Dr. Emha Hasan Ayatullah M.AKajian KitabShahih Jami' As- Shagir

Shahih Jami’ As-Shagir: Agar Tidak Gagal Takwa


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَبِهِ نَسْتَعِينُ عَلَى أُمُورِ الدُّنْيَا وَالدِّينِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى الْمَبْعُوثِ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحَابَتِهِ أَجْمَعِينَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ…

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. أَمَّا بَعْدُ.

Kaum Muslimin dan Muslimat, pemirsa Roja TV, pendengar Radio Roja, dan seluruh kaum Muslimin yang mengikuti pengajian malam hari ini. Semoga ilmu kita bermanfaat dan kita didekatkan oleh Allah Azza wa Jalla, dan setiap kita menambah wawasan, menambah ilmu, semoga Allah Azza wa Jalla mengampuni dosa kita kemudian semakin membuat ketakwaan kita bertambah.

Malam hari ini, seperti yang disampaikan, kita akan membahas tentang hadis kaidah ketakwaan. Seseorang pantas untuk belajar ketakwaan agar dia bisa bertakwa. Orang yang tidak belajar atau merasa sudah bisa, sering kita tahu bahwa dia adalah orang yang gagal dan paling parah. Sehingga orang yang berakal belajar sebelum berpraktik. Maka kalau kita ingin menjadi orang bertakwa, kita harus tahu bagaimana ketakwaan itu.

Hadis Pertama: Rombongan Pertama Masuk Surga (Hadis No. 96)

Namun sebelumnya, kita membahas satu hadis Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang menjadi kelanjutan pembahasan sebelumnya tentang orang yang masuk surga pertama-tama. Disebutkan di dalam hadis yang ke-96 yang disebutkan oleh penulis As-Suyuti rahimahullahu ta’ala, lalu dipilih hadis-hadis yang sahih oleh Syekh Al-Albani rahimahullah dalam kitab Jami’ush Shaghir.

Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda dalam hadis Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim, diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman. Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyatakan:

أَتَعْلَمُ أَوَّلَ زُمْرَةٍ تَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي؟ فُقَرَاءُ الْمُهَاجِرِينَ

“Tahukah kamu bahwa orang pertama, bahkan rombongan pertama yang akan masuk surga dari umatku? Mereka adalah orang-orang Muhajirin yang fakir.”

Disebutkan para ulama, ini menunjukkan keistimewaan para Muhajirin ketika mereka menjadi orang pilihan yang secara bergerombol datang termasuk dipilih menjadi yang awal-awal diizinkan masuk surga. Yang kedua, ternyata yang masuk surga adalah orang-orang miskin.

يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى بَابِ الْجَنَّةِ فَيَسْتَفْتِحُونَ

“Pada hari kiamat mereka datang menuju pintu surga lalu mereka minta izin agar dibukakan pintu.”

فَيَقُولُ لَهُمُ الْخَزَنَةُ: أَوَ قَدْ حُوسِبْتُمْ؟

“Maka penjaga pintu surga akan mengatakan: ‘Apakah kalian sudah dihisab (diperhitungkan oleh Allah amal kalian, kebaikan dan keburukan semuanya sudah dicatat selesai hitung-hitungannya)?'”

قَالُوا: بِأَيِّ شَيْءٍ نُحَاسَبُ؟

“Maka mereka menjawab: ‘Apa yang mau dihitung dari kami? Kami ini tidak punya apa-apa. Bagaimana yang akan diperhitungkan dan dimintai pertanggungjawaban?'”

وَإِنَّمَا كَانَتْ أَسْيَافُنَا عَلَى عَوَاتِقِنَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ حَتَّى مِتْنَا عَلَى ذَلِكَ

“Sesungguhnya pedang-pedang kami selalu berada di atas pundak-pundak kami di jalan Allah, sampai kami mati dalam keadaan demikian’.”

Kami dulu tidak punya apa-apa. Hanya pedang kami saja, sampai tidak sempat kita taruh, pedang kami itu masih terus kita angkat di sini, di antara pundak dan leher (‘awatiq). Ini tempat kalau orang mau membawa barang karena kecapekan, seperti tongkat atau pedang atau barang yang agak panjang kemudian dia mau istirahat, maka barang yang tinggi dan panjang itu disandarkan di pundaknya.

Kata para sahabat dari kalangan Muhajirin, “Kami ini bawa pedang, pedang pun kita sandarkan di sini belum sempat kita turunkan karena memang kita dalam kondisi waspada dan siaga.” Dikatakan kami sampai dalam keadaan seperti itu terus-menerus sampai mati. Artinya, disebutkan mereka ini orang-orang yang tidak punya apa-apa. Tidak sempat bercocok tanam, jualan, atau mau mengobrol apalagi bepergian (wisata). Tapi mereka selalu waspada. Manakala ada panggilan jihad berperang, mereka siap.

فَيُفْتَحُ لَهُمْ، فَيَقِيلُونَ فِيهَا أَرْبَعِينَ عَامًا قَبْلَ النَّاسِ

“Maka pintu surga akan dibuka untuk mereka. Maka mereka akan beristirahat (qailulah) di situ selama 40 tahun lamanya sebelum orang-orang lain sampai ke surga.”

يَقِيلُونَ artinya qailulah. Dan qailulah itu artinya adalah mereka beristirahat di waktu siang. Para ulama mengatakan qil itu tidur, tetapi sekadar dia istirahat di waktu siang bisa dikatakan dia melakukan qailulah.

Kita tahu bahwa ini merupakan keistimewaan yang pertama bagi orang-orang Muhajirin. Yang kedua bagi orang miskin. Apakah orang boleh berdoa agar menjadi miskin? Wallahu a’lam, ini tidak pas. Akan tetapi seseorang meminta agar Allah Azza wa Jalla memberikan ketakwaan kepada Allah. Adapun masalah takdir miskin atau kaya, orang dalam keadaan sengsara maupun lapang, maka ini adalah kewenangan dan kebijaksanaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan seseorang dituntut untuk menempatkan situasi; pada saat dia diberikan ujian kelapangan oleh Allah Azza wa Jalla, dia bersyukur. Pada saat diberi ujian musibah dan berat, maka dia dituntut untuk bersabar.

Hisab dan Pertanggungjawaban Harta

Ini juga menunjukkan bahwa orang miskin tidak akan banyak pertanyaan pada hari kiamat. Kita sering mendengar hadis Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam riwayat At-Tirmidzi:

لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ

“Dua kaki seorang hamba tidak akan bergeming, beranjak, berpindah pada hari kiamat sampai dia akan diperhitungkan oleh Allah, sampai dia ditanya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang empat hal.”

  1. عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ”Tentang umurnya, dipakai untuk apa?”
  2. وَعَنْ عِلْمِهِ مَا عَمِلَ بِهِ”Tentang ilmunya, dia punya ilmu diapakan? Bagaimana dia praktikkan ilmunya?” Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla mengampuni kesalahan dan kekurangan-kekurangan kita.
  3. وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ”Tentang tubuhnya, untuk apa dia gunakan?”Termasuk dia diberi anugerah Allah Azza wa Jalla, badan ini dipakai untuk apa? Dimanfaatkan, digunakan untuk apa? Sehat, sempurna, kemudian bisa jadi dia istimewa dari yang lain. Digunakan untuk apa? Bersyukur, beribadah, dan tidak maksiat? Atau sebaliknya digunakan untuk melanggar perintah Allah, membanggakan diri, bahkan kalau perlu lancang dan congkak menantang malaikat, menantang orang-orang yang bertakwa kepada Allah, bahkan menentang agama dan sunah. Na’udzubillah. Maka ini akan ditanyakan oleh Allah Azza wa Jalla.Sebagian ulama mengatakan badan ini titipan Allah. Tidak boleh seseorang semaunya berbuat zalim. Tadi ada orang bilang, “Tidak apa-apa tangan saya ini dikorbankan, dipotong-potong juga. Kalau seandainya saya mau berderma, silakan ambil semua badan saya.” Sebagian ulama mengatakan tidak boleh, karena badan ini bukan milik kita. Ini akan ditanya oleh Allah Azza wa Jalla, sehingga kalau kita bebas-bebas melakukan tindakan yang merugikan, Allah menyatakan:وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ (Jangan kalian bunuh diri kalian)وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ (Jangan kalian jerumuskan diri kalian pada kebinasaan)Ini semua kezaliman dan termasuk bentuk tidak amanah dalam memperlakukan badan, nanti Allah akan tanya pada hari kiamat.
  4. وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ”Dan tentang hartanya, dari mana dia dapatkan dan untuk apa dia belanjakan?”Dia ditanya kekayaannya dulu dia dapat dari mana? Kemudian dia gunakan untuk apa?

Maka berbahagialah orang yang kalau Allah beri kekayaan, harta, lalu dia manfaatkan untuk ibadah kepada Allah. Kalau seandainya seorang kepala rumah tangga mendapat gaji, penghasilan, atau kesuksesan bisnis dan seterusnya, lalu dia manfaatkan untuk nafkah keluarganya, dia niatkan ikhlas karena Allah karena ini tanggung jawab, maka itu merupakan sebuah ibadah. Mulia sekali.

Bahkan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyatakan bahwa harta yang kita infakkan untuk nafkah keluarga merupakan harta yang istimewa daripada sedekah biasa. Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyatakan:

دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ، وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ، وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ

“Satu dinar engkau infakkan di jalan Allah, satu dinar yang engkau gunakan untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau berikan kepada orang miskin, dan satu dinar yang engkau gunakan untuk memberi nafkah keluargamu; yang paling afdal (besar pahalanya) adalah harta yang engkau gunakan untuk memberi nafkah keluargamu.” (Sahih Muslim).

Maka Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda kepada Sa’ad bin Abi Waqqash رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ:

إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ

“Tidaklah engkau berusaha memberi nafkah keluargamu dan engkau berharap akan dapat pahala dari Allah, kecuali betul-betul kau dapat pahala, sampai satu suap yang engkau masukkan ke mulut istrimu.” (Sahih Bukhari dan Muslim).

Artinya harta ini titipan Allah juga. Sebagaimana kita hati-hati dalam mencari, maka dalam menggunakan pun kita akan ditanya. Maka hendaklah kita bijak dalam menggunakan titipan Allah ini. Tidak apa-apa seseorang ingin bebas memilih makanan dan pakaian menggunakan fasilitas yang Allah titipkan, akan tetapi dia tahu bahwa satu saat kalau ditanya Allah, dia siapkan jawabannya yang benar. Agar jangan sampai harta ini di-idha’ah (disia-siakan).

Dan zuhud di dalam dunia tidak harus seseorang buang-buang harta, pengin tampil miskin, compang-camping, dan kelihatan menderita. Bukan itu zuhud. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menukil perkataan seorang ulama salaf:

لَيْسَ الزَّهَادَةُ فِي الدُّنْيَا بِتَحْرِيمِ الْحَلَالِ وَلَا إِضَاعَةِ الْمَالِ

“Tidaklah zuhud terhadap dunia dilakukan dengan mengharamkan yang halal dan juga tidak menyia-nyakan harta.”

Allah beri, kemudian dia bilang, “Saya tidak mau, saya pakaikan, biarin saja semuanya.” Tidak seperti itu namanya zuhud. Engkau pengin zuhud itu artinya engkau yakin bahwa yang ada di sisi Allah jauh lebih istimewa dari apa yang ada di tangan kamu. Artinya seseorang ketika dia diberi kekayaan Allah, tapi dia tetap merasa bahwa yang ada di tangan ini tidak ada apa-apanya, tetap dibandingkan dengan yang ada di sisi Allah jauh lebih istimewa di sana, sehingga dia manfaatkan yang dia punya untuk yang kira-kira bisa mendapatkan apa yang ada di sisi Allah. Jadilah dia orang zuhud meskipun kaya.

Barangkali orang melihat dia bergelimang harta, akan tetapi dia memiliki kezuhudan ketika hatinya yakin dengan apa yang ada di sisi Allah. Di waktu yang sama, ada orang miskin dia tidak bisa zuhud; tamak, tidak bersyukur, dan tidak bersabar. Rugi dunia akhirat.

Maka jadilah orang cerdas dalam beriman. Bukan sekadar perasaan atau mengikuti orang, akan tetapi iman butuh dalil, membutuhkan ketakwaan dan persiapan. Kita sering mendengar Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyatakan:

نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ

“Sebaik-baik harta yang saleh (baik) adalah ketika dimiliki oleh orang yang saleh.”

Sehingga dia bisa menggunakannya dalam ketaatan, dalam infak di jalan Allah, dan seterusnya. Betul, kita tadi bahas hadis bahwa orang miskin jarang dan sedikit pertanggungjawabannya karena pertanyaannya tidak ada, tidak seperti orang yang hartanya banyak. Akan tetapi bukan berarti orang yang hartanya banyak dia akan menjadi terpuruk dan pasti masuk neraka. Tidak ada jaminan. Bahkan bisa jadi kekayaan orang yang bisa digunakan dalam jalan Allah, dia akan bisa menyalip orang-orang yang duluan masuk surga, tapi derajat orang yang belakangan bisa lebih tinggi, Insyaallah.

Dalam hadis yang hasan, Utsman bin Affan رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ketika Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ akan mempersiapkan pasukan di Perang Tabuk dalam kondisi panas, jaraknya jauh, kondisi kaum Muslimin betul-betul membutuhkan persiapan benar. Maka Utsman رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ beliau sampai membawa 1.000 dinar. Kita bayangkan 1 dinar itu 4,25 gram emas. Kalau 1.000 dinar tinggal dikalikan. Ini yang dibawa oleh Utsman رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ dengan bajunya kepada Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Sampai Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berbinar dan berkata:

مَا ضَرَّ عُثْمَانَ مَا عَمِلَ بَعْدَ الْيَوْمِ

“Apa yang dilakukan Utsman setelah hari ini tidak akan membahayakannya.”

Artinya, ketika seseorang memiliki kekayaan tapi dimanfaatkan, maka dia menjadi sebuah kondisi yang luar biasa. Ketika ada orang kaya mampu membuat masjid sendiri, pesantren sendiri, melengkapi kebutuhan kaum Muslimin, menghajikan, mengumrahkan, bersedekah, mengayomi, memberikan santunan, dan dia sama sekali tidak membutuhkan pujian. Tidak seperti sebagian orang yang bilang “ini didokumentasikan”, pencitraan, dan sebagainya.

Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyatakan dalam hadis sahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim:

لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ… وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ

“Tidak ada hasad (yang diperbolehkan/ghibthah) kecuali pada dua orang… (salah satunya) seseorang yang Allah beri harta, lalu Allahuasakan dia untuk menghabiskannya dalam kebenaran.”

Jadi ini hadis pertama tentang orang yang pertama-tama masuk surga yaitu orang-orang yang memang miskin. Mereka tidak banyak memiliki harta benda sehingga pertanyaan dan hisab pada hari kiamat akan ringan. Dan ini juga merupakan hiburan untuk orang-orang yang Allah عَزَّ وَجَلَّ uji dengan keterbatasan. Tidak mesti ini merupakan kesengsaraan. Kebahagiaan tidak dihitung selalu dengan nominal. Karena yang penting kaya adalah kaya hati.

Hadis Kedua: Kaidah Ketakwaan (Hadis No. 97)

Hadis yang kedua yang akan kita pelajari adalah hadis tentang ketakwaan, dan ini merupakan kaidah. Kita akan bahas hadis yang ke-97 dan ini menjadi pembuka untuk hadis-hadis setelahnya, karena As-Suyuti rahimahullah akan menyebutkan setidaknya 24 hadis tentang ketakwaan dan menggunakan lafaz takwa (اتَّقُوا).

Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dzar, dari Muadz bin Jabal juga, dan juga disebutkan dari Anas bin Malik. Diriwayatkan oleh Abu Daud, Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi. As-Syekh Al-Albani rahimahullah menyebutkan hadis ini hasan. Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyatakan:

اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada, dan iringilah setiap kejelekan dengan kebaikan agar kebaikan itu bisa menghapuskan kejelekan, dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.”

Hadis ini merupakan lambang ketakwaan dan wasiat yang dari dulu para nabi telah berikan nasihat itu. Allah menyatakan:

وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ

“Dan sungguh telah Kami wasiatkan kepada orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; hendaklah kamu bertakwa kepada Allah.” (QS. An-Nisa: 131).

Dasar dari ketakwaan, orang kalau menanyakan dan menafsirkan takwa itu apa? Artinya takut. Orang waspada itu artinya ketakwaan. Para ulama mengatakan definisi takwa:

أَنْ يَجْعَلَ الْعَبْدُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَا يَخَافُهُ وِقَايَةً

“Seorang hamba menjadikan antara dirinya dan apa yang dia takuti sebuah pelindung (wiqayah).”

Abu Hurairah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ pernah ditanya seseorang, “مَا التَّقْوَى؟ (Apa itu ketakwaan?)”. Beliau balik bertanya:

“Apakah engkau pernah melewati jalan yang banyak durinya?”

Orang itu menjawab: “Iya.”

Beliau bertanya: “Apa yang kamu perbuat?”

Orang itu menjawab: “Kalau aku melihat ada duri, maka aku akan cari jalan lain, aku lompati, atau aku berhenti (ngerem) tidak jadi lewat situ, nanti aku cari yang lain.”

Kata Abu Hurairah: “ذَاكَ التَّقْوَى (Itulah ketakwaan).”

Sampai ada sebuah syair Arab mengatakan:

خَلِّ الذُّنُوبَ صَغِيرَهَا وَكَبِيرَهَا ذَاكَ التُّقَى

وَاصْنَعْ كَمَاشٍ فَوْقَ أَرْضِ الشَّوْكِ يَحْذَرُ مَا يَرَى

لَا تَحْقِرَنَّ صَغِيرَةً إِنَّ الْجِبَالَ مِنَ الْحَصَى

“Tinggalkanlah dosa, yang kecil maupun yang besar, karena itulah ketakwaan.

Dan jadilah engkau seperti orang yang berjalan di atas tanah berduri, berhati-hati dengan apa yang dia lihat.

Dan jangan kamu anggap remeh dosa yang kecil, karena gunung itu asalnya adalah tumpukan kerikil.”

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah dalam kitab Jami’ul Ulum wal Hikam ketika menjelaskan hadis ini, beliau menukil perkataan Bakar bin Khunais rahimahullah:

كَيْفَ يَكُونُ مُتَّقِيًا مَنْ لَا يَدْرِي مَا يَتَّقِي؟

“Bagaimana seseorang akan bisa bertakwa kalau dia tidak tahu apa yang harus dia takuti (hindari)?”

Ma’ruf Al-Karkhi memberikan contoh orang yang gagal bertakwa:

إِنْ كُنْتَ لَا تُحْسِنُ تَتَّقِي أَكَلْتَ الرِّبَا (Kalau kamu tidak bisa bertakwa dengan benar, kamu akan makan riba).

وَإِنْ كُنْتَ لَا تُحْسِنُ تَتَّقِي لَقِيَتْكَ امْرَأَةٌ فَلَمْ تَغُضَّ بَصَرَكَ (Kalau kamu tidak bisa bertakwa, maka engkau akan ditemui seorang wanita lalu engkau tidak menundukkan pandangan).

Bahkan beliau mengingatkan, jangan-jangan majelis belajar kita ini perlu kita ingatkan ketakwaan. Bisa jadi kita butuh ketakwaan di majelis kita ini. Dan bisa jadi pula kita jalan bareng begini dari masjid tadi sampai di tempat ini kita mengobrol, kita membahas ilmu, ini pun perlu diupayakan ketakwaannya.

Definisi Takwa Menurut Para Sahabat dan Ulama

Kita sering mendengar ketakwaan itu artinya melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Betul. Abdullah bin Mas’ud رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ mendefinisikan takwa:

أَنْ يُطَاعَ فَلَا يُعْصَى، وَأَنْ يُذْكَرَ فَلَا يُنْسَى، وَأَنْ يُشْكَرَ فَلَا يُكْفَرَ

“Hendaklah Allah ditaati dan tidak dimaksiati, diingat dan tidak dilupakan, serta disyukuri dan tidak diingkari nikmat-Nya.”

Muadz bin Jabal رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ mengatakan bahwa orang yang bertakwa adalah:

قَوْمٌ اتَّقَوُا الشِّرْكَ وَعِبَادَةَ الْأَوْثَانِ وَأَخْلَصُوا لِلَّهِ بِالْعِبَادَةِ

“Kaum yang menjauhi kesyirikan dan penyembahan berhala, serta memurnikan ibadah hanya kepada Allah.”

Berarti takwa adalah tauhid. Orang paling bertakwa adalah orang yang paling bertauhid. Kalau orang menyangka dia bertakwa karena salatnya banyak, tapi doanya kepada selain Allah, menyembelih untuk selain Allah, maka ketakwaannya rapuh.

Ada seorang ulama Tabi’in bernama Thalq bin Habib rahimahullah mendefinisikan takwa dengan sunah:

أَنْ تَعْمَلَ بِطَاعَةِ اللَّهِ عَلَى نُورٍ مِنَ اللَّهِ تَرْجُو ثَوَابَ اللَّهِ، وَأَنْ تَتْرُكَ مَعْصِيَةَ اللَّهِ عَلَى نُورٍ مِنَ اللَّهِ تَخَافُ عِقَابَ اللَّهِ

“Engkau melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya (ilmu/bimbingan) dari Allah dengan mengharap pahala Allah, dan engkau meninggalkan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena takut akan azab Allah.”

Jadi ketika seseorang berharap pahala atau takut hukuman, ini menunjukkan keikhlasan. Tapi ketika beramal, dia membutuhkan bimbingan (ala nurin minallah). Berarti ini adalah sunah. Orang bertakwa adalah yang menggabungkan keikhlasan dan ittiba’ (mengikuti sunah).

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah mengatakan:

لَيْسَتِ التَّقْوَى صِيَامَ النَّهَارِ وَقِيَامَ اللَّيْلِ وَالتَّخْلِيطَ فِيمَا بَيْنَهُمَا، وَلَكِنَّ تَقْوَى اللَّهِ تَرْكُ مَا نَهَى اللَّهُ، وَأَدَاءُ مَا افْتَرَضَ اللَّهُ

“Bukanlah takwa itu sekadar puasa di siang hari dan tahajud di malam hari lalu mencampuradukkan di antara keduanya. Akan tetapi takwa kepada Allah adalah meninggalkan apa yang Allah larang dan menunaikan apa yang Allah wajibkan.”

Sampai ada pernyataan ulama salaf bahwa ketakwaan seseorang diuji pada saat dia sendirian.

لِيَتَّقِ أَحَدُكُمْ أَنْ تَلْعَنَهُ قُلُوبُ الْمُؤْمِنِينَ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ

“Hati-hatilah kalian, jangan sampai dilaknat oleh hati orang-orang mukmin padahal dia tidak sadar.”

Bagaimana maksudnya?

يَخْلُو بِمَعَاصِي اللَّهِ فَيُلْقِي اللَّهُ الْبُغْضَ لَهُ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ

“Dia bermaksiat kepada Allah saat sendirian, sehingga Allah menebarkan kebencian di hati kaum mukminin kepadanya.”

Menghapus Keburukan dengan Kebaikan

Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyatakan: وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا (Iringilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapusnya).

Ini sejalan dengan firman Allah:

إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ

“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS. Hud: 114).

Maksudnya menghapus itu bagaimana? Apakah dosa itu hilang bersih, atau masih ada tapi tidak dimintai pertanggungjawaban? Mayoritas ulama, seperti yang disahihkan Ibnu Rajab, mengatakan bahwa amal saleh itu tidak menghilangkan catatan dosa, tetapi membatalkan pertanggungjawaban (hukuman). Dosanya masih terpampang dan orang itu akan membacanya di hari kiamat. Maka Al-Hasan Al-Basri menangis memikirkan hal ini, “Cukuplah kita menangis karena rasa malu melihat dosa di depan Allah.”

Apakah semua amal saleh menghapus semua dosa? Jumhur ulama mengatakan yang dihapus adalah dosa-dosa kecil. Adapun dosa besar, tidak akan terhapus kecuali dengan tobat.

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ

“Salat lima waktu, Jumat ke Jumat, Ramadan ke Ramadan, adalah penghapus dosa di antara keduanya selama dosa-dosa besar dijauhi.”

Apa yang dimaksud dengan “Kebaikan (الْحَسَنَة)” dalam hadis ini?

  1. Istighfar dan Taubat.Sebagaimana hadis: إِنْ أَحْدَثْتَ ذَنْبًا فَأَحْدِثْ لَهُ تَوْبَةً (Jika engkau melakukan dosa, maka segera lakukan taubat).
  2. Amal Saleh secara umum.Contohnya memperbanyak salat. Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memberikan perumpamaan sungai di depan rumah yang digunakan mandi lima kali sehari:أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهْرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسًا، مَا تَقُولُ ذَلِكَ يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ؟”Tahukah kalian, seandainya ada sungai di depan pintu salah seorang dari kalian, lalu dia mandi di sana setiap hari lima kali, apakah masih tersisa kotorannya?”Sahabat menjawab: “Tidak.”Nabi bersabda: فَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا (Itulah perumpamaan salat lima waktu, Allah menghapus dosa dengannya).

Sesi Tanya Jawab Interaktif

Pertanyaan 1: Hukum Memakai Shampo Pewarna Rambut Menjadi Hitam

Penanya: Bapak Iskandar, Kalimantan Timur.

Pertanyaan: Saya rambutnya sudah banyak putih (uban), malu dilihat orang. Saya pakai shampo, ternyata setelah dibilas rambut berubah menjadi hitam. Apakah itu termasuk dosa besar?

Jawaban Ustaz:

Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ketika melihat ada seorang sahabat yang beruban, beliau bersabda:

غَيِّرُوا هَذَا الشَّيْبَ، وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ

“Ubahlah uban ini, tetapi jauhilah warna hitam.”

Arahannya, kita memang dibolehkan merubah warna putih ini dengan warna lain, tapi jangan warna hitam. Tujuannya agar tidak mengecoh (takh-di’). Seolah-olah kita masih muda padahal sudah tua.

Kalau seandainya ada orang tidak sengaja menggunakan shampo—yang dia kira shampo biasa untuk membersihkan atau membunuh kuman—ternyata tanpa disadari membuat rambut jadi hitam, kalau dia tidak mengerti, tidak ada masalah. Tapi kalau dia tahu bahwa shampo ini fungsinya untuk menghitamkan, maka cari yang lain saja. Kalau menjadi cokelat atau abu-abu (selain hitam), itu boleh. Yang penting hindari warna hitam. Wallahu a’lam.

Pertanyaan 2: Kewajiban Mengajarkan Ilmu Bagi Orang Awam

Penanya: Bapak Jaja, Kalideres.

Pertanyaan: Saya dulu salat bacaannya itu-itu saja. Setelah kenal Roja, saya beli buku Sifat Salat Nabi dan menghafal doa-doa. Apakah saya wajib mengajarkan ke orang lain padahal saya bukan ustaz?

Jawaban Ustaz:

Masyaallah, ini nikmat besar. Kalau ditanya apakah perlu mengajarkan? Ya. Kita diperintah untuk memberikan ilmu yang kita pelajari. Tidak harus menjadi dai, mufti, atau syekh untuk bisa mengajarkan. Sampaikan apa yang sudah kita ketahui agar orang lain bisa merasakan nikmatnya Islam seperti yang Antum rasakan.

Syekh Abdul Muhsin Al-Abbad ketika ditanya “Apakah orang yang mengajar harus direkomendasi?”, beliau mengatakan tidak harus ada rekomendasi (tazkiyah) formal untuk sekadar menyampaikan ilmu yang sudah diketahui. Asalkan jangan menyampaikan yang belum dikuasai. Dakwah tidak selalu orasi mimbar, bisa obrolan ringan di teras rumah atau tempat ngopi yang menggugah orang belajar agama. Semoga ada pahalanya. Barakallahu fikum.

Pertanyaan 3: Menghadapi Ipar/Keluarga Suami yang “Toxic”

Penanya: Ibu Aulia, Cikupa.

Pertanyaan: Saya punya ipar yang perkataannya menyakitkan hati dan mencampuri rumah tangga. Saya memilih menjauh demi menjaga mental dan keutuhan rumah tangga. Apakah langkah saya benar?

Jawaban Ustaz:

Hadis tadi ada lanjutannya: وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ (Pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik).

Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.”

Kalau kita mampu membalas kejelekan dengan kebaikan, itu tanda kesabaran ganda dan level iman tinggi. Dulu ada sahabat yang curhat ke Nabi, “Saya punya kerabat, saya sambung silaturahim tapi mereka memutus, saya berbuat baik mereka berbuat jahat.”

Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:

لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ

“Jika benar seperti yang engkau katakan, maka seolah-olah engkau menyuapi mereka dengan debu panas.” (Artinya, sikap baikmu justru mempermalukan keburukan mereka).

Ini yang ideal. Tapi kalau Anda khawatir lemah, sakit hati, atau takut diadu domba lalu memilih mengambil jarak (membatasi interaksi) demi menjaga hati dan rumah tangga, Wallahu a’lam, mudah-mudahan tidak mengapa. Tetap doakan mereka. Jika bisa islah (berdamai) itu lebih afdal, tapi jika tidak sanggup, menjaga jarak diperbolehkan.

Pertanyaan 4: Mitos Rumah “Tusuk Sate”

Penanya: Hamba Allah (via Chat).

Pertanyaan: Apakah benar rumah tusuk sate tidak bagus buat penghuninya?

Jawaban Ustaz:

Saya tidak mengerti istilah “tusuk sate” dalam konteks bangunan secara spesifik, kalau sate makanan ya enak. Tapi kalau maksudnya adalah keyakinan bahwa posisi rumah tertentu (seperti di pertigaan jalan/tusuk sate) membawa sial, tidak laku, atau nasib buruk, maka itu tidak benar.

Itu namanya khurafat, takhayul, atau peninggalan jahiliyah (Thiyarah). Keyakinan seperti ini harus diingkari, tidak perlu dilestarikan. Tidak ada hubungan antara posisi rumah dengan kesialan nasib. Wallahu a’lam.


(Penutup)

Kita tutup dengan sebuah hadis dalam Sahih Muslim:

فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ وَيُدْخَلَ الْجَنَّةَ، فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ

“Barang siapa yang ingin diselamatkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga, hendaklah kematian menjemputnya dalam keadaan dia beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaklah dia memperlakukan manusia sebagaimana dia ingin diperlakukan oleh orang lain.”

Kaidah bertakwa: ketika seseorang membangun hubungan baik dengan Allah, dia pun perlu membangun hubungan baik dengan manusia.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.

وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ.


Related Articles

Back to top button