Kajian Kitab Umdatul Ahkam – 46, Dr. Emha Hasan Ayatullah, M.A

بسم الله الرحمن الرحيم، السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.

Semoga salat kita diterima dan semua semangat dalam belajar kita dijadikan ibadah yang membuahkan barakah dan istikamah. Di antara hal yang perlu kita teladani dalam belajar ini membutuhkan kesabaran. Sampai saat ini sekalipun fasilitas sudah banyak dan kita tidak bisa membayangkan bagaimana di zaman para ulama السلف, barangkali mereka datang ke tempat yang jauh dengan hawa yang panas, kemudian masjid seadanya beralaskan tanah, lalu berjubel. Sampai dikenal bahwa dulu pernah kita pelajari barangkali orang yang sempat membaca تدريب الراوي atau تدوين السنة, perkataan يحيى بن معين: “أربعة لا تؤنس منهم الرشد” (empat orang yang tidak bisa diharapkan kehebatan atau akalnya), di antaranya “رجل يجلس في بلده لا يرحل في طلب الحديث” (orang yang hanya diam di kampungnya, tidak mau berjalan jauh untuk belajar hadis).

Ini karena di zaman para ulama السلف, orang terbiasa belajar di kampungnya sampai ilmu gurunya dipelajari semuanya, habis. Setelah itu mereka keluar, mereka belajar mengembara untuk mencari riwayat سند dan hadis yang tidak didapatkan di kampungnya. Ini menjadi kebiasaan. Sampai sebagian mereka mengatakan sangat terbatasnya fasilitas, habis pakaian dijual, barang dijual tidak tersisa kecuali hanya beberapa dirham saja, sampai tidak kuat juga, seperti yang dinukil dari أبو حاتم الرازي. Bahkan beliau mengatakan, “بلت الدم في طلب الحديث مرتين” (Aku sampai kencing darah ketika belajar hadis dua kali). Di antara kisah yang beliau sebutkan, aku sampai mengangkat semua bukuku di atas punggungku sendiri, aku tidak terbiasa menyewa orang atau membawa kendaraan membawa buku, enggak kuat. Beliau sampai akhirnya kencing darah. Dan ini dikenal di tengah para ulama ahli hadis. Mereka bukan hanya sekedar berjubel untuk datang di majelis ilmu. Ini membutuhkan sabar dan itu cukup merupakan rasa berat. Orang mau duduk di majelis taklim itu butuh sabar dua kali lipat ya. Kalau kita lihat ada masjid ramai dengan jemaah, itu sudah merupakan hal yang mahal. Apalagi ketika pengajian ramai juga, ini merupakan hal yang mahal ya.

Sampai ada seorang ulama dari ahli hadis namanya حفص بن غياث رحمه الله, anak-anaknya juga ahli hadis, namanya Umar bin Hafs. Nah, ini ayahnya حفص بن غياث رحمه الله, kalau tidak salah beliau meninggal tahun 194 Hijriah. Beliau mengatakan, “لولا أن الله جعل الحرص في قلوب هؤلاء” maksudnya ahli hadis, “لولا أن الله جعل الحرص في قلوب هؤلاء” (seandainya bukan karena Allah عز وجل jadikan semangat di hati para ulama, para penuntut ilmu mereka itu, niscaya ilmu ini akan sirna). Ya, beliau berbicara tentang ahli hadis karena tidak ada di zaman itu orang-orang yang sesemangat أهل الحديث. Dan beliau mengatakan ini ketika melihat orang-orang mulai berdesakan untuk hadir di majelis beliau. Beliau melihat, “Subhanallah, kalau bukan karena mereka semangat, Allah jadikan ini sebab, ilmu ini hilang.” Ini sejalan dengan perkataan سفيان الثوري, beliau mengatakan, “أهل الحديث malaikat Allah penjaga langit sementara penjaga bumi adalah para ahli hadis.” سفيان الثوري ahli hadis, beliau meninggal tahun 161 Hijriah. يزيد بن زريع رحمه الله, beliau meninggal tahun 182 Hijriah ya, setelah عبد الله بن المبارك meninggal 1 tahun, 181, ini beliau. Beliau mengatakan, “Masing-masing agama ini punya pendekar, وفرسان هذا الدين أصحاب الأسانيد” (untuk agama ini para pendekarnya adalah orang-orang yang belajar sanad). Ya, dan merekalah yang akhirnya kuat حجة-nya.

Seperti الإمام الشافعي mengatakan, “صاحب الحديث قوي الحجة” (Orang yang belajar hadis akan kuat حجة-nya) karena dia tidak gampang menerima, tidak banyak akal-akalan, tidak terlalu banyak penalaran. “Ada riwayatnya enggak?” “Enggak ada.” Sudah, disiplin, hafal. Dan mereka bisa dikatakan keras di kalangan para ulama, orang-orang lain apalagi أهل البدعة. أهل الحديث kenal mereka adalah orang-orang kaku, keras. Wajar, ini adalah gelar lama. Maka sampai para ulama hadis menjadikan, “Antum pengin tahu أهل السنة bagaimana? Lihat kecintaan mereka terhadap أهل الحديث.” Seperti dulu pernah kita bahas pernyataan قتيبة بن سعيد, gurunya Imam Bukhari, beliau mengatakan, “Kalau kamu melihat ada orang yang mencintai أهل الحديث seperti يحيى بن سعيد القطان, عبد الرحمن بن مهدي, أحمد بن حنبل, إسحاق بن راهويه, فإنه على السنة، ومن خالفهم فاعلم أنه مبتدع” (dia berada di jalur sunah. Kalau engkau mendapati mereka tidak suka, bahkan sebaliknya dari itu, membenci أهل الحديث, ketahui mereka bidah biasanya). Ini pernyataan hampir sama dengan ahli hadis yang lain, seperti pernyataan أحمد بن سنان, meninggal 256 Hijriah. Kalau tadi Qutaibah bin Said ini gurunya Imam Bukhari, meninggal di tahun yang sama dengan Imam Ahmad 241. Ini sekarang guru Ahmad Sinan meninggal tahun 256. Beliau mengatakan, “Tidaklah ada orang melakukan kebidahan kecuali dia pasti benci أهل الحديث. Kalau ada orang melakukan kebidahan maka dia akan tercabut nikmat belajar hadis.”

Maka kita berharap ngikuti mereka, semua kehormatan banget orang bisa belajar hadis, mau sabar gitu. Dan asing memang, asing, paling sedikit mereka, minoritas. Orang tidak tertarik, atau mereka pesimis kalau orang menyangka, “Oh saya kayaknya enggak mampu.” Ini masih mending, dia ngerti dirinya sendiri. Tapi sebagian orang mengatakan, “Sudah tidak penting sekarang itu. Kita paham, kita bisa menalarkan, kita kemudian bisa sesuai dengan zaman sekarang,” lalu mereka anggap ini adalah suatu yang tidak penting. Ini bahaya sekali. Bahkan Allah عز وجل jadikan setiap generasi ada pewarisnya. Ketika Allah عز وجل akan jaga mereka sampai menjelang hari kiamat dalam hadis yang masyhur, kita sering dengar dan kita sudah sering bahas juga, حديث مشهور sekali. Imam Ahmad, Ali bin al-Madini, dan juga para ulama lainnya ketika mereka ditanya, “Siapa mereka?” “أهل الحديث.” “Siapakah mereka?” “أهل الحديث.” “Siapa lagi?” “أهل الحديث.” Orang yang siap belajar, siap mempraktikkan, siap mendakwahkan itu. Dan kalau kita tidak mau, tidak salah, Allah akan pilihkan orang-orang yang mau untuk mengorbankan itu sampai hari kiamat. Dan sungguh berbahagia sekali orang dikumpulkan oleh النبي صلى الله عليه وسلم bersama النبي صلى الله عليه وسلم karena dia paling banyak selawatnya dan dia paling bangga dengan ilmu itu. Imam Ahmad mengatakan, “أهل الحديث orang yang paling bagus dalam berbicara tentang ilmu, karena pembicaraan mereka adalah حدثنا وأخبرنا.” Pembicaraan mereka itu.

Sampai عثمان بن أبي شيبة رحمه الله, عثمان بن أبي شيبة ini saudaranya أبو بكر بن أبي شيبة yang mengarang kitab المصنف. أبو بكر بن أبي شيبة meninggal 235, 4 tahun setelahnya ini saudaranya, beliau ahli hadis, punya karya juga, buku-buku akidah, مرويات pakai سند dan beliau imam فقيه. Beliau mengatakan, ketika beliau melihat memang beberapa realita أهل الحديث bingung menghafal hadis tidak gampang, dan di zaman dulu orang menghafal hadis itu pakai sanad, tidak seperti kita hafal matan aja. Orang dulu menghafalkan pakai sanad sehingga wajar sekali ketika ketukar-tukar itu susah, susah sekali. Beliau mengatakan, “أهل الحديث meskipun dikenal fasik atau barangkali مختلط tercampur hafalannya, masih mending dia daripada ahli ibadah tapi bukan ahli hadis.” Jadi kalau kita berbicara ini منكر atau متروك ya, mungkin متروك di antara mereka ini masih lebih baik dari orang-orang di zaman sekarang. Karena kita ngerti ketika seorang perawi disebutkan dia متهم بالكذب karena dia pernah ketahuan, kedapatan berdusta sekali. Berdusta sekali tapi bukan dalam, dalam nama hadis. Dia berdusta sekali ketahuan, akhirnya dikatakan dia متهم بالكذب, tertuduh dia berdusta. Kalau dia pernah ketahuan berdusta membawa satu hadis, dia ngerti bahwa itu hadis tidak sahih dia sampaikan aja, bahkan dia berdusta ketahuan sekali seperti itu maka dia dapat level, level yang lebih tinggi itu namanya كذاب, pendusta sejati.

Sampai الإمام مسلم menyebutkan dalam mukadimah, أهل الحديث berbeda pendapat tobat orang kayak begini diterima apa tidak. Sebagian ulama mengatakan tidak diterima. Artinya diterima di sisi Allah tetapi untuk kemudian tidak diterima lagi hadisnya, bahaya nanti orang kayak begini. Ketahuan sekali kalau راسب masih ngulang ya, tapi masalahnya kalau ketahuan berdusta ketika meriwayatkan hadis, sudah susah sekali. Meskipun Imam Muslim رحمه الله ketika menyebutkan itu beliau termasuk orang yang disiplin sekali. Syekh Abdul Karim al-Khudhair ketika mensyarah mukadimah, beliau mengatakan جمهور المحدثين pun mereka mengatakan bahwa tobatnya masih diterima dan tidak masalah kalau memang ketahuan betul-betul tobat tidak masalah diriwayatkan kembali hadisnya. Kalau kita lihat أهل الحديث di antara mereka yang sampai diberi gelar متهم بالكذب atau mungkin dia سيء الملكة, مختلط جدا, dan seterusnya, mungkin hafalan mereka tidak dibandingkan dengan orang zaman sekarang. Kalau orang zaman sekarang mungkin mungkar semua ya. Suruh ngafalin aja enggak mau, gimana mau ketahuan baiknya.

Baik, على كل حال eh semoga kita termasuk orang-orang yang terhormat dalam mempelajari ilmu hadis. Ikhwah sekalian, kita membahas satu hadis, satu hadis tentang masalah meninggalkan bacaan Basmalah. Ini seru pembahasannya. Ketika orang membaca Al-Fatihah kemudian dia membaca basmalah, kalau antum tahu di sebagian masjid langsung tidak dijadikan imam dia. Sebagian orang ketika mereka ya, bukan fanatik tapi itulah kebiasaan yang mereka warisi turun-temurun. Iya, kalau seandainya ketahuan الحمد لله رب العالمين, salah. الحمد لله, enggak diteriakin Subhanallah. Memang tidak ada yang seperti itu, tetapi mungkin besok enggak dipakai lagi. Sebagian orang seperti itu, kayak tidak basmalah. Ternyata pembahasan ini sudah ada sejak zaman para فقهاء dan memang riwayatnya dari satu hadis. Nah, dari satu hadis yang diriwayatkan oleh أنس بن مالك رضي الله عنه. Dan itu seperti pembahasan yang lain, pembahasan fikih, kalau ada orang berbeda sangat mungkin ditoleransi. Sebagaimana kalau ada orang mencari riwayat paling tepat maka tidak disalahkan. Kalau ada orang berdiskusi kemudian menyebutkan inilah pendapat yang paling kuat dan menyebutkan kelemahan pendapat satunya, ini pun bukan merupakan usaha membuat keresahan. Ini namanya مباحثة, بحث المسائل. Ya, cari masalah, iya. Ini namanya bahas ya, atau mubahasah, muzakarah. Jangan baper aja. Ketika ada pendapat menyelisihi sebagian orang menyatakan menyesatkan ya, menyesatkan setiap orang yang tidak sependapat atau mengatakan ini keras. Kenapa keras? Karena tidak sama dengan pendapat dia. Itu kesimpulannya, tapi dia tidak terang-terangan. Dia ingin mengatakan bahwa mestinya fleksibel atau dilihat dari sejarahnya atau dari apanya. Sementara ketika ada orang berpegangan dengan ظاهر الحديث dikatakan, “Ah ini zahiri.” Iya seperti itu. Dan para sahabat justru rata-rata seperti itu ternyata. Para sahabat النبي صلى الله عليه وسلم kebanyakan mereka seperti itu dalam menerapkan petunjuk النبي صلى الله عليه وسلم dalam hadis.

Baik, عن أنس بن مالك رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم وأبا بكر وعمر رضي الله عنهما كانوا يفتتحون القراءة بالحمد لله رب العالمين. Anas bin Malik cerita bahwa النبي صلى الله عليه وسلم, Abu Bakar, dan Umar رضي الله عنهما mereka semua membuka salatnya dengan الحمد لله رب العالمين. Nah, kita lihat lafaznya: membuka salat dengan الحمد لله رب العالمين. “وفي رواية: صليت مع أبي بكر وعمر وعثمان فلم أسمع أحدا منهم يقرأ بسم الله الرحمن الرحيم.” Di riwayat lain ini disebutkan, “Aku salat,” kata Anas, “di belakang Abu Bakar, Umar, Utsman.” Kok disebut mereka? Karena mereka para خلفاء, otomatis mereka suka menjadi imam. Dan mereka ketika menjadi imam sepanjang masa khilafah berarti sering, tidak sekali dua kali. Orang pengin datang ke masjid besar karena ustaznya viral aja salat di situ, enggak. Ini karena khalifah tiap hari salat, tiap hari ada salat jahriyah-nya, ada salat sirriyah-nya. Ya, beliau mengatakan, “Aku mendengar Abu Bakar, Umar, Utsman ketika mengimami, aku tidak pernah mendengar mereka membaca بسم الله الرحمن الرحيم.”

ولمسلم,” dalam riwayat Muslim disebutkan, “Aku salat di belakang النبي صلى الله عليه وسلم, Abu Bakar, Umar, Utsman.” Tadi dua riwayat pertama disebutkan bahwa salatnya bersama النبي صلى الله عليه وسلم, Abu Bakar, dan Umar. Riwayat berikutnya Abu Bakar, Umar, Utsman. Riwayat Muslim empat-empatnya: النبي صلى الله عليه وسلم, Abu Bakar, Umar, Utsman. “فكانوا يستفتحون القراءة بالحمد لله رب العالمين، لا يذكرون بسم الله الرحمن الرحيم في أول قراءة ولا في آخرها.” (Mereka semua mengawali dengan الحمد لله رب العالمين, mereka semua tidak menyebutkan بسم الله الرحمن الرحيم di awal bacaan maupun di akhirnya). Ya, kalau di akhirnya ya enggak otomatis ya, tetapi maksudnya betul-betul pembahasan itu dalam masalah membaca.

Baik, kenapa kita katakan demikian? ابن دقيق العيد رحمه الله beliau menyebutkan bahwa dalam masalah fikih para فقهاء memiliki tiga pendapat. Pendapat pertama mereka mengatakan bismillah blas enggak ada, enggak ada syariatnya. Jadi dari kesimpulan hadis ini mereka katakan basmalah tidak disyariatkan. Ini pendapatnya Malikiyah. Bahkan dalam pendapat Malikiyah mereka mengatakan افتتاح pun tidak ada, karena dalam riwayat ini disebutkan “يفتتح بالحمد لله رب العالمين.” Kalau mulainya aja الحمد لله رب العالمين, berarti yang sebelumnya enggak ada, yaitu افتتاح. Ini dalam mazhab Malikiyah memang seperti itu. Bahkan mereka mengatakan bidah ada افتتاح. Antum bayangkan ya. Dan Malikiyah ini mazhab besar, dulu pernah menjadi mazhab yang tersebar di Madinah dan mereka berpegang dengan عمل أهل المدينة, apa yang dilakukan dan diwariskan turun-temurun dari penduduk Madinah. Meskipun para ulama mengatakan tergantung penduduk Madinah itu siapa. Kalau yang mereka maksudkan adalah الصحابة, iya betul kuat sekali mereka. Tapi kalau التابعين dan تابعي التابعين, nah ini perlu نقاش ya, karena pendapat mereka bisa jadi banyak juga yang lain yang sepadan dengan mereka. Tapi kalau sahabat memang ini kuat sekali. Maksudnya عمل أهل المدينة di antara pegangan kuat Malikiyah. Zaman sekarang Malikiyah banyak berkembang di daerah Afrika, ya. Jarang sekali berkembang di tempat yang lain. Tapi intinya mereka mengatakan dengan dalil ini bahwa basmalah tidak disyariatkan.

Yang kedua, yang mengatakan bahwa basmalah bukan tidak disyariatkan, disyariatkan tetapi tidak dikeraskan. Ini pendapat الحنابلة dan sebagian para ulama yang lain ya, yang cocok dengan mereka seperti الحنفية sebagian ya. Kemudian pendapat yang ketiga, dibaca semuanya ya, basmalah dengan suara keras. Kalau dalam masalah suara lirih otomatis kita enggak bahas karena memang tidak didengar. Tapi dalam salat yang keras, jahriah, maka pendapat yang ketiga ini mengatakan semuanya dibaca. Dan ini adalah mazhab الشافعية.

Baik, lalu bagaimana dengan pembahasan kita di sini? Pembahasan kita di sini, untuk Malikiyah mereka mengatakan bahwa افتتاح tidak ada karena memang dalam riwayat ini النبي صلى الله عليه وسلم mengatakan memulainya dengan Alhamdulillah. Berarti sebelumnya tidak ada sama sekali, begitu. Tetapi pendapat yang benar, wallahu a’lam, basmalah ini tetap ada. Nanti kita bahas ada riwayat yang menunjukkan النبي صلى الله عليه وسلم pun membaca basmalah dan keras, suaranya keras. Meskipun dalam pengerasan suara basmalah ini sebagian ulama mengkritik ini dalam sanadnya ada perbedaan di antara para رواة. Tetapi yang jelas basmalah dibaca dengan beberapa pertimbangan, di antaranya riwayat-riwayat yang lain.

Adapun riwayat yang menafikan افتتاح disebutkan bahwa hadis-hadis tentang افتتاح banyak. Bahkan tidak menyebutkan sesuatu tidak berarti tidak melakukan. Disebutkan dalam hadis yang kita pelajari “كانوا يفتتحون القراءة بالحمد لله رب العالمين” (Mereka memulai dengan الحمد لله رب العالمين). Memulai apa maksudnya? Apakah memulai salat? Dan ini yang diyakini oleh Malikiyah. Malikiyah menyatakan bahwa yang dimulai itu salat. Salat dimulai dengan الحمد لله رب العالمين. Tetapi para ulama yang lain dan جمهور mereka mengatakan yang dimulai dengan الحمد لله رب العالمين itu bacaannya, bukan salatnya. Kalau salat dimulai dengan takbir. Hadis Aisyah رضي الله عنها yang pernah kita bahas dulu, “كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفتتح الصلاة بالتكبير والقراءة بالحمد لله رب العالمين.” Jadi النبي صلى الله عليه وسلم memulai salat dengan takbir, yang kedua dengan bacaannya dengan الحمد لله رب العالمين.

Kemudian kalau yang dimulai itu adalah bacaannya, maksudnya الحمد لله رب العالمين, maksudnya adalah memulai dengan قراءة الفاتحة. Dan dalam hadis yang sahih disebutkan bahwa Surah Al-Fatihah itu juga disebut dengan Surah الحمد لله رب العالمين. Itu ada hadisnya. Jadi dalam sebuah riwayat النبي صلى الله عليه وسلم pernah mengatakan bahwa الحمد لله رب العالمين itu adalah Surah Al-Fatihah. Alias Al-Fatihah dikasih nama dengan Surah الحمد لله رب العالمين. Ya, ini riwayatnya dalam Sahih Muslim kalau tidak salah ya. Dalam Sahih Muslim disebutkan النبي صلى الله عليه وسلم berbicara kepada salah seorang sahabat yang bernama أبو سعيد بن المعلى. Beliau mengatakan kalau nanti kita keluar dari tempat ini aku akan ajari kamu surat yang paling afdal di dalam Al-Qur’an. Pas mau keluar, lupa kayaknya النبي صلى الله عليه وسلم, maka disamperin oleh Abu Said, “Kamu kan tadi mau bilang sama anak akan aku beritahu kamu surat yang paling hebat di dalam.” Nah, maka النبي صلى الله عليه وسلم kemudian mengatakan, “الحمد لله رب العالمين هي السبع المثاني.” (Iya, surat yang teragung di dalam Al-Qur’an adalah الحمد لله رب العالمين, tujuh yang diulang-ulang). Para ulama mengatakan ini dua-dua nama untuk Surah Al-Fatihah. Yang satunya السبع المثاني, yang satunya الحمد لله رب العالمين. Dalam beberapa riwayat disebutkan secara singkat, “Alhamdulillah,” itu aja. Tetapi riwayat yang barusan kita baca, الحمد لله رب العالمين, mewakili Surah Al-Fatihah.

Artinya bagaimana? Artinya hadis yang kita pelajari ini “يفتتحون القراءة بالحمد لله رب العالمين” artinya adalah النبي صلى الله عليه وسلم, Abu Bakar, Umar, dan Utsman memulai bacaannya dengan Surah Al-Fatihah. Kalau ternyata tafsirannya seperti ini, berarti Al-Fatihah itu ada basmalahnya. Ini tidak menafikan adanya basmalah. Apalagi سكوت atau diam itu bukan berarti tidak membaca. Seperti hadis Abu Hurairah, Abu Hurairah beliau ketika salat di belakang النبي صلى الله عليه وسلم, kok النبي صلى الله عليه وسلم tidak langsung membaca tapi diam. Tapi diamnya juga kelihatan jenggotnya gerak-gerak. Abu Hurairah tidak diam, beliau langsung tanya setelah selesai salat, “يا رسول الله أرأيت سكوتك بين التكبير والقراءة، ما تقول؟” (Antum tadi diam setelah takbir dan sebelum membaca, antum baca apa?). Para sahabat bertanya itu. Sehingga kesimpulannya diam tidak berarti tidak membaca. Apalagi dalam hadis yang kita pelajari ketika beliau mengatakan النبي صلى الله عليه وسلم mengawali salatnya dengan الحمد لله رب العالمين, tidak berarti basmalahnya tidak dibaca. Terlebih lagi kalau ditafsirkan الحمد لله رب العالمين adalah Surah Al-Fatihah.

Baik, berarti kesimpulannya bagaimana? Kesimpulannya berarti Al-Fatihah dibaca otomatis, tapi basmalahnya bagaimana? Basmalahnya ini menjadi bacaan tetapi tidak dikeraskan. Di antara riwayatnya, Al-Hafiz Ibnu Hajar menyebutkan banyak riwayat, dan memang Al-Hafiz Ibnu Hajar beliau شافعي المذهب, tapi beliau berusaha untuk mengumpulkan semua riwayat. Beliau ketika menyebutkan tentang makna yang berbeda-beda ini, beliau menyebutkan semua riwayatnya ya. Di antara riwayatnya ya, sebenarnya ada beberapa pegangan dari orang-orang yang mengatakan basmalah tidak dibaca karena dalam riwayat tadi kita sebutkan, “لا يذكرون بسم الله الرحمن الرحيم في أول قراءة ولا في آخرها” (tidak menyebutkan basmalah di awal bacaan dan di bagian akhir). Ya, dalam riwayat yang lain disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad dan Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, Ad-Daruquthni lafaznya, “فكانوا لا يجهرون ببسم الله الرحمن الرحيم.” Ternyata mereka, maksudnya النبي صلى الله عليه وسلم, Abu Bakar, Umar, dan Utsman tidak mengeraskan basmalah. Kalau tidak mengeraskan berarti ada kemungkinan melirihkan. Kalau ada kemungkinan melirihkan berarti itu dibaca.

Baik, ada yang tegas dari itu riwayat Ibnu Khuzaimah dan Thabarani, “أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يسر ببسم الله الرحمن الرحيم وأبو بكر وعمر.” Dalam riwayat Ahmad dan Ibnu Khuzaimah dan Thabarani disebutkan Rasul صلى الله عليه وسلم, Abu Bakar, dan Umar, mereka melirihkan. Malah, jadi semua riwayat ini sebenarnya bisa dikumpulkan, dikompromikan kata Hafiz Ibnu Hajar. Berarti yang tidak disebutkan bahwa النبي صلى الله عليه وسلم tidak baca basmalah, tidak berarti basmalahnya tidak dibaca, tetapi tidak keras. Kalaupun tidak keras berarti dilirihkan. Dan ini nas yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Thabarani, “يسر,” melirihkan.

Bismillah, kita tahu para ulama mereka berbeda pendapat, bismillah ini masuk ke Al-Fatihah apa enggak. Para ulama sepakat bahwa bismillah yang ada dalam Al-Qur’an ada dalam سورة النمل: “إنه من سليمان وإنه بسم الله الرحمن الرحيم.” Enggak ada yang khilaf itu masuk dalam surah Al-Qur’an. Tapi sekarang Al-Fatihah ini masuk apa tidak? Sebagian mereka mengatakan iya. Di antara hujahnya apa? Karena itu tertulis dalam mushaf. Tertulis dalam mushaf, sekalipun para ulama beda pendapat lagi ini siapa yang masukkan. Nah, buktinya di semua surat ada juga basmalah. Apakah berarti basmalah itu termasuk dari bagian Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nas, apakah seperti itu? Dan para ulama kebanyakan mengatakan bahwa basmalah itu fungsinya adalah membedakan antara surat dengan surat. Pelajari di علم القرآن itu, pembatas antara satu surat dengan surat. Tetapi dalam masalah Al-Fatihah mereka lebih keras lagi dan mereka mengatakan bahwa itu termasuk bagian dari Al-Fatihah.

Kalau antum perhatikan penulisan mushaf, ada yang mengatakan basmalah adalah surat atau ayat pertama ya kan. Berarti ayat terakhir, “صراط الذين أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضالين” satu ayat. Tapi yang tidak memasukkan basmalah termasuk Fatihah, maka “صراط الذين أنعمت عليهم” satu ayat, “غير المغضوب عليهم ولا الضالين” ayat yang lain. Kalau begitu berarti wallahu a’lam berhenti di “صراط الذين أنعمت عليهم” boleh, boleh karena itu satu ayat dan tidak merubah makna, tidak merubah makna. Wallahu a’lam. Tapi yang jelas, pun demikian para ulama mengatakan bahwa tidak perlu ini diruncingkan karena memang basmalah dibaca, mau yang mengatakan ini masuk di dalam Al-Fatihah atau tidak, tapi mereka membaca. Dan sekarang, orang yang mengatakan bahwa harus baca basmalah selama dia tidak meyakini bahwa basmalah masuk dalam Al-Fatihah, kalau seandainya dia tidak baca sama sekali, sama sekali dia tidak katakan bahwa basmalah dari Al-Fatihah, maka kalau seandainya dia tidak baca Al-Fatihah maka salatnya sah. Tapi yang afdal yang mana? Atau orang yang mengatakan bahwa Al-Fatihah ini termasuk lengkap basmalahnya. Hanya mana yang lebih diutamakan, apakah mengeraskan basmalah di salat-salat yang keras suaranya atau melirihkan? Ini kan pembahasannya di situ. Mana yang lebih afdal? Itu yang dicari.

Kalau dua-duanya mengatakan boleh, mau keras mau lirih boleh, semuanya sah. Kalau kita baca otomatis sudah salatnya insya Allah sah. Tetapi mana yang lebih afdal, mengeraskan atau melirihkan? Baik, ada yang mengatakan gampang saja, kita terapkan metode ahlul hadis: المثبت مقدم على النافي (yang menyebutkan lebih diprioritaskan daripada yang tidak menyebutkan). Begitu. Ada riwayat tanpa basmalah kok ada riwayat pakai basmalah, berarti yang pakai ini yang dimenangkan karena dia berarti زيادة علم, dia memiliki ilmu yang tidak diketahui orang yang tidak menyebutkan. Masalahnya bukan itu. Masalahnya Anas bin Malik membantu النبي صلى الله عليه وسلم berapa lama? 10 tahun. Kemudian beliau menjadi umatnya Abu Bakar, Umar, Utsman sekitar 35 tahun. Lalu sama sekali tidak pernah mendengar mereka mengucapkan basmalah dengan suara keras. Ini tanda tanya besar. Tanda tanya besar ini, ada apa gitu kan. Masa beliau tidak mendengar. Anas bin Malik رضي الله عنه panjang usianya sampai ketika beliau tua sekalipun tetapi beliau tidak pikun, beliau tidak pikun. Sehingga riwayat itu tetap. Meskipun beliau akhirnya beberapa riwayat lupa, kelihatan beliau lupa. Disebutkan oleh Hafiz Ibnu Hajar رحمه الله dalam riwayat Ibnu Hajar, eh dalam riwayat dari Anas bin Malik, beliau ditanya bahwa Qatadah, muridnya Anas, bertanya kepada beliau, “Antum karena disebutkan ini, ada enggak riwayatnya?” Maka beliau mengatakan, “Aku enggak hafal.” Enggak hafal. Atau dalam beberapa riwayat beliau mengatakan, “Kamu tanya sesuatu yang tidak ada sama sekali satu orang pun tanya tentang masalah itu. Apakah membaca basmalah dengan suara keras apa tidak, enggak ada yang tanya.” Tapi setelah itu beliau mungkin apa teringat. Tapi pun demikian beliau ini salat lama sekali, 35 tahun bersama khulafa’, bersama النبي صلى الله عليه وسلم 10 tahun. Berarti 45 tahun beliau sama sekali tidak pernah mendengar mereka membaca basmalah. Ini berarti menunjukkan bahwa memang mereka melirihkan.

Baik, sebagai penutup, kadang-kadang penutup itu panjang ya. Ada riwayat yang disebutkan oleh Ibnu Daqiqil ‘Id رحمه الله dan juga disebutkan oleh para ulama dari نعيم المجمر atau Mujammir ya. نعيم المجمر atau Mujammir, dua-duanya wallahu a’lam bisa ya. Jadi tajmir artinya mewangikan masjid. Nu’aim, kalau tidak salah namanya Nu’aim bin Abdillah, ana lupa namanya. Ini yang banyak meriwayatkan dari Abu Hurairah. Dan beliau ini suka pasang minyak wangi atau parfum itu, bukan minyak wangi ya, tapi بخور. بخور ditaruh kayak kayu begitu kemudian dibakar, setelah itu dikelilingkan di masjid sehingga beliau dikenal dengan Mujmir, yang suka mewangikan masjid. Sampai sekarang di Masjid Nabawi ada orang yang suka kayak begitu, ada wakaf katanya memberikan ‘ud atau semacam kayu yang dibakar untuk wangi. Lalu sebelum salat kadang-kadang ada petugas yang keliling di Masjid Nabawi memberikan apa, parfum seperti itu. Lupa ya. Nu’aim al-Mujmir, “صليت وراء أبي هريرة رضي الله عنه,” (Aku pernah salat di belakang Abu Hurairah). “فقرأ بسم الله الرحمن الرحيم,” (maka beliau membaca بسم الله الرحمن الرحيم). Ini menunjukkan bahwa bacanya banter karena diriwayatkan apa adanya oleh Nu’aim al-Mujmir. Beliau ini banyak meriwayatkan dari Abu Hurairah. “Aku salat menjadi makmumnya Abu Hurairah, beliau membaca بسم الله الرحمن الرحيم banter sekali.” “ثم قرأ بأم القرآن,” (lalu beliau membaca Al-Fatihah). “حتى إذا بلغ ولا الضالين قال آمين فقال الناس آمين” (sampai di akhir Al-Fatihah beliau membaca itu kemudian beliau آمين dan orang-orang mengamini juga). Ini menunjukkan juga bahwa imamnya juga membaca آمين.

Kemudian diriwayatkan setiap sujud beliau membaca الله أكبر, setiap berdiri dari duduk dua rakaat beliau pasti bertakbir. Kemudian ketika beliau selesai salat dan salam, beliau mengatakan, “والذي نفسي بيده إني لأشبهكم صلاة برسول الله صلى الله عليه وسلم” (Demi Allah yang jiwaku berada di tangannya, salatku ini sungguh sama dengan salat النبي صلى الله عليه وسلم). Ini Abu Hurairah ini enggak main-main. Beliau orang yang paling banyak hafal hadis. Hafal itu enggak pakai sanad beliau ya, langsung dari النبي صلى الله عليه وسلم, sanadnya dari mana ya. Tapi 5.000 dihafalkan ya. Kalau Bulughul Maram enggak sampai 2.000, cuma 1.200, 1.400, maksimal 1.500 ya. Enggak hafal juga. Ini Abu Hurairah رضي الله عنه hafal sampai 5.000 hadis dan meriwayatkan itu. Baik, kemudian beliau mengatakan bahwa salatku ini mirip dengan salat النبي صلى الله عليه وسلم. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i. Ini jelas sekali bahwa النبي صلى الله عليه وسلم mengeraskan suara, meskipun dipahami dari salatnya Abu Hurairah. Abu Hurairah menisbatkan salat seperti ini yang dicontoh dari النبي صلى الله عليه وسلم, sementara beliau mengeraskan basmalah. Meskipun kata Ibnu Abdil Hadi yang menyusun kitab المحرر في الحديث, beliau mengatakan, “وقد أعل ذكر البسملة,” penyebutan basmalah ini ada cacatnya. Ada sebagian ulama ahli hadis menyebutkan cacatnya, berarti yang sahih tidak ada basmalahnya. Terlepas dari itu, riwayat ini kata ابن دقيق العيد رحمه اللهمن أصحها,” di antara riwayat-riwayat yang menyebutkan tentang pengucapan basmalah dengan suara keras ini, ini di antara yang disahihkan oleh banyak ulama. Dan ini disebutkan oleh النسائي ya.

Tapi على كل حال, kesimpulannya wallahu a’lam, eh kalau Al-Hafiz Ibnu Hajar menyebutkan, beliau mengatakan dikompromikan saja. Dikompromikan bahwa riwayat Anas yang mengatakan, “Aku tidak pernah mendengar, aku tidak pernah ditanya,” dan seterusnya, maka ini bisa dikompromikan dengan hadis-hadis yang menyebutkan bahwa beliau يسر atau لا يجهرون. النبي صلى الله عليه وسلم melirihkan atau tidak mengeraskan. Ini kata Hafiz Ibnu Hajar. Tapi wallahu a’lam, kalau seandainya kita ambil kesimpulan dan ternyata para fuqaha pun mengambil kesimpulan juga, kalau ada orang melakukan dua-duanya sah. Tapi yang afdal atau mau dikompromikan juga, yang lebih sering tidak mengeraskan. Yang lebih sering tidak mengeraskan karena ini yang disampaikan oleh Anas bin Malik رضي الله عنه dari orang banyak dan dalam kurun waktu yang lama. Wallahu a’lam bish-shawab.

Azan. الله أكبر الله أكبر… أشهد أن لا إله إلا الله… أشهد أن سيدنا محمدا رسول الله… حي على الصلاة… حي على الفلاح… الله أكبر الله أكبر… لا إله إلا الله…

Baik, bagaimana dengan membaca basmalah sebelum membaca surat-surat setelah Al-Fatihah? Ini lebih gampang permasalahannya ya, karena pembacaan yang disebutkan oleh para ulama apakah basmalah ini termasuk Fatihah apa tidak. Tapi kalau masalah membaca surat di apa selain Al-Fatihah dengan basmalah atau tidak, lebih ringan lagi ya. Kalaupun kita tidak mengeraskan basmalah, maka orang yang mewajibkan basmalah sekalipun atau yang mengharuskan basmalah di Surah Al-Fatihah mereka tidak menyalahkan juga gitu. Wallahu a’lam, tidak harus karena basmalah itu sendiri tidak termasuk dalam bagian surat. Kemudian yang kedua, kalau seandainya di dalam pembacaan Surah Al-Fatihah saja, wallahu a’lam yang kuat adalah tidak mengeraskan tapi dibaca ya, cuman tidak dikeraskan saja. Maka di dalam surat-surat yang lain lebih afdal lagi untuk tidak dikeraskan. Wallahu a’lam bish-shawab.

Apa hukum mengeraskan تعوذ sebelum Al-Fatihah?

Basmalah saja tidak dikeraskan, apalagi تعوذ. Dari mana pendapatnya gitu. Bagaimana dengan membaca تعوذ, apakah ada dalilnya membaca dengan suara keras? Kalau seandainya tidak untuk bacaan seperti biasa tapi apa namanya, bacaan Al-Qur’an, maka ini ada riwayatnya. Dulu pernah kita bahas dalam hadis Aisyah, terkadang beliau mengeraskan suara di salat zuhur. Di salat zuhur terkadang beliau mengeraskan suara, bahkan dalam beberapa riwayat sampai sahabat mengatakan kita mendengar surat itu terbaca satu ayat, satu ayat, satu ayat. Ini surah zuhur, tapi kalau selain dari bacaan Al-Qur’an wallahu a’lam tidak ada riwayatnya.

Menulis atau memberikan تعليق pada sebuah kitab dengan menggunakan pulpen berwarna merah. Karena ana pernah mendengar bahwa kita tidak boleh menulis menggunakan pulpen berwarna merah, terlebih bagi para pelajar. Ana pernah dengar juga yang boleh menggunakan pulpen berwarna merah hanyalah seorang guru. Dan ana pernah membaca juga pada sebuah kitab تعليم المتعلم, penulis menyebutkan.

Wallahu a’lam, ana baru tahu juga dan nanti kita baca insya Allah eh apa namanya, syarah dari beberapa ulama. Tapi yang jelas kalau dulu yang ana sering dengar dari guru-guru ana, pakai warna merah itu tidak sopan. Kalau seandainya alasannya tidak sopan atau tidak pantas, maka kembalinya kepada عرف, kembalinya kepada عرف. Dan buku-buku sebagian dan yang dicetak ternyata mereka juga menggunakan warna merah untuk membedakan antara متن dengan شرح. Ini tidak ada masalah dan tidak ada yang mengkritik dari para ulama. Para ulama sudah banyak membaca buku-buku yang diwarnai seperti ini tetapi tidak ada yang mengkritik. Wallahu a’lam bish-shawab. Dan baru tahu ternyata ada semacam ini ya. Kendaraan berwarna merah dalam hadis dikatakan unta merah terjemahannya ya, tapi yang dikatakan unta merah itu karena unta yang paling mahal dan bagus. Kalau mobil warna merah bagaimana?

Mengambil konsep bahwa lafaz أين itu banyak macam sehingga menunjukkan bahwa Allah tidak bertempat, bagaimana cara membantahnya?

Enggak usah dibantah kalau memang enggak mau bantah, enggak mau dibantah. Antum bantah, dicekek antum ya. Sebagian orang yang pantas itu tidak dibantah. Kalau dibantah nanti tambah menjadi فالسكوت جواب, kayak perkataan Al-A’masy Sulaiman bin Mihran ya. Sebagian orang seperti itu, apalagi kalau nulisnya di medsos, di medsos biarkan saja, nanti tambah menjadi dia. Tetapi kalau mau مباحثة علمية ya gampang saja. Apa yang kita jadikan pedoman kan dalil. Allah kan sudah menyebutkan ya, Allah maksudnya adalah Allah ini yang berbicara tentang Allah sendiri, “أأمنتم من في السماء” (Apakah kalian merasa aman dari yang di langit?). Siapa di langit? Malaikat? Malaikat di langit betul, tapi yang dimaksudkan di sini adalah Allah عز وجل. Kemudian apa namanya, “إليه يصعد الكلم الطيب” (Kepada Allah akan dinaikkan amalan saleh). Dinaikkan itu ke mana? Jalan-jalan gini? Dinaikkan itu ke atas. Maksudnya dinaikkan kepada siapa? Kepada Allah. Ruh orang yang mati dibawa naik ke langit, dibawa menghadap kepada Allah. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Bara’ bin ‘Azib, orang yang baru diangkat cabut nyawanya, dibawa oleh malaikat ke atas langit pertama, langit kedua, langit ketiga, langit keempat, terus sampai atas. Setelah menghadap kepada Allah maka akan dimasukkan lagi ke dalam ruhnya ke kuburan. Kayak begitu ya, tidak dibawa jalan-jalan, tapi ke atas. Kemudian Allah di atas عرش, di atas عرش. Berarti عرش di atas, betul. Enggak ada masalah. Memang عرش di mana-mana? عرش di mana-mana itu, ini dari mana juga dalilnya? Kalau Allah di mana-mana berarti sama aja di mana-mana itu tempat. Iya kan? Tempat, sama aja. Mereka mau berkelit dari mana, kena ya. Jadi gampang saja, di tempat yang Allah tetapkan, selesai. Tapi kalau dikatakan berarti hanya Allah yang tahu, tidak. Karena Al-Qur’an itu bukan kosong dari makna ya. Bahkan dalam Sahih Bukhari disebutkan bahwa Al-Qur’an turun dengan bahasanya Quraisy. Orang Quraisy paham itu. Dulu pernah kita bahas tentang hadis جبير بن مطعم رضي الله عنه hatinya atau jantungnya mau copot ketika mendengar Al-Qur’an dibacakan, ngerti itu artinya. Kalau mereka tidak ngerti mereka tanya, kita aja yang enggak mau nanya itu, tapi tafsirkan semaunya ya. Maka ketika ada satu makna yang tidak ditanyakan oleh para sahabat berarti mereka pahami apa adanya seperti itu. Wallahu a’lam bish-shawab.

Semoga Allah menjaga Ustaz. Amin. Untuk teman kami yang menggunakan alasan introvert atau masalah kepribadian sebagai alasan untuk gaib kelas, dan mohon nasihat untuk kami teman kelasnya.

Iya, kalau ada orang punya alasan pribadi untuk melakukan pelanggaran, ini tidak berbeda banget dengan orang yang menggunakan alasan takdir melakukan maksiat ya. Jadi, kalau ada orang punya pelanggaran maka dia harus dibenarkan, diluruskan, dinasihati. Introvert enggak introvert, kalau mau introvert terus tidak mau masuk kelas, enggak usah, enggak usah kuliah sekalian, enggak usah daftar di kampus ya. Langsung aja sudah, di rumah enggak keluar gitu. Dia mikir dia sendiri gitu. Jadi ya dinasihati aja dengan yang bijak. Kalau memang dia tidak menerima ya serahkan pada yang berwajib, artinya wajib untuk menasihati dia. Kalau antum kan sunah ya. Nanti ada orang-orang yang wajib untuk menasihati dia ya, bisa jadi orang tuanya, bisa jadi yang lain gitu.

Jika kita mengambil pendapat salat jamaah itu wajib. Wajib yang di sini maksudnya wajib jamaah di masjid atau bisa di tempat lain?

Ya di masjid. Di masjid. النبي صلى الله عليه وسلم menyatakan dalam hadis yang sahih, “Salat yang paling afdal di rumah kecuali yang wajib.” Berarti yang wajib di mana? Di pasar? Enggak ya. Di masjid, di masjid maksudnya. Dan dulu para sahabat ketika mereka mengatakan anggap orang yang sering absen dari salat jamaah adalah orang munafik yang jelas banget kemunafikannya itu, maksudnya absen dari masjid, gitu. Baik, masjid mana? Masjid rumah itu bukan masjid ya. Karena orang mungkin kaya, masjid rumahnya lebih bagus dari masjid kampungnya. Kalau kayak begitu tetap saja itu namanya bukan masjid kecuali kalau dia jadikan itu sebagai wakaf untuk kaum muslimin, dipakai salat lima waktu.

Ini pendapat Syekh Abdul Muhsin ya. Beliau ditanya, “Syekh, boleh apa tidak kita salat di masjid kampus?” Masjid kampus bukan masjid kampus kalau masjid kampus dipakai lima waktu. Tapi masjid fakultas. Masjid fakultas itu biasanya kita dulu di kuliah hadis, kuliah Qur’an, kuliah syariah, kuliah dakwah, ada tempat yang dikhususkan untuk musala. Nah, itu ramai sekali ketika salat zuhur karena mereka kuliah dan sama kita di sana kuliahan itu sampai selesai baru kita salat. Ada yang sampai salat di masjid fakultas karena di masjid yang sana sudah qamat begitu. Nah, boleh apa tidak? Kata beliau boleh, tetapi insya Allah sah dan mudah-mudahan mereka dapat pahala salat jamaah. Tetapi yang diperintahkan kita adalah mendatangi masjid yang dipakai salat lima waktu. Kalau boleh apa tidak? Kalau itu memang namanya masjid, cuman masjid hanya di tempat kerja dan di waktu kerja saja. Seperti masjid pasar, dipakai ketika pasar itu syaghal. Kalau pasar tutup berarti tidak dipakai, berarti masjidnya ini terbatas. Masjid kantor juga sama, apalagi masjid kampus juga sama seperti itu. Dia dipakai ketika jam kerja saja. Nah, sementara yang afdal yang kita diperintahkan untuk memelihara salat jamaah itu di masjid yang dipakai lima waktu seperti itu.

Kemudian, jika واجب عين jamaah di masjid, maka apabila kita salat tidak jamaah di masjid, maka salatnya sah ma’al itsm? Apa itu benar?

Betul, betul ya. Kita tidak ada alasan sama sekali tidak jamaah tadi, salat di rumah sah tapi dosa karena kita meninggalkan apa yang diperintahkan Allah عز وجل seperti itu. Nah, sebagian ulama, ini kalau tidak salah Zahiriyah, mereka menjadikan salat jamaah itu شرط الصحة, شرط الصحة. Kalau tidak jamaah tidak sah. Ini ada pendapat ulama yang seperti itu.

Kapan kita membaca تعوذ dan basmalah pada salat jahriyah? Apakah tatkala akan baca Al-Fatihah?

Iya ya. Para ulama mengatakan bahwa ini masuk keumuman firman Allah, “فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ.” (Kalau kamu baca Al-Qur’an maka bertaawudlah kepada Allah subhanahu wa ta’ala).

Bagaimana pembagian ayat Al-Fatihah pada ayat terakhir? Apakah itu dua ayat atau satu ayat?

Bebas aja, mau dua ayat satu ayat antum harus baca dua-duanya ya. Dua-duanya harus dibaca. Jadi enggak perlu masuk ke dalam khilafnya para قراء. Ana ingat dulu teman ana yang masuk ke apa namanya, fakultas Al-Qur’an, mereka mengatakan kami disuruh untuk menghafalkan متن الدرة في عد الآي, ngitung ayat dalam Al-Qur’an. Ada khilaf di antara para ulama قراء ya. Kita enggak kebayang kan ke sana ya. Enggak usah dibayangin, alhamdulillah kita enggak harus membaca itu ya. Jadi kita baca saja sudah selesai.

Jika seorang mengetahui kewajiban salat setelah mencapai usia baligh, lalu terjadi musibah yang menyebabkannya buta, عافاهم الله جميعا, dan tuli, apakah tetap wajib baginya salat sedangkan tidak mengetahui tata cara, rukun-rukun, syarat?

Selama dia masih memiliki akal dan bisa mendapatkan perintah, maka dia berkewajiban. Tetapi kalau seandainya akalnya hilang, tidak paham, maka dia tidak melaksanakan. Seperti siapa? Orang pikun. Orang pikun para ulama banyak mengatakan tidak wajib salat sebagaimana tidak wajib puasa dan tidak perlu dibayar fidyah. Karena dia sudah tidak wajib lagi untuk melaksanakan ibadah tersebut. Akan tetapi buta tuli, selama dia masih bisa salat diajari sebisanya, diajar di sebisanya. Kalau seandainya ada orang buta maka dia masih mendengar. Kalau tuli maka dia diatur gerakan, pakai gerakan. Dan zaman sekarang juga banyak alat-alat untuk mengembalikan atau memfasilitasi suara biar sampai seperti itu. Wallahu a’lam, mudah-mudahan yang kebetulan seperti ini diberi kesembuhan oleh Allah.

Kitab apa yang paling bagus untuk melihat keutamaan ahli hadis?

Hadis, hadis. Antum baca, antum tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang afdal karena baca berselawat seterusnya. Nah, setelah itu ada berapa buku yang memang menyebutkan منزيلة mereka. Di antaranya kitab الخطيب البغدادي, شرف أصحاب الحديث. Ada juga buku yang ditulis oleh الصابوني, عقيدة السلف أصحاب الحديث ya. Nah, kemudian buku-buku biografi para ulama ahli hadis. Antum baca kitab الذهبي, سير أعلام النبلاء, tapi panjang banget itu, 20 jilid kalau tidak salah. Tapi ada تهذيب-nya yang ringkasannya tiga jilid aja. Ana enggak ngerti di sini ada apa enggak, تهذيب سير أعلام النبلاء. Itu kalau dibaca insya Allah bisa apa namanya, membangkitkan semangat untuk mempelajari mereka. Dan Subhanallah, orang tidak ngerti di mana motivasi itu dia dapatkan. Dan Adz-Dzahabi sendiri beliau pernah dipuji oleh salah seorang gurunya, tahu antum pujiannya bagaimana? Dipuji, “خطك يشبه خط المحدثين” (Tulisanmu mirip tulisan Ahlul Hadis). Beliau katakan itu pertama ana tertarik untuk belajar hadis. Subhanallah. Kayaknya antum ini mirip ahli hadis semua. Antum enggak percaya? Ana bilang, ana juga enggak percaya.

Apakah jumlah ayat di dalam Al-Qur’an berbeda? Jika benar, kenapa bisa terjadi perbedaan tersebut?

Wallahu a’lam, wallahu a’lam. Ini antum tanyakan ke ahlinya ya.

Ini terakhir insya Allah. Nasihatkan ana agar tidak bermudah-mudahan dalam berbohong.

Subhanallah. Berbohong ya tidak boleh jelas, bukan bermudah-mudahan. Memang ini tidak boleh ya. Kayak orang melakukan dosa besar, bermudah-mudahan tidak salat. Jangan, ini sama. Dia orang tidak apa namanya, melakukan pelanggaran atau meninggalkan kewajiban. Ini sama, dosa besar. Dan Subhanallah, tidak ada nasihat yang lebih baik dari hadis النبي صلى الله عليه وسلم: “وإن الرجل ليكذب ويتحرى الكذب حتى يكتب عند الله كذابا، وإن الرجل ليصدق ويتحرى الصدق حتى يكتب عند الله صديقا.” Orang kebiasaan itu gampang sekali untuk berbicara, berdusta. Seperti orang bersumpah, gampang sumpah. Akhirnya dia enggak enak kalau tidak bersumpah. Mau jualan, sumpah. Mau ngomong, sumpah. Orang juga sama, berdusta, kebiasaan. Ngapain harus apa namanya, berdusta.

Ada sebuah pelajaran dari kisahnya كعب بن مالك رضي الله عنه ketika beliau tidak ikut Perang Tabuk. Gara-gara beliau tidak ikut Perang Tabuk, akhirnya dihajar, tidak diajak bicara oleh النبي صلى الله عليه وسلم selama 50 hari. Beliau maju mundur itu, “Ana mau jujur apa enggak, jujur apa enggak?” Ketika النبي صلى الله عليه وسلم sudah semakin datang ke Madinah, lalu biasanya beliau akan bertemu dengan orang-orang yang sahabatnya, “Ana sudah enggak punya alasan, bingung mau ikut bicara apa adanya atau mau dusta dengan mengarang berbagai alasan.” Sudah mulai banyak orang munafik datang dengan berbagai alasan lalu mereka diterima uzurnya oleh النبي صلى الله عليه وسلم. Lalu dia mengatakan, “Kalau saya bilang begini saya akan bisa juga ngomong seperti itu, tapi apa yang bisa ana sembunyikan dari Allah dan rasul-Nya?” Akhirnya ngomong beliau kepada النبي صلى الله عليه وسلم, “Ya Rasulullah, orang Arab semua ngerti saya adalah orator dan orang paling fasih berbicara. Semua orang tahu kalau aku berbicara semua akan nurut dan mereka akan percaya. Tapi saya ngerti saya tidak akan bisa menyembunyikan depan Allah dan rasul-Nya. Ana enggak punya uzur itu sudah.” Akhirnya berikan keputusan seperti itu. Ternyata keluarga-keluarganya bilang, “Minta maaf saja, diedit itu jawaban kemarin itu, enggak apa-apa insya Allah Allah akan, Rasul صلى الله عليه وسلم akan maafkan, mintakan ampun kepada Allah kesalahan-kesalahan antum,” gitu. Itu hampir berubah lagi, tapi hampir berubah pendapat seperti itu karena النبي صلى الله عليه وسلم sudah mukanya berubah, berbeda. Akhirnya kata Ka’ab bin Malik, “Aku bertanya iseng-iseng, ‘Ada enggak orang seperti saya mau tidak mau menyebutkan alasan saya tidak punya alasan?'” “Ada dua orang.” Yang satu Hilal dan satunya siapa gitu. Kata Ka’ab bin Malik, “Ternyata yang disebutkan kepadaku adalah dua orang saleh dan aku tertarik dengan mereka. Sudah, aku tidak sendirian.” Aku jujur, tiga orang itu akhirnya dihajar. Kata beliau, “Sampai aku seperti unta kehilangan induknya. Datang ke Madinah, tanah ini seperti yang tidak aku kenal. Orang sengaja ana datang gini, ‘Assalamualaikum,’ enggak jawab. Bahkan ana manjat ke tebing, ke sepupu ana yang dia cinta kepada saya. Katakan, ‘Kamu tahu kan saya ini jujur?’ Dia diam saja, diam saja itu. Betul-betul merasa sempit saya itu.” Ketika akhirnya tanda tobat itu datang dari Allah subhanahu wa ta’ala, maka kata Ka’ab bin Malik رضي الله عنه, “Ya Rasulullah, aku nazar setelah ini Allah sudah selamatkan aku dengan kejujuranku, setelah ini aku tidak akan berdusta sama sekali sampai mati, aku tidak akan berdusta.” Subhanallah. Beliau akhirnya Allah selamatkan dengan kejujuran, dan Allah sebutkan tentang orang-orang munafikin di سورة التوبة itu, itu tentang orang munafikin yang cari alasan. Sementara tentang masalah Ka’ab dan dua sahabatnya, Allah katakan, “لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ…” sampai ayat berikutnya, “Dan tiga orang yang ditunda tobat mereka.” Nah, ini sampai disebutkan dalam ayat itu. Luar biasa. Orang jujur memang perlu perjuangan tapi butuh kebiasaan juga. Orang banyak ngomong kalau punya teman pendiam, dia akan ngerem karena dia sungkan ngomong terus ya. Kecuali ana, ana berteman sama Ustaz Nandang ini, masya Allah, Nandang ketularan ana ya. Mudah-mudahan kita semua bisa belajar dan dapat ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh.

صلى الله على نبينا محمد. سبحانك اللهم وبحمدك، أشهد أن لا إله إلا أنت، أستغفرك وأتوب إليك. والحمد لله رب العالمين.


2

#Prolog

Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ’anhu. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara langsung dengan melenyapkan ilmu itu dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang berilmu lagi, orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.’” (HR. Bukhari)

Sumber: https://muslim.or.id/93486-malapetaka-akhir-zaman.html
Copyright © 2025 muslim.or.id