalam riwayat lain di As-Suyūṭī raḥimahullāh dalam kitab Al-Jāmi’ Aṣ-Ṣaghīr, beliau juga meriwayatkan hadis lain yang semakna dengan ini. Sampai dalam hadis Abū Hurayrah dikatakan, أَمَا إِنَّكَ أَمْسَيْتَ لَمْ تَضُرَّكَ (Amā innaka amsayta lam taḍurrak). Nah, disebutkan dalam riwayat Muslim juga, seandainya engkau membaca doa ini بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ (bi Kalimātillāhit Tāmmāti min Syarri mā Khalaq), seandainya engkau membaca doa ini حِينَ تُمْسِي (ḥīna tumsī), ketika kamu masuk waktu petang atau waktu sore, لَمْ تَضُرَّكَ (lam taḍurrak), maka tidak akan ada yang bisa mencelakakan kamu. Artinya, doa ini dianjurkan untuk yang pertama ketika masuk waktu sore. Yang kedua, ketika seseorang mendatangi sebuah tempat yang asing atau yang akan ditinggali. Kalau dia berdoa dengan itu, maka diharapkan dia akan selamat.

Baik. Disebutkan oleh para ulama, apakah dia pasti akan selamat 100%? Ternyata ini akan bergantung juga pada keyakinan dia terhadap penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ālā. Ketika seseorang tahu bahwa Allah akan menjaganya 100%, maka Allah ‘Azza wa Jalla akan memelihara dia. Allah akan memelihara dia, menjaga dia sempurna sesuai dengan kesempurnaan ketakwaan dan ketawakalan dia kepada Allah. Sementara ada orang yang ragu-ragu, membaca doa biasa saja, maka dia akan mendapatkan manfaatnya. Akan tetapi, manfaatnya tidak akan semaksimal orang yang betul-betul yakin kepada Allah Subhanahu wa Ta’ālā. Bukan berarti itu Nabi. Kalau kita orang biasa, bagaimana kita akan sama dengan Nabi? Iya. Kita katakan bahwa pelajaran dalam mengenal Allah bisa dipelajari. Ketika seorang membaca firman-Nya, membaca hadis-hadis nabi-Nya, kemudian mendalami agama yang Allah ridai, maka dia akan bisa paham Allah ‘Azza wa Jalla ini melihat, melindungi, menjaga, dan akan mengalahkan musuh-musuh-Nya, dan seterusnya. Maka orang akan semakin dekat kepada Allah pada saat dia tahu tentang agama Allah Subhanahu wa Ta’ālā. Maka doa yang sama dipanjatkan dari orang berbeda, mungkin hasilnya bisa berbeda.

Hadis tentang Tiga Golongan Celaka (No. 75)

Kemudian hadis yang berikutnya, hadis yang ke-75. Ini diriwayatkan dari sahabat Jābir Ibnu Samurah dan diriwayatkan oleh At-Tabarānī dalam kitab Al-Mu’jam.

Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda, أَتَانِي جِبْرِيلُ (Atānī Jibrīl). Jibril mendatangiku. يَا مُحَمَّدُ مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ حَيَّيْنِ (Yā Muḥammad, man adraka wālidayhi ḥayyayn). “Wahai Muhammad, kalau ada orang yang mendapatkan orang tuanya masih hidup, salah satu dari kedua orang tuanya, dia dapatkan ayahnya atau dia dapatkan ibunya masih hidup, dan dia bisa berbakti kepada kedua orang tua, kok dia mati? Orang tadi, si anak tadi mati, kok dia belum bisa masuk surga, kok malah justru masuk neraka?” فَأَبْعَدَهُ اللَّهُ (Fa ab’adahullāh). “Maka semoga Allah jauhkan dia dari rahmat dan ampunan-Nya.” Kok bisa dia mendapatkan peluang untuk berbakti, peluang untuk masuk surga, kok ya ternyata sampai mati dia enggak dapat ampunan Allah malah masuk neraka? Berarti istilahnya pesan ini orang ini betul-betul kelewatan. Mendapatkan kesempatan untuk pahala Allah yang banyak, ampunan-Nya juga yang banyak, dengan cara birrul wālidayn (berbakti kepada orang tuanya). Kok bisa dia tidak lakukan? Ini seperti seolah-olah Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam memberikan sebuah keprihatinan dan kekecewaan. Ya, kok bisa ada orang istilahnya bisa bertemu dengan orang tuanya masih hidup, dan menjadi kesempatan dia untuk mendapatkan pahala, ternyata kesempatan itu seolah-olah terbuang sia-sia.

Yang kedua disebutkan bahwa Jibril tab (lalu) beliau Jibril mengatakan kepada Rasul ṣallallāhu ‘alaihi wasallam, orang yang mendapatkan kedua orang tuanya masih hidup tapi dia tidak berbakti, malah dia mati masuk neraka. فَأَبْعَدَهُ اللَّهُ (Fa ab’adahullāh). “Semoga Allah menjauhkan dia sekalian dari rahmat-Nya dan juga ampunan-Nya.” يَا مُحَمَّدُ قُلْ آمِينَ (Yā Muḥammad qul Āmīn). “Katakan, wahai Muhammad, mudah-mudahan Allah kabulkan.” Ya. Kemudian Rasul ṣallallāhu ‘alaihi wasallam mengatakan, فَقُلْتُ آمِينَ (Faqultu Āmīn). Ya, akhirnya aku ucapkan āmīn itu.

Dikatakan lagi oleh Jibril, يَا مُحَمَّدُ مَنْ أَدْرَكَ شَهْرَ رَمَضَانَ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ فَأَبْعَدَهُ اللَّهُ (Yā Muḥammad, man adraka syahra Ramaḍāna falam yughfar lahū fa ab’adahullāh). “Wahai Muhammad, kalau ada seorang dari umatmu mendapatkan bulan Ramaḍān, kemudian Ramaḍān itu pergi, dia belum terampuni, maka mudah-mudahan Allah jauhkan dia dari rahmat Allah dan ampunan-Nya.” Kok bisa? Ramaḍān kan kesempatan yang betul-betul besar pahalanya. Mau salat, sedekah, baca Quran, berdoa, dan seterusnya, orang ada kesempatan besar pahalanya. Kok ada orang dapat bulan ini, dia tidak masuk surga, malah masuk neraka? Maka kata Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam, kelewatan orang ini, فَأَبْعَدَهُ اللَّهُ (fa ab’adahullāh), sekalian aja jauhkan dari rahmat dan ampunan Allah. Begitu.

Kemudian yang berikutnya, وَمَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ فَأَبْعَدَهُ اللَّهُ (Wa man żukirtu ‘indahū falam yuṣalli ‘alayka fa ab’adahullāh). “Barang siapa orang yang mendengarkan namamu disebut, tapi dia tidak berselawat, bahkan dia mati dan masuk ke dalam neraka, mestinya dia bisa banyak berselawat sehingga dia bisa terselamatkan dari api neraka. Kok dia tidak pernah berselawat? Namamu disebut, dia dengar, tapi dia tidak berselawat. Maka dia nanti mati kok kemudian tidak punya amal untuk menghindarkan diri dari api neraka, sekalian, ya Allah, jauhkan dia dari rahmat Allah.” قُلْ آمِينَ (Qul Āmīn). “Katakan, Muhammad, āmīn.” قَالَ آمِينَ (Qāla Āmīn). Maka Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam menyatakan āmīn.

Di sini ada pesan bahwa pintu surga atau kesempatan untuk berbuat baik ada pada tiga hal yang disebutkan. Yang pertama, berbakti kepada orang tua atau salah satu darinya. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla memberikan kita semua arahan, bimbingan agar bisa selalu berbakti kepada orang tua. Yang kedua, memanfaatkan momen Ramaḍān. Orang dapat bulan suci, kenapa kok bisa-bisanya belum terampuni? Padahal ada salat tarawih, ada puasanya, ada salat tahajudnya, dan banyak amal lainnya yang bisa memberikan janji ampunan. Kok dia keluar dari Ramaḍān aman-aman saja kayak tidak ada yang diampuni sama sekali? Wah, rugi orang ini. Ya. Kemudian yang ketiga adalah orang yang mendengar Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam disebut tapi tidak berselawat. Ini berarti ada pesan perintah untuk mendapatkan keutamaan dan meraih pahala yang banyak dari tiga hal ini: bakti kepada orang tua, memanfaatkan Ramaḍān, dan banyak berselawat kepada Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam.

Dalam Ṣaḥīḥ Muslim disebutkan dengan redaksi berbeda: رَغِمَ أَنْفُ امْرِئٍ، رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ (Raghima anfu-mri’in, raghima anfu rajulin). Disebutkan celaka kalau ada seseorang yang memiliki tiga syarat tadi atau tiga hal yang disebutkan: Dia punya orang tua tapi tidak sempat berbakti. Dia mendapatkan bulan suci Ramaḍān tapi tidak sempat diampuni. Kemudian dia mendengar suara atau nama Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam disebutkan tapi dia tidak berselawat. Nah, ini menunjukkan bahwa orang yang sampai menyia-nyiakan kesempatan itu orang yang merugi sekali. Maka dikatakan رَغِمَ أَنْفُ امْرِئٍ (raghima anfu-mri’in). Dalam riwayat yang lain dikatakan, mudah-mudahan dia celaka gitu, celaka. Dalam riwayat dikatakan خَابَ وَخَسِرَ (khāba wa khasira), alangkah sangat ruginya dan juga seolah-olah dia kecewa, mengecewakan sekali begitu. Nah, ini seperti yang kita tegaskan, sering dibahas juga di bulan Ramaḍān karena memang keistimewaan bulan suci Ramaḍān adalah kesempatan. Kalau ada orang yang bisa mendapatkannya, dipanjangkan umurnya, dan diberi kesempatan untuk sehat, melaksanakan puasa, salat malam, kemudian berdoa, maka mudah-mudahan dia betul-betul orang yang sukses di bulan Ramaḍān itu.

Hadis tentang Wudu dan Salat (No. 76)

Kemudian hadis berikutnya, hadis yang ke-76. Disebutkan di sini dari sahabat Usāmah bin Zayd dari ayahnya, Zayd Ibnu Ḥārithah. Hadisnya diriwayatkan dalam Musnad Imām Aḥmad, Ad-Dāraquṭnī, dan Al-Imām Al-Ḥākim.

Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam mengatakan, أَتَانِي جِبْرِيلُ فِي أَوَّلِ مَا أُوحِيَ إِلَيَّ (Atānī Jibrīl fī awwali mā ūḥiya ilayya). “Aku didatangi oleh Jibril di awal-awal dia memberikan wahyu kepadaku.” Dalam sebuah riwayat, meskipun riwayat ini ada kelemahannya, Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam menyatakan, فِي غَارِ حِرَاءَ (fī ghāri Ḥirā’), Jibril datang ketika aku sedang di Gua Ḥirā’. Dan ini kejadiannya di awal-awal ketika Allah turunkan wahyu. فَعَلَّمَنِي الْوُضُوءَ وَالصَّلَاةَ (Fa ‘allamanī al-wuḍū’a waṣ-ṣalāh). “Kemudian Jibril mengajari aku wudu dan salat.”

Nah, disebutkan oleh para ulama bahwa syariat berwudu letaknya sebelum syariat salat. Kemudian salat lima waktu baru diwajibkan Allah Subhanahu wa Ta’ālā di kejadian Isrā’ wal Mi’rāj. Sementara yang disebutkan dalam hadis ini, Jibril datang di awal-awal memberikan wahyu. Di saat itu belum ada kewajiban salat, belum ada kewajiban untuk melaksanakan salat lima waktu. Karena kita tahu salat lima waktu baru diwajibkan ketika Isrā’ wal Mi’rāj. Berarti salat yang dilakukan ini apa? Dikatakan, فَعَلَّمَنِي الْوُضُوءَ وَالصَّلَاةَ (Fa ‘allamanī al-wuḍū’a waṣ-ṣalāh). Jibril datang mengajari aku wudu dan salat. Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan salat di sini adalah salat dua rakaat yang sunah. Dan ada yang mengatakan ini bisa jadi salat fardu, salat wajib. Akan tetapi, dulu awal pertama dan asal mula salat ini disyariatkan, maka salat yang dilakukan hanya dua rakaat. Baru setelah itu disempurnakan dengan salat orang yang tidak safar menjadi empat rakaat.

Nah, yang jelas di dalam riwayat ini menyebutkan bahwa Jibril sempat memberitahu dan mengajari Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam tata cara wudu dan salat. فَلَمَّا فَرَغَ مِنَ الْوُضُوءِ أَخَذَ غَرْفَةً مِنَ الْمَاءِ فَنَضَحَ بِهَا فَرْجَهُ (Falammā faragha minal wuḍū’i akhadza gharfatan minal mā’i fa naḍaḥa bihā farjahū). Maka Jibril mengambil satu telapak tangan (satu cakupan air dengan satu telapak tangan). Kemudian dicipratkan ke arah pakaian bawahnya, sarungnya. Dan memang disebutkan oleh Al-Munāwī raḥimahullāh, malaikat tidak memiliki jenis kelamin. Maksudnya adalah cara ngajari manusia. Jibril dan malaikat lain tidak memiliki jenis kelamin. Akan tetapi, yang disiramkan di situ adalah di arah di mana biasanya orang-orang menggunakan pakaian di bawah, entah itu sarung atau pakaian jubah atau apa, tapi yang diarahkan adalah arah di kemaluan. Maksudnya untuk apa? Wudu sudah selesai dan ini masih ngambil air lagi dicipratkan.

Tujuannya adalah untuk menghilangkan waswas. Karena sebagian orang waswasnya dari sisi bersuci. Dia akan menyangka jangan-jangan ṭahārah atau bersuci saya kurang sempurna, kayaknya ada yang keluar dari air kencing ini. Kemudian terus dia waswas. Setiap dia wudu merasa belum sempurna dan dia perlu untuk membersihkan tempat keluar najisnya. Kemudian nanti dia wudu masih merasa kurang mantap, akhirnya mengulang wudunya lagi. Kemudian mengulang wudunya lagi. Selesai dari masalah ṭahārah, dia pindah ke masalah salat. Maka salat pun juga sama. Ketika dia akan melaksanakan salat masuk ke dalamnya, dia ragu apakah niatnya sudah sempurna atau belum. Diulang-ulang terus. Kemudian ketika rukuk, dia akan berulang-ulang seperti rukuk saya belum terjadi, belum sempurna, belum apa. Kemudian dia sampai menyangka salatnya tidak sah. Kayaknya perlu diulang salat lagi, merasa tidak sah lagi. Dan ini menjadi korban penyakit waswas. Syekh Sulaymān Ar-Ruḥaylī ḥafiẓahullāh pernah mengatakan ketika menjelaskan tentang penyakit waswas. Waswas itu artinya keragu-raguan, keganggu, sehingga dia tidak bisa segera melaksanakan aktivitas karena aktivitas sebelumnya. Kayaknya wudunya belum sempurna, kayaknya bacaan Al-Fātiḥah-nya belum sempurna, kayaknya salatnya belum sempurna, sehingga harus diulang terus, hanya terbelenggu dia, dan dia susah untuk mengerjakan ibadah lain karena terbelenggu dengan ibadah yang tadi ada waswasnya. Syekh Sulaymān Ar-Ruḥaylī ḥafiẓahullāh mengatakan, “Kita ini semuanya memiliki peluang untuk waswas. Akan tetapi, kita tidak boleh menyerah. Ketika seseorang memperturutkan rasa waswasnya, maka dia akan menjadi budak waswas. Sementara ketika dia bisa melawan, maka itu cara satu-satunya. Cara yang tepat adalah memang dilakukan dengan melawan. Enggak, saya tadi belum batal. Enggak, saya tadi sudah berusaha untuk bersih-bersih, in syā Allāh enggak akan keluar lagi najisnya, dan seterusnya.” Maka itu cara yang ketika akan wudu maka dia memercikkan air di arah kemaluannya (tapi bukan di kemaluannya, tapi di sarung atau pakaian yang di bawah itu). Tujuannya agar ketika terjadi perasaan ragu apakah kencingnya keluar lagi atau tidak, maka dia melihat ke pakaiannya. Oh, basah. Tetapi bukankah basah ini aku tadi yang menyipratkan air, sehingga tidak lagi dia berpikir jangan-jangan basahnya karena keluar air najis, dan seterusnya. Ini yang dimaksudkan ada perintah untuk naḍhul mā’ dikatakan فَلَمَّا فَرَغَ مِنَ الْوُضُوءِ أَخَذَ غَرْفَةً مِنَ الْمَاءِ فَنَضَحَ بِهَا فَرْجَهُ (Falammā faragha minal wuḍū’i akhadza gharfatan minal mā’i fa naḍaḥa bihā farjahū). Ketika selesai wudu-nya maka sengaja Jibril mengambil air satu cakupan satu telapak tangan kemudian disiramkan ke sini. Ini yang disebutkan oleh para ulama tujuannya adalah untuk menghilangkan rasa waswas atau keragu-raguan.

Hadis tentang Kewajiban Salat 5 Waktu (No. 77)

Baik. Hadis berikutnya, hadis ke-77. Disebutkan dalam hadis ‘Ubādah Ibnu Ṣāmit dan disebutkan dalam kitab Aṭ-Ṭayālisī, kemudian Muḥammad Ibnu Naṣr Al-Marwazī dalam kitab Ta’ẓīm Qadr Aṣ-Ṣalāh. Kemudian Aḍ-Ḍiyā’ fil Mukhtār maksudnya Aḍ-Ḍiyā’ Al-Maqdisī dalam kitab Al-Aḥādīth Al-Mukhtārah. Hadis ini semuanya dinyatakan ṣaḥīḥ.

Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda, أَتَانِي جِبْرِيلُ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ (Atānī Jibrīl min ‘indillāh). “Jibril datang kepadaku dari sisi Allah.” فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ (Faqāla yā Muḥammad Innallāha ‘Azza wa Jalla yaqūl). “Wahai Muhammad, sesungguhnya Rabb-mu Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, إِنِّي فَرَضْتُ عَلَى أُمَّتِكَ خَمْسَ صَلَوَاتٍ (Innī faraḍtu ‘alā ummatika khamsa ṣalawāt). Aku telah mewajibkan kepada umatmu lima waktu salatnya. Orang yang bisa menyempurnakan, menunaikan (menunaikan kewajiban Allah Subhanahu wa Ta’ālā salat lima waktu tadi). Kalau ada orang yang bisa menjaga, merutinkan, disiplin salat lima waktu terus, dengan disertai wudu-nya, disertai tepat waktunya, kemudian menyempurnakan rukuk dan sujudnya, maka Aku memiliki janji untuk dia, Aku akan masukkan ke dalam surga.” Kemudian وَمَنْ لَقِيَنِي وَقَدْ ضَيَّعَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَلَيْسَ لَهُ عِنْدِي عَهْدٌ (Wa man laqiyanī wa qad ḍayya’a min dzālika syay’an fa laysa lahū ‘indī ‘ahd). “Tapi kalau ada orang yang menghadap-Ku, kata Allah Subhanahu wa Ta’ālā, ternyata dia tidak menjaga salatnya, dia tidak mau menjaga salatnya, maka Aku tidak punya janji apa-apa ke dia untuk Aku masukkan ke dalam surga.”

Iya. Dan ini dimaksudkan orang salat-salat, tetapi juga dalam waktu yang sama dia tidak boleh melakukan pelanggaran. Kalau dia membunuh, maka dia akan dibunuh (qiṣāṣ). Kalau dia mencuri, dia akan dipotong tangan, kalau seandainya sudah mencukupi syarat. Artinya, di dalam hadis ini disebutkan bahwa orang yang akan mendapatkan janji Allah dimasukkan ke dalam surga, maka dia perlu melaksanakan salat disiplin dengan segala konsekuensinya, syarat-syarat sah dan rukunnya. Demikian pula dia tidak boleh melakukan maksiat-maksiat yang lain. Begitu.

Kemudian di sini ada perintah untuk menjaga memelihara salat lima waktu. Maka dikatakan, وَمَنْ لَقِيَنِي وَقَدْ ضَيَّعَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَلَيْسَ لَهُ عِنْدِي عَهْدٌ (Wa man laqiyanī wa qad ḍayya’a min dzālika syay’an fa laysa lahū ‘indī ‘ahd). Orang yang tidak pernah menjaga kedisiplinan salatnya, maka Aku enggak punya janji apa-apa. إِنْ شِئْتُ عَذَّبْتُهُ، وَإِنْ شِئْتُ رَحِمْتُهُ (In syi’tu ‘ażżabtuhū, wa in syi’tu raḥimtuhū). Kalau Aku mau, Aku akan siksa dia. Kalau Aku mau, Aku pun akan bisa merahmati dia. Tapi maksudnya dalam hadis ini disebutkan bahwa salat lima waktu ini diwajibkan kepada umat Rasul ṣallallāhu ‘alaihi wasallam. Dan ini juga menunjukkan penekanan agar seorang tidak gampang meninggalkan salat. Dan kita lihat di sini bagaimana Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam menceritakan Allah ‘Azza wa Jalla siap untuk memberikan pahala orang-orang yang melaksanakan salat untuk dimasukkan ke dalam surga.

Hadis tentang Tujuh Macam Bacaan Al-Qur’an (No. 78)

Baik. Kemudian terakhir sebagai penutup, hadis yang ke-78. Karena hadis yang ke-79 sudah kita bahas pada pertemuan sebelumnya karena masih ada hubungan dengan kabar gembira tentang Ḥasan dan Ḥusayn. Sehingga kita tutup pertemuan ini dengan hadis yang ke-78. Dan ini juga ada kaitannya dengan hadis yang sebelumnya kita sudah bahas. Dalam hadis ini disebutkan dalam Musnad Imām Aḥmad, kemudian dalam Musnad ‘Abd Ḥumayd, dalam Sunan An-Nasā’ī dari sahabat Ubay bin Ka’ab. Kemudian dalam riwayat Musnad Imām Aḥmad, Aṭ-Ṭabarānī dari sahabat Abī Bakrah, dan juga Ibnu Durays dari sahabat ‘Ubādah bin Ṣāmit raḍiyallāhu ‘anhum ajma’īn.

Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda tentang bacaan Al-Qur’an yang bisa dibaca lebih dari satu bacaan sampai tujuh bacaan. أَتَانِي جِبْرِيلُ وَمِيكَائِيلُ (Atānī Jibrīlu wa Mīkā’īl). “Aku didatangi oleh dua malaikat. Yang satu Jibril, yang satu Mīkā’īl.” وَقَعَدَ جِبْرِيلُ عَنْ يَمِينِي وَمِيكَائِيلُ عَنْ يَسَارِي (Wa qa’ada Jibrīlu ‘an yamīnī wa Mīkā’īlu ‘an yasārī). “Jibril di kananku, Mīkā’īl di kiriku.” فَقَالَ جِبْرِيلُ: يَا مُحَمَّدُ، اِقْرَأِ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفٍ (Faqāla Jibrīl: Yā Muḥammad, iqra’il Qur’āna ‘alā ḥarf). Maka Jibril berkata, “Wahai Muhammad, bacalah Al-Qur’an dengan satu bahasa.” Ya, ini dimaksudkan satu huruf. Ini kata para ulama maksudnya adalah bahasa Arab.

فَقَالَ مِيكَائِيلُ: اسْتَزِدْهُ (Faqāla Mīkā’īl: Istazidhū). Mīkā’īl di sebelah kiri bilang, “Ah, minta tambah.” Maksudnya minta tambah, jangan hanya dibatasi cara membaca Al-Qur’an dalam satu bahasa saja. Baik. Maka aku mengatakan kepada Jibril, زِدْنِي (Zidnī), “Tolong tambahkan kepadaku cara membaca Al-Qur’an.” فَقَالَ: اقْرَأْهُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَحْرُفٍ (Faqāla: Iqra’hū ‘alā tsalāthati aḥruf). “Kalau begitu bacalah Al-Qur’an dengan tiga huruf.” Dan para ulama mengatakan tiga huruf maksudnya adalah tiga bahasa. Dan ini tiga bahasa Arab semua. Tiga bahasa ini Arab semua dan tidak ada perbedaan makna. Hanya perbedaan laḥjah (dialek), huruf, ketebalan, imālah, dan seterusnya. Seperti مَجْرَاهَا (Majrāhā). Kita belum pernah jelaskan contohnya, مَجْرَاهَا (Majrāhā). Ini artinya ada bacaan yang agak dikasrahkan tapi tidak kasrah. Kalau kasrah Majrīhā. Ini bukan Majrīhā tapi Majrēhā. Bukan fathah juga Majrāhā. Nah, ada bacaan yang tetap posisinya fathah Majrāhā, tapi ada bacaan yang menggunakan imālah Majrēhā. Perbedaan seperti itu. كِتَابٌ كُتُبٌ (Kitābun Kutubun), ini juga sama. Di dalam Al-Qur’an Rasm ‘Uthmānī disebutkan kitāb itu bisa ditulis dengan kāf tā bā. Kalau nanti bacanya kitāb, maka kāf-nya pakai harakat kasrah, -nya pakai (tanda) kalau ini panjang kitāb. Dan bisa juga dibaca kutub. Karena sebagian bahasa dalam orang-orang Arab mereka menggunakan jamak (plural).

Ya, artinya di sini yang dimaksudkan dengan tiga huruf bukan berarti tiga huruf saja, akan tetapi tiga macam bacaan di dalam Al-Qur’an. Aku tadi diberi kesempatan untuk mengajarkan Al-Qur’an ini kepada umatku dengan hanya membaca satu bacaan, satu bahasa aja. Tapi aku diminta, diberi saran oleh Mīkā’īl, “Eh, minta tambah biar agak mudah peluangnya, biar bisa lebih gampang.” Kalau ada umat-umat yang dari bangsa ini, dari bangsa ini, maksudnya dari bangsa Arab, yang susah untuk mengucapkan laḥjah yang seperti ini, dialek yang seperti ini, maka dia bisa menggunakan bahasa yang lebih dekat dengan kebiasaannya. Tapi selama itu masuk dalam Al-Qur’an yang diturunkan di dalamnya, ya atau model cara bacanya disebutkan, فَقَالَ مِيكَائِيلُ: اسْتَزِدْهُ (Faqāla Mīkā’īl: Istazidhū). Mīkā’īl kembali mengatakan, “Ayo minta tambah lagi.” فَقُلْتُ: زِدْنِي (Faqultu: Zidnī). Aku mengatakan, “Tambahkan aku.” كَذَلِكَ حَتَّى بَلَغَ سَبْعَةَ أَحْرُفٍ (Kadzālika ḥattā balagha sab’ata aḥruf). Maka itu terus berlaku. Aku terus diminta sampai akhirnya yang tadi pertama satu kemudian tiga. Aku terus nambah lagi, minta tambah lagi, sampai aku diberi kesempatan untuk membacakan Al-Qur’an sampai tujuh huruf, tujuh bahasa, tapi bahasa Arab semua. Yang berbeda adalah dialeknya atau cara membaca lantunan huruf Al-Qur’an itu.

فَاقْرَؤُوهُ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ، كُلُّهَا شَافٍ كَافٍ (Faqra’ūhū ‘alā sab’ati aḥruf, kulluhā syāfin kāfin). “Bacalah Al-Qur’an dengan tujuh huruf, tujuh bahasa Arab itu, dan semua akan sempurna dan lengkap.”

Nah, dulu pernah kita bahas hadis ini dari riwayat Ibnu ‘Abbās dengan sanad yang ṣaḥīḥ dalam Imām Aḥmad dan Ibnu Mājah. Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam menyatakan, أَقْرَأَنِي جِبْرِيلُ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفٍ (Aqrā’anī Jibrīlul Qur’āna ‘alā ḥarf). Dulu Jibril mengajari aku membaca Al-Qur’an cuma satu bacaan saja. فَرَاجَعْتُهُ (Fa rāja’tuhū). Maka aku meminta agar Jibril nambahi lagi. فَلَمْ أَزَلْ أَسْتَزِيدُهُ حَتَّى انْتَهَى إِلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ (Falam azal astazīduhū ḥattā-ntahā ilā sab’ati aḥruf). Dan aku terus minta kepada Jibril, “Tambahin lagi, tambahin lagi, tambahin lagi,” sampai tujuh bacaan Al-Qur’an. Tujuh bacaan Al-Qur’an yang sekarang bisa dipakai semua. Dan ini diriwayatkan dengan mutawātir.

Dan dulu pernah di dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan Muslim, ‘Umar bin Al-Khaṭṭāb raḍiyallāhu ‘anhu pernah mendengar sahabat Hishām ibn Ḥakīm membaca surah Al-Furqān dengan bacaan yang tidak pernah dipelajari oleh ‘Umar dari Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam. Maka ‘Umar sengaja mendengar sahabat ini, “Kok bacanya berbeda dengan yang diajarkan kepada ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhu?” Sementara sahabat ini membacanya di dalam salat. Sampai ‘Umar bin Al-Khaṭṭāb mengatakan, فَكِدْتُ أَنْ أُسَاوِرَهُ فِي الصَّلَاةِ (Fakittu an usāwirahū fi-ṣ-ṣalāh). Aku hampir membatalkan salat dia. Enggak sabar aku. Ini sahabat kenapa membaca bacaan yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam kepadaku. فَكِدْتُ أَنْ أُسَاوِرَهُ (Fakittu an usāwirahū), aku hampir batalkan salat dia yang dia lakukan itu. فَتَصَبَّرْتُ حَتَّى سَلَّمَ (Fa taṣabbartu ḥattā sallam). “Tapi aku sabarkan diriku sampai orang itu selesai dari salatnya.” Begitu selesai, فَلَبَبْتُ بِرِدَائِهِ (Fa lababtu bi ridā’ihī). Aku langsung pegang dan cengkeram ujung-ujung bajunya. Aku cengkeram begini. فَقُلْتُ: مَنْ أَقْرَأَكَ هَذِهِ السُّورَةَ الَّتِي تَقْرَأُ (Faqultu: Man aqra’aka hādzihi as-sūrata allatī taqra’u). “Kamu diajari siapa baca bacaan kayak begini?”

Maka sahabat Hishām ibn Ḥakīm mengatakan, أَقْرَأَنِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (Aqrā’anīhā Rasūlullāhi ṣallallāhu ‘alayhi wasallam). “Eh, aku diajari oleh Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam bacaan-bacaan tadi.” Maka ‘Umar bin Al-Khaṭṭāb raḍiyallāhu ‘anhu mengatakan, كَذَبْتَ (Kadzabta), “Bohong kamu.” Ya. فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَقْرَأَنِي عَلَى غَيْرِ مَا قَرَأْتَ (Fa inna Rasūlallāhi ṣallallāhu ‘alayhi wasallam qad aqra’anī ‘alā ghayri mā qara’ta). Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam ngajari surat Al-Furqān aku, tapi bacaannya enggak seperti yang kamu baca tadi. فَانْطَلَقْتُ بِهِ أَقُودُهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (Fa anṭalaqtu bihī aqūduhu ilā Rasūlillāhi ṣallallāhu ‘alayhi wasallam). “Maka aku bawa dia kepada Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam dalam kondisi tak cengkeram.” Ini ‘Umar bin Al-Khaṭṭāb raḍiyallāhu ‘anhu orangnya galak. Jadi beliau ketika melihat ada orang yang ternyata bacaannya beda, dikhawatirkan orang ini main-main. Maka dicengkeram ini bajunya dipegang ini, kemudian aku bawa menghadap Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam.

فَقُلْتُ: إِنِّي سَمِعْتُ هَذَا يَقْرَأُ بِسُورَةِ الْفُرْقَانِ عَلَى حُرُوفٍ لَمْ تُقْرِئْنِيهَا (Faqultu: Innī sami’tu hādzā yaqra’u bi-sūratil Furqān ‘alā ḥurūfin lam tuqri’nīhā). “Ya Rasul, aku dengar orang ini baca tapi dengan gaya yang tidak pernah Engkau ajarkan kepadaku.” فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَرْسِلْهُ (Faqāla Rasūlullāhi ṣallallāhu ‘alayhi wasallam: Arsilhū). Kata Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam, “Iya, lepasin dulu.” Lepasin dulu cengkeramannya. Lepas. Baru Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam mengatakan, اِقْرَأْ يَا هِشَامُ (Iqra’ yā Hishām). “Wahai Hishām, coba engkau baca.” Maka dibaca oleh Hishām dengan qirā’ah yang tadi didengar oleh ‘Umar. Maka Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam kemudian mengatakan, هَكَذَا أُنْزِلَتْ (Hākadzā unzilat). “Beginilah surat ini diturunkan.” وَاقْرَأْ يَا عُمَرُ (Wa iqra’ yā ‘Umar). “Wahai ‘Umar, coba kau baca yang kamu sudah pernah belajar.” Maka ‘Umar mengatakan, “Akhirnya aku baca sesuai dengan yang aku pelajari.” Maka Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wasallam komentar yang sama, هَكَذَا أُنْزِلَتْ (Hākadzā unzilat). “Demikian pula Al-Qur’an diturunkan.” Lalu di terakhir Nabi mengatakan, إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ (Inna hādzal Qur’āna unzila ‘alā sab’ati aḥruf, fa-qra’ū mā tayassara minhū). Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dengan tujuh macam bacaan, tujuh macam bahasa Arab. Bacalah sesuai dengan yang kalian mudah untuk baca. Ini dalam rangka memberikan kemudahan kepada kaum muslimin agar ketika membaca Al-Qur’an bisa untuk mereka pahami, mereka mudah lafalkan. Bukan berarti untuk sombong-sombongan apalagi sampai mempersulit ketika ada tujuh huruf, tujuh macam bacaan, dan tujuh bahasa. Lalu ada orang pengin nukar-nukar atau pengin sembarangan dalam baca. Para ulama mengatakan bahwa bacaan Al-Qur’an yang diriwayatkan dengan mutawātir ini hanya yang boleh dibaca. Adapun bacaan-bacaan yang sampai dikatakan qirā’ah syāżżah atau bacaan tambahan, bacaan yang tidak masyhūr (terkenal) riwayatnya, tidak boleh dijadikan bacaan Al-Qur’an.

Wallāhu a’lam biṣ-ṣawāb.

وَصَلَّى اللَّهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى عَبْدِهِ وَرَسُولِهِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.


Related Articles

Back to top button