Kajian Kitab Umdatul Ahkam – 35, Dr. Emha Hasan Ayatullah, M.A


اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ. اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى نَبِيِّنَا وَرَسُوْلِنَا الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدَاهُ، أَمَّا بَعْدُ.

Para ulama terdahulu, ilmu mereka lebih dalam dan barokah. Di antara tanda keberkahan itu adalah sampainya ilmu agama kepada kita. Kita tidak akan pernah bisa menikmati hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali dengan jasa para sahabat yang bersemangat menukilnya. Kita akan pelajari bagaimana para sahabat mempelajari salat Nabi, dan ketika kita meneladani mereka, bukan hanya untuk mendapatkan keutamaan, tetapi juga agar kita tidak berdosa karena berbicara tentang wahyu tanpa didasari ilmu dan ketakwaan.

Kita lihat bagaimana takutnya para sahabat ketika turun firman Allah. Mereka khawatir ayat itu berkaitan dengan pribadi mereka masing-masing. Sebagaimana dalam Shahih Bukhari, diceritakan tentang firman Allah: يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لَا تَرْفَعُوْا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْtِ النَّبِيِّ… أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُوْنَ (“Wahai orang yang beriman, jangan kalian keraskan suara di atas suara Nabi… Khawatirnya, dampaknya kalian akan gugur amalnya sedangkan kalian tidak menyadari”). Ayat ini sangat dirasakan oleh sebagian sahabat.

Termasuk di antaranya adalah sahabat Tsabit bin Qais bin Syammas. Beliau adalah seorang khatib, seorang orator yang suaranya keras. Suatu saat, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kehilangan Tsabit bin Qais. Seorang dari Ansar (dalam riwayat disebutkan Sa’ad bin Mu’adz, meskipun riwayatnya lemah) berkata, “Ya Rasulullah, aku akan beritahu Antum ke mana dia.” Ternyata, ia mendapati Tsabit di rumahnya dalam keadaan tertunduk lesu dan menangis. Dalam beberapa riwayat disebutkan, karena saking takutnya, ia berkata kepada keluarganya, “Saya tidak akan lagi tinggal di rumah, saya akan masuk ke kandang kuda,” lalu menutup pintunya.

Ketika utusan Nabi datang dan bertanya ada apa, Tsabit menjawab, “Ini jelek sekali, jelek sekali.” Dalam riwayat Imam Ahmad, ia berkata, “Aku paling keras suaranya di antara kalian.” Dalam riwayat Bukhari, ia berkata, “Orang itu (maksudnya dirinya) telah mengeraskan suaranya di atas suara Nabi, celaka dia, hancur semua amalnya, dia sekarang menjadi penghuni neraka.” Setelah utusan itu melapor kembali kepada Nabi, beliau bersabda, “Kembali, beritahu dia, kamu bukan penghuni neraka, kamu justru penghuni surga.” Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kita melihat dia (Tsabit) jalan di tengah-tengah kami, dan kita paham dia adalah calon penghuni surga.”

Dalam Shahih Bukhari juga, Ibnu Abi Mulaikah menceritakan kasus lain. Beliau berkata, “Hampir dua orang sahabat yang paling mulia binasa, yaitu Abu Bakar dan Umar.” Keduanya sedang berdebat di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampai suaranya meninggi. Saat itu, ada utusan dari Bani Tamim datang, dan Nabi ingin memilih seorang pemimpin untuk mereka. Abu Bakar mengusulkan al-Aqra’ bin Habis. Namun, Umar mengusulkan nama yang lain. Abu Bakar pun marah, “Kamu hanya ingin menyelisihiku saja!” Umar menjawab, “Aku tidak bermaksud menyelisihimu!” Suara mereka pun meninggi saat bantah-bantahan, maka turunlah ayat tadi. Setelah turunnya ayat itu, Umar bin Khattab mengubah sikapnya. Beliau menjadi sangat takut. Ketika mengajak bicara Nabi, suaranya seperti orang berbisik, saking pelannya sampai Nabi harus bertanya kembali, “Apa tadi yang engkau katakan?”

Ini menunjukkan bagaimana para sahabat, ketika berhadapan dengan ayat Al-Qur’an, mereka langsung takut dan tidak berani menafsirkannya semau mereka. Mereka adalah orang yang paling paham terhadap Al-Qur’an. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ketika menjadi utusan Ali bin Abi Thalib untuk berdebat dengan kaum Khawarij, beliau berkata kepada mereka, “Aku datang untuk menjadi wakil para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka yang mengalami turunnya Al-Qur’an dan mereka lebih paham maknanya daripada kalian, dan di antara kalian tidak ada satu pun dari sahabat Nabi.” Ternyata, semua syubhat yang dibawa kaum Khawarij adalah pemahaman keliru mereka terhadap dalil, seperti dalil إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلّٰهِ yang mereka pakai untuk mengkafirkan Ali. Ibnu Abbas menjawab semua syubhat itu satu per satu sampai sepertiga dari pasukan Khawarij kembali. Intinya, ketika seseorang memahami dalil tidak dengan pemahaman para ulama, akibatnya bisa fatal.

Jadi, Ikhwah sekalian, ketika seorang beribadah, ada dua kaidah yang harus dipegang: pertama, pegangi dalilnya; yang kedua, pahami dalilnya. Jika salah satu meleset, maka akan konslet.

Sekarang kita akan membahas satu hadis, insyaallah, dan kita masuk pada pembahasan sifat salat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Abdul Ghani al-Maqdisi rahimahullah dalam Umdatul Ahkam menyebutkan beberapa riwayat yang dinilai sudah mewakili sifat salat Nabi dan dipilih yang sahih. Hadis-hadis ini adalah pokoknya; jika seseorang ingin menguasai fikih, ia harus menguasai poin-poinnya terlebih dahulu. Para ulama banyak menyusun kitab untuk memudahkan kita, seperti kitab-kitab yang mengumpulkan ijma’. Jika antum hafal hadis-hadis pokoknya, maka antum bisa memegang poin itu beserta dalilnya. Maka, nasihat para ulama adalah hafalkan dulu Arba’in Nawawi, setelah itu Umdatul Ahkam, lalu Bulughul Maram. Dengan menguasai dasar-dasar ini, insyaallah, antum bisa menjawab sebagian besar pertanyaan fikih, karena intinya tidak akan keluar dari situ.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ إِذَا كَبَّرَ فِي الصَّلَاةِ، سَكَتَ هُنَيْهَةً قَبْلَ أَنْ يَقْرَأَ

Kāna Rasūlullāhi ﷺ idzā kabbara fish-shalāti, sakata hunaihatan qabla an yaqra’a

(Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila bertakbir dalam salat, beliau akan terdiam sejenak sebelum beliau membaca [Al-Fatihah])

Kata سَكَتَ (diam) di sini, menurut al-Khattabi, bukanlah diam tanpa berbicara, melainkan bersiap-siap membaca sesuatu. Ada juga yang menafsirkan, diam dari mengeraskan suara (tapi tetap membaca lirih) atau diam dari membaca Al-Qur’an (tapi tetap berzikir). Adapun هُنَيْهَةً (sejenak), menunjukkan bahwa diamnya beliau hanya sebentar.

Kemudian Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bertanya: “Ya Rasulullah, demi ayah dan ibuku, Antum terdiam antara Takbiratul Ihram dengan bacaan, apa yang Antum baca?” Pertanyaan ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak benar-benar diam, melainkan mulut beliau bergerak-gerak. Hal ini juga dikonfirmasi oleh riwayat lain, di mana para sahabat mengetahui Nabi membaca pada salat Zuhur dan Asar dari gerakan jenggot beliau.

Ungkapan بِأَبِيْ أَنْتَ وَأُمِّيْ (“demi ayah dan ibuku”) bukanlah sumpah, melainkan ungkapan tafdiah dalam bahasa Arab, yang berarti “Aku siap mengorbankan ayah dan ibuku untuk membelamu.” Ini menunjukkan betapa besar perhatian dan pengorbanan mereka. Perhatian sahabat terhadap detail salat Nabi luar biasa. Al-Bara’ bin ‘Azib berkata, “Aku perhatikan salat Nabi,” dan beliau mengukur durasi setiap gerakan, mendapatinya hampir sama panjangnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab pertanyaan Abu Hurairah, “Aku membaca:”

اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِيْ وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ، اللَّهُمَّ نَقِّنِيْ مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللَّهُمَّ اغْسِلْنِيْ مِنْ خَطَايَايَ بِالثَّلْجِ وَالْمَاءِ وَالْبَرَدِ

Allāhumma bā’id bainī wa baina khathāyāya kamā bā’adta bainal-masyriqi wal-maghrib. Allāhumma naqqinī min khathāyāya kamā yunaqqats-tsaubul-abyadhu minad-danas. Allāhummaghsilnī min khathāyāya bits-tsalji wal-mā’i wal-barad.

(Ya Allah, jauhkan antara aku dan dosa-dosaku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkan aku dari dosa-dosaku sebagaimana dibersihkannya pakaian putih dari kotoran. Ya Allah, cucilah aku dari dosa-dosaku dengan salju, air, dan es.)

Doa iftitah ini adalah yang riwayatnya paling sahih. Makna “menjauhkan” adalah jika dosa sudah terjadi, maka dihapuskan; jika belum, maka dijaga agar tidak melakukannya. Makna “dibersihkan seperti pakaian putih” adalah kiasan untuk kebersihan yang sempurna, karena pada baju putih, kotoran sekecil apa pun akan terlihat. Adapun penyebutan tiga pembersih (air, salju, dan es) adalah sebagai penekanan (ta’kid) untuk menunjukkan kesungguhan dalam memohon ampunan.

Meskipun riwayat ini paling sahih, banyak ulama yang memilih doa iftitah yang lain. Di antaranya hadis riwayat Ali bin Abi Thalib yang lebih panjang (وَجَّهْتُ وَجْهِيَ…) atau riwayat سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ…. Alasan sebagian ulama memilih doa yang mengandung tasbih adalah karena memuji Allah (tasbih) lebih utama daripada meminta untuk diri sendiri (doa). Namun, yang paling afdal dari semua itu, sebagaimana dinukil oleh Syekh al-Albani, adalah melakukan tanwi’ (variasi), yaitu terkadang membaca doa ini, terkadang membaca doa yang lain.

Hukum membaca doa iftitah adalah sunnah menurut mayoritas ulama. Hanya satu riwayat dari Imam Malik yang berpendapat tidak ada doa sebelum Al-Fatihah, berdasarkan hadis Aisyah bahwa Nabi memulai bacaan dengan Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin. Namun, hadis Abu Hurairah ini lebih tegas dan jelas dalam menetapkan adanya bacaan iftitah.

Adapun nukilan dari Ibnu Baththal al-Maliki bahwa Imam Syafi’i mengatakan diamnya imam adalah untuk memberi kesempatan makmum membaca Al-Fatihah, ini adalah nukilan yang keliru dan telah dibantah oleh al-Hafizh Ibnu Hajar. Imam Syafi’i justru menganjurkan membaca iftitah dan mengakui bahwa hadis Abu Hurairah ini adalah yang paling sahih dalam bab ini, meskipun dalam kitabnya Al-Umm beliau lebih memilih doa Wajjahtu wajhiya.

(Selanjutnya adalah sesi tanya jawab, di mana Ustaz menjawab berbagai pertanyaan seputar fikih salat berjamaah, qunut, saf, dan muamalah.)


#Prolog

Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ’anhu. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara langsung dengan melenyapkan ilmu itu dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang berilmu lagi, orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.’” (HR. Bukhari)

Sumber: https://muslim.or.id/93486-malapetaka-akhir-zaman.html
Copyright © 2025 muslim.or.id