Dr. Abdullah Roy, M.A

Penjelasan Hadits Arba’in An-Nawawiyah ke-28: Wasiat Perpisahan Nabi ﷺ

PENJELASAN HADIS ARBA’IN AN-NAWAWIYAH KE-28: WASIAT PERPISAHAN NABI*

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

الْحَمْدُ لِلَّهِ، الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ

Ikhwah sekalian dan juga akhwat rahimani wa rahimakumullah.

Materi yang akan kita bahas adalah penjelasan dari sebuah hadis yang agung di antara hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadis ini disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah di dalam kitab beliau Al-Arba’in An-Nawawiyyah, sebuah kitab masyhur yang berisi 42 hadis yang merupakan pokok-pokok ajaran agama Islam.

Hadis ini ditempatkan pada urutan ke-28. Ini menunjukkan kedudukan hadis ini di mata para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, karena di dalamnya disebutkan tentang pokok-pokok ajaran agama Islam. Para ulama senantiasa terus menggali dan mendalami hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan wahyu dari Allah, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

﴿وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى * إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى﴾
(Dan tidaklah dia [Muhammad] berbicara dari hawa nafsunya, apa yang dia ucapkan tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya). [QS. An-Najm: 3-4]

Sehingga para ulama terus menggali apa yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengambil faedah, dan merenunginya. Insyaallah apa yang kita sampaikan ini adalah bagian dari usaha kita menyebarkan sunnah dan mengenalkan hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat.

Hadis Ke-28: Nasihat yang Menggetarkan Hati

Beliau rahimahullah mengatakan: الْحَدِيثُ الثَّامِنُ وَالْعِشْرُونَ (Hadis yang ke-28).

عَنْ أَبِي نَجِيحٍ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ، وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ

Dari Abu Najih—ini adalah kunyah, dan nama sahabatnya adalah Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat yang mulia—beliau menceritakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan mau’izhah (nasihat) kepada kami.”

Nasihat tersebut disifati dengan dua sifat:

  1. وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ (Nasihat tersebut menjadikan hati-hati kami bergetar/takut).
  2. وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ (Dan menjadikan mata kami berlinang air mata).

Yang dimaksud dengan mau’izhah di dalam bahasa Arab adalah nasihat yang isinya ada dorongan untuk melakukan sesuatu (dinamakan Targhib), atau di dalamnya ada usaha untuk menakut-nakuti dari sesuatu (Tarhib). Jika disebutkan pahala yang besar, itu Targhib. Jika disebutkan tentang ancaman di dunia atau neraka, itu Tarhib. Inilah yang dinamakan mau’izhah.

Dahulu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan mau’izhah ini secara jarang, tidak setiap hari. Karena hati manusia bisa bosan. Disebutkan dalam hadis: كَانَ يَتَخَوَّلُنَا (Dahulu Nabi menjarangkannya/mencari waktu yang tepat). Hikmahnya adalah agar hati para sahabat tidak bosan. Sebagian sahabat bahkan memberikan nasihat sepekan sekali.

Sifat mau’izhah Nabi dalam hadis ini sangat mendalam:

  • Pertama, membuat hati takut (وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ). Ini berarti apa yang disampaikan beliau benar-benar masuk ke dalam hati para sahabat, menjadikan mereka takut kepada Allah dan azab-Nya.
  • Kedua, membuat air mata berlinang (وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ). Ini menunjukkan nasihat tersebut sangat dalam (مَوْعِظَةً بَلِيغَةً).

Nasihat yang balighah (mendalam) artinya penasihat menggunakan kata-kata yang fasih, ringkas, singkat, tetapi mengena pada hati pendengarnya. Ini juga menunjukkan betapa lembutnya hati para sahabat radhiyallahu ‘anhum, sehingga mudah bergetar dan menangis saat mendengar nasihat Nabi.

Allah memuji orang-orang beriman yang hatinya mudah bergetar dalam Al-Qur’an:

﴿إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا﴾
(Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka). [QS. Al-Anfal: 2]

Dan Allah juga menceritakan tentang mereka yang menangis:

﴿وَإِذَا سَمِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَى الرَّسُولِ تَرَى أَعْيُنَهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ﴾
(Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul [Muhammad], kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata). [QS. Al-Ma’idah: 83]

Hati yang keras adalah hati yang susah menangis karena Allah. Jika seseorang merasa susah menangis dan hatinya sulit bergetar saat mendengar nasihat, hendaklah ia segera mengoreksi diri, memperbanyak istigfar, dan menyadari bahwa hal itu terjadi karena banyaknya dosa.

Permintaan Wasiat dari Sahabat

فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا
(Maka kami berkata: “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasihat orang yang akan berpisah, maka berikanlah wasiat kepada kami”).

Para sahabat mengira, dari kata-kata yang digunakan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebentar lagi akan meninggalkan mereka. Biasanya, orang yang hendak berpisah akan memberikan wasiat-wasiat yang paling agung dan penting, karena ia tahu tidak akan bisa memberikan nasihat lagi. Maka, kecerdasan (fiqih) para sahabat terlihat di sini; mereka segera meminta wasiat.

Wasiat Pertama: Bertakwa kepada Allah

Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan wasiat beliau:

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
(Aku wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla).

Ini adalah wasiat yang pertama dan paling agung. Tidak ada wasiat yang lebih besar daripada wasiat takwa. Takwa adalah sebab kesuksesan dan kebaikan di dunia maupun di akhirat. Inilah wasiat Allah untuk orang-orang terdahulu dan yang akan datang:

﴿وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ﴾
(Dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan [juga] kepada kamu; bertakwalah kepada Allah). [QS. An-Nisa: 131]

Di antara keutamaan bertakwa:

  1. Diberikan Jalan Keluar dan Rezeki:
    ﴿وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ﴾
    (Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya). [QS. At-Talaq: 2-3]Barangsiapa ingin dimudahkan urusan keluarga, kantor, atau masyarakatnya, serta diberkahi rezekinya, hendaklah ia berpegang pada takwa.
  2. Keberkahan bagi Negeri:
    ﴿وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ﴾
    (Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi). [QS. Al-A’raf: 96]
  3. Keselamatan di Akhirat:
    Mulai dari sakaratul maut, alam kubur, hisab, timbangan, hingga melewati Shirath, takwa sangat berpengaruh.
    ﴿إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ مَفَازًا﴾
    (Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa mendapat kemenangan). [QS. An-Naba: 31]﴿إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ﴾
    (Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam surga [taman-taman] dan [di dekat] mata air). [QS. Al-Hijr: 45]

Definisi Takwa

Apa yang dimaksud dengan takwa? Definisi yang banyak dipuji oleh para ulama adalah ucapan Talq bin Habib rahimahullah:

أَنْ تَعْمَلَ بِطَاعَةِ اللَّهِ عَلَى نُورٍ مِنَ اللَّهِ تَرْجُو ثَوَابَ اللَّهِ، وَأَنْ تَتْرُكَ مَعْصِيَةَ اللَّهِ عَلَى نُورٍ مِنَ اللَّهِ تَخَافُ عِقَابَ اللَّهِ

Definisi ini mencakup tiga poin utama:

  1. Mengamalkan ketaatan kepada Allah di atas cahaya (dalil): Menjalankan perintah (wajib/sunnah) harus berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Hadis. Jika tanpa dalil, meskipun dianggap baik oleh manusia, itu bukan takwa.
  2. Mengharap pahala dari Allah (Ikhlas): Niatnya harus karena Allah, bukan karena ingin dipuji manusia.
  3. Meninggalkan maksiat di atas cahaya (dalil) karena takut azab Allah: Tidak boleh mengharamkan yang halal tanpa dalil. Meninggalkan maksiat pun harus didasari ilmu (bahwa itu haram/makruh) dan rasa takut akan hukuman Allah, bukan karena malu pada manusia.

Ini menunjukkan bahwa orang yang ingin bertakwa harus menuntut ilmu (thalabul ilmi). Tidak mungkin seseorang bisa mewujudkan takwa kecuali dengan belajar agama.

Banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan takwa:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ﴾
(Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam). [QS. Ali Imran: 102]

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا﴾
(Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu…). [QS. Al-Ahzab: 70-71]

Allah juga memerintahkan manusia secara umum (يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ) dan bahkan kepada Nabi-Nya (يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ اتَّقِ اللَّهَ). Kenapa? Karena di balik takwa ada kebaikan yang melimpah di dunia dan akhirat.

Itu adalah wasiat yang pertama. Mungkin itu yang bisa kita sampaikan.

Wallahu Ta’ala A’lam. Wabillahi taufiq wal hidayah.
وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Related Articles

Back to top button