بسم الله الرحمن الرحيم، السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.
Ikhwah sekalian, di dalam Sahih Muslim disebutkan peristiwa secara lengkap tentang Haji Wada’. النبي صلى الله عليه وسلم menyatakan kepada para sahabatnya, “Ambillah dariku manasik haji kalian. Bisa jadi setelah ini aku tidak akan berjumpa dengan kalian.” Dikatakan النبي صلى الله عليه وسلم saat itu kumpul dengan jumlah besar ingin berhaji bersama beliau. Dan النبي صلى الله عليه وسلم dalam berbagai gerakan selalu berupaya untuk santai, tenang. Beliau mengatakan, “السكينة السكينة” (pelan-pelan, tenang), sehingga tidak ada yang tersakiti dengan ibadah itu. Ketika kaum muslimin berkumpul, maka النبي صلى الله عليه وسلم berkhutbah dengan nasihat yang dijadikan kaidah, patokan, dan pegangan kaum muslimin sepeninggal beliau.
Beliau mengatakan, “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, jiwa kalian, dan kehormatan kalian semua haram untuk diganggu, sebagaimana haramnya tanah ini, negeri ini, dan bulan ini.” Dan beliau juga mengatakan, “Dan semua riba yang pernah dilakukan orang jahiliah sekarang kita campakkan.” Lalu di antara nasihat emas beliau, “وقد تركت فيكم ما لن تضلوا إن اعتصمتم به بعدي: كتاب الله” (Dan aku telah tinggalkan kepada kalian dua hal, kalau kalian pegangi betul-betul maka kalian akan tidak tersesat sama sekali: Kitabullah). Tidak disebutkan di situ selain Kitabullah. Dan dalam beberapa riwayat, termasuk yang disebutkan Imam Malik, dikatakan “dan sunah nabi-Nya.” Dan النبي صلى الله عليه وسلم menanyakan, “Kalian akan ditanya oleh Allah tentang aku, kalian akan jawab apa?” “Kami akan saksikan di depan Allah, engkau telah menunaikan, engkau telah menasihati, dan engkau menunaikan semua yang Allah perintahkan.” النبي صلى الله عليه وسلم mengangkat tangannya ke atas langit kemudian menarik ke depan kaum muslimin, “اللهم اشهد, اللهم اشهد” (tiga kali).
Sehingga ini dijadikan sebagai pesan dan kaidah bahwa orang yang ingin tidak tersesat, dia pegangan dengan Al-Qur’an dan juga sunah. Tidak ada orang yang tidak bisa tersesat kecuali kalau dia berpegang dengan dua pusaka itu. Kita pernah sampaikan perkataan Imam Malik رحمه الله, Imam Darul Hijrah, dan pada saat itu beliau menjadi imam mazhab juga. Beliau mengatakan, “السنة سفينة نوح من ركبها نجا ومن تخلف عنها غرق” (Sunah النبي صلى الله عليه وسلم adalah bahtera Nabi Nuh, yang naik selamat, yang tidak mau naik dia tenggelam).
Maka patokan seorang muslim adalah dalil. Tidak perlu seorang memusingkan, “Apakah saya akan ikut mazhab tertentu atau saya akan bermazhab atau tidak?” Tidak terlalu penting dan tidak perlu disalahkan juga karena para ulama seperti itu. Mereka belajar fikih. Kalau seandainya orang mengatakan saya akan belajar fikih tanpa mazhab, itu susah. Tetapi ketika ada orang fanatik dalam mazhab, salah, salah. Ana pernah sampaikan kalau seandainya ada orang salat kemudian ditanya, “Kenapa salatmu begitu?” “Karena dalam matan seperti ini.” Salah dia, itu bukan dalil. Perkataan ulama يستدل لهم ولا يستدل بهم, jadi perkataan ulama perlu dikuatkan dengan dalil, bukan dijadikan dalil. Kalau seandainya seseorang akan belajar hanya mencari dalil tapi tidak mau belajar dari perkataan ulama, susah dia, susah sekali. Sebagaimana kebalikannya, kalau ada orang tidak mau belajar dalil, yang penting apa kata mazhab saya, salah sekali. Maka dua-duanya harus proporsional, tidak perlu di apa namanya, dipusingkan. Yang penting bagaimana seseorang akhirnya menunaikan ibadah dengan dasar yang benar.
Kalau pada akhirnya seperti disebutkan oleh Yasir kemarin ya, akhirnya ini tidak belajar hadis, yang ini tidak belajar fikih, belajar fikih sama sekali atau barangkali sebagian orang mengatakan kan خلاف. Ketika ditanya, “Kamu milih yang mana?” “Bebas aja, kan خلاف.” Kalau seandainya kesimpulan itu adalah seorang mencari rukhshah atau keringanan, maka kita khawatir masuk dalam pesan seorang ulama yang mengatakan, “من تتبع الرخص فقد تزندق” (Yang berusaha mencari keringanan maka dia adalah orang munafik). Zindiq itu artinya munafik. Mencari ibadah dengan malas sekali. Yang jelas inti dari pelajaran kita adalah bagaimana seseorang mengikuti yang benar, dan mengikuti kebenaran tidak mungkin dicapai kecuali dengan mengikuti dalil.
Baik, pelajaran kita insya Allah dua hadis yang menjadi penutup pembahasan قراءة di dalam salat. Dan masih ada hubungannya dengan pembahasan yang kemarin, ketika ada orang membaca di dalam salat Al-Fatihah, kemudian setelah itu kita sebutkan bahwa sebagian sahabat mendengar النبي صلى الله عليه وسلم membaca beberapa surat di dalam salat magrib dan salat isya. Dan kini pembahasan ini menunjukkan bahwa seandainya ada orang membaca lebih dari satu surat di dalam satu rakaat, maka ini juga dibolehkan. Ini yang dipahami oleh الإمام البخاري رحمه الله, maka hadis yang kita bahas ini beliau kasih judul tentang باب من جمع السورتين في ركعة (pembahasan tentang orang yang membaca dua surat sekaligus dalam satu rakaat). Enggak ada masalah seperti itu.
Al-Hafiz Ibnu Hajar sempat mengatakan maksudnya dari menggabungkan dua surat ini bisa jadi Al-Fatihah, karena sebagian ulama mengatakan demikian, Al-Fatihah plus surat, ini sudah dua surat dalam satu rakaat. Tapi kata Hafiz Ibnu Hajar ini untuk mazhab yang tidak mewajibkan Al-Fatihah, dan kita katakan bahwa yang mengatakan mereka ini sedikit sekali yang mengatakan tidak wajib Al-Fatihah, yaitu الحنفية. Sedangkan mazhab جمهور mereka tegas mengatakan Al-Fatihah harus dibaca dengan dalil yang sudah kita lewati ya. Sehingga yang dimaksudkan dengan menggabungkan dua surat itu artinya selain Al-Fatihah, selain Al-Fatihah. Dan ini tegas sekali akan disebutkan di sini, karena kalau seandainya yang dimaksudkan menggabungkan dua surat itu dengan Al-Fatihah, enggak perlu dibahas. Kenapa para sahabat sampai mereka mengeluh, mereka lapor kepada النبي صلى الله عليه وسلم, ini kepanjangan. Orang baca Al-Fatihah sama Al-Ikhlas gampang banget, pendek dan jadi selera kaum muslimin ya. Tetapi kenapa sampai dikeluhkan? Karena yang dibaca ini ada surat lain. Dan ini kata Hafiz Ibnu Hajar, tidak disebutkannya Al-Fatihah karena orang bisa jadi sudah paham. Kalau seandainya yang dimaksudkan itu adalah Al-Fatihah plus Al-Ikhlas, enggak ada yang protes sama sekali. Baik, ini hadis عائشة رضي الله عنها yang pertama, kemudian yang kedua hadis جابر. Adapun yang pertama, hadis عائشة disebutkan أن رسول الله صلى الله عليه وسلم بعث رجلا على سرية. النبي صلى الله عليه وسلم pernah mengutus pasukan dan menjadikan satu orang sebagai pimpinan atau panglima mereka. سرية artinya pasukan yang tidak diikuti oleh النبي صلى الله عليه وسلم ya. Ada yang mengatakan bahwa سرية itu adalah pasukan yang kurang dari 400 orang. Yang jelas النبي صلى الله عليه وسلم mengutus orang untuk menjadi pimpinannya. Imam ini, panglima ini, ini menunjukkan luar biasa sekali ketika panglima mimpin salat juga. Ana sampaikan kepada antum, hukum asalnya pejabat itu juga mimpin salat sebagaimana mimpin pemerintahan. Termasuk yang dijadikan wakil di pasukan itu yang dijadikan wakil pemerintah adalah panglima. Maka panglima juga dipilih untuk orang yang paling ngerti dalam urusan syariat.
Kita pernah dengar ada seorang ajudan atau Gubernur Makkah, diamanahi oleh Umar رضي الله عنه untuk ditemui di daerah Usfan atau sekitar daerah dekat Makkah. Ketika dia keluar ditanya oleh Umar, “Kamu tinggalkan atau wakilkan ke siapa?” Maka dia mengatakan, “ابن أبزى.” “Siapa ابن أبزى?” “Dia adalah mantan budak kami.” “Engkau utus atau wakilkan mantan budak sebagai PLT antum? Gubernur Makkah ini plt-nya seorang mantan budak.” Maka alasannya adalah “إنه قارئ لكتاب الله عالم بالفرائض.” “Itu hafal Qur’an dan dia ngerti tentang faraid.” Maka kata Umar رضي الله عنه, “أما إن نبيكم صلى الله عليه وسلم قد قال: إن الله يرفع بهذا الكتاب أقواما ويضع به آخرين.” (Kalau kamu sebutkan ini, nabi kalian صلى الله عليه وسلم pernah bersabda, “Allah عز وجل bisa mengangkat derajat seseorang dengan Al-Qur’an sebagaimana bisa menghinakan seseorang dengan Al-Qur’an”). Artinya dipuji langkah sang gubernur ketika memberikan tugas kepada orang yang ngerti Al-Qur’an.
Ini sekarang beliau jadi panglima, mengimami salat, setiap membaca bacaan dalam salat diakhiri dengan Surah Al-Ikhlas. Maka ketika mereka pulang, mereka lapor kepada النبي صلى الله عليه وسلم, “Pimpinan kami selalu baca surat kemudian diakhiri dengan Al-Ikhlas.” رسول الله صلى الله عليه وسلم mengatakan, “Coba kalian tanya apa alasannya?” Maka mereka tanya, “Karena itu adalah sifat Allah, maka aku suka untuk membacanya.” فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أخبروه أن الله يحبه (Beritahu dia bahwa Allah عز وجل mencintai dia).
Baik, dalam Sahih Bukhari disebutkan ada hadis yang serupa, ada hadis yang sama. Akan tetapi, sama artinya, pembahasannya, tetapi aktornya beda, yang meriwayatkan beda, kemudian letak bacaannya beda. Dan ini yang disebutkan dalam hadis Aisyah, orangnya adalah panglima perang. Sementara hadis kedua yang disebutkan dalam Sahih Bukhari dari أنس بن مالك رضي الله عنه, beliau mengatakan, “كان رجل من الأنصار يؤمهم في مسجد قباء.” Ada orang dari kalangan Anshar jadi imam di Masjid Quba. “كلما افتتح سورة يقرأ بها لهم في الصلاة مما يقرأ به افتتح بقل هو الله أحد” (Setiap akan membaca surat yang dibaca di dalam salat, ketika mengimami mereka mesti diawali dengan Al-Fatihah). Kalau dalam hadis Aisyah di bagian belakang, diakhiri dengan Al-Ikhlas. Afwan, bukan Al-Fatihah, Al-Ikhlas maksudnya. Tapi yang ini sebelum membaca surat baca “قل هو الله أحد” itu sampai selesai, setelah itu baca surat yang lain. Sampai makmumnya mengatakan, “Kamu setiap ngimami kami mesti baca Al-Ikhlas jadi panjang, setelah itu baca surat yang itu yang antum pengin baca. Antum pilih salah satulah, baca Al-Ikhlas baru baca itu atau baca itu enggak usah Al-Ikhlas gitu. Kalau baca Ikhlas, Ikhlas aja,” gitu. “Seolah-olah antum ini merasa tidak sah salat antum kalau tidak baca Surah Al-Ikhlas.” Maka beliau mengatakan, “Aku enggak mau ninggalin, terserah suka-suka kalian. Kalau kalian pengin aku jadi imam kalian, ya sudah ini yang aku pengin. Kalau kalian enggak suka sudah aku enggak mau jadi imam.” Kayu, maksudnya. Hanya mereka ini memandang orang ini bacaannya paling bagus dan mereka enggak suka kalau ada imam lain yang menggantikan. Mahalnya di sini kalau kita ikut-ikutan siapa gitu kan ya. “Sudah ganti aja, enggak mau,” gitu. Tapi ini masalahnya ini paling afdal. Dan ini menunjukkan bahwa para sahabat mereka bukan berarti enggak pada hafal, tetapi mereka berpegang dengan hadis. Bisa jadi mereka ngerti tentang hadis Abu Hurairah, yang paling itu yang paling berhak untuk menjadi imam. Mungkin saja orang ini dipercaya oleh النبي صلى الله عليه وسلم untuk menjadi imam sehingga enggak ada yang berani mempraktikkan. Bisa jadi seperti itu. النبي صلى الله عليه وسلم pernah tidak di Madinah ketika beliau salat dua rakaat, terkadang beliau mendamaikan kaum muslimin yang sedang ada masalah dan seterusnya.
Ketika datang, mereka lapor kepada النبي صلى الله عليه وسلم. “يا فلان، ما يمنعك أن تفعل ما يأمرك به أصحابك؟ وما يحملك على لزوم هذه السورة في كل ركعة؟” (Wahai fulan, apa yang membuat kamu membaca surat ini terus dan tidak nurut dengan para sahabatmu? Mereka kasih usulan begini, antum tidak pedulikan mereka?). “إني أحبها” (Aku cinta sama surat ini). Jadi alasannya sama. “حبك إياها أدخلك الجنة” (Kecintaan kamu terhadap surat itu akan memasukkan kamu ke dalam surga).
Nah, ini menunjukkan bahwa niat penting. Baca Al-Ikhlas, kata Hafiz Ibnu Hajar, kalau seandainya alasannya karena “aku tidak hafal yang lain,” maka النبي صلى الله عليه وسلم bisa memberikan arahan yang lain, bisa memberikan perintah, “Hafalin yang lain baru baca,” begitu. Tetapi ketika alasannya karena dia cinta kepada surat itu karena ada isinya tentang sifat Allah subhanahu wa ta’ala, maka ternyata النبي صلى الله عليه وسلم puji. Ini berarti semua tergantung pada niatnya. Kalau orang suka Al-Ikhlas karena pendeknya, ya “لأنها صفة الرحمن,” gaya sekali padahal enggak paham.
Tapi yang jelas, apakah orang ini sama dengan orang yang pertama? Kata Hafiz Ibnu Hajar, kalau mau dijadikan sama susah sekali. Kenapa? Di antara yang menunjukkan orang ini yang disebutkan dalam Sahih Bukhari, dia imam Masjid Quba. Dan ketika dia selalu mengimami salat, waktu itu belum dimulai pengutusan pasukan. النبي صلى الله عليه وسلم awal-awal datang hijrah di tahun pertama belum ada perintah perang. Pertama pertempuran yang terjadi adalah Perang Badar, itu pun enggak sengaja. Sehingga tidak ada سرايا atau pasukan-pasukan utusan, belum ada. Nah, ini sahabat enggak lama meninggal, imam ini enggak lama kemudian beliau meninggal. Disebutkan dalam biografi itu yang pernah menjadi imam Masjid Quba, enggak lama lagi meninggal. Maka tidak bakal orang ini adalah panglima yang dikirim oleh النبي صلى الله عليه وسلم. Kata Hafiz Ibnu Hajar ini paling penting ini, catat ini. Tetapi yang paling penting sebenarnya dalam catatan itu adalah sama-sama menggabungkan Al-Ikhlas dengan surat yang lain. Nah, ini apakah boleh? Jawabannya boleh karena النبي صلى الله عليه وسلم beliau tidak menyalahkan perkara orang itu. Akhirnya mengatakan, “Karena itu adalah sifat,” ya itu alasan beliau. Dan nabi puji, “Itu sudah balas, Allah cinta dia dan Allah akan masukkan dia ke dalam surga.” Itu sudah jawabannya. Dan nabi tidak ingkari ketika ada dua surat digabung di dalam satu rakaat. Dan yang lainnya banyak dan menunjukkan itu boleh, dan juga bisa dikatakan sunah karena النبي صلى الله عليه وسلم membiarkan.
Nah, bahkan Al-Hafiz Ibnu Hajar رحمه الله menukil salah seorang ulama yang mensyarah Sahih Bukhari namanya Ibnu Nasiruddin, kalau enggak salah, atau Nasiruddin Ibnu Munayyir, beliau mengatakan bahwa hadis ini menunjukkan kalau ada imam yang suka membaca satu surat karena dia suka aja, itu jadi surat andalan. Rata-rata kalau antum tahu imam masjid besar dan ngimamin di situ, biasanya ya mungkin butuh persiapan banget, biasanya ada ayat-ayat andalan. Yang repot kadang-kadang orang punya ayat andalan, kalau baca selain itu buyar, nah ini repot ya. Ada orang yang memang terkenal sekali, di Masjid Nabawi ada para orang mereka bacanya itu-itu aja. Kelihatan kalau tarawih mau enggak mau mereka harus urut kan, dari ayat pertama Surah Al-Baqarah sampai khatam, mau enggak mau mereka bagi-bagi itu. Tetapi kalau bacaan lima waktu, ya terutama magrib, isya, subuh, mesti mereka baca yang mereka pengin bebas aja. Tapi di antara imam yang paling sering mengganti-ganti bacaan Syekh Abdul Muhsin al-Qasim. Kita perhatikan masya Allah, beliau itu selalu menunjukkan bacaan yang dirubah-rubah dan وقف maupun ابتداء-nya betul-betul beda ya, menunjukkan bahwa itu sesuai dengan makna. Ini bagus sekali agar kaum muslimin ngerti Al-Qur’an itu panjang, macam-macam ayatnya, enggak cuman qulhu aja gitu ya, itu langganannya.
Nah, ini menunjukkan bahwasanya boleh seorang menambahkan Surah Al-Ikhlas di setiap rakaat. Yang kedua, kalau bukan Surah Al-Ikhlas juga boleh, surat ini dengan surat itu. النبي صلى الله عليه وسلم pernah menggabungkan antara salat, eh Surah Al-Baqarah, Ali ‘Imran, kemudian An-Nisa. Kemudian ini juga menunjukkan bahwa Allah عز وجل memiliki sifat-sifat yang terpuji dan orang yang mencintai sifat Allah dia bisa masuk ke dalam surga. Sebagaimana Allah memiliki sifat الرحمن. Ini jelas disebutkan, “لأنها صفة الرحمن.” صفة الرحمن maksudnya صفة الله, jelas sekali. “وأنا أحب أن أقرأ بها. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أخبروه أن الله يحبه.” (Beritahu dia bahwa Allah mencintai dia). Di sini ada penetapan bahwa Allah memiliki sifat mencintai, dan Allah mencintai tidak sama dengan manusia mencintai. Ahlusunah mengatakan Allah cinta tidak ada masalah, Allah benci tidak ada masalah, tetapi cinta Allah dan bencinya tidak sama dengan cinta dan bencinya makhluk. Selesai itu sudah menjadi kaidah Ahlusunah. Ahlusunah mengatakan apa yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan hadis kita ikuti semua, tidak perlu di-تأويل, ditafsirkan, apalagi dibantah atau ditolak. Dan kalau antum tahu, sebagian ulama ahli hadis mereka menggunakan تأويل itu. Ini disebut oleh Hafiz Ibnu Hajar dalam masalah ini, beliau termasuk orang yang apa namanya, memiliki mazhab تأويل. Maka ketika menyebutkan tentang Allah يحبه, beliau nukil beberapa ulama yang memang menyebutkan تأويل, di antaranya, “Allah pengin memberi pahala.” Kemudian ketika disebutkan, “Allah itu murka,” maksudnya bukan Allah murka tetapi, “Allah ingin menghukum.” Nah, ini تأويل yang disebutkan oleh beberapa mazhab, sebagian yang ينتسبون إلى أهل السنة, ya. Padahal Ahlusunah tidak seperti itu. Tidak masalah Allah يحب, Allah يبغض, enggak ada masalah. يغضب, enggak ada masalah. Tetapi cinta maupun benci disesuaikan dengan kesempurnaan Allah subhanahu wa ta’ala.
Baik, kemudian disebutkan memang di sini bahwa surat ini apa adanya memuat nama dan sifat Allah. قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ. Semua adalah توحيد الأسماء والصفات yang juga sama توحيد الألوهية, ya. Tetapi di dalam ayat ini, dalam ayat ini ya, surat ini disebutkan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar, ada riwayat Al-Baihaqi dari eh Al-Baihaqi dalam kitab الأسماء والصفات dengan sanad yang hasan, bahwa orang Yahudi pernah minta kepada النبي صلى الله عليه وسلم agar memberikan, “Sifat Rabb-mu itu bagaimana yang kamu sembah?” Orang Yahudi sudah ngerti, dalam kitab mereka sudah ada pembahasan itu, ada. Tetapi mereka bisa jadi ingin ngetes, tetapi yang jelas mereka bertanya kepada النبي صلى الله عليه وسلم, “Coba kamu sebutkan yang kamu sembah itu bagaimana?” Orang Yahudi kalau menyembah Allah, mereka ngerti itu karena mereka dulu menyembah Allah, nabi mereka juga nabi yang diutus oleh Allah subhanahu wa ta’ala. فأنزل الله قل هو الله أحد إلى آخرها، فقال هذه صفة ربي. Maka disebutkan Surah Al-Ikhlas dan Allah katakan inilah sifat Rabb-ku. Maka berharga sekali surat ini, suratnya berharga sekali. Maka ketika sahabat tadi betul-betul mengatakan لأنها صفة الرحمن, sebenarnya ini bermakna sekali pada saat memang sifat Allah pernah ditantangkan oleh orang Yahudi. Mereka mengatakan, “Coba ente sebutkan Rabb-mu itu bagaimana?” النبي صلى الله عليه وسلم enggak bakal menyebutkan apa adanya sampai wahyu itu turun, dan ternyata yang diturunkan Surah Al-Ikhlas. Termasuk orang Quraisy, afwan orang musyrikun, mereka juga pernah mengatakan demikian. Mereka bilang, “Coba nasab Rabb-mu bagaimana?” Ini pertanyaannya yang salah. Dulu waktu kita belajar tauhid, kalau ada orang pengin mengatakan, “Bagaimana Allah atau bagaimana sifat استواء-nya Allah?” dan semacamnya, maka syekh kita dulu mengatakan ini pertanyaannya salah. Kayak orang mengatakan kalau orang lapar, “Adanya pintu, gimana cara makan pintu?” Ya tidak usah dijawab karena pertanyaannya salah, pintu itu bukan makanan. Maksudnya, orang ketika bertanya tentang Allah عز وجل, maka pertanyaan mereka salah ya. Tapi orang-orang Quraisy atau orang-orang musyrikun mereka tanya-tanya aja. Mereka mengatakan, “انسب لنا ربك” (coba mana nasab Rabb-mu?). Maka Allah عز وجل turunkan Surah Al-Ikhlas.
Baik, ini adalah hadis yang pertama menunjukkan keistimewaan yang ada pada surat ini dan bolehnya seorang menggabungkan antara Surah Al-Ikhlas dengan surat yang lain. Baik, kemudian hadis yang terakhir, memang dua ya, cuman dua ya. Hadis satunya adalah hadis Jabir رضي الله عنه disebutkan bahwa النبي صلى الله عليه وسلم bersabda kepada Mu’adz, “Kenapa kamu tidak membaca surat-surat ini yang pendek?” Yang pertama Surah الأعلى, yang kedua Surah الليل, yang ketiga Surah الشمس, karena yang salat di belakang kamu menjadi makmum ada orang tua, ada orang sakit, dan ada orang yang punya kebutuhan. Begitu.
Baik, ini singkat. Maksudnya adalah kalau bisa imam membaca surat-surat pendek agar meringankan makmum. Seperti dalam hadis yang sering kita sampaikan, “إذا صلى أحدكم للناس فليخفف” (Jika salah seorang di antara kalian mengimami salat, hendaklah dia ringankan atau pendekkan). Kalau dia salat untuk dirinya sendiri, panjangkan semau dia. Tapi kita juga pernah bahas dulu, Ibnu Rajab رحمه الله mengatakan yang dikatakan masalah تطويل atau تقصير, memendekkan atau memanjangkan, semua perlu disesuaikan dengan semua riwayat keimaman النبي صلى الله عليه وسلم. Baca apa saja. Kalau ada orang mengatakan boleh kita lihat dulu makmumnya, “Aman enggak? Ada yang tua misalkan? Enggak ada. Anak kecil? Enggak ada. Yang sakit? Atau dia absen, ada yang sakit antum?” gitu. Enggak ada. Karena kalaupun seandainya diketahui bahwa mereka semua aman ya, maka bisa jadi setelah takbir datang orang yang sakit atau orang tua datang atau anak kecil, anak kecil datang. Sehingga alasan tidak bisa dijadikan pedoman. Tetapi Ibnu Rajab mengatakan kan النبي صلى الله عليه وسلم pun sudah mengerjakan, kadang beliau pendekkan sekali, kadang beliau panjangkan sekali. Kalau dikatakan itu khususiah, maka ini butuh dalil. Tidak bisa seorang mengatakan khususiah kecuali harus ada dalil yang nas. Tayib. النبي صلى الله عليه وسلم perintahkan itu, berarti hadis yang berupa ucapan lebih didahulukan daripada perbuatan. Tetapi ini juga tidak kuat karena hukum asalnya perbuatan النبي صلى الله عليه وسلم adalah contoh. Apalagi dalam tata cara salat. Beliau sendiri mengatakan, “صلوا كما رأيتموني أصلي” (Salatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku salat). Lalu orang-orang sampai menengeri, menengeri itu artinya nandain ya, ditandainya salat beliau itu panjangnya, bacaannya sampai jenggotnya itu gerak-gerak, dilihat sampai diam, ditanya, “Tadi antum baca apa ketika diam?” Nah, ini menunjukkan bahwa gerakan beliau pun contoh. Maka intinya memang ini disesuaikan dengan kondisi makmum dan tidak mesti yang namanya ideal dalam mengimami harus pendek banget, sebagaimana memanjangkan banget juga akan bermasalah.
Hadis yang kita bahas ini sebenarnya berangkat dari kritikan bahkan ada kasus ya kan, yang meriwayatkan Jabir, yang dibilangin Mu’adz. Sebenarnya bukan hanya dibilangin saja, kalau tahu ceritanya Mu’adz dimarahin sekali. “أفتان أنت يا معاذ؟” (Apakah kamu jadi tukang fitnah?). Begitu. Ini disebutkan dalam riwayat itu sampai tiga kali, “أفتان أنت يا معاذ؟ أفتان أنت يا معاذ؟” Sampai ngamuk begitu karena sebelumnya Mu’adz bin Jabal رضي الله عنه menuduh sahabat yang tidak mau salat menjadi makmumnya seperti orang munafik. Hadisnya disebutkan dalam Sahih Bukhari dan Muslim. Dalam Sahih Bukhari disebutkan bahwa Jabir juga cerita, dan Ibnu Hajar mengatakan bisa jadi Jabir ini termasuk yang salat bersama Mu’adz. Beliau mengatakan, “أقبل رجل بناضحين وقد جنح الليل,” ada orang dia bawa dua unta, ناضح itu unta yang sering dibawa untuk mengangkut air, airnya akan dipakai untuk nyiram kebun kurma. Maka dalam beberapa riwayat dikatakan orang ini bilang, “Ya Rasulullah, aku ini punya pekerjaan nyirami kebun.” Nah, kemudian sudah mulai beranjak malam, maka dia melihat pas Mu’adz jadi imam, ternyata itu, lalu dia bergabung bersama Mu’adz. Yang dibaca Al-Baqarah atau An-Nisa. Dalam riwayat yang lain tidak ada syaknya, tidak ada keraguannya, yang dibaca Surah Al-Baqarah. Dalam riwayat yang lain dikatakan yang dibaca dalam satu riwayat yang disebutkan ini salat isya, yang di sana salat magrib ya. Tapi Hafiz Hajar mengatakan bisa jadi magrib itu juga isya karena ada Isya al-Maghrib al-Akhirah atau al-‘Isya al-Akhirah. Dikatakan العشاءين, dua isya, maksudnya magrib dan isya. Ini orang Arab biasa mengatakan demikian.
Baik, maka orang tadi pergi sudah, salat kepanjangan, padahal dia masih punya kerjaan. Ternyata Mu’adz jadi mencela orang tadi. Ketika pergi dicela oleh Mu’adz. Dalam riwayat Bukhari yang lain eh disebutkan bahwa Mu’adz mengatakan, “إنه منافق.” Dan sebenarnya pernyataan Mu’adz ini bukan karena beliau marah saja, bukan sekedar beliau, “Ana jadi imam, ada orang datang kemudian misahkan diri, munafik ini.” Bukan karena marah, tetapi bisa jadi kebiasaan para sahabat kalau ada orang tidak jamaah itu orang munafik begitu. Jadi penilaian mereka itu umum sebenarnya, penilaian Mu’adz itu, “Ini munafik, enggak mau ikut bersama jamaah kaum muslimin,” begitu. Dalam riwayat yang lain dalam Sahih Bukhari disebutkan bahwa Mu’adz ini beliau salat, “كان يصلي مع النبي صلى الله عليه وسلم ثم يأتي فيؤم قومه.” Kebiasaan Mu’adz beliau salat dulu bersama النبي صلى الله عليه وسلم salat isya, setelah salat di Masjid Nabawi baru beliau pulang ke kaumnya, kampungnya di daerah بني سلمة. بني سلمة wallahu a’lam sekarang di Masjid قبلتين, antara masjid itu dengan Masjid Nabawi ada sekitar 1 atau 2 kilo. Kalau 2 kilo di zaman itu ya lumayan ya. Kalau jalan biasa itu 1 kilo sekarang 10 menit, berarti kalau 2 kilo berarti 20 menit ya kan. 20 menit setelah Mu’adz salat bersama النبي صلى الله عليه وسلم selesai salat beliau pulang mengimami kaumnya. Berarti kan sudah malam banget itu, bacanya Al-Baqarah, gitu. Akhirnya, “فتجوز رجل فصلى صلاة خفيفة,” maka orang tadi kemudian mempercepat salatnya, mempercepat salatnya, kemudian salatnya diringankan. Baru nyampai berita itu kepada Mu’adz, “Oh, misah orang itu,” gitu.
Dalam riwayat Muslim lebih jelas disebutkan bahwa orang tadi akhirnya memisahkan diri ya. Orang itu kemudian menyebutkan di sini, “فانحرف رجل فسلم ثم صلى وحده وانصرف.” Jadi setelah tahu bahwa Mu’adz ini salatnya kepanjangan, akhirnya dia salam, dia salam kemudian memisahkan diri, mulai dari awal. Kalau ada orang salat seperti ini selesai urusan, berarti dia tidak mau ngikutin imam sama sekali. Sudah, dia mulai dari awal. Meskipun sebagian ulama mempermasalahkan orang kalau sudah mulai salat fardu enggak boleh ini putus, enggak boleh membatalkan kalau tidak ada alasan. Ini masa alasannya kepanjangan akhirnya membatalkan salat. Ada aja sebagian ulama mengatakan ini enggak pas. Tetapi dalam beberapa riwayat kayak tadi yang pertama kita sebutkan, orang ini tidak salam. Bahkan para ulama mengatakan bahwa riwayat salam, فسلم, salam kemudian salat sendiri lalu pergi, ini riwayatnya dipertanyakan menyelisihi رواة ثقات. Mereka tidak menyebutkan salam.
Baik, berarti yang benar bagaimana? Orang itu misah saja dari mengikuti imam. Kalau salatnya enggak batal, beliau hanya memisahkan diri dari salat bersama imam tapi melanjutkan salat yang sudah dari awal dimulai. Beliau pendekkan salatnya. Dan ini menunjukkan dalam Mazhab Syafi’i boleh. Dalam Mazhab Syafi’i kalau misalkan kita salat bersama imam, kita mau ngejar kereta. Ternyata qamat terakhir STDI ya, hari Jumat ada kereta. Keretanya jam berapa? 5.14 berangkat. Sampai sini qamatnya sudah 25 menit. Ternyata baca Alif Lam Mim, wah ini alamat sudah tiga halaman. Tambah rakaat kedua, “هل أتى على الإنسان.” Dia sudah dapat mungkin imamnya enggak baca itu satu halaman, rukuk. Ternyata satu halaman masih lewat. Kadang-kadang imam menikmati sekali bacaannya, jadi ditartilkan sekali. “Ini saya sampai sana gerbongnya sudah tinggal buntutnya saja.” Nah, boleh seperti ini kalau seandainya dia memisahkan diri. Memisahkan diri dia kemudian salat sendiri sudah, tetap di tempat itu kemudian dia niat untuk menyelesaikan sendiri setelah itu dia pisah. Itu enggak ada masalah dalam Mazhab Syafi’i boleh, dalilnya ini. Kalau enggak ada alasan jangan praktik ya. Pengin cepat tidurnya, hari Jumat antum rata-rata kosong ya kan ya. Dinikmati aja salatnya ya.
Tapi maksudnya riwayat ini kemudian sampai kepada Mu’adz lalu Mu’adz mengatakan, “إنه منافق.” Ya Mu’adz menyalahkan dia dengan dituduh dia orang munafik. Dalam riwayat lain, orang tadi dicari lalu dikatakan, “Kamu munafik ya?” gitu. Ngamuklah orang itu. Nah, diceritakan bahwa apa namanya Mu’adz mengatakan tak laporkan ke Rasul صلى الله عليه وسلم. Akhirnya orang tadi mendahului dia datang ke النبي صلى الله عليه وسلم duluan. Bisa jadi Mu’adz dulu, bisa jadi orang ini duluan. Akhirnya dalam riwayat itu baru النبي صلى الله عليه وسلم menyatakan “أفتان أنت يا معاذ؟” Wahai Mu’adz, kamu mau jadi tukang fitnah ya? Maksudnya membuat orang lari dari salat karena kepanjangan. Memang salat kepanjangan sering membuat orang kapok ya, membuat orang kapok. Tetapi ada orang yang sudah ngerti fadilahnya salat panjang juga bukan kapok tapi malas. Orang kayak gini diruqyah aja biar setan-setan yang suka bikin tidur itu hilang ya. Orang kalau terbiasa insya Allah Allah kasih dia kekuatan. Masalahnya malas sekali ya. Kalau pembicaraan kita tentang orang-orang awam yang tidak terbiasa salat panjang maka memang perlu mereka diperhatikan. Maka ada riwayat yang disebutkan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar, dinukil dari Al-Baihaqi, ini bagus sekali riwayat dari Umar رضي الله عنه. Beliau mengatakan, “Jangan kalian buat hamba-hamba Allah tidak suka sama Allah.” Kenapa? “Salah satu dari kalian jadi imam kemudian memanjangkan salatnya sampai mereka akhirnya benci dengan salatnya.” Gara-gara apa? Kepanjangan salatnya.
Baik, hadis yang serupa ini sebenarnya juga pernah ada dalam riwayat lain dalam Sahih Bukhari dan Muslim, cuman yang meriwayatkan adalah sahabat Abu Mas’ud al-Badri dan orang yang mengimami bukan Mu’adz. Tapi Al-Hafiz Hajar mengatakan dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa yang dimaksudkan adalah Ubay bin Ka’ab. Mu’adz imam kaumnya, Ubay bin Ka’ab juga termasuk qurra’-nya para sahabat. Rupanya para sahabat yang pentolan-pentolan dan orang-orang yang memang punya keistimewaan itu pernah dimarahi oleh النبي صلى الله عليه وسلم. Mereka rata-rata pernah dimarahi di antaranya masalah ini. Datang orang melapor kepada النبي صلى الله عليه وسلم mengatakan, “Ya Rasulullah, sungguh aku sengaja telat, aku sengaja telat untuk mengikuti salat subuh karena aku ngerti mesti imam ini panjang bacanya.” Kata Imam Nawawi رحمه الله, ini menunjukkan kalau ada makmum yang sengaja datangnya menterlambatkan diri karena ngerti imamnya bakal baca panjang, maka boleh katanya. Kata Imam Nawawi seperti itu. Hati-hati imamnya kan ganti-ganti ya, kira-kira panjang ternyata baca الزلزلة ya. Maka kata Abu Mas’ud al-Badri, “Aku tidak pernah melihat النبي صلى الله عليه وسلم marah ketika ngasih nasihat seperti hari itu.” “أيها الناس إن منكم منفرين” (Wahai manusia, sebagian kalian ini ada yang betul-betul membuat orang lari, membuat orang kapok salat jemaah gara-gara kepanjangan). Maka beliau mengatakan, “فأيكم أم الناس فليخفف” (Di antara kalian yang menjadi imam hendaklah dia memendekkan bacaan). Jadi kasusnya sama sebenarnya dengan Mu’adz dan ini menunjukkan bahwa nasihat terkadang membutuhkan ketegasan kalau memang itu dibutuhkan. Dan kadang-kadang orang disampaikan dengan suara yang keras atau dengan kata-kata yang agak menyakitkan. Kan kalau orang baperan dia bilang, “Ya sudah deh, ana enggak mau jadi imam lagi, sudah enggak ada gajinya,” gitu misalkan. Jadi imam susah karena datang harus tepat waktu kayak gitu, panjang persiapan segala macam. Tetapi sebenarnya ini adalah kedudukan yang istimewa dalam syariat ya. Tapi yang jelas النبي صلى الله عليه وسلم juga pernah marah kepada sahabatnya dan ini menunjukkan nasihat itu enggak harus lemah lembut. Orang tua ketika ingin ngasih nasihat ke anaknya atau guru ingin nasihat muridnya ketika terkadang perlu dengan suara yang agak keras, dengan suara yang agak kaku ini wajar, selama memang dia tidak sedang balas dendam, yang penting dia ingin kasih nasihat, enggak ada masalah seperti itu. Ini tidak melanggar kode etik nasihat ya. النبي صلى الله عليه وسلم pernah menasihati dengan cara tidak menyapa, 50 hari tidak disapa. Tetapi tergantung dengan kondisi orang, enggak pernah ngaji datang sekali langsung tidak disapa. “Wuh, salos,” enggak bakal enggak ngaji di situ kalau orang Jawa kayak gitu. Maka orang ketika الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر perlu memperhatikan mana yang lebih maslahat.
Tayib, terakhir faedahnya, dalam hadis Mu’adz tadi disebutkan berarti boleh seorang yang salat fardu bermakmum di belakang orang salat sunah. Karena apa? Karena Mu’adz salat isya bersama kaumnya adalah salat sunah. Salat fardunya sudah dikerjakan bersama النبي صلى الله عليه وسلم. Sebagaimana dalam Sahih Bukhari tadi, dalam Sahih Bukhari disebutkan beliau salat bersama النبي صلى الله عليه وسلم salat isya baru pulang ngimami. Kata para ulama, enggak bakal beliau salat di Masjid Nabawi dan itu أفضل المساجد, masjid yang paling afdal, kemudian salat di belakang أفضل الأئمة, imam yang paling afdal, dan beliau akan menjadikan salatnya diniatkan sunah. Enggak bakal. Dan النبي صلى الله عليه وسلم memang mengatakan kalau ada salat dua kali maka yang menjadi salat sunah yang kedua. Seperti yang dulu pernah kita bahas, ada orang yang datang ke مسجد الخيف kemudian ditanya oleh النبي صلى الله عليه وسلم, lalu beliau mengatakan, “إذا صليتم في رحالكم ثم أدركتم الإمام لم يصل فصليا معه فإنها لكم نافلة” (Kalau kamu sudah salat kemudian dapat imam belum salat, maka salat lagi bersama imam. Jangan duduk aja di masjid, jangan duduk aja di masjid tetapi salat lagi bersama imam, karena nanti salat kalian bersama imam yang kedua menjadi salat sunah). Tetapi para ulama mengatakan itu kalau kita duduk di satu tempat ternyata di situ ada salat yang lagi dikerjakan. Contohnya antum سفر kemudian antum pengin ketemu sama siapa di sini, eh ternyata di sini belum salat padahal antum sudah جمع di jalan tadi. Antum ke sini ngobrol, “Ini titipan dari kampung untuk antum apa,” ngobrol gitu, tahu-tahu qamat. Nah, antum enggak pantas keluar, antum salat aja di situ, salat lagi. Tetapi kalau di sini qamat, antum di kamar, enggak masalah antum enggak ikut. Ini ada riwayatnya Abdullah bin Umar رضي الله عنهما duduk sedang makan, ternyata di sana ada orang salat dan Abdullah bin Umar tidak ikut karena beliau punya alasan sudah salat. Nah, kata para ulama digabung dengan kisah orang yang di مسجد الخيف yang dipanggil oleh النبي صلى الله عليه وسلم, “Kok enggak ikut salat kamu?” Karena dia di dalam masjid. Maka النبي صلى الله عليه وسلم lihat ada orang di dalam masjid duduk nongkrong di pojokan, “Kok enggak ikut salat?” Dipanggil oleh النبي صلى الله عليه وسلم. Nah, kalau dia di luar masjid, dia enggak ikut, enggak ada masalah seperti itu. Barakallahu fikum. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu a’lam bish-shawab. صلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.
Di tempat kami ada musala yang ketika masuk waktu zuhur dan asar jarang ada yang azan dan saya diminta tolong untuk azan di waktu tersebut oleh pengurus musala sekaligus menjadi imam. Namun seringkali jamaahnya sedikit, terkadang hanya ada ibu-ibu dan anak kecil. Dan di sisi lain, masjid besar di tempat kami jamaahnya juga sedikit. Apa yang sebaiknya ana lakukan? Tetap azan di musala kecil atau bergabung dengan jemaah di masjid besar yang pada akhirnya tidak ditegakkan salat di musala kecil? Bebas aja, mau salat di mana bebas ya. Kalau mau milih yang di masjid besar, تفضل, jamaahnya lebih banyak. Musala pun juga sebenarnya masjid, hanya tidak dipakai untuk salat Jumat, maka hukumnya sama seperti kita salat di masjid, tergantung jumlah jamaahnya. Kalau semakin sedikit pahalanya semakin kecil. Kalau memang dikasih amanah dan amanah itu mengikat ya kita tunaikan amanahnya. Kalau tidak kita iktizar saja, kita minta maaf enggak bisa, enggak bisa terikat. Kalau ana datang alhamdulillah, kalau enggak berarti ana minta maaf enggak bisa azan begitu. Ditambah lagi ini di sini disebutkan jamaahnya kadang-kadang ibu-ibu aja. Kalau ibu-ibunya banyak aman, tapi kalau ibu-ibunya satu, dia sendiri, sebagian fuqaha mengatakan enggak boleh salat karena jadi خلوة. Enggak boleh خلوة. Di dalam satu masjid ternyata satu imam laki, satu makmum perempuan yang bukan mahram, enggak boleh karena menjadi خلوة.
Sekarang ini alhamdulillah melahirkan banyak anak-anak yang sudah selesai menghafal Qur’an sejak usia muda. Akan tetapi setelah selesai dari menghafal Al-Qur’an, kebanyakan dari orang tua mereka milih agar anak-anak mereka segera mengambil سند قراءات dan mengesampingkan pelajaran-pelajaran agama lainnya, hanya fokus hafalan Qur’an. Bagaimana pendapat antum dengan metode yang sedang marak dipraktikkan pada orang tua ini? Karena enggak ngerti. Jadi di sini sebenarnya bukan orang tua saja bahkan guru seperti itu, banyak santrinya sendiri begitu. Mereka nyangka bahwa orang kalau sudah hafal Qur’an sudah mau masuk surga aja ya. Padahal, masih banyak apa yang kayak begitu masih banyak. Dan bukan apa-apa, kalau kita mau, ini namanya katak dalam tempurung ya. Dia sangka dia sudah paling bagus, ternyata enggak ada apa-apanya. Kalau kita lihat di dunia Arab, bahkan di beberapa daerah Afrika, sopir aja hafal Qur’an, Pak Tani, Pak Tani yang mereka nyangkul-nyangkul itu hafal Qur’an. Bahkan di beberapa tempat, preman hafal Qur’an. Gondrong, nyanyi, musik apa gitu, ternyata hafal Qur’an. Terus mau apa? Sanad, sanad penting. Tetapi kalau akhirnya tidak belajar kecuali cuman ambil sanad saja, ini rugi sekali. Ana masih ingat ketika dulu di SMA diingatkan oleh seorang masyaikh, “Sudah hafal Qur’an jangan malas-malas, hafalkan yang lain. Masih banyak yang harus dihafalkan. Masih ada hadis, masih ada syi’ir, masih ada matan.” Masih ada banyak orang yang hafal Qur’an alhamdulillah, bersyukur kepada Allah, tapi belum apa-apa itu, masih banyak sekali. Dulu para ulama sampai menghafalkan kitab Imam Syafi’i, ngafalin kitab الموطأ, Imam Bukhari sampai hafal kitabnya Ibnu Mubarak, sampai hafal semua hadis banyak sekali bahkan sanadnya. Jadi kita belum ada apa-apanya. Sehingga biar kita ini punya cita-cita yang tinggi, perlu berkaca pada cermin yang bagus. Kalau orang Indonesia itu bilang begitu. Cermin itu kalau kotor nanti hasilnya juga jelek. Tergantung siapa yang kita jadikan contoh. Karena kita melihat orang-orang sudah hafal Qur’an sudah dikasih gelar al-Hafiz, apalagi kalau menang lomba, habisnya banyak hadiahnya, malas itu ya. Jadi malas. Ana pernah ngerasakan. Ana bilang sama antum ketika ana ikut مسابقة kemudian hadiah banyak, seolah belajar sudah enggak pengin ya. Anak muda banyak fulusnya dulu-dulu maksudnya, ya itu sudah malas sekali untuk belajar. Anak ingat ada sebagian ikhwah bilang, “Ayo kita ngaji kitab sama Ustaz fulan yang baru pulang dari Madinah.” Enggak tertarik sama sekali. Bahkan waktu itu ana enggak tertarik. Biar ana enggak diterima Madinah juga enggak masalah, ana ikut مسابقة aja bisa ke Madinah, nanti main ke Mesir, nanti ke sini, nanti ke sini. Subhanallah, ini ujian. Karena sebagian orang diuji justru dengan banyaknya keenakan kayak gitu jadi malas. Maka ana bilang, cari cermin yang lain ya, baca karya para ulama biar mereka sadar. Nah, orang tua bisa diarahkan, orang tua bisa diarahkan.
Apakah pada tahiyat pertama seorang berselawat kepada nabi صلى الله عليه وسلم sampai syahadat atau sampai aja selawat sampai innaka hamidun majid? Itu yang benar.
Apa nasihat antum untuk kami yang membuang banyak waktu dengan main game online dan buka sosmed? Bagaimana caranya mengatur waktu agar bisa berhenti dari kebiasaan buruk? Cari lingkungan yang baik. Antum mau melakukan aktivitas bermanfaat tapi lingkungannya banyak benalunya, susah. Baru masuk kamar, yang sini semua “Samawa,” ya itu sama-sama buka WA ya. Mending kalau WA, itu masalahnya game online. Orang di sini kadang main bersama itu katanya, ana enggak ngerti sih caranya gimana tapi katanya itu main itu bisa online itu, gabung gitu, sampai ramai sekali kayak orang demo itu. Jadi sini main, sini main, sini main. Subhanallah, ini ngapain gitu. Sampai ana dengar sebagian mahasiswa tidak mau ketinggalan online, buang air aja pakai botol. Kok bisa kayak gitu? Bisa, memang. Memang akhirnya ternyata kayak gitu takdirnya ya. Maka ana bilang kayak begini sebenarnya akan membuat orang mati ya, jadi mati cita-cita, mati apa namanya, azamnya hilang semua. Caranya bagaimana? Tinggalkan lingkungan yang jelek begitu. Antum kasih waktu untuk buka HP, karena HP itu kalau dibuka, eh siapa tahu ada orang tua nelpon, siapa tahu ada yang bertanya harus segera dijawab, siapa tahu apa, buka dulu Facebook, Instagram, apa segala macam, kebuka semua itu sampai mau masuk kelas telat ya. Kalau enggak di kelas pun ngantuk-ngantuk gitu. Ana bilang sama mahasiswa yang ana ajar, “Ngantuk enggak apa-apa, tapi kalau buka HP sampai ketawa-ketawa sendiri ana pengin rukiah itu nanti dia keluar itu ya.” Jadi bukan jinnya yang keluar, dianya keluar, gitu. Makanya sengaja kan baca Al-Baqarah ya di kelas itu, ana cuman nyampaikan syarah hadisnya ya.
Maksudnya ana bilang, antum itu usahakan punya pendirian yang kuat. Dalam satu hari antum bikin jadwal, maksimal pegang HP 1 jam misalkan. Dan yang paling darurat adalah apa namanya تواصل ya, antum komunikasi dengan orang yang paling antum perlukan. Sisanya taruh HP-nya. Ana enggak larang akan tetapi orang kalau membatasi, bismillah, akan banyak manfaat yang bisa didapatkan. Alhamdulillah dulu waktu ana jadi mahasiswa WhatsApp belum ada dan waktu itu yang lagi ngetren itu BlackBerry dulu itu, yang HP miring-miring itu, enggak karuan itu. Dulu kita bangga HP yang sini segini aja. Ana enggak bayangin, ana bahkan sempat waktu itu mikir, “Ini HP gede banget kayak gini, malas banget dibawa,” gitu. Dulu kan HP kecil sekali, enak kalau telepon-telepon. SMS juga disingkat-singkat, cepat selesai ya. Sekarang mau WhatsApp masih harus lihat konten yang lain ya. Tapi maksudnya, ana ingat waktu itu gara-gara enggak ada HP, betul-betul manfaat sekali waktu. Tapi sekarang gara-gara ini ya, kadang masuk habis salat subuh lihat dulu, siapa tahu ada yang darurat. Memang kadang-kadang ada yang darurat, malam itu ada yang tanya atau gimana. Tapi yang lain kebuka juga. Nah, ini kalau terus keterusan, rugi waktu kita. Sudah, antum bikin target. Pagi ana hanya akan buka yang darurat saja, setelah itu tutup lagi. Nanti insya Allah nanti ya, sambil makan, sambil istirahat ana mau buka. Tetapi kalau pagi untuk Al-Qur’an, sebelum seperempat jam membaca, setengah jam menghafal, ana enggak mau buka HP. Itu bagus sekali ya, begitu. Bikin konsep pribadi.
Memang masalah bacaan imam panjang menjadi momok bagi kebanyakan manusia, kayaknya dalam STDI juga, terutama mereka yang jauh dari lingkungan ilmu. Namun kita sebagai imam ingin membiasakan manusia untuk mendengarkan ayat Allah supaya lebih, lebih, eh familiar mungkin ya, variatif ya. Bagaimana solusinya? Solusinya tadi ya, dibacakan surat yang lain tapi pendek ya. Misalkan kita bisa membaca الضحى, الليل saja. الضحى itu sebenarnya setengah halaman tuh ya. Coba antum baca ayat yang lain setengah halaman juga. Jadi orang ngerti, pendek tapi bacaannya lain. Orang itu kalau hafal dia enggak merasa panjang karena dia biasa mengikuti. Tapi kalau enggak hafal, kerasa lebih panjang padahal juga sama itu setengah halamannya begitu. Maka kalau antum bisa membiasakan mereka seperti itu, insya Allah mereka akan nandain. Ana pernah dengar dari sebagian masyarakat mereka bilang, “Sekarang ini anak-anak muda masya Allah, bacaannya tidak itu-itu aja,” sehingga mereka tahu diri. Yang dulu rebutan jadi imam, mereka mundur teratur, katanya ya. Katanya begitu, wallahu a’lam. Jadi mereka bilang begitu, ketika dulu rebutan bahkan sampai sekarang yang rebutan masih ada. Bahkan datang ke masjid kok sudah ada orang maju, dia enggak jadi salat di situ, balik karena dia pengin, “Yang paling sah itu salat ana,” gitu ya. Kalau enggak jadi imam dia enggak mau. Benar ini ada kejadian kayak begitu. “Daripada ana jadi makmum, mending ana salat di rumah,” sampai kayak gitu. Nah, tetapi orang-orang seperti itu kalau seandainya biasanya punya surat andalan di bukan 30 juz tapi juz 30 di bagian belakang lagi gitu. Ternyata ada banyak imam-imam yang membaca bacaan-bacaan lain, mereka ngerti itu sekarang sudah wayahnya berubah, gitu.
Bertanya, bila kita hendak jadi imam salat lalu ada makmum minta agar baca surah tertentu, lalu bila kita malah ikut keinginan orang tersebut, apakah ini bentuk ketidakikhlasan karena… Enggak ya. Menerima request ya. “Ya, besok baca apa jamaah?” gitu. Enggak harus kayak gitu. Tapi kalaupun seandainya begitu juga tidak, tidak masalah. Sebagian imam dia kalau seandainya membaca “عم يتساءلون” di salat, salat tahajud, orang-orang di belakangnya iktikaf, iktikaf yang semangat-semangat di luar, mereka baru ngafalin “عم يتساءلون,” senang diimami itu, enggak ada masalah. “Tolong dong, antum kalau bisa baca yang kita hafalin biar kita ikut khusyuk.” Enggak masalah. Atau mungkin agar anak-anak mereka dengar, enggak masalah juga ya, karena ada manfaatnya. Tapi tidak harus ngikutin terus, gitu.
Saya ingin bertanya serius Ustaz, mohon perhatiannya, sangat butuh jawaban. Ketika imam salah bacaannya kemudian dikoreksi tetapi masih salah atau lupa, apakah di belakangnya setelah itu diam dan diberikan… Iya, kalau antum terus-terus otot-ototan bisa jadi hafalannya semakin buyar. Jadi biarkan sudah. Kalau memang dia enggak bisa, sudah dituntun sebisanya, dituntun sebisanya. Sepertinya imam yang sudah متقن dan banyak jam terbangnya jadi imam, kalau terbang dia imamnya tidak akan menjadi blank dan malah lupa keseluruhan. Tetapi itu yang saya dapatkan di sini dan di Rabbani atau bahkan tidak ada percobaan koreksi sama sekali. Jika qiraah dibiarkan salah begitu saja… Mohon jawaban dan keberpihakannya karena itu sudah saya sering dapatkan di rekaman Haramain setidaknya 4 tahun terakhir. Kalau seandainya ada imam salah, dibenarkan dan diutamakan yang di belakang imam adalah orang yang hafal dan bisa ganti kalau imamnya berhalangan. Tapi kalau seandainya dibenarkan masih juga tidak benar ya sudah, enggak ada masalah. Tidak perlu otot-ototan ya, tidak perlu otot-ototan. Karena memang hukum asalnya membenarkan imam juga tidak wajib seperti itu. Wallahu a’lam bish-shawab. صلى الله عليه وسلم على نبينا محمد. الحمد لله رب العالمين.