Kajian Kitab Lum’atul I’tiqad #7

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَ1شْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَسَلَّمَ تَسْلِيماً كَثِيراً، أَمَّا بَعْدُ
Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan taufik dan juga hidayah-Nya kepada kita semuanya, sehingga kembali di hari ini kita dipertemukan dan dikumpulkan dalam rangka mempelajari agama Allah, mempelajari ilmu agama yang merupakan tugas kita sebagai seorang muslim dan juga muslimah. Para ikhwah dan juga para akhwat, rahimani wa rahimakumullah, masih kita bersama kitab Lum’atul I’tiqad Al-Hadi ila Sabili Ar-Rasyad yang ditulis oleh Ibnu Qudamah rahimahullah.
Sebelum saya mulai, alangkah baiknya kalau ikhwah berkumpul di tengah agar lebih mudah untuk melihat, karena jika di depan kosong sementara di kanan dan kiri terisi, akan terasa tidak enak.
Beliau mengatakan rahimahullah, setelah pada pertemuan sebelumnya membawakan ucapan Al-Imam Ahmad bin Hanbal dan juga Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah dalam masalah sifat Allah, kita menyadari dan mengetahui bahwasanya para aimmah (imam-imam) di dalam masalah nama dan juga sifat, prinsip, keyakinan, serta akidah mereka adalah sama, meskipun berbeda dalam sebagian masalah hukum fikih. Mungkin Al-Imam Syafi’i dalam masalah menjaharkan atau mensirkan basmalah ketika salat Subuh, salat Magrib, dan salat Isya berbeda dengan Al-Imam Ahmad. Mungkin Al-Imam Ahmad dalam masalah Qunut Subuh berbeda pendapatnya dengan Al-Imam asy-Syafi’i, dan mungkin Al-Imam Syafi’i berbeda dalam masalah apakah bersentuhan dengan wanita membatalkan wudu atau tidak. Akan tetapi, dalam masalah nama dan juga sifat, tidak ada perbedaan antara Al-Imam Syafi’i rahimahullah dengan Al-Imam Ahmad, antara Al-Imam Ahmad dengan Al-Imam Malik, antara Al-Imam Malik dengan Abu Hanifah. Ini adalah masalah akidah, mereka satu dalam memahami nama dan juga sifat Allah, tidak ada perbedaan di antara imam-imam tersebut.
Antum sudah mendengar bersama ucapan Al-Imam Syafi’i, Al-Imam Ahmad, dan Al-Imam Malik ketika beliau ditanya oleh seseorang yang mengatakan: الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى، كَيْفَ اسْتَوَى؟ (“Ar-Rahman beristiwa di atas ‘Arsy, bagaimana Dia beristiwa?”). Kita telah mendengarkan bersama ucapan masing-masing dari mereka.
Maka Beliau mengatakan setelahnya: وَعَلَى هَذَا دَرَجَ السَّلَفُ وَأَئِمَّةُ الْخَلَفِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ (“Dan di atas akidah seperti ini telah berjalan para Salaf dan juga imam-imam para khalaf, semoga Allah meridai mereka”). Yang dimaksud dengan as-Salaf di sini adalah para sahabat, generasi yang paling baik yang kita diperintahkan untuk mengikuti jejak mereka. Merekalah yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا (“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.”).
Jadi, kalau kita ingin diridai oleh Allah, padahal kita bukan termasuk Muhajirin dan bukan termasuk Ansar, jadilah kita “orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”. Maka beliau mengatakan di sini, demikianlah yang dahulu diyakini oleh para sahabat radhiyallahu ta’ala anhum. Kalau para sahabat berada di atas akidah ini, maka kita pun insyaallah bisa mengikuti akidah para sahabat. Terlebih lagi Allah menjanjikan: وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ (“Allah Subhanahu wa Ta’ala menyediakan bagi mereka…”). Bagi siapa? Kaum Muhajirin, kaum Ansar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, disediakan oleh Allah surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Inilah akidah yang dimiliki oleh para Salaf: para sahabat, para tabi’in, para tabi’ut tabi’in, yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ (“Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian yang setelah mereka, kemudian yang setelah mereka.”).
Inilah akidah mereka. وَأَئِمَّةُ الْخَلَفِ (“dan juga imam-imam yang belakangan”). Setelah tiga generasi pertama, diikuti oleh generasi-generasi yang lain, dan di sana ada para imam yang merupakan orang-orang yang diteladani dalam masalah ilmu dan juga amalan. Itulah yang dinamakan dengan Imam: dicontoh dan diteladani. Dari setiap generasi ke generasi, ada para ulama, para imam yang dari sisi ilmu mereka adalah orang-orang yang terpercaya, dan dari sisi ibadah, amanah, serta akhlak, mereka adalah orang-orang yang diteladani. Datang Al-Imam al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Al-Imam Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, dan imam-imam yang lain yang datang setelah generasi para sahabat, para tabi’in, para tabi’ut tabi’in, ternyata sama, mereka juga meyakini akidah yang sudah kita sebutkan dan jelaskan dalam masalah nama dan juga sifat Allah. Sehingga kalau kita membaca Kitab Tauhid yang ditulis oleh Ibnu Khuzaimah, kita akan mendapatkan akidah yang sama. Kalau kita membaca Sahih al-Bukhari, kita akan mendapatkan akidah yang sama. Inilah akidah para Salaf dan aimmatul khalaf.
كُلُّهُمْ مُتَّفِقُوْنَ عَلَى الْإِقْرَارِ وَالْإِمْرَارِ وَالْإِثْبَاتِ (“Semuanya bersepakat untuk mengikrarkan, melewatkan, dan menetapkan”). Semuanya bersepakat untuk mengikrarkan. Ikrar artinya adalah menyetujui, baik dengan hati maupun dengan lisan. Qarra artinya adalah tenang, maksudnya adalah mengikrarkan (menyetujui) dan hatinya dalam keadaan tenang, tidak ada keraguan sedikit pun di dalam apa yang dia benarkan. Inilah makna al-ikrar. Itulah yang dilakukan dahulu oleh para Salaf dan para aimmatul khalaf dalam masalah nama dan juga sifat Allah. Sama-sama mereka mengikrarkan, mengisbatkan (menetapkan) nama dan juga sifat Allah tanpa mereka menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk. مُتَّفِقُوْنَ, semua mereka bersepakat, tidak ada yang berselisih dalam masalah ini.
وَالْإِمْرَارِ (“dan melewatkan”). Mereka bersepakat dalam melewatkan. Amarra-yumirru-imraaran maksudnya adalah melewatkan. Marra-yamurru artinya lewat, kalau amarra artinya melewatkan. Maksudnya apa? Menjalankan sebagaimana datangnya. Kalau datangnya dengan lafaz istawa, maka kita lewatkan juga dengan lafaz istawa. Kalau datangnya dengan makna meninggi, maka kita lewatkan juga dengan makna ‘ala warta’fa’a (meninggi). Itu yang dilakukan oleh para Salaf dahulu. Jadi mereka melewatkan dengan lafaz dan juga maknanya sebagaimana datang, bukan mengolah sendiri. Datang dengan lafaz istawa kemudian keluar darinya sudah dengan makna yang lain menjadi istaula. Datang dengan lafaz yad (tangan) kemudian keluar darinya sudah mengganti menjadi qudrah. Itu bukan jalan para Salaf kita, bukan jalan para imam-imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka sepakat untuk melakukan imrar, maksudnya adalah melewatkan makna dan juga lafaznya sebagaimana datangnya.
وَالْإِثْبَاتِ (“dan menetapkan”). Mereka sepakat dalam menetapkan, bukan mengingkari sifat-sifat tersebut karena bertentangan dengan akal. Bukan pula mentakwil karena menganggap bahwasanya menetapkan sifat tersebut adalah bagian dari menyerupakan Allah dengan makhluk. Semuanya mengisbatkan. Alhamdulillah, di sana sudah mulai ada disertasi atau tesis yang mengumpulkan akidah imam-imam tersebut. Mengumpulkan ucapan-ucapan mereka: ucapan Al-Imam asy-Syafi’i dalam masalah akidah, Al-Imam Malik dalam masalah akidah, Al-Imam Ahmad dalam masalah akidah. Kesimpulannya, bahwasanya dalam masalah akidah mereka semuanya sama. Hanya saja, di sana ada orang-orang yang menisbahkan dirinya kepada imam-imam tersebut, mengaku bahwasanya dia adalah Maliki, atau Hanafi, atau Hambali, tetapi terkadang hanya sekedar pengakuan. Kalau dilihat akidahnya, sangat berbeda dengan akidah yang dimiliki oleh imam tersebut. Padahal, kalau dia tahu tentang akidah imam-imam tersebut, misalnya, mereka akan sadar bahwa apa yang kita sampaikan berupa tauhid dan akidah ini tidak menyelisihi apa yang diyakini oleh imam-imam besar tersebut.
Menetapkan, mengikrarkan, melewatkan terhadap apa yang datang di dalam Al-Qur’an berupa sifat-sifat Allah dan Sunah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka kita ikrarkan, kita lewatkan, kita tetapkan, مِنْ غَيْرِ تَعَرُّضٍ لِتَأْوِيلِهِ (“tanpa kita mentakwilnya”), mentakwil dengan takwilan-takwilan yang tidak berdasar, dan telah berlalu penjelasan panjang lebar tentang masalah takwil ini.
Dan sungguh kita telah diperintah untuk mengikuti jejak-jejak mereka. Sebagaimana dalam ayat tadi, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji orang-orang yang mengikuti para sahabat dan mengatakan bahwasanya Allah rida kepada mereka serta mengabarkan bahwasanya mereka adalah yang dijanjikan masuk ke dalam surga, berarti di sini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti para sahabat. Mengapa Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji para sahabat? Ini sebagai nasihat kepada kita. Jika kita takjub dengan akhlak seorang ulama dan kita ingin supaya anak kita mengikuti jejak ulama tersebut, apa yang kita lakukan? Terkadang kita menyebutkan dan memuji ulama tersebut di depan anak kita. “Masya Allah Syekh Fulan demikian dan demikian,” supaya dia mendengar dan mengikuti jejak ulama tersebut. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan menjanjikan untuk mereka surga supaya kita mengikuti jejak para sahabat.
Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam ucapan beliau: خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي (“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup di zamanku”), yaitu para sahabat, kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya. Tujuannya adalah supaya kita mengikuti mereka di dalam ibadah, akidah, dan juga akhlak para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhu.
Dan kita diperintahkan untuk mengambil petunjuk mereka, dan kita telah diingatkan dari perkara-perkara yang baru. Ada perkara-perkara yang lama dan ada perkara-perkara yang baru (الْمُحْدَثَاتِ). Perkara yang lama adalah atsar-atsar, perkara-perkara yang ditinggalkan oleh para Salaf, petunjuk-petunjuk, arahan-arahan, dan keyakinan-keyakinan yang telah mereka yakini. Dan di sana ada perkara-perkara yang baru yang tidak diyakini oleh para Salaf, ibadah-ibadah yang tidak dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum. Ini dinamakan dengan muhdats. Ada sesuatu yang lama, ada yang baru. Kita diperintahkan untuk mengikuti yang lama, yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat. Dan kita diperingatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari perkara-perkara yang baru.
Karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadis, dan nanti akan disebutkan oleh penulis di sini, beliau mengabarkan akan datangnya perkara-perkara yang baru, dan maksudnya adalah dalam masalah agama yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Kita diberikan peringatan, dan peringatan adalah dari sesuatu yang membawa kemudaratan, dari sesuatu yang jelek, dari sesuatu yang berbahaya. Kalau tidak berbahaya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan mengingatkan kita dari perkara tersebut.
Dan kita dikabarkan, diberitahu, bahwasanya perkara-perkara yang muhdats (yang baru) tadi adalah termasuk kesesatan-kesesatan, yang apabila diikuti, maka seseorang akan tersesat dari jalan yang lurus. Sebagaimana orang yang sedang mencari jalan menuju ke sebuah daerah kemudian dia tersesat, bukan menempuh jalan menuju daerah tersebut, justru malah dia mengambil jalan-jalan yang lain. Maka orang yang berpegang dengan al-muhdatsat (perkara-perkara yang baru) yang bidah di dalam agama, akhirnya adalah akan tersesat. Dia tidak berjalan di atas jalan yang lurus yang merupakan satu-satunya jalan yang menyampaikan dia kepada keridaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي (“Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunahku dan sunah para Khulafa’ ar-Rasyidin al-Mahdiyyin setelahku.'”). Ini ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. عَلَيْكُمْ dalam bahasa Arab artinya adalah “wajib bagi kalian”. Beliau berbicara kepada kita semuanya, umat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي (“hendaklah kalian, wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunahku”). Sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah jalan beliau. Sunah artinya adalah jalan. Sunnatun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam artinya adalah jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan jalan hidup beliau masuk di dalamnya masalah akidah, masalah ibadah, maupun masalah akhlak dan juga muamalah. Itu semua adalah jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan jalan hidup beliau tertuang di dalam Al-Qur’an dan juga hadis. عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي (“wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunahku”). Kalau berpegang teguh dengan sunah beliau adalah wajib, dan ternyata sunah beliau tertuang di dalam Al-Qur’an dan hadis, berarti kewajiban kita adalah mempelajari Al-Qur’an dan juga hadis, yaitu mempelajari ilmu agama. Bagaimana seseorang bisa berpegang teguh dengan sunah beliau kalau kita bermalas-malasan dalam mempelajari agama Allah? Apa yang akan kita pegang kalau kita tidak tahu tentang sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي (“Dan sunah para Khulafa’ ar-Rasyidin al-Mahdiyyin setelahku”). Al-Khulafa’ ar-Rasyidin al-Mahdiyyin maksudnya adalah empat khalifah yang datang setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: Abu Bakar ash-Shiddiq, ‘Umar bin Khattab al-Faruq, ‘Utsman bin ‘Affan Dzun Nurain, dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ta’ala ‘anhum jamian. Empat khulafa’ yang datang setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena dalam sebuah hadis yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan: خِلَافَةُ النُّبُوَّةِ ثَلَاثُونَ سَنَةً، ثُمَّ يُؤْتِي اللَّهُ مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ (“Khilafah nubuwah (kenabian) itu ada 30 tahun, kemudian setelah itu Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan kerajaan-Nya kepada siapa yang Allah kehendaki.”). Para ulama menghitung kekhilafahan Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, totalnya 30 tahun. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal pada tahun 11 Hijriah dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ta’ala ‘anhu meninggal pada tahun 41 Hijriah, dibunuh oleh ‘Abdurrahman bin Muljam di bulan Ramadan pada tahun 41 Hijriah. Berarti dari tahun ke-11 sampai tahun 41, semenjak diangkatnya Abu Bakar radhiyallahu ta’ala ‘anhu sebagai khalifah sampai meninggalnya ‘Ali bin Abi Thalib, ini ada kurang lebih 30 tahun. Sehingga para ulama mengatakan bahwasanya al-khulafa’ yang dimaksud oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di sini adalah empat khulafa’.
Empat khulafa’ tersebut disifati dengan ar-Rasyidin al-Mahdiyyin. Disifati dengan dua sifat: ar-Rasyidin artinya adalah yang lurus, dan yang dimaksud adalah lurus dari sisi keilmuan. Ilmunya adalah ilmu yang lurus, ilmu yang paling dalam. Dan para Khulafa’ur Rasyidin—Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan juga ‘Ali—mereka adalah orang yang paling berilmu di antara para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bukan hanya sebagai seorang khalifah atau pemimpin negara, tetapi mereka adalah para ulama. Mereka adalah orang-orang yang paling berilmu di antara para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ada di dalam diri mereka ar-rusyd (kelurusan) dalam masalah ilmu, paling lurus dalam masalah pemahaman agama. Jadi, kalau mau memahami agama dengan baik, maka ikutilah para Khulafa’ Rasyidin karena mereka adalah orang-orang yang terkumpul di dalam dirinya ilmu agama yang lurus dan pemahaman yang lurus.
Sifat yang kedua, mereka adalah al-Mahdiyyin, yang artinya adalah yang mendapatkan petunjuk. Maksudnya, mereka mengamalkan ilmu yang mereka miliki. Bukan hanya ilmu yang dalam dan pemahaman yang luas tentang agama ini, tetapi juga mereka mengamalkan apa yang mereka ilmui. Sehingga dinukil dari Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ta’ala ‘anhu bahwasanya beliau mengucapkan, “Tidak ada sunah di antara sunah-sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali aku mengamalkannya.” Kemudian beliau mengatakan, “Aku khawatir apabila aku tinggalkan sebagian saja dari sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, aku khawatir aku akan menyimpang.” Beliau adalah seorang khalifah, berilmu, dan mengamalkan apa yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Pantaslah beliau menjadi seorang khalifah di antara al-Khulafa’ ar-Rasyidin.
Datang setelah beliau ‘Umar bin Khattab radhiyallahu ta’ala ‘anhu, yang berjalan di belakang Abu Bakar ash-Shiddiq dalam masalah kekhilafahan, menegakkan keadilan, dan beliau adalah orang yang berilmu serta mengamalkan ilmu yang dia miliki. Suatu saat, beliau pernah tawaf, dan beliau sebagai seorang khalifah, ketika tawaf beliau mencium Hajar Aswad. Mencium Hajar Aswad bukan sesuatu yang rukun, bukan sesuatu yang wajib, ini adalah salah satu di antara sunah ketika kita melakukan tawaf. Beliau mencium Hajar Aswad, kemudian karena khawatir orang-orang yang ada di sekitarnya menyangka bahwasanya beliau melakukan sesuatu yang sama dengan yang dilakukan oleh orang-orang musyrikin zaman dahulu—karena orang-orang musyrikin zaman dahulu mereka mengusap sesuatu, mencium sesuatu dengan maksud untuk bertabaruk, menggantungkan senjata mereka di sebuah pohon dengan maksud untuk mengambil berkah—maka beliau pun dengan lantang berkata kepada orang-orang di sekitarnya, “Sungguh aku tahu bahwasanya engkau adalah batu, tidak memberikan manfaat dan juga tidak memberikan mudarat. Seandainya aku dahulu tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.”
Beliau berusaha untuk mengikuti sunah. Itu bukan sesuatu yang wajib, tapi karena itu pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau pun melakukannya. “Beliau dahulu mencium, maka saya pun mencium.” Apalagi dalam perkara-perkara besar yang lain. Beliau adalah seorang khalifah, bukan hanya ilmu yang dalam yang beliau miliki, tetapi juga disertai dengan amalan.
‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, bukan hanya dikenal dengan ilmunya, tetapi mereka juga dikenal dengan amalannya yang luar biasa. ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ta’ala ‘anhu, lihat bagaimana beliau menjaga puasa, bagaimana beliau menjaga membaca Al-Qur’an, sampai ketika di akhir hayatnya, sebelum dibunuh, beliau dalam keadaan membaca Al-Qur’an dan dalam keadaan berpuasa, mengamalkan apa yang sudah diilmui. ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ta’ala ‘anhu, sebagaimana disebutkan dalam sebagian atsar, ketika beliau diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam zikir sebelum tidur, yaitu Subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, takbir Allahu Akbar 34 kali, beliau tidak meninggalkan zikir ini sampai beliau meninggal dunia. Semenjak malam tersebut diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, zikir ini malam-malam berikutnya tidak pernah beliau tinggalkan. Sebagaimana ini diungkapkan oleh beliau sendiri dan ditanya oleh sebagian orang yang ada di sekitarnya, “Ya Amirul Mukminin, wahai Amirul Mukminin, apakah engkau tidak meninggalkan zikir ini sampai di malam perang Siffin?” Malam tersebut adalah malam yang seharusnya orang seperti ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ta’ala ‘anhu dalam keadaan sibuk, karena besoknya akan terjadi peperangan besar. Tentunya seorang pemimpin di malam tersebut akan sibuk dengan strategi, melihat keadaan prajuritnya, apalagi jumlahnya bukan 100-200 tapi ribuan. Maka sebagian bertanya, “Apakah di malam tersebut engkau tidak meninggalkan zikir ini?” Beliau mengatakan, “Tidak pula di malam Siffin,” yaitu aku tidak meninggalkan zikir tersebut sampai di malam itu.
Ini adalah contoh bagaimana para Khulafa’ Rasyidin menjaga ilmu dan juga amalan. Nah, kita disuruh untuk mengikuti sunah mereka. Ikutilah jalan mereka. Bagaimana jalan Khulafa’ Rasyidin? Jalan Khulafa’ Rasyidin adalah supaya kita mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Antum lihat tadi bagaimana Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali berpegang teguh dengan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, menimba ilmu, dan mengamalkan ilmu tersebut. Maka, ambillah sunah mereka, ikutilah jalan para Khulafa’ Rasyidin al-Mahdiyyin yang mereka adalah orang-orang yang lurus pemahamannya dan orang yang mendapatkan petunjuk, yaitu mengamalkan ilmu tersebut. Jadi, mereka tidak mendatangkan sunah yang baru, tapi sunah mereka adalah supaya kita mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
مِنْ بَعْدِي (“setelah diriku”). عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ (“gigitlah sunahku tersebut dengan gigi geraham kalian”). Ini adalah ungkapan yang menunjukkan kesungguhan dalam memegang sesuatu, dengan cara bukan hanya dipegang saja, tetapi berusaha untuk menggigitnya sekuat tenaga supaya tidak terlepas. Dan beliau menyebutkan di sini satu jenis gigi, an-nawajidz, yang kalau diterjemahkan dalam bahasa kita adalah gigi geraham. Karena di sana ada gigi taring, ada gigi seri, ada gigi geraham. Nah, kalau seseorang ingin menggigit dengan kuat, maka dia menggunakan gigi gerahamnya. Kalau ingin makan daging, pakai gigi taring. Kalau ingin makan jagung, pakai gigi seri. Masing-masing ada tugasnya. Kalau ingin memegang kuat sesuatu, maka dengan gigi geraham. Jangan salah gigi, kalau salah gigi bisa rontok gigi kita. Beliau mengatakan: عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ (“gigitlah sunah tersebut dengan gigi geraham”). Maksudnya adalah ungkapan bahwa kalau seseorang sudah kenal sunah, bersungguh-sungguhlah dia dalam berpegang teguh dengan sunah tersebut. Pelajari sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan amalkan sekuat mungkin, sebisa mungkin, sunah tersebut dalam kehidupan kita. Jangan kita bermudah-mudahan melepas sunah yang sudah kita ketahui. Kalau memang sudah tahu sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka pegang teguh sebagaimana ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sebagaimana ucapan beliau, karena fitnah yang ada di sekitar kita, godaan yang ada di sekitar kita yang ingin menjauhkan kita dari sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini banyak. Setan tidak ingin kita berpegang teguh dengan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka dia berusaha untuk menggoda, membisikkan, memberikan waswas, menakut-nakuti: “Kamu nanti kalau berpegang teguh dengan sunah, kamu akan kehilangan kesenangan duniamu, kamu akan kehilangan jabatanmu, kamu akan berpisah dengan orang-orang yang kamu cintai.” Terus diberikan waswas sampai seseorang akhirnya dia melepaskan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebelumnya dia berpegang teguh dengan sunah, kemudian dia tinggalkan.
Di sana ada fitnah syubhat yang dilemparkan oleh para du’at yang mengajak kepada kesesatan, dan terkadang mereka pandai berbicara, mereka menguasai media. Dan terkadang godaan tersebut dari syahwat, dan betapa dahsyatnya godaan dari syahwat terutama di zaman kita. Ada di sekitar kita banyak fitnah yang sewaktu-waktu bisa menggelincirkan seseorang dari sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan kita tidak merasa aman. Sudah ada, bahkan banyak, sebelumnya dia mengikuti sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian justru dia berpaling dari sunah yang sebelumnya dikenal dakwahnya kepada sunah, kemudian setelah itu dia tergelincir dan justru mengajak orang kepada bidah. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga kita semuanya dari fitnah tersebut, dari godaan tersebut.
Bahkan sebagian dikenal oleh para ulama yang lain sebagai ulama. Kita jangan merasa, “Saya sudah belajar, saya sudah demikian dan demikian.” Sebagian sudah dianggap oleh ulama yang lain sebagai seorang ulama, menulis kitab, membantah, dikenal dengan kepandaian dan kecerdasannya, tapi demikianlah qadarullah, dia menyimpang. Bahkan bukan hanya menyimpang dari sunah, bahkan keluar dari agama Islam. Ini sering jadi permisalan disebutkan oleh para masyaikh, “Si Fulan semakin jauh dan semakin jauh.” Dan memang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan di dalam hadis: وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا (“Sungguh salah seorang di antara kalian mengamalkan amalan penduduk surga—tauhid, mengenal sunah—sampai tidak ada jarak antara dia dengan surga kecuali satu jengkal saja, kemudian telah didahului dengan takdir, ditulis di dalam Lauhul Mahfuz bahwasanya orang tersebut menyimpang dari agama. Setelah dia berada di atas agama, maka apa yang ditakdirkan oleh Allah pasti akan terjadi. Dengan sebab tertentu, akhirnya dia keluar dari agama, lalu dia mengamalkan amalan penduduk neraka, kemudian masuk ke dalam neraka.”). Ada salah seorang di antara kalian yang demikian keadaannya.
Maka sekali lagi, kita berdoa kepada Allah dan memperbanyak doa: يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ (“Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu.”). Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam banyak membaca doa ini, termasuk di antara doa yang sering dibaca oleh beliau adalah يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ. Jangan kita merasa aman.
Dan kalau kita melihat orang yang sesat, bacalah zikir Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي عَافَانِي مِمَّا ابْتَلَاكَ بِهِ (“Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memuliakan aku, yang telah menyelamatkan aku dari ujian yang menimpanya”). Orang yang sesat ini sedang diuji oleh Allah dengan kesesatan tersebut, maka kita memuji Allah yang telah menyelamatkan kita dari ujian tersebut. وَفَضَّلَنِي عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيلًا (“dan memuliakan aku dari sekian banyak manusia dengan sebenar-benar pemuliaan”). Maka disebutkan dalam hadis, barang siapa yang membaca zikir ini ketika melihat orang yang terkena musibah, baik musibah yang berkaitan dengan dunia atau musibah yang berkaitan dengan agama, maka dia akan dijaga dari musibah tersebut. Jadi, melihat orang yang mendapatkan hidayah, Alhamdulillah yang telah memberikan dia hidayah, senang melihat saudaranya mendapatkan hidayah. Dan kalau dia melihat orang yang sesat, dia bersyukur kepada Allah yang telah menyelamatkan dia dari kesesatan tersebut. Jadi tidak ada di sana kesombongan atau ‘ujub, tapi dia kembalikan hidayah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengembalikan nikmat ini kepada Allah, nikmat hidayah. Seandainya Allah menghendaki, niscaya Allah akan menjadikan kita seperti mereka. عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ (“berpegang teguhlah, gigitlah sunah tersebut dengan gigi geraham kalian”). Bersungguh-sungguh ketika kita sudah mengenal agama ini, sudah mengenal sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ (“Kemudian beliau mengingatkan: ‘Dan hati-hati kalian dengan perkara-perkara yang muhdatsat.'”). Perkara-perkara yang baru yang tadi disebutkan: keyakinan, akidah, ibadah yang tidak pernah ada, tidak pernah diyakini oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ucapan beliau وَإِيَّاكُمْ (hati-hati) menunjukkan bahwasanya perkara tersebut adalah perkara yang berbahaya. Kenapa demikian? فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ (“Karena sesungguhnya setiap yang baru itu adalah bidah”). Yang dimaksud adalah baru dalam perkara agama. Adapun sesuatu yang baru dalam masalah dunia, maka ini bukan sesuatu yang tercela selama dia tidak bertentangan dengan syariat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.” Penemuan internet, listrik, komputer, dan seterusnya, maka ini adalah berkaitan dengan perkara dunia. Perkara dunia tersebut bisa digunakan dalam kebaikan dan juga bisa digunakan untuk perkara yang jelek. Maka yang tercela di sini adalah yang baru dalam masalah agama. Inilah yang dinamakan dengan bidah. فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ (“sesuatu yang baru yang tidak diyakini oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”). Seperti misalnya keyakinan orang-orang Khawarij, atau misalnya mentakwil sifat, meyakini bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak beristiwa tapi Allah berada di mana-mana. Ini sesuatu yang baru, tidak diyakini oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Memberontak kepada penguasa yang zalim dengan alasan penguasa adalah penguasa yang zalim, ini juga keyakinan yang baru, tidak diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena yang beliau ajarkan adalah as-sam’u wat-tha’atu li waliyyil amr (mendengar dan taat kepada penguasa). Yang beliau ajarkan adalah bersabar menghadapi penguasa yang zalim. Yang beliau ajarkan adalah diharamkan memberontak kepada penguasa. Itu yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun keyakinan Khawarij, maka ini adalah keyakinan yang baru. Maka beliau mengingatkan, وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ (“hati-hati kalian dengan perkara-perkara yang baru tadi”).
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ (“Dan setiap kebidahan adalah sesat”). Ini ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, menegaskan bahwa setiap bidah adalah sesuatu yang sesat. Dan kullu artinya adalah setiap, semua. كُلُّ أُمَّتِي (semua umatku), berarti كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ (setiap bidah adalah sesat), dengan bidah dalam pengertian yang tadi sudah kita sebutkan, yaitu dalam masalah agama. Jangan kita bawa bidah di sini dengan pengertian-pengertian yang lain. Bidah yang dimaksud oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di sini adalah bidah dalam masalah agama, dan itu adalah sesuatu yang dhalalah, sesuatu yang sesat. Kalau itu adalah sesuatu yang sesat, ya jangan diikuti. Karena itu adalah sesuatu yang menyimpang, yang sesat dari jalan yang lurus. Kalau kita mengikutinya, maka akhirnya kita akan menyimpang dari jalan yang lurus sesuai dengan kadar kebidahannya. Ada yang terlalu jauh menyimpang, ada yang tidak terlalu jauh. Ada yang menyimpang dalam masalah akidah dan ada yang menyimpang dalam masalah amaliah. Tentunya berbeda kadar penyimpangannya satu dengan yang lain.
Dalam riwayat disebutkan, “Dan setiap yang sesat, maka dia adalah di dalam neraka.” Kalau dhalalah di dalam neraka, dan seseorang ada dhalalah-nya, berarti orangnya juga ikut masuk ke dalam neraka. Kalau tempat kembali dari dhalalah adalah neraka, maka orang yang menyimpan di dalamnya dhalalah tersebut, maka dia juga akan masuk ke dalam neraka. Jadi jangan dikatakan, “Kan yang masuk neraka cuma dhalalah-nya saja, adapun orangnya maka dia masuk surga.” Orang yang di dalamnya ada dhalalah tersebut, maka dia masuk ke dalam neraka dengan sebab dhalalah tadi, dengan sebab bidah tadi, maka dia masuk ke dalam neraka. Ini ancaman yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tentunya yang seperti ini adalah berasal dari wahyu, karena hadis adalah wahyu Allah yang mengabarkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya setiap kesesatan adalah di dalam neraka. Dan ini adalah ancaman bagi setiap orang yang melakukan kebidahan di dalam agama.
Mungkin saja Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni dan mungkin saja Allah tidak mengampuni. Karena tentang masalah dosa besar, keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, orang yang melakukan dosa besar termasuk di antaranya adalah kebidahan, lalu meninggal dunia, maka di hari kiamat dia di bawah kehendak Allah (tahta masyi’atillah). Dia di bawah kehendak Allah. Apa maksudnya? Kalau Allah menghendaki dengan sebab dosa tadi, termasuk di antaranya adalah bidah, maka dia masuk ke dalam neraka. Dia mungkin melakukan satu bidah di dalam agama, atau dua, atau tiga, kemudian Allah tidak mengampuni dosa bidah tersebut, Allah menghendaki dia masuk ke dalam neraka, maka dia masuk ke dalam neraka dengan sebab bidah tadi. Dan mungkin saja Allah mengampuni. Dia melakukan kebidahan di dunia, kemudian di akhirat ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni dosa bidah yang dia lakukan sehingga dia pun tidak diazab dengan sebab bidahnya. Ini maksud akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bahwasanya pelaku dosa besar ini di bawah kehendak Allah. Berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ (“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.”). Kalau dosa syirik tidak ada harapan untuk diampuni; meninggal dunia dalam keadaan berbuat syirik, maka tidak ada harapan untuk diampuni. وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ (“tapi Allah masih mengampuni yang di bawah dari kesyirikan”). Apa yang di bawah kesyirikan? Termasuk di antaranya adalah kebidahan, dosa besar. Allah masih mengampuni dosa di bawah kesyirikan, tapi apa? لِمَنْ يَشَاءُ (“bagi orang yang Allah kehendaki”). Artinya apa? Mungkin Allah menghendaki dia diampuni dan mungkin saja tidak menghendaki. Artinya ini adalah ancaman, dan itu yang bisa kita lakukan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengancam bagi setiap orang yang melakukan bidah bahwasanya dia akan diazab di dalam neraka. Kita tidak mengatakan pasti dia akan diazab, tidak. Ini adalah ancaman, dan dia adalah sesuatu yang di bawah kesyirikan, dan itu kembali kepada masyi’atullah Azza wa Jalla. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dan juga Tirmidzi dalam sunannya dari ‘Irbadh bin Sariyah.
Setelah beliau menjelaskan bahwa secara umum para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum mereka berada di atas akidah ini, maka beliau menyebutkan setelahnya secara terperinci sebagian dari ucapan para Salaf, dimulai dari ucapan ‘Abdullah bin Mas’ud.
وَقَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ (“Dan berkata ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ta’ala ‘anhu”), seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang meninggal dunia pada tahun 32 Hijriah. Beliau termasuk seniornya para sahabat, termasuk ulamanya para sahabat. Dengarkan ucapan beliau: اِتَّبِعُوا وَلَا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ (“Hendaklah kalian ikuti, dan janganlah kalian membuat sesuatu yang baru, karena sungguh kalian sudah dicukupi.”). اِتَّبِعُوا (“hendaklah kalian ikuti”). Kita semuanya paham makna mengikuti. Kalau dia lurus, kita lurus; beliau belok kanan, kita belok kanan; beliau belok kiri, kita belok kiri; beliau berhenti, kita berhenti. Beliau berbicara tentang permasalahan tersebut, kita berbicara; beliau tidak berbicara, maka kita juga tidak berbicara. Beliau menerima, kita menerima; beliau tidak menerima, maka kita juga tidak menerima. Itu namanya ittiba’. Beliau mengingatkan: اِتَّبِعُوا (“hendaklah kalian mengikuti”), tidak usah membuat sesuatu yang baru, akidah yang baru, ibadah yang baru di dalam agama ini. اِتَّبِعُوا (“ikuti saja”), beriman saja, amalkan apa yang sudah kita ilmui. وَلَا تَبْتَدِعُوا (“dan janganlah kalian membuat sesuatu yang baru”). Beliau ingatkan, jangan membuat sesuatu yang baru. Kenapa kita mengikuti saja dan tidak boleh kita membuat sesuatu yang baru? فَقَدْ كُفِيتُمْ (“karena sungguh kalian sudah dicukupi”). Sudah lengkap apa yang kita butuhkan untuk masuk surga, sudah lengkap apa yang kita butuhkan supaya selamat dari neraka, sudah dijelaskan. Bukankah kita beriman dengan firman Allah: الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ (“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”). Itu diucapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala 1400 tahun yang lalu di Arafah, ketika Nabi dan juga para sahabat wukuf di Arafah. الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ (“hari ini Aku telah sempurnakan untuk kalian agama kalian”). Allah yang mengabarkan bahwasanya agama ini adalah agama yang sempurna, tidak ada kekurangan sedikit pun. Tidak boleh kita menambah akidah yang baru, amalan yang baru di dalam agama ini. فَقَدْ كُفِيتُمْ (“sungguh kalian sudah dicukupi”). Sehingga untuk apa kita mengadakan sesuatu yang baru berupa keyakinan atau amalan? Nasihat yang singkat tetapi mengandung makna yang dalam: اِتَّبِعُوا وَلَا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ.
Kemudian beliau mendatangkan ucapan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. وَقَالَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ (“Berkata ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz”), yang meninggal dunia kurang lebih pada tahun 101 Hijriah. Beliau termasuk khulafa’ Bani Umayyah dan dikenal dengan keilmuannya serta kesalehannya, sampai dikatakan bahwasanya beliau ketika menjadi seorang khalifah meniru dan mengikuti kekhilafahan yang dilakukan oleh para Khulafa’ Rasyidin. Bahkan ada yang mengatakan, meskipun adalah pendapat yang lemah, bahwasanya beliau adalah khalifah yang kelima dari Khulafa’ ar-Rasyidin. Ini adalah pendapat yang lemah, kecuali kalau dipahami dari sisi bahasanya dia berusaha untuk mengikuti jejak para Khulafa’ Rasyidin. Sebuah ucapan yang maknanya: قِفْ حَيْثُ وَقَفَ الْقَوْمُ (“Diamlah, berdirilah di tempat di mana kaum tersebut diam”). Yang dimaksud oleh beliau adalah para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum. قِفْ حَيْثُ وَقَفَ الْقَوْمُ (“Diamlah, berdirilah di mana kaum tersebut diam”). Berarti kita diperintahkan untuk melihat bagaimana dahulu para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhu. Kita perhatikan bagaimana mereka. Kalau mereka di sebuah tempat berdiri diam, maka kita pun diam.
فَإِنَّهُمْ عَنْ عِلْمٍ وَقَفُوا (“Karena sesungguhnya mereka, para sahabat, di atas ilmu ketika mereka berdiri, ketika mereka diam.”). Jadi mereka melakukan apa saja itu berdasarkan ilmu. Ketika mereka berbuat, berdasarkan ilmu. Ketika mereka tidak berbuat, juga berdasarkan ilmu. Ketika mereka berbicara, berdasarkan ilmu. Ketika mereka tidak berbicara, juga berdasarkan ilmu. عَنْ عِلْمٍ وَقَفُوا (“mereka di atas ilmu ketika mereka berdiri, ketika mereka diam”). Ini adalah termasuk makna ittiba’ tadi. Ikuti mereka, karena ada sebagian orang mungkin ketika dia diam, karena bingung. Bingung tidak tahu apa yang dilakukan, akhirnya dia diam. Tapi para sahabat tidak demikian. Ketika mereka menahan diri, ketika mereka berdiri, ketika mereka diam, maka mereka berdasarkan ilmu, berusaha untuk segala sesuatu sesuai dengan sunah. Dan dengan ilmu yang dalam mereka menahan diri. Pengetahuan mereka, ilmu mereka yang dalam, akhirnya mereka pun menahan diri dari sesuatu; menahan diri untuk tidak berbicara, menahan diri untuk tidak melakukan, berdasarkan pengetahuan, berdasarkan ilmu. Karena masing-masing dari kita akan ditanya. Sehingga kita ketika akan melakukan sesuatu, usahakan berdasarkan alasan yang jelas, berdasarkan ilmu. وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ (“Jangan engkau mengikuti sesuatu yang engkau tidak punya ilmu”). Sehingga sebagian Salaf menyebutkan, kalau engkau bisa menggaruk sesuai dengan sunah, maka lakukan. Mereka ingin menguatkan, sebisa mungkin kita melakukan sesuatu adalah sesuai dengan sunah. Kalau memang ada sunahnya, tata cara menggaruk adalah dari kanan ke kiri misalnya, atau dari kiri ke kanan, atau harus tiga kali, maka usahakan menggaruk dengan sunah. Sampai demikian para ulama dahulu mengingatkan, karena mereka tahu kalau memang itu disunahkan, pasti di sana ada hikmahnya, ada kebaikannya bagi kita semuanya, karena itu semuanya berasal dari wahyu.
Kemudian beliau mengatakan, وَلَهُمْ عَلَى كَشْفِهَا كَانُوا أَقْوَى (“Dan sungguh mereka untuk menyingkapnya, mereka bisa, mereka lebih kuat daripada kita.”). Jadi, kalau mereka ingin berbicara, mereka lebih kuat daripada kita, lebih mampu daripada kita untuk berbicara, tapi ternyata mereka menahan diri. Mereka tidak berbicara karena ilmu menuntut mereka untuk tidak berbicara. Jangan dikira bahwasanya mereka tidak berbicara karena mereka bodoh. Jangan dikira bahwasanya ketika mereka tidak berbicara, mereka tidak tahu. Tidak, mereka di atas ilmu dan mereka mampu untuk mengungkapkan, mereka lebih pintar daripada kita untuk berbicara, lebih fasih, tapi demikianlah keimanan para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum, berbicara dengan ilmu. Kalau mereka menahan diri, maka mereka menahan diri dengan ilmu.
وَبِالْفَضْلِ لَوْ كَانَ فِيهَا أَحْرَى (“Dan dengan keutamaan, seandainya di situ ada keutamaan, mereka lebih bersemangat untuk mendapatkan keutamaan.”). Jadi seandainya berbicara, berkomentar dalam masalah tadi ada keutamaannya, mereka orang yang nomor satu untuk melakukannya, karena mereka dikenal dengan semangatnya dalam kebaikan, berlomba-lomba dalam kebaikan. Dalam sedekah, dalam menuntut ilmu, dalam zuhud, dalam wara’, mereka adalah orang-orang yang saling berlomba satu dengan yang lain dalam kebaikan. Kalau di situ ada kebaikan, mereka sudah berlomba-lomba melakukannya. Mereka sudah berlomba-lomba untuk berkomentar. Tapi ternyata mereka tidak melakukannya, berarti tidak ada keutamaannya. Kalau mereka tidak berbicara tentang masalah itu, berarti tidak ada keutamaannya. Dan kalau tidak ada keutamaannya, untuk apa kita melakukan yang demikian? Tidak ada di antara sahabat yang mentakwil istawa dengan istaula, yad dengan qudrah. Tidak ada yang bertanya “bagaimana?”, padahal mereka adalah orang yang bersemangat dalam agama ini. Kalau mereka tidak melakukannya, jangan kita lakukan. Dan mereka bisa, mereka di atas ilmu, mereka bisa berbicara, tetapi mereka tidak berbicara karena memang itu tidak diperbolehkan dalam agama ini.
“Kalau engkau mengatakan, ‘Tapi kan ada sesuatu yang baru setelah mereka?'” Ketika disampaikan tentang keutamaan mengikuti para sahabat, dia mengatakan, “Tapi kan banyak sesuatu yang baru setelah mereka, banyak orang yang meyakini ini, meyakini itu. Seandainya saya melakukan yang demikian kan banyak temannya juga.” Maka beliau mengatakan, “Ketahuilah, tidaklah membuat sesuatu yang baru tersebut kecuali orang yang menyelisihi petunjuk mereka.” Jadi jangan ditiru. “Tidaklah membuat sesuatu yang baru tersebut kecuali yang menyelisihi petunjuk mereka dan dia benci terhadap sunah para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum,” dan jalan mereka adalah mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jadi jangan tertipu dengan banyaknya orang-orang yang membuat sesuatu yang baru berupa keyakinan atau ibadah yang ada di sekitar kita. Jangan merasa risih dengan kesendirian, tidak nyaman karena kita masih sedikit. Tidaklah membuat sesuatu yang baru tersebut kecuali orang yang menyelisihi petunjuk para sahabat dan benci dengan sunah mereka.
Dan sungguh mereka, yaitu para sahabat, telah mensifati darinya apa yang mengobati. Artinya para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum telah berbicara tentang masalah nama Allah, tentang masalah sifat Allah, dan mereka telah menafsirkan Al-Qur’an, menjelaskan Al-Qur’an dengan pemahaman yang benar sesuai dengan yang dipahami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang mengobati, yang menyembuhkan. Mereka bukan mensifati sesuatu yang masih tidak menyembuhkan. Apa yang mereka ungkapkan, apa yang mereka ucapkan, itu sudah mengobati, sudah menyembuhkan. Ketika mereka berbicara tentang masalah ‘uluwwullah (ketinggian Allah), maka itu sudah mengobati. Ketika mereka berbicara tentang tangan Allah, maka itu sudah mengobati. Ada nukilan-nukilan dari para Salaf dalam masalah-masalah tersebut dan itu sudah mencukupi, itu sudah mengobati. Jadi tidak perlu mencari obat-obat yang lain.
Dan mereka telah berbicara tentangnya dengan sesuatu yang mencukupi. Tidak kurang. Apa yang sudah disampaikan oleh para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhu sudah dinukil, ditulis oleh para ulama. Apa yang diucapkan oleh para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhu tinggal kita mau belajar atau tidak. Lengkap dinukil oleh para ulama dengan sanadnya sampai kepada para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhu. Apa yang ditulis oleh seperti Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, dan juga yang lain adalah ringkasan dari apa yang mereka baca dari ucapan para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhu. Sehingga seperti ucapan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz di sini, “Mereka berbicara dengan sesuatu yang sudah mencukupi kita semuanya.”
Maka apa yang ada di atas mereka, dia telah berlebihan. Para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhu berbicara sesuai dengan kadarnya. Kalau sampai kita berlebihan, lebih dari apa yang mereka ucapkan, maka ini masuk dalam tahsir (berlebihan/ekstrem). Dan apa yang di bawah mereka, maka ini termasuk yang menyia-nyiakan. Jadi yang sahih adalah pas dengan apa yang mereka lakukan. Kalau berlebihan, tercela. Kalau kekurangan, juga sesuatu yang tercela.
Beliau mengingatkan, ada sebagian orang yang bermudah-mudahan, mengurang-urangi dari mereka, yaitu bermudah-mudahan tidak mengikuti para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhu. Beriman kepada Allah, beriman kepada hari akhir, muslim seperti kita, tetapi dia kurang dalam mengikuti sunah para sahabat. Salat, berpuasa, melakukan haji, tapi banyak perkara-perkara yang mereka selisihi, mereka tidak mengikuti jalannya para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhu. Ada di antara orang Islam yang demikian keadaannya, ini adalah sesuatu yang tercela. Dan ada di antara mereka yang berlebihan, akhirnya mereka pun terjatuh dalam ghuluw. Jadi kita perlu berhati-hati juga dalam masalah ini, jangan sampai seseorang menyangka dia berada di atas sunah, padahal dia sudah berlebihan dalam sunah tersebut. Makanya, terus belajar. Terkadang kita terjerumus ke dalam ghuluw tadi tetapi kita tidak merasa. Kadang seseorang sudah bertahun-tahun dan dia merasa dia mengikuti sunah, ternyata dia sudah berlebihan. Bahkan ketika disebutkan sesuatu yang sunah, dia menganggap bahwa itu adalah sesuatu yang bidah atau dianggap orang yang menyampaikannya ini mulai luntur sunahnya, padahal apa yang dilakukan itu berlebihan sebenarnya. Makanya seseorang tidak merasa cukup dengan apa yang sudah dia dapatkan, dia terus menuntut ilmu, tidak merasa cukup dengan apa yang sudah dia dapatkan selama ini. Dan dilihat dalilnya, dilihat apa yang dia sampaikan, dan jangan kita sombong untuk mengikuti kebenaran. Jangan merasa malu, mungkin sesama jemaah masjid selama ini yang dia lakukan adalah demikian dan demikian, tapi ternyata setelah dia belajar dan belajar, oh ternyata yang lebih dekat dengan sunah adalah demikian. Jangan kita malu untuk meninggalkan yang lama kemudian kita mengikuti al-haq yang baru saja kita dapatkan.
وَإِنَّهُمْ فِيمَا بَيْنَ ذَلِكَ لَعَلَى هُدًى مُسْتَقِيمٍ (“Dan sesungguhnya mereka di dalam apa yang demikian, yaitu di antara yang berlebihan dan yang berkurang-kurangan, antara yang ghuluw dengan yang taksir tadi, mereka berada di atas petunjuk yang lurus.”). Jadi jalannya para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum tidak ekstrem kanan dan juga tidak ekstrem kiri. Maka seseorang berusaha untuk mendapatkan jalan ini. Bahkan ketika seseorang sudah masuk Islam, ketika seseorang sudah mengenal sunah, terus dia membaca: اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (“Tunjukilah kami jalan yang lurus”). Bukankah meskipun kita sudah kenal tauhid, kenal sunah, apakah kemudian kita tidak membaca اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ? Jawabannya kita tetap membaca. Kenapa demikian? Karena di antara makna اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ adalah “tetapkanlah kami di atas jalan yang lurus.” Sehingga kita terus membacanya dalam setiap rakaat dalam salat kita.
Ini adalah ucapan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz yang menunjukkan kepada kita pentingnya mengikuti para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum dalam agama ini, terutama adalah dalam masalah akidah, di antaranya dalam masalah nama dan juga sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena inilah jalan yang lurus.
Insya Allah, itu yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini. Dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh.
Tanya Jawab
Pertanyaan: Zikir sebelum tidur sebagaimana yang diajarkan kepada ‘Ali adalah Subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, Allahu Akbar 33 kali. Ada juga riwayat 34 kali. Mana yang benar di antara dua riwayat tersebut?
Jawaban: Setahu saya, untuk takbir ini jumlahnya 34 kali yang berkaitan dengan zikir yang dibaca sebelum tidur. Apakah di sana ada riwayat yang menyebutkan 33 kali, وَاللهُ أَعْلَمُ. Kalau memang ada dan dengan riwayat yang sahih, maka berarti bisa diamalkan dua-duanya, bisa 33 kali atau 34 kali untuk takbirnya.
Pertanyaan: Kadang di dunia medsos berseliweran hadis menamakan riwayat yang sahih Bukhari dan juga Muslim, tetapi kenyataannya itu bukan riwayat Bukhari dan Muslim. Bagaimana orang awam menghadapi realitas seperti itu?
Jawaban: Iya, pertama tentunya kita berhati-hati dalam menyeleksi tulisan-tulisan yang berseliweran, karena memang di zaman sekarang seseorang mudah menyebarkan, dan di antara yang disebarkan adalah sesuatu yang salah. Mungkin saja kesalahan tersebut disengaja dan mungkin saja tidak disengaja. Tidak ada di antara kita yang lepas dari kesalahan. Jangankan kita, para aimmah seperti Ibnu Hajar ataupun yang lain terkadang salah dalam menyebutkan siapa yang meriwayatkan. Oleh karena itu, kita sebagai seorang awam tentunya pertama, berhati-hati, dilihat sumbernya. Kalau hanya sekedar diunggah di grup dan tidak disebutkan di mana sumbernya, maka ini tentunya seseorang harus berhati-hati. Carilah website yang sudah dikenal dengan manhajnya, akidahnya, dan kehati-hatiannya dalam mengunggah sebuah tulisan. Carilah website-website yang terpercaya. Kemudian yang kedua, hendaklah kita sadari bahwa tidak ada manusia yang terlepas dari kesalahan. Meskipun kita sudah mencari di website yang terpercaya, mungkin saja dia melakukan kesalahan dalam menulis.
Pertanyaan: Bila kita menjual barang halal, misalkan kacamata, di mal yang ada musik dan pakaian promosi wanita tidak berhijab, apakah hukum jual belinya menjadi haram?
Jawaban: Tidak. Selama tidak ada di sana sesuatu yang mengeluarkan dari asalnya. Asal dari jual beli adalah halal. وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا (“Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”). Selama tidak ada di sana sesuatu yang menjadikan dia haram, mengeluarkan dia dari asalnya, maka asalnya dia adalah sesuatu yang halal. Contohnya seperti riba, atau di dalamnya ada penipuan, atau menjual sesuatu yang diharamkan di dalam agama, maka ini mengeluarkan hukumnya menjadi haram.
Pertanyaan: Bagaimana dengan masalah khilafiah di bidang fikih yang semua berlandaskan dengan hadis-hadis yang sahih? Apakah itu berarti benar semua?
Jawaban: Bukan demikian. Yang namanya al-haq itu adalah sesuatu yang satu saja. Al-haq adalah satu. Tidak bisa dikatakan, misalnya para ulama berselisih pendapat apakah hukumnya wajib atau mustahab. Sebagian ulama mengatakan wajib, sebagian mengatakan mustahab, sebagian mengatakan rukun seperti dalam masalah salat berjamaah bagi laki-laki. Apakah kita katakan kemudian semua pendapat ini benar? Tentu tidak. Pasti yang benar hanyalah satu: mungkin wajib, atau mungkin sunah, atau rukun (meskipun pendapat rukun adalah pendapat yang lemah). Maksudnya di sini adalah dalam bersikap. Ketika kita tahu bahwa permasalahan tersebut adalah ijtihadiah, menerima ijtihad karena memang dalil bisa menunjukkan demikian. Semuanya sepakat kita dalam beragama berdalil dengan Al-Qur’an, hadis, dan ijma’. Masing-masing ulama tadi mereka juga melihat ayat, hadis, ucapan para sahabat, dan memperhatikan masalah ijma’, tapi terkadang pendapat yang keluar berbeda satu dengan yang lain. Dalam keadaan seperti ini, ketika kita melihat ternyata semuanya kembali kepada Al-Qur’an dan hadis dengan kaidah yang dibenarkan dalam agama, kemudian terjadi perselisihan, maka ini dinamakan dengan permasalahan ijtihadiah. Biasanya pendapat mereka tidak keluar dari pendapat para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum. Semuanya kembali kepada pendapat para Salaf. Kalau para sahabat semuanya sepakat dalam satu perkara, berarti itu ijma’, tidak ada di antara ulama yang menyelisihi. Tapi kalau di antara sahabat ada perselisihan, ada yang sampai pada kewajiban dan ada yang mengatakan hanya sunah saja, maka para imam yang datang setelah mereka tidak akan keluar dari pendapat tersebut. Mereka tidak akan mendatangkan pendapat yang ketiga atau yang keempat. Mereka yakin bahwasanya kebenaran hanya ada pada para sahabat. Jadi kalau ini adalah pendapat ijtihadiah, maka sikap kita adalah kita boleh mengambil salah satu di antara pendapat tersebut berdasarkan ilmu sesuai dengan kemampuan kita. Kalau kita melihat pendapat yang lebih kuat menurut kita adalah A setelah membandingkan dua pendapat dan melihat dalilnya, maka silakan mengambil pendapat tersebut tanpa mengatakan bahwa pendapat yang lain adalah pendapat yang sesat atau mengeluarkan seseorang dari Ahlus Sunnah. Sampaikan, “Ini ada dua pendapat dalam masalah ini, tapi yang kuat وَاللهُ أَعْلَمُ adalah pendapat yang pertama.” Berarti masih ada toleransi karena memang ini pendapat di antara pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Seperti yang tadi kita sebutkan, masalah salat berjamaah, masalah Qunut Subuh, masalah mengeraskan basmalah ketika salat jahriyah, ini masalah ijtihadiah. Orang yang menyelisihi kita dalam masalah ini tidak serta-merta kemudian dia keluar dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ini termasuk di antara yang mungkin perlu kita ingatkan. Tadi kita sampaikan, kadang ada yang berlebihan. Dia mengenal sunah, sebelumnya dia mungkin Qunut Subuh. Dia kenal sunah, dia tinggalkan Qunut Subuh, tapi berlebihan sampai menganggap orang yang melakukan Qunut Subuh berarti dia bukan seorang Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ini berlebihan. Kemudian dia belajar dan belajar, ternyata tidak seperti yang dia pahami selama ini. Ternyata Qunut Subuh ini termasuk permasalahan ijtihadiah dan disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim dalam beberapa tempat di kitab mereka bahwa ini termasuk perkara ijtihadiah. Silakan kita mengatakan bahwa itu tidak disunahkan atau tidak disyariatkan tanpa kita menganggap atau meyakini bahwa orang yang melakukannya berarti dia keluar dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Inilah makna dari pemahaman kita tentang masalah ijtihadiah. Jadi bukan berarti mengatakan semuanya benar. Beda antara dua sikap ini. Bukan kemudian mengatakan, “Kamu mengatakan itu sunah, benar. Mengatakan itu tidak sunah, juga benar.” Ini sesuatu yang tidak mungkin terjadi, berkumpul dalam satu perkara dua hal yang saling bertentangan. Seperti orang yang mengatakan, “Saya mau beli teh es hangat.” Tidak ada, karena es dengan hangat ini sesuatu yang bertentangan.
Pertanyaan: Suami ana belum mengaji sunah dan ia merasa kurang rida kalau ana ngaji sunah. Sampai suatu ketika, ia ingin memulangkan ana ke keluarga ana. Suami ana bilang, “Kalau istri mau masuk surga, cukup mendapatkan rida suami.”
Jawaban: Pertama, tentunya kita memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bersyukur yang telah memberikan kita hidayah, padahal kita di rumah tersebut bukan orang yang paling tinggi kedudukannya. Di sana ada suami kita yang merupakan kepala rumah tangga, tapi demikianlah Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki dan menyesatkan siapa yang dikehendaki. Kadang dalam satu rumah, atau bahkan dalam satu tempat tidur, Allah berikan hidayah kepada sebagian dan Allah tidak berikan hidayah kepada yang lain. Ini tidak berkaitan dengan suami atau istri atau kekeluargaan, tapi ini adalah murni karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki dan menyesatkan siapa yang dikehendaki.
Kedua, tentunya kalau seseorang sudah mengenal sunah, baik laki-laki maupun wanita, kewajiban dia adalah berpegang teguh, gigit sunah tersebut dengan gigi geraham kita, baik sebagai seorang laki-laki ataupun wanita, sebagai suami atau istri, sebagai orang tua atau anak. Tujuan kita adalah ingin mencari rida Allah Azza wa Jalla yang telah menciptakan kita, memberikan rezeki kepada kita, dan mengatur alam semesta. Keridaan Allah itulah yang menjadi tujuan utama manusia.
Ketiga, tentunya kita bersabar dalam menjalankan sunah tersebut. Pasti di sana ada ujian. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyampaikan: أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ (“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ dan mereka tidak diuji?”). Jadi kalau seseorang sudah menyatakan beriman, “Ya Allah, saya beriman, saya bertauhid, saya mengikuti sunah,” akan ada ujian. Mungkin saja ujian itu berasal dari orang yang paling dekat dengan kita. Nabi Nuh ‘alaihis salam dimusuhi oleh istrinya sendiri. Asiyah, istri Firaun, dimusuhi oleh suaminya sendiri. Ibrahim dimusuhi oleh bapaknya sendiri. Maka seseorang bersabar dalam berpegang teguh dengan sunah. Tidak boleh sekali-kali kemudian dia meninggalkan sunah tersebut karena ucapan atau tingkah laku orang lain. Hendaknya dia bersabar.
Adapun ancaman atau ucapan dia tidak rida, maka bukan rida manusia yang kita cari, tapi yang kita cari adalah rida Allah. Disebutkan dalam hadis dari ‘Aisyah radhiyallahu ta’ala ‘anha, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan: مَنِ الْتَمَسَ رِضَا اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَرْضَى عَنْهُ النَّاسَ (“Barang siapa yang mencari rida Allah—termasuk di antaranya adalah bertauhid, mengikuti sunah—meskipun dengan kemarahan manusia, menjadikan sebagian manusia benci (mungkin suaminya sendiri jadi benci, orang tuanya jadi benci), maka Allah akan rida kepada orang tersebut.”). Karena yang dia cari adalah rida Allah, dia dahulukan rida Allah daripada keridaan manusia, maka Allah akan rida kepada orang tersebut. Cukup, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberikan rezeki kepada kita, yang menciptakan kita, dan kita akan kembali kepada-Nya. Kalau Allah rida, maka itu adalah kebahagiaan yang besar bagi seorang hamba. Meskipun seluruh manusia benci kepada dirinya, Allah akan menjadikan manusia menjadi rida. Suatu saat, ketika kita bersabar dalam mencari rida Allah dan kita korbankan rida manusia, maka balasannya di antaranya adalah Allah akan menjadikan manusia akhirnya rida kepada diri kita.
Tapi sebaliknya, وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ (“Barang siapa yang mencari rida manusia dengan mengorbankan keridaan Allah”). Suami menginginkan demikian, akhirnya dia pun ikut; orang tua menginginkan demikian, akhirnya dia pun ikut. Tujuannya ingin membuat rida manusia, tapi dengan cara yang membuat Allah Subhanahu wa Ta’ala benci dan marah. Maka kalau itu yang dilakukan oleh seseorang, سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِ (“Allah akan murka kepada orang tersebut”). Karena dia melakukan sesuatu yang membuat murka Allah, Allah akan murka kepada orang tersebut. Kalau Allah sudah murka kepada seorang hamba, jangan tanya apa yang akan dilakukan oleh Allah kepada orang tersebut. Kehidupan yang tidak akan bahagia, baik di dunia maupun di akhirat. Dan Allah akan menjadikan manusia menjadi benci akhirnya kepada orang tadi. Siapa yang memiliki hati-hati manusia? Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketika seorang hamba mendahulukan keridaan mereka kemudian membuat murka Allah, Allah yang memiliki hati-hati tersebut akan menjadikan manusia akhirnya benci kepada orang tadi, meskipun sebelumnya dia adalah istrinya, suaminya, atau orang tuanya sendiri, teman akrabnya. Allah akan jadikan di dalam hatinya kebencian. Sudah mendapat kemurkaan Allah, dan yang kedua dibenci oleh manusia.
Kalau memang demikian, untuk apa kita hidup bergantung dengan keridaan manusia? Dikatakan, رِضَا النَّاسِ غَايَةٌ لَا تُدْرَكُ (“Keridaan manusia itu adalah tujuan yang tidak mungkin diwujudkan”). Kalau kita dalam kehidupan berusaha untuk bagaimana manusia rida, ketahuilah bahwasanya kehendak manusia itu tidak sama satu dengan yang lain. Antum mungkin bisa membuat rida si Fulan, tapi belum tentu antum bisa membuat rida yang lain di waktu yang sama. Nah, kalau kehidupan kita prinsipnya “biar orang lain senang,” “asal bapak senang,” “asal orang lain senang,” “suami senang,” maka tidak akan ada habisnya. Itu sesuatu yang tidak akan terwujud. Sehingga seorang muslim, tujuannya adalah bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala rida kepada dirinya, itu saja. Kalau itu menjadi prinsip dia dalam kehidupan ini, maka dia akan istirahat dalam kehidupannya, dia akan merasa tenang.
Apa yang disebutkan, diancam akan dipulangkan dan seterusnya, ini baru sekedar ancaman. Jangan sampai menjadikan seseorang kemudian dia mundur, tidak mengikuti sunah. Seandainya terjadi, seorang istri kemudian ditalak atau diceraikan oleh suaminya gara-gara dia mengikuti sunah, seandainya itu terjadi, maka dia bersabar. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan di sana hikmah, diberikan yang lebih baik daripada suaminya. Ini banyak terjadi yang demikian. Seorang istri didengar dia diceraikan gara-gara dia berpegang teguh dengan sunah, menjaga hijabnya, dan dikenal dengan akhlaknya, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan bagi dia pintu-pintu kebaikan yang lain. Sehingga dikenal, “Oh, berarti wanita ini adalah wanita yang luar biasa, yang sangat bersabar, yang berpegang teguh dengan sunah sampai dia diusir oleh suaminya atau orang tuanya.” Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mempertemukan dia, semoga, dengan laki-laki yang juga saleh yang mendambakan seorang wanita yang berpegang teguh dengan sunah dan bersabar dalam setiap keadaan. Barang siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan kepadanya yang lebih baik daripada itu. Ini adalah kehidupan dunia, dan musibah yang besar adalah ketika seseorang kehilangan hidayah. Kalau hanya sekedar kehilangan suami atau kehilangan istri, ini adalah perkara dunia. Semua kita akan kembali kepada Allah, semua kita akan meninggalkan dunia ini. Masing-masing dari kita akan berpisah dengan yang lain, bagaimanapun kita mencintai orang tersebut.
بَارَكَ اللهُ فِيْكُمْ. Mungkin itu yang bisa kita sampaikan. صَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.
اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ