Kajian Islam Ilmiah: Keistimewaan Para Sahabat Nabi
Dalam rangka menjunjung tinggi keautentikan dan kejernihan hadis Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka para ulama periwayat hadis pun perlu dijelaskan kesalahan mereka. Ketika seorang meriwayatkan hadis, kesalehan tidak cukup.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
إِخْوَةَ الْإِسْلَامِ أَعَزَّنِي اللهُ وَإِيَّاكُمْ.
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى. وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ.
إِخْوَةَ الْإِسْلَامِ أَعَزَّنِي اللهُ وَإِيَّاكُمْ, para pemerhati Rodja, dan sahabat Rodja di mana pun antum berada. Pada malam hari ini, yang semoga Allah سبحانه وتعالى memberikan kepada kita keberkahan dan karunia nikmat hingga menjelang pagi esok, insyaallah. Dan kita bersyukur kepada Allah سبحانه وتعالى atas nikmat dan keberkahan yang Allah berikan kepada kita sejak pagi tadi hingga menjelang malam hari ini.
إِخْوَةَ الْإِسْلَامِ أَعَزَّنِي اللهُ وَإِيَّاكُمْ. Pada kesempatan malam hari ini, kami hadirkan kembali di ruang dengar Anda dan juga di layar televisi Anda, satu kajian ilmiah dari pembahasan kitab Shahih Jami’us Shaghir. Dan insyaallah pada malam hari ini, kita akan kembali menyimak kelanjutan pembahasan kitab tersebut, yang akan disampaikan dan dipaparkan bersama guru kita, Al-Ustadz Al-Fadhil Dr. MH. Hasan Ayatullah, MA. حَفِظَهُ اللهُ تَعَالَى. Alhamdulillah, kami telah terhubung dengan beliau.
Sebelum kita menyimak kajian yang penuh dengan faedah yang akan beliau sampaikan pada malam hari ini, kami informasikan kepada Anda semuanya, إِخْوَةَ الْإِسْلَامِ أَعَزَّنِي اللهُ وَإِيَّاكُمْ, setelah kajian disampaikan oleh beliau, kami membuka sesi interaktif soal jawab. Bagi Anda semua yang ingin bertanya secara langsung, dapat menghubungi kami di 021-8236543 ataupun Anda dapat mengirimkan pertanyaan melalui chat WhatsApp di nomor yang sama, 021-8236543. Kami informasikan kepada Anda semua, bagi Anda yang menghubungi melalui telepon, mohon maaf tidak bisa menghubungi melalui panggilan WhatsApp. Anda bisa menghubungi kami langsung melalui telepon lokal.
Baik, إِخْوَةَ الْإِسْلَامِ أَعَزَّنِي اللهُ وَإِيَّاكُمْ, kita simak bersama kajian malam hari ini dan kepada Ustaz, kami persilakan. فَلْيَتَفَضَّلْ مَشْكُوْرًا.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى عَبْدِهِ وَرَسُولِهِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.
Kaum muslimin dan muslimat, pemirsa Rodja TV, pendengar Radio Rodja, dan seluruh kaum muslimin yang mengikuti pengajian malam hari ini. Semoga Allah عز وجل memberikan kita keberkahan pada ilmu kita, umur kita, harta kita, keluarga, dan juga segala aktivitas yang kita kerjakan.
Kita pernah mendengar bahwa Allah سبحانه وتعالى memberikan kita otak dan akal yang kita manfaatkan untuk belajar mendalami agama. Dan ketika seseorang semakin tajam mengasahnya, maka otak ini akan bermanfaat. Ketika seseorang membiarkannya tidak terpakai, maka otak ini menjadi mubazir. Semakin digunakan, maka otak ini akan semakin pandai dan mudah untuk berpikir, belajar, dan memahami, meskipun kesempatan maupun kemampuan setiap orang berbeda.
Sehingga, Al-Hafizh Ibnu Jauzi رحمه الله pernah mengatakan, “وَلَيْسَ مَنْ حَفِظَ نِصْفَ الْقُرْآنِ كَمَنْ حَفِظَ الْكُلَّ” (Tidak sama orang yang menghafal setengah Al-Qur’an dengan orang yang menghafal seluruh Al-Qur’an). Sebagaimana “وَلَيْسَ مَنْ حَفِظَ مِائَةَ حَدِيثٍ كَمَنْ حَفِظَ أَلْفًا” (Dan tidak sama orang yang menghafal 100 hadis dengan orang yang menghafal 1000 hadis). “وَعَلَى هَذَا فَلَيْسَ الْعِلْمُ إِلَّا بِمَا حُصِّلَ بِالْحِفْظِ” (Dengan demikian, kesimpulannya, ilmu ini tidak ada yang bisa diperoleh kecuali dengan hafalan). Ketika seseorang menghafal, maka sebenarnya dia sedang memanfaatkan akalnya untuk mencerdaskan diri. Dan ini akan membuatnya lebih tajam dalam memahami.
Ini disampaikan oleh Ibnu Jauzi رحمه الله ketika menjelaskan tentang keistimewaan umat ini. Ketika Allah سبحانه وتعالى ingin memelihara sunahnya, maka Allah menciptakan orang-orang yang memiliki kekuatan hafalan. Otak mereka diatur oleh Allah عز وجل untuk bisa menghafal. Beliau mengatakan, “وَإِنَّ لِتَكْرِيمِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى هَذِهِ الْأُمَّةِ أَسْبَابًا قَيَّضَهَا اللهُ وَأَكْرَمَهَا” (Di antara kemuliaan yang Allah berikan untuk umat ini dalam penjagaan sunah, memang ada sebab-sebab yang telah Allah siapkan). Di antaranya: “وُفُورُ الْعَقْلِ وَقُوَّةُ الْفَهْمِ” (kesempurnaan akal dan kuatnya pemahaman).
Maka kita ingin agar umur kita ini dimanfaatkan untuk menghafal, agar jangan sia-sia hanya dengan mengikuti berita dan perbincangan yang kurang bermanfaat. Akan tetapi, ketika seseorang menyibukkan diri dengan sesuatu yang bermanfaat yang bisa membuatnya fokus dan konsentrasi, maka hal itu akan mempengaruhi karakter dan kepribadiannya. Kita harus memiliki sesuatu yang kita targetkan. Sekalipun umur memang tidak bisa dipungkiri, sampai para ulama menyebutkan, di antaranya sebuah nukilan—barangkali pernah kita sampaikan—dari seorang tabi’in yang bernama Alqamah bin Yazid An-Nakha’i, beliau mengatakan, “مَا كُنْتُ أَحْفَظُ وَأَنَا شَابٌّ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى الْقِرْطَاسِ” (Apa yang aku hafalkan ketika aku masih muda, sekarang aku masih menghafalnya dengan kuat seolah-olah aku melihatnya di atas kertas).
Ibnu Jauzi رحمه الله bahkan pernah mengatakan, “مَنْ رُزِقَ وَلَدًا فَلْيَجْتَهِدْ مَعَهُ” (Orang yang dikaruniai anak, hendaklah dia bersungguh-sungguh memperhatikannya). “فَإِذَا بَلَغَ خَمْسَ سِنِينَ فَلْيَبْدَأْ بِالتَّحْفِيظِ” (Apabila anak sudah mencapai lima tahun, hendaklah segera dilatih untuk menghafal). حَجَر (batu). Karena menghafal di usia kecil sama dengan mengukir di atas batu, bukan mengukir di atas air yang merupakan suatu kemustahilan.
Maka kita ingin memiliki generasi para penghafal hadis, para penghafal wahyu, yang akan menjaga ajaran Islam ini dengan dalil-dalilnya. Seperti yang pernah kita sampaikan, ada sebagian ulama yang mengajari anak-anak kecil di majelis mereka dengan ilmu hadis. Ketika mereka ditanya, “أَتُعَلِّمُ هَؤُلَاءِ الصِّبْيَانَ؟” (Apakah engkau mengajari anak-anak kecil itu?). Maka jawaban sang alim muhaddits adalah, “هَؤُلَاءِ الصِّبْيَانُ يَحْفَظُونَ عَلَيْنَا الدِّينَ” (Anak-anak kecil inilah yang akan menjaga agama untuk kita). Karena mereka menjadi penerus; dari kecil diarahkan, maka di masa depan yang tidak lama lagi akan terbentuk tatanan masyarakat yang kenal, cinta, dan hafal, sehingga masyarakat bisa teredukasi, terkenalkan, dan tersosialisasikan dengan hadis Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang sering mereka dengar di tengah-tengah mereka.
Dan kita mampu melakukan ini, potensi itu ada. Akan tetapi, masyarakat perlu dihidupkan semangat dan tradisi untuk mengenal hadis Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dari dekat dan menghafalnya, sehingga muncul orang-orang yang berkompetisi dalam menghafal. Sebagaimana di beberapa belahan dunia yang sudah terbiasa dengan tradisi hafalan; mereka menghafal syair, perkataan ulama, dan hadis-hadis Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Kita memiliki potensi itu dan kita ingin sama dengan mereka.
Dan semoga kita termasuk dalam apa yang disabdakan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُولُهُ” (Akan ada di setiap tatanan masyarakat, setiap zaman, dan setiap generasi, orang yang akan memperjuangkan dan memikul ilmu ini). Siapa mereka? “عُدُولُهُ” (Orang-orang yang terpercaya dari sisi agama maupun keilmuan mereka). “يَنْفُونَ عَنْهُ تَأْوِيلَ الْجَاهِلِينَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِينَ” (Mereka akan membantah orang-orang yang mengadakan takwil-takwil terhadap ilmu agama ini dari kalangan orang yang tidak tahu, dan juga orang-orang yang mengaku-ngaku dari agama padahal bukan). Maka sudah saatnya kita berbenah dan menjadi lebih baik lagi untuk lebih dekat dengan agama kita.
Kaum muslimin رَحِمَنَا وَرَحِمَكُمُ اللهُ, malam hari ini kita akan mempelajari beberapa keistimewaan yang disebutkan tentang beberapa sahabat Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Mereka adalah calon penghuni surga. Di antara mereka, disebutkan tentang keteladanan, perjuangan, sepak terjang, serta pembawaan karakter mereka, termasuk ketika mereka mengalami kesulitan dan masa-masa perjuangan dalam memperjuangkan Islam.
Kita, sebagai orang yang dilahirkan dalam keadaan Islam, patut bersyukur dan meneladani mereka. Dulu pernah kita sampaikan, Al-Miqdad bin Al-Aswad رضي الله عنه pada suatu saat mendengar seorang tabi’in melihat beliau lalu mengatakan, “طُوبَى لِهَاتَيْنِ الْعَيْنَيْنِ اللَّتَيْنِ رَأَتَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَدِدْنَا أَنَّا شَهِدْنَا مَا شَهِدْتَ وَحَضَرْنَا مَا حَضَرْتَ” (Alangkah bahagianya dua mata ini yang pernah melihat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Kami berharap bisa menyaksikan apa yang engkau saksikan dan hadir di kesempatan yang engkau hadiri). Rupanya, Al-Miqdad bin Al-Aswad رضي الله عنه marah. Beliau mengatakan, “مَا يَحْمِلُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَنْ يَتَمَنَّى مَحْضَرًا غَيَّبَهُ اللهُ عَنْهُ” (Apa yang membuat orang ini berandai-andai menghadiri sebuah situasi yang Allah sudah palingkan dia darinya? Dia tidak tahu bagaimana keadaannya seandainya dia hadir di masa itu). “وَاللهِ لَقَدْ حَضَرَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْوَامٌ أَكَبَّهُمُ اللهُ فِي النَّارِ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ” (Demi Allah, sungguh telah hadir beberapa kaum di hadapan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, akan tetapi mereka dicampakkan oleh Allah ke dalam neraka). “لَمْ يُصَدِّقُوهُ وَلَمْ يَتَّبِعُوهُ” (Mereka tidak beriman kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, mereka hadir sebagai orang kafir). “أَوَلَا يَحْمَدُونَ اللهَ إِذْ أَخْرَجَهُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِهِمْ لَا يَعْرِفُونَ إِلَّا رَبَّهُمْ” (Mengapa dia tidak bersyukur kepada Rabb-nya, yang telah mengeluarkannya dari perut ibunya dalam keadaan tidak mengenal Rabb selain Allah سبحانه وتعالى?). “لَقَدْ كُفِيتُمُ الْبَلَاءَ بِغَيْرِكُمْ” (Kalian sudah cukup terhindar dari kesengsaraan, perjuangan di awal sudah diwakili oleh orang-orang lain).
Ini menunjukkan bahwa perjuangan para sahabat di awal Islam, ketika mereka mempertaruhkan keyakinan dan beralih dari sebuah tradisi kebiasaan yang dianut sejak masa jahiliah hingga akhirnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ membawa syariat yang dianggap baru—padahal bukan baru, karena nabi-nabi sebelumnya banyak, bahkan mereka juga mengenal siapa Nabi Ibrahim dan siapa Nabi Ismail—namun ketika sudah terbiasa dengan tradisi yang nyaman, sulit untuk berubah.
Di awal-awal, ketika kaum muslimin masih lemah, terutama orang-orang yang mendapat hidayah justru dari kalangan menengah ke bawah, di situlah terlihat sebuah keteladanan dan perjuangan. Kaum muslimin perlu meneladani mereka, bukan lagi meneladani dari kekufuran menuju keislaman, tetapi bagaimana seseorang merasa bahwa keimanan ini membutuhkan perjuangan. Kita yang sudah Islam sejak lahir, dituntut untuk mempertahankan hidayah agar kita bisa beribadah kepada Allah dengan sebaik-baiknya.
Baik, ada setidaknya empat hadis. Yang pertama berbicara tentang seorang sahabat yang bernama ‘Ammar bin Yasir رضي الله عنهما. Hadis yang ke-48 disebutkan dari hadis Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “ابْنُ سُمَيَّةَ مَا عُرِضَ عَلَيْهِ أَمْرَانِ قَطُّ إِلَّا اخْتَارَ الْأَرْشَدَ مِنْهُمَا” (Ibnu Sumayyah, tidaklah dihadapkan kepadanya dua pilihan, kecuali ia akan memilih yang paling lurus di antara keduanya). Ibnu Sumayyah, anaknya Sumayyah. Siapa Sumayyah? Mengapa ia disebut anak Sumayyah? Karena Sumayyah adalah seorang shahabiyah pertama yang syahid ketika memperjuangkan Islam. Ya, Sumayyah adalah ibu dari sahabat mulia, ‘Ammar bin Yasir رضي الله عنهم أجمعين. Sumayyah dikenal dengan “أَوَّلُ شَهِيدَةٍ” (wanita pertama yang syahid ketika memperjuangkan Islam).
Ayah dari ‘Ammar adalah Yasir, dari penduduk Yaman. Disebutkan dalam beberapa referensi, Yasir datang dari Yaman bersama dua saudaranya ke Makkah. Mereka ingin mengajak pulang saudara mereka yang sedang berada di Makkah. Setelah mereka mendapatkan apa yang mereka cari, dua saudara Yasir ini pulang, tinggallah Yasir di Makkah. Kemudian beliau berkenalan, bahkan melakukan muhalafah (saling berjanji setia untuk saling menolong) dengan salah satu dari kabilah Bani Makhzum. Sampai akhirnya Yasir dinikahkan dengan salah satu perempuan mereka atau bahkan ia sempat menjadi budak. Yasir sempat menjadi budak kemudian dinikahkan dengan budak perempuan juga bernama Sumayyah ini.
Ketika akhirnya mereka dianugerahi Allah seorang anak, lahirlah ‘Ammar bin Yasir. Maka, tuan mereka yang bernama—kalau tidak salah—Abu Hudzaifah Al-Makhzumi, membebaskan Yasir. Setelah dibebaskan, ternyata Yasir, istrinya, dan anaknya, ketika dakwah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ datang, termasuk orang-orang pertama yang beriman. Karena mereka adalah keluarga lemah dari sisi ekonomi dan sosial; mereka bukan hanya menengah ke bawah, bahkan sangat di bawah, mantan budak. Sehingga ketika mempertahankan atau bahkan memperlihatkan keislamannya secara terang-terangan, mereka mendapatkan penyiksaan yang parah.
Referensi sejarah banyak menyebutkan dan riwayat itu tersebar ketika menceritakan bahwa Sumayyah رضي الله عنها disiksa dan dicela oleh Abu Jahal, sampai akhirnya disebutkan “فَطَعَنَهَا فِي قُبُلِهَا” (ditusuk dengan tombak di kemaluannya) hingga beliau wafat dan menjadi syahidah pertama. Dalam sejarah Islam, ketika mereka masih di Makkah, ayahnya disiksa, disiksa, dan disiksa hingga akhirnya meninggal juga. ‘Ammar dan saudaranya disiksa sampai dalam keadaan di alam bawah sadar, mereka mencela Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan memuji tuhan-tuhan kaum musyrikin.
Sehingga sempat ada orang-orang yang menganggap bahwa ‘Ammar bin Yasir telah kufur. Ketika akhirnya ‘Ammar sedih kemudian bertanya kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bertanya, “وَكَيْفَ قَلْبُكَ؟” (Bagaimana dengan hatimu?). Ia menjawab, “إِنِّي مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ” (Sesungguhnya hatiku tetap tenteram dengan keimanan). Maka turunlah firman Allah: “مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ” (Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman, maka dia akan mendapat dosa kekafiran dan akan disiksa Allah, kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman). Orang yang tersiksa karena terpaksa hingga mengucapkan kata-kata yang tidak ia ridhai. Bahkan dalam riwayat disebutkan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyatakan, “إِنْ عَادُوا فَعُدْ” (Jika mereka kembali menyiksamu, kembalilah engkau mengucapkan apa yang mereka mau untuk menjaga dirimu).
Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه sempat mengatakan, “أَوَّلُ مَنْ أَظْهَرَ الْإِسْلَامَ سَبْعَةٌ” (Yang pertama-tama memproklamasikan keislaman ada tujuh orang). “رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ” (Yang pertama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, kemudian Abu Bakar). Baru kemudian dikatakan, “وَعَمَّارٌ وَأُمُّهُ سُمَيَّةُ وَيَاسِرٌ وَبِلَالٌ” (‘Ammar, ibunya Sumayyah, Yasir, dan Bilal), kemudian kalau tidak salah Abdullah bin Mas’ud. Ini tujuh orang yang pertama. Lalu Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه mengatakan, “أَمَّا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَنَعَهُ اللهُ بِعَمِّهِ” (Adapun Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, ketika menunjukkan dakwahnya secara terang-terangan, Allah mencegah kaumnya untuk menyakiti beliau karena ada pamannya, seorang pembesar). “وَأَمَّا أَبُو بَكْرٍ فَمَنَعَهُ اللهُ بِقَوْمِهِ” (Adapun Abu Bakar, beliau tidak disiksa karena beliau adalah orang dermawan dan bangsawan, kaumnya yang membela beliau). “وَبَقِيَ هَؤُلَاءِ الْخَمْسَةُ” (Adapun lima orang sisanya), maka disebutkan mereka disiksa dengan belenggu-belenggu dari besi, dipakaikan pakaian besi, dipanaskan, sampai hampir semua dari lima orang itu tanpa sadar mengikuti keinginan para penyiksanya, kecuali satu: Bilal. Bilal tidak peduli disiksa, tetap beliau mengatakan, “أَحَدٌ أَحَدٌ” (Allah Yang Maha Esa).
Ini adalah awal perjuangan yang dilewati oleh ‘Ammar bin Yasir رضي الله عنهما. Dan ketika keluarganya disiksa sampai akhirnya wafat, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melihat dan tidak bisa berbuat apa-apa. Sampai Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyatakan dalam hadis yang sahih, “صَبْرًا آلَ يَاسِرٍ فَإِنَّ مَوْعِدَكُمُ الْجَنَّةُ” (Wahai keluarga Yasir, bersabarlah kalian, karena sesungguhnya tempat yang dijanjikan untuk kalian adalah surga). Dan kini mereka telah wafat dan gugur di medan dakwah untuk menunjukkan keimanan mereka, hingga sekarang kita dapat menikmati Islam. Maka alangkah durhakanya kita ini, yang dilahirkan dalam keadaan beriman, di tengah komunitas orang-orang beriman, salat dengan mudah, berdoa, dan belajar tanpa ada rintangan, bahkan kita dimotivasi, lalu kita campakkan Islam ini tanpa kita perhatikan.
Kemudian ‘Ammar bin Yasir رضي الله عنهما, beliau menjadi sahabat yang umurnya lumayan panjang sejak awal penyiksaan di Makkah. Kemudian dakwah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ selama 13 tahun, dilanjutkan dengan dakwah di Madinah selama 10 tahun. Kemudian pada saat terjadi berbagai pergolakan di zaman Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali رضي الله عنهم أجمعين. Ketika terjadi pertempuran antara pasukan Ali رضي الله عنه dengan pasukan Mu’awiyah, ‘Ammar bin Yasir رضي الله عنهما termasuk orang yang berada di barisan Ali.
Lalu, beliau disebutkan dalam beberapa referensi yang dinukil oleh Al-Munawi رحمه الله dalam Faidhul Qadir, ‘Ammar bin Yasir terlihat di dalam pertempuran itu membawa tongkat sambil gemetaran karena memang sudah tua. Beliau lalu bercerita, “Tombak ini sudah aku pakai berjuang bersama Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tiga kali.” Dan perang saat itu, Perang Shiffin antara pasukan Ali dengan pasukan Mu’awiyah, adalah kali keempat aku menggunakan tombak ini. “Kalau aku terbunuh atau terseret sampai di sebuah tempat, maka orang akan tahu bahwa aku berada di atas kebenaran (عَلَى الْحَقِّ) dalam keadaan adil, sementara musuh-musuhku berada di atas kebatilan (عَلَى الْبَاطِلِ).”
Dalam Shahih Bukhari diceritakan bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah melihat ‘Ammar ketika kerja bakti Perang Khandaq. Semua para sahabat mempersiapkan pertempuran dengan mengangkat batu yang berat. ‘Ammar bin Yasir mengangkat dua batu. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melihat itu—entah ini di Perang Khandaq atau ketika para sahabat sedang membangun Masjid Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَsَلَّمَ, saya lupa—akan tetapi di saat itu ‘Ammar bin Yasir mengangkat dua batu. Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyatakan, “وَيْحَ عَمَّارٍ، تَقْتُلُهُ الْفِئَةُ الْبَاغِيَةُ” (Wahai ‘Ammar, sungguh kasihan dia. Dia akan dibunuh oleh kelompok yang membangkang, orang yang tersesat). “يَدْعُوهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ وَيَدْعُونَهُ إِلَى النَّارِ” (‘Ammar mendakwahi mereka agar bisa masuk ke surga, tetapi mereka mengajaknya untuk masuk ke neraka). Kemudian ‘Ammar bin Yasir رضي الله عنهما ketika mendengar itu, beliau mengatakan, “أَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الْفِتَنِ” (Aku berlindung kepada Allah dari fitnah).
‘Ammar bin Yasir رضي الله عنهما akhirnya wafat di pertempuran itu. Sampai sebagian ulama mengatakan ini menunjukkan bahwa kelompok yang benar yang berada pada garis lurus adalah pasukan Ali رضي الله عنه, sementara pasukan Mu’awiyah keliru. Tetapi apakah ini kesalahan murni dari Mu’awiyah atau para sahabat yang lain? Tidak. Para ulama mengatakan, berbicara tentang akidah Ahlus Sunnah terhadap para sahabat, maka kita menghormati mereka semua. Mereka adalah para mujtahid, para ulama yang memiliki kapabilitas dan kapasitas untuk berijtihad. Ketika terjadi perbedaan pandangan sehingga masing-masing keluar untuk berijtihad, maka inilah yang dimiliki oleh para sahabat Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Sampai sebagian ulama mengatakan, “هُمْ بَيْنَ الْأَجْرِ وَالْأَجْرَيْنِ” (Para sahabat semuanya adalah mujtahid, maka mereka berada pada dua kemungkinan yang baik semua: yang pertama mendapatkan satu pahala, dan itu minimal; yang kedua, ketika mereka benar, mereka akan mendapatkan dua pahala). Akan tetapi, jika dilihat mana yang lebih tepat, maka pasukan Ali رضي الله عنه merupakan pilihan yang lebih utama, di antara dalilnya adalah ‘Ammar bin Yasir رضي الله عنهما termasuk di kelompok itu. Dan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyatakan, “وَيْحَ عَمَّارٍ، تَقْتُلُكَ الْفِئَةُ الْبَاغِيَةُ” (Wahai ‘Ammar, engkau akan dibunuh oleh kelompok yang membangkang). طَيِّبْ, akan tetapi ini adalah takdir dan ketentuan Allah.
Jamaah tetap menghargai para sahabat Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Termasuk di antaranya perkataan yang ditegaskan oleh Abu Ja’far Ath-Thahawi dalam kitab beliau, Aqidah Ath-Thahawiyyah. Beliau mengatakan, “وَنُحِبُّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَا نُفْرِطُ فِي حُبِّ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَلَا نَتَبَرَّأُ مِنْ أَحَدٍ مِنْهُمْ” (Kami mencintai para sahabat Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, tidak berlebihan dalam mencintai salah satu dari mereka, dan tidak berlepas diri dari seorang pun dari mereka). “وَنُبْغِضُ مَنْ يُبْغِضُهُمْ وَبِغَيْرِ الْخَيْرِ يَذْكُرُهُمْ” (Kami benci orang yang membenci para sahabat dan menyebut mereka dengan selain kebaikan). “وَلَا نَذْكُرُهُمْ إِلَّا بِخَيْرٍ” (Dan kami tidak menyebutkan tentang sahabat kecuali yang baik-baik saja). “فَحُبُّهُمْ دِينٌ وَإِيمَانٌ وَإِحْسَانٌ، وَبُغْضُهُمْ كُفْرٌ وَنِفَاقٌ وَطُغْيَانٌ” (Mencintai para sahabat adalah sebuah agama, keimanan, dan kebaikan. Sementara membenci para sahabat merupakan kekufuran, kemunafikan, dan perbuatan melampaui batas). Inilah kecintaan Ahlus Sunnah terhadap para sahabat Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, karena dalil terlalu banyak untuk menyebutkan akidah mereka.
Baik, hadis yang kita pelajari, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyebutkan, “ابْنُ سُمَيَّةَ مَا عُرِضَ عَلَيْهِ أَمْرَانِ قَطُّ إِلَّا اخْتَارَ الْأَرْشَدَ مِنْهُمَا” (Ibnu Sumayyah, atau ‘Ammar bin Yasir رضي الله عنهما), beliau memiliki kelebihan—dan ini sebabnya Al-Munawi رحمه الله mengatakan hadis ini menunjukkan keistimewaan ‘Ammar—sampai Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyebutkan karakter dan kepribadiannya. Beliau ini apabila diberikan atau dihadapkan pada dua pilihan, beliau akan memilih yang paling bagus, yang paling dekat dengan jalan petunjuk atau hidayah.
Ini merupakan salah satu langkah yang selamat dan menguntungkan di dunia dan akhirat. Ketika seseorang berada pada dua pilihan, lalu ia berusaha untuk memilih dan ternyata memilih yang lebih dekat kepada kebenaran, ini adalah sikap Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ apabila ada dua pilihan, maka beliau akan memilih yang mudah agar ibadah ini dapat dilakukan oleh umatnya dengan maksimal. Dalam hadis Aisyah رضي الله عنها dalam Shahih Bukhari dan Muslim: “مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا” (Tidaklah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ disuruh memilih antara dua pilihan yang keduanya baik, melainkan beliau akan memilih mana yang lebih mudah, selama keduanya bukan dosa). “فَإِذَا كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ” (Tetapi jika ada dua pilihan, yang satu mubah dan yang satu dosa, maka yang dosa ini akan ditinggalkan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sekalipun mudah). Sehingga kemudahan di dalam syariat Islam terukur. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyatakan dalam hadis yang sahih, “إِنَّ هَذَا الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ” (Agama ini mudah, dan tidak ada orang yang berupaya untuk mempersulitnya kecuali dia yang akan terkalahkan). Akan tetapi, kemudahan di dalam Islam tidak boleh diremehkan sampai orang mempermainkannya, dengan mencari pendapat-pendapat yang paling mudah, bahkan kalau perlu dipahami dengan pemahaman yang sesuai hawa nafsu.
Maka ini termasuk salah satu kelebihan yang disebutkan tentang ‘Ammar bin Yasir رضي الله عنهما. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyebutkan, “Inilah sikap ‘Ammar, suka memilih yang lebih dekat dengan kebenaran.” Padahal inilah sikap Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Bahkan Abu Hurairah رضي الله عنه dalam Shahih Muslim mengatakan bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “Kalaupun kita sudah memiliki pilihan dan sempat bersumpah akan memilih ini, tapi ternyata setelah dipertimbangkan pilihan kedua lebih bagus, maka sumpah ini dibayarkan kafaratnya, lalu kita pilih yang lebih mudah.” Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyatakan, “مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ وَلْيَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ” (Barang siapa yang bersumpah untuk melakukan sebuah pilihan, kemudian ternyata melihat ada opsi lain yang lebih baik, maka tinggalkan yang sudah disumpahkan, pilih yang lebih mudah, dan bayar denda karena tidak melaksanakan sumpahnya). Ini merupakan salah satu tujuan syariat, yaitu tidak mempersulit orang-orang yang akan melaksanakannya. Ini merupakan keistimewaan yang dimiliki oleh ‘Ammar bin Yasir رضي الله عنهما ketika beliau memiliki sifat dan watak yang meneladani Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Ini hadis yang pertama.
Hadis yang kedua disebutkan dari hadis Ibnu Abbas رضي الله عنهما, hadis yang ke-49. “أَبُنَيَّ لَا تَرْمُوا جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ“. Ini sebuah panggilan. Kata Al-Munawi رحمه الله, ini merupakan bentuk jamak dari أَبْنَاء atau panggilan yang dikecilkan sebagai panggilan sayang, أَبُنَيَّ, artinya “wahai anak-anakku”. Dalam riwayat An-Nasa’i disebutkan أُبَيْنِيَّ, yakni “wahai anak-anakku yang kami sayangi”. Ini ditujukan kepada Ibnu Abbas رضي الله عنهما, karena waktu itu Ibnu Abbas mendapatkan tugas dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ untuk mengawal istri-istri Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan juga beberapa jamaah haji perempuan yang akan kesulitan jika mereka melakukan semuanya bersama dengan jamaah kaum muslimin. Sehingga Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memberikan mereka izin untuk jalan terlebih dahulu.
Peristiwa ini berkaitan dengan menginapnya mereka atau jamaah haji di Muzdalifah. Setelah kedatangan jamaah haji selepas melakukan wukuf di Arafah, mereka akan menuju ke Mina. Malam harinya, mereka melalui Muzdalifah. Sunahnya, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bermalam di Muzdalifah sampai subuh. Lalu beliau salat, kemudian berdoa. Sampai ketika matahari betul-betul hampir terbit, barulah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersama para sahabat menuju ke Mina untuk melempar Jumratul Aqabah. Nah, di saat ini, pada malam harinya atau sebelum pagi, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memesankan kepada Ibnu Abbas. Ibnu Abbas ditugaskan untuk mengawal orang-orang lemah. Disebutkan dalam hadis yang riwayatnya berbeda-beda, “بَعَثَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةَ النَّحْرِ مَعَ أَطْفَالِ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ” (Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengutus kami, anak-anak kecil dari Bani Abdul Muthalib, bersama beberapa rombongan yang lemah yaitu para wanita dan anak-anak). Kami diperintahkan untuk melanjutkan perjalanan dari Muzdalifah menuju Mina sebelum jamaah kaum muslimin lainnya. Mereka diperintahkan untuk mendahului agar dapat menghindari kepadatan.
Dalam riwayat disebutkan, “عَلَى حُمُرَاتٍ لَنَا” (kami diutus oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ untuk berangkat duluan di atas keledai-keledai kami). Kemudian kami menuju ke Mina. “فَجَعَلَ يَلْطَحُ أَفْخَاذَنَا” (Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menepuk paha kami). Lalu disampaikanlah hadis ini, tujuannya agar pesan ini lebih diperhatikan. Dan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sangat perhatian kepada para sahabatnya dengan sapaan sayang. Ibnu Abbas رضي الله عنهما ditepuk pahanya lalu dikatakan, “أَبُنَيَّ” (dalam riwayat lain, “أُبَيْنِيَّ“), “لَا تَرْمُوا جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ” (Jangan kalian melempar Jumratul Aqabah hingga matahari terbit).
Kalau kita pelajari manasik haji, sunahnya memang Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bermalam (mabit) di Muzdalifah sampai subuh, kemudian beliau berzikir hingga matahari betul-betul menguning hampir terbit. Baru beliau berjalan menuju ke Mina. Sampai di sana, matahari sudah terbit, kemudian Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melempar Jumratul Aqabah, yaitu jamarah yang ketiga (Sughra, Wustha, kemudian Kubra atau Al-Aqabah), yang paling dekat dengan arah Makkah. Ini waktu dhuha.
Adapun orang-orang yang lemah seperti wanita, anak kecil, dan orang tua, diberikan kesempatan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ untuk berangkat duluan. Termasuk salah satu istrinya, Saudah رضي الله عنها, meminta izin untuk berangkat di malam itu. Kapan malamnya? Para ulama mengatakan sejak pertengahan malam. Jadi mereka tetap berhenti di Muzdalifah sampai pertengahan malam, baru mereka berangkat lebih dulu ke Mina.
Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam hadis yang kita baca ini—riwayat Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ashabus Sunan (Abu Daud, An-Nasa’i, At-Tirmidzi, Ibnu Majah)—mengatakan, “لَا تَرْمُوا جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ“. Jangan kalian melempar Jumratul Aqabah sebelum terbit matahari. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Namun, sebagian ulama mengatakan bahwa melempar jamrah untuk orang-orang yang sudah berangkat lebih dulu ke Mina diperbolehkan sekalipun belum terbit matahari. Karena dalam Shahih Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Asma’ رضي الله عنها pernah ditanya oleh seorang tabi’in, “إِنَّا رَمَيْنَا الْجَمْرَةَ بِلَيْلٍ” (Kami melempar Jumratul Aqabah di malam hari, bagaimana hukumnya?). Maka Asma’ رضي الله عنها mengatakan, “إِنَّا كُنَّا نَصْنَعُ هَذَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ” (Kami dulu di zaman Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ juga melempar jumrah sebelum terbit matahari). Artinya, itu diperbolehkan. Ini yang diyakini oleh beberapa ulama, seperti dalam mazhab Syafi’i.
Apakah ini kontradiksi dengan hadis yang kita pelajari? Para ulama mengatakan tidak. Hukum asalnya, waktu pelemparan Jumratul Aqabah adalah setelah terbit matahari. Tetapi, jika ada orang yang melempar sebelum itu, maka tidak mengapa, berdasarkan hadis Asma’ رضي الله عنها dari jalur Bukhari dan Muslim. Sebagian ulama mengatakan melemparnya sebelum terbit matahari, tetapi setelah terbit fajar. Sebagian lain mengatakan bahkan sebelum terbit fajar pun tidak mengapa. Jika ada orang datang dari Muzdalifah menuju Mina kemudian langsung melempar jamrah, maka hal itu diperbolehkan. Ini merupakan salah satu cuplikan kisah tentang lempar jamrah.
Kemudian yang terakhir, ada dua hadis yang berkaitan dengan orang yang akan masuk surga, dijamin oleh Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Ini merupakan sebuah rekomendasi, ketika sebagian sahabat masih hidup pun mereka sudah dijamin akan masuk surga. Para ulama mengatakan, tidak boleh seseorang yang tidak mengetahui alam gaib—apakah orang ini husnul khatimah, syahid, atau diterima amalnya—lalu tiba-tiba mengatakan, “Ini calon penghuni surga.” Tidak boleh seperti itu, karena seolah-olah dia mengaku tahu ilmu gaib yang hanya Allah سبحانه وتعالى yang tahu. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyebutkan beberapa sahabat akan masuk surga karena mendapat wahyu dari Allah. Sehingga tidak boleh seorang pun mengecap atau mengklaim orang ini baik dan akan masuk surga, atau orang ini jelek dan akan masuk neraka. Kalau berharap, bisa. Kita berharap orang yang meninggal di hari Jumat, di dalam masjid, sedang membaca Al-Qur’an, akan masuk surga dengan mudah, tetapi tidak ada kepastian. Kecuali yang memang ditegaskan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam hadis.
Di antaranya hadis yang ke-50, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda:
“أَبُو بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ (Abu Bakar di surga), وَعُمَرُ فِي الْجَنَّةِ (Umar di surga), وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ (Utsman di surga), وَعَلِيٌّ فِي الْجَنَّةِ (Ali di surga), وَطَلْحَةُ فِي الْجَنَّةِ (Thalhah di surga), وَالزُّبَيْرُ فِي الْجَنَّةِ (Az-Zubair di surga), وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي الْجَنَّةِ (Abdurrahman bin Auf di surga), وَسَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ فِي الْجَنَّةِ (Sa’ad bin Abi Waqqash di surga), وَسَعِيدُ بْنُ زَيْدٍ فِي الْجَنَّةِ (Sa’id bin Zaid di surga), وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِي الْجَنَّةِ (Abu Ubaidah bin Al-Jarrah di surga).”
Sepuluh orang ini adalah: Abu Bakar, Umar, Utsman bin Affan, Ali, Thalhah bin Ubaidillah, Az-Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash (yang dikenal doanya terkabul), Sa’id bin Zaid (menantu Umar bin Khattab), dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah (yang dikenal sebagai أَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ, orang paling amanah di umat ini).
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Adh-Dhiya’ Al-Maqdisi dalam Al-Ahadits Al-Mukhtarah dari sahabat Sa’id bin Zaid, dan juga oleh At-Tirmidzi dari hadis Abdurrahman bin Auf. Inilah yang dikenal dengan الْعَشَرَةُ الْمُبَشَّرُونَ بِالْجَنَّةِ (sepuluh orang yang dijanjikan masuk surga).
Apakah hanya sepuluh ini? Tidak. Ada banyak hadis yang menunjukkan sahabat lain yang sudah memiliki tempat di surga, seperti ‘Ukasyah bin Mihshan رضي الله عنه. Bilal, yang Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah berkata, “يَا بِلَالُ، بِمَ سَبَقْتَنِي إِلَى الْجَنَّةِ؟” (Wahai Bilal, dengan amalan apa engkau mendahuluiku ke surga? Setiap aku masuk surga, aku mendengar langkahmu). Tadi juga kita sebutkan ‘Ammar dan keluarganya, “فَإِنَّ مَوْعِدَكُمُ الْجَنَّةُ” (Tempat yang dijanjikan untuk kalian adalah surga). Ada juga seorang wanita di zaman Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang menderita epilepsi. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berkata, “إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ، وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللهَ أَنْ يُعَافِيَكِ” (Jika engkau mau bersabar, bagimu surga. Jika engkau mau, aku akan doakan agar engkau sembuh). Wanita berkulit hitam itu berkata, “بَلْ أَصْبِرُ يَا رَسُولَ اللهِ” (Aku lebih memilih bersabar, ya Rasulullah). Tapi ia menambahkan, “إِنِّي أَتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللهَ لِي أَنْ لَا أَتَكَشَّفَ” (Ketika penyakitku kambuh, aku khawatir auratku tersingkap. Doakanlah agar auratku tidak tersingkap). Maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mendoakannya.
Setelah Rasulullah wafat, Ibnu Abbas رضي الله عنهما pernah berkata kepada murid-muridnya, “Maukah aku tunjukkan kepada kalian seorang wanita penghuni surga yang sekarang berjalan-jalan di tengah kita?” “Iya, mana dia?” “Itu dia, perempuan hitam itu.” Termasuk juga Al-Hasan dan Al-Husain رضي الله عنهما adalah calon penghuni surga.
Sehingga, hadis ini tidak menafikan adanya sahabat lain yang akan masuk surga. Akan tetapi, hadis ini khusus karena menyebutkan 10 orang sekaligus. Orang yang mendapatkan surga adalah pemenang sejati, teladan, dan idola. Allah عز وجل berfirman, “فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ” (Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung). Maka pantaslah mereka menjadi teladan. Anak-anak kaum muslimin sudah sepantasnya mengenal orang yang pantas dijadikan idola. Minimal, orang tua menamakan anak dengan nama calon penghuni surga, sebagai sebuah kebanggaan.
Subhanallah, semoga Allah عز وجل merahmati sebagian ulama ahli hadis yang bangga menamakan anak-anak mereka dengan nama sepuluh orang yang dijanjikan masuk surga. Mereka adalah Khulafaur Rasyidin Al-Arba’ah, orang terdekat Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ; Abu Bakar dan Umar adalah mertua, Utsman dan Ali adalah menantu. Ada juga Abdurrahman bin Auf, seorang saudagar kaya yang pernah hijrah ke Madinah tanpa membawa harta. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mempersaudarakannya dengan Sa’ad bin Ar-Rabi’. Sa’ad menawarkan separuh hartanya dan salah satu istrinya. Abdurrahman bin Auf menjawab, “بَارَكَ اللهُ لَكَ فِي أَهْلِكَ وَمَالِكَ، دُلُّنِي عَلَى السُّوقِ” (Semoga Allah memberkahimu pada keluarga dan hartamu, cukup tunjukkan aku di mana pasar). Tidak lama kemudian, ia sudah mendapat keuntungan dan menikah. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mendoakannya, “بَارَكَ اللهُ لَكَ، أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ” (Semoga Allah memberkahimu. Adakanlah walimah meskipun hanya dengan seekor kambing). Setelah itu, setiap perdagangannya pasti untung. Az-Zubair bin Awwam adalah sepupu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan menikah dengan Asma’ binti Abi Bakar رضي الله عنها. Thalhah bin Ubaidillah, seorang sahabat dengan perjuangan luar biasa. Dan Sa’ad bin Abi Waqqas رضي الله عنه, yang doanya mudah dikabulkan.
(Terdapat gangguan teknis)
Baik, رَحِمَكُمُ اللهُ, demikian tadi yang kita bahas tentang الْعَشَرَةُ الْمُبَشَّرُونَ بِالْجَنَّةِ (sepuluh sahabat yang dijanjikan masuk surga). Ini tidak membatasi, karena banyak sahabat lain yang juga dijamin masuk surga. Membahas biografi mereka adalah pelajaran yang indah. Kita bisa menelusuri kitab Al-Hafizh Ibnu Hajar, Al-Ishabah fi Tamyizish Shahabah. Semoga kita dapat meneladani mereka, mencontoh cara ibadah mereka, dan mendapatkan cara beribadah yang tepat dengan pemahaman para ulama salafus shalih. Ini yang merupakan ciri khas Ahlus Sunnah. وَاللهُ تَعَالَى أَعْلَى وَأَعْلَمُ. صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى عَبْدِهِ وَرَسُولِهِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
Sesi Tanya Jawab
Pertanyaan Pertama (Bapak Yusran di Ciputat):
- Pertanyaan: Apakah hanya sembilan atau sepuluh sahabat itu saja yang menjadi calon penghuni surga, atau ada pengikut lainnya?
- Jawaban: Tidak menjadi pembatasan. Masih banyak para sahabat yang dijanjikan masuk surga. Mereka disebut sepuluh orang karena dikumpulkan dalam satu hadis. Ada juga yang disebutkan secara umum, seperti dalam hadis sahih: “لَا يَدْخُلُ النَّارَ أَحَدٌ بَايَعَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ” (Tidak akan masuk neraka seorang pun yang telah berbaiat di bawah pohon), yakni saat Bai’atur Ridhwan. Mereka semua dijamin masuk surga. Juga para peserta Perang Badar. Allah berfirman kepada mereka, “اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ” (Kerjakan apa yang kalian suka, Aku telah ampuni kalian). Jadi, banyak sekali selain sepuluh orang ini. بَارَكَ اللهُ فِيكُمْ.
Pertanyaan Kedua (Bapak Ali di Pasar Minggu):
- Pertanyaan: Disebutkan Hasan dan Husain dijamin masuk surga, padahal waktu itu mereka masih kecil dan belum terlihat jasanya. Bagaimana ini bisa terjadi?
- Jawaban: Betul, Al-Hasan dan Al-Husain adalah cucu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan saat itu masih kecil. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ketika menceritakan kejadian masa lampau atau masa depan, tidak mesti beralasan karena jasa atau masuk akal, tetapi karena beliau mendapatkan wahyu. Beliau menyampaikan apa yang beliau ketahui bukan dengan hitungan manusia biasa. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyatakan, “الْحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ سَيِّدَا شَبَابِ أَهْلِ الْجَنَّةِ” (Hasan dan Husain adalah pemimpin para pemuda di surga). Ini beliau sampaikan karena wahyu. Sama seperti ketika beliau bersabda saat Al-Hasan masih kecil, “Anakku ini (cucuku) akan menjadi sebab Allah mempersatukan kaum muslimin,” dan itu terbukti bertahun-tahun kemudian saat ‘Amul Jama’ah.
Pertanyaan Ketiga (Pesan Singkat):
- Pertanyaan: Apakah orang yang mengaku atau pernah bertemu Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ di dalam mimpi adalah orang yang dijamin masuk surga?
- Jawaban: Kita berbicara tentang masuk surga harus dengan dalil, karena ini urusan gaib. Sepengetahuan saya, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa orang yang melihat Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam mimpi adalah jaminan masuk surga. Bahkan jaminan dia orang baik pun belum tentu. Melihat Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ secara terjaga saja (saat beliau hidup) tidak menjadi jaminan, seperti kaum munafik dan musyrikin Quraisy. Apalagi hanya dalam mimpi. Yang menjamin seseorang masuk surga setelah izin dan rahmat Allah adalah ketakwaan dan amalnya. وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Pertanyaan Keempat (Pesan Singkat):
- Pertanyaan: Apakah 10 sahabat yang dijamin masuk surga memiliki kedudukan lebih tinggi dari sahabat lain? Bagaimana dengan Hamzah bin Abdul Muthalib?
- Jawaban: Iya. Para ulama memberikan kategori. Yang paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Ini disepakati. Setelah mereka berempat, barulah sisa dari sepuluh sahabat tersebut. Setelah Al-‘Asyarah, barulah Ahlul Badr (peserta Perang Badar), kemudian Ahlul Bai’atur Ridhwan. Meskipun Hamzah sangat dicintai Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, para ulama mengklasifikasikan bahwa Al-‘Asyarah Al-Mubasyarun bil Jannah lebih utama. وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.
Penutup (Ikhtitam)
Imam Malik رحمه الله mengatakan, “كَانَ السَّلَفُ رَحِمَهُمُ اللهُ يُعَلِّمُونَ أَوْلَادَهُمْ حُبَّ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ كَمَا يُعَلِّمُونَ السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ” (Dahulu para ulama salaf mengajarkan anak-anak mereka cinta kepada Abu Bakar dan Umar sebagaimana mereka mengajarkan surah dari Al-Qur’an). Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه mengatakan, “حُبُّ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَمَعْرِفَةُ فَضْلِهِمَا مِنَ السُّنَّةِ” (Mencintai Abu Bakar dan Umar serta mengenal keutamaan keduanya adalah bagian dari sunah). Bahkan Al-Hasan Al-Bashri رحمه الله ketika ditanya apakah cinta kepada keduanya termasuk sunah, beliau menjawab, “لَا، بَلْ فَرِيضَةٌ” (Bukan hanya sunah, ini malah wajib).
Maka, kaum muslimin رَحِمَنِي وَرَحِمَكُمُ اللهُ, jika kita ingin menempuh jalur yang selamat dan beribadah dengan tepat, tidak ada cara selain mencontoh para ulama salafus shalih. Semoga kita termasuk orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan.
وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى عَبْدِهِ وَرَسُولِهِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.