Kajian Kitab Umdatul Ahkam – 36, Dr. Emha Hasan Ayatullah, M.A


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ. اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ. اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.

Ikhwah sekalian, kita akan melanjutkan pembahasan tentang sifat salat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kita mengetahui bahwa salat menjadi tanda yang paling nampak untuk baik atau buruknya seseorang. Ini menjadi standar para ulama dalam menentukan orang berilmu atau tidak. Sebelum mereka belajar memilih guru, mereka lihat dulu ibadahnya, karena ibadah menjadi tanda yang paling riil. Orang tidak bisa menyembunyikan atau menampakkan sesuatu yang tidak nampak seperti niat yang saleh, ilmu yang banyak, atau hafalannya, sehingga orang hanya bisa menilai orang ini baik dari yang nampak. Yang paling kelihatan adalah amalnya, di antaranya adalah salat.

Kita sudah sampaikan berkali-kali bahwa ada sebagian orang barangkali dia hampir belajar dari seorang guru, ternyata ketahuan salatnya jelek, enggak jadi. Seperti Syu’bah bin al-Hajjaj rahimahullah hampir belajar hadis dari seseorang, enggak jadi ketika melihatnya. Beliau berkata, “Aku lihat salatnya dia enggak bagus, maka aku enggak jadi untuk belajar dari dia”. Kemudian ada beberapa ulama yang tertipu dengan baiknya salat seseorang, ternyata hadisnya lemah, hadisnya kacau gara-gara dia pelajari orang itu sering wudu. Dikira orangnya alim sekali karena dia sering memperbaharui wudunya.

Ini menjadi penilaian para ulama. Lalu, kira-kira kita sebagai seorang thalibul ilm, kita tidak perhatian dengan salat kita? Yang penting kuliah, belajar, setelah itu salat yang penting selesai, gitu. Ini sebenarnya bertolak belakang sekali.

Kita tidak lagi membicarakan bahwa thalibul ilm wajib atau seharusnya tidak ketinggalan salat malam. Seperti Imam Ahmad rahimahullah, beliau punya tamu seorang ahlil hadis. Kemudian dikasih air, airnya tidak tersentuh. Ini sudah disediakan malam hari agar nanti kalau mau qiyamul lail, air ini bisa dipakai. Ternyata oleh Imam Ahmad dilihat saat salat subuh kok masih utuh airnya. Ditanya, “Kok antum enggak salat malam?” Dia mengatakan, “Aku sedang safar”. Imam Ahmad berkata, “Meskipun kamu safar, enggak pantas seorang meninggalkan salat malam”. Bahkan Imam Ahmad ditanya tentang seorang penuntut ilmu yang tidak salat malam, beliau mengatakan, “Itu orang jelek sekali”. Kira-kira gimana kalau kita bandingkan dengan kebiasaan kita?

Maka, hendaklah orang yang belajar, yang membaca Al-Qur’an, mengetahui dalil, dia dikenal dengan malamnya ketika orang-orang tidur. Itu maksudnya qiyamul lail. Dan kita mengetahui aib-aib kita sendiri, artinya kita perbaiki ini. Ini semua sunah, bagaimana dengan wajibnya? Kebanyakan orang ketika dia perhatian dengan sunah, lalu lupa dengan yang wajib, ini kebalik. Semangat sekali dia untuk melaksanakan salat sunah seperti salat Tarawih, qiyamul lail panjang sekali, bisa untuk murajaah satu juz, tapi giliran salat fardu sekenanya. Untuk Zuhur, Asar, salat Zuhur lagi capek-capeknya habis kuliah, pengin segera makan, pengin istirahat, sehingga salatnya sekenanya. Enggak pakai salat sunah, cari yang paling kilat. Nah, ini jadi evaluasi kita, perhatian sama salat malam tapi tidak perhatian sama salat fardu.

Yang dinukil oleh para ulama dalam banyak riwayat kebanyakan justru salat fardu. Salat malam, iya, beberapa sahabat menukil salat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tapi hukum asalnya yang sering dinukil oleh para sahabat adalah ketika salat fardu, karena Nabi menjadi imam lebih sering daripada salat malam. Para sahabat tidak semuanya berdiri qiyamul lail bersama Nabi. Yang meriwayatkan salat malam adalah yang berangkat perjalanan bersama Nabi, atau dia dekat dengan Nabi sehingga malam-malam bisa masuk seperti Ibnu Abbas, atau istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Maka, salat yang sudah menjadi kebiasaan, tetapi rupanya ketika dibahas ada saja yang perlu kita ingatkan. Saya dulu pernah ceritakan ketika orang salat Kusuf di Jamiah Islamiyah, lama sekali. Ada imamnya dari Afrika, kebetulan bacaannya fasih dan hafalannya kuat. Satu rakaat pertama, di berdiri pertama, 3/4 juz dibaca. Kemudian rukuk, habis rukuk berdiri lagi baca Al-Fatihah lagi, itu panjang lagi dia baca, ada lebih dari 1/4 juz, baru setelah itu sujud. Rakaat kedua begitu. Orang sudah jengkel semua itu. Setelah itu, ada salah seorang mahasiswa dari Sudan bilang, “Semoga Allah memberi balasan yang baik untuk imam ini, mengingatkan kita kepada sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, salat Kusuf yang panjang. Kita sebagai thalibul ilm, kalau bukan kita yang menerapkan ini, siapa yang kira-kira kita inginkan untuk memperpanjang salatnya di salat Kusuf seperti ini tengah malam lagi?”. Jadi orang langsung, masyaallah, kayak disalahkan semua itu.

Di zaman sekarang, ketika orang-orang salat cari yang paling pendek, cari yang paling cepat, kemudian imam panjang sedikit rasanya kayak enggak terima, enggak sabar. Nah, ini kayaknya kita perlu memperbaiki. Kita bersyukur kepada Allah ketika masjid kampus menjadi teladan, menjadi contoh ideal untuk salat yang dikerjakan: jemaahnya banyak, safnya rapat, bacaannya tartil dan panjang. Kita syukuri itu, bisa jadi kita enggak dapatkan di luar. Di Jamiah Islamiyah itu, ketika kita cari saf awal, untuk mendapatkan saf awal aja susah. Ketika kita keluar di masjid kampung, Antum hatta iqamat baru datang, dapat saf awal. Itu di Madinah kayak begitu. Nah, kita bersyukur kalau seandainya kita dapatkan tempat untuk bisa mempraktikkan sunah, bahagia sekali.

Kita membahas satu hadis saja insyaallah, hadis tentang sifat salat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha. Hadis ini merupakan riwayat Muslim, bukan muttafaqun ‘alaih. Ibnu Daqiqil ‘Id rahimahullah mengatakan bahwa Abdul Ghani al-Maqdisi salah menyebutkan hadis ini dalam Umdatul Ahkam jika beliau ingin menyebutkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ يَفْتَتِحُ الصَّلَاةَ بِالتَّكْبِيْرِ

Kāna Rasūlullāhi ﷺ yaftatihush-shalāta bit-takbīr

(Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengawali salatnya dengan Takbiratul Ihram)

Takbiratul Ihram itu rukun, tidak bisa ditinggalkan, dan ini merupakan kesepakatan semua ulama. Hadisnya juga banyak, salat diawali dengan takbir dan diakhiri dengan taslim. Sehingga, kalaupun ada orang yang datang pas imamnya rukuk, bagaimana yang harus dia kerjakan agar dia mendapatkan satu rakaat? Kita tahu bahwa مَنْ أَدْرَكَ الرُّكُوْعَ فَقَدْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ (“orang yang dapat rukuk bersama imam, maka dia sudah dihitung dapat satu rakaat”). Para ulama mengatakan, dia mendapatkan rukuk bersama imam itu betul-betul rukuk. Dia mendapatkan rukuk jika imam belum berdiri sementara dia sudah sempat meletakkan kedua telapak tangannya di dengkulnya.

Ketika dia akan cepat-cepat rukuk seperti itu, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan dia harus takbir dua kali, untuk Takbiratul Ihram dan takbir intiqal. Sebagian ulama mengatakan dikumpulkan antara dua takbir selesai. Sebagian ulama mentafsirkan, kalau dia niatkan Takbiratul Ihram, aman, karena itu rukun, sambil dijamak dengan niat takbir intiqal rukuk. Tetapi kalau yang dia niatkan adalah takbir intiqal tapi tidak diniatkan Takbiratul Ihram, sebagian ulama mengatakan batal itu.

Jumhur ulama mengatakan takbir harus dengan lafaz اللهُ أَكْبَر dan tidak bisa digantikan. Ada mazhab yang berbeda, yaitu mazhab Hanafiah, mereka mengatakan setiap yang menunjukkan takzim (mengagungkan Allah) itu bisa, seperti Allahu a’dham. Tapi ini menyelisihi dalil karena Nabi tidak pernah mengatakan selain Allahu Akbar.

Selanjutnya Aisyah berkata:

وَالْقِرَاءَةَ بِـ “الْحَمْدِ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ”

Wal-qirā’ata bi “alhamdu lillāhi rabbil-‘ālamīn”

(Dan [memulai] bacaan dengan “Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin”)

Imam Malik rahimahullah mengatakan hadis ini tegas menunjukkan bahwa Nabi memulai bacaan dengan Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, berarti tidak ada basmalah, apalagi iftitah. Namun, pendapat ini tidak kuat, karena bisa jadi Aisyah radhiyallahu ‘anha ingin menunjukkan surah Al-Fatihah secara lengkap, dan surah Al-Fatihah bisa disebutkan dengan nama Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, sebagaimana ia dinamakan As-Sab’ul Matsani, Ummul Kitab, dan lainnya. Ini sudah sering dalam syariat, disebutkan suatu ibadah dengan bagian kecil darinya, seperti salat disebut dengan rukuk.

Selanjutnya:

وَكَانَ إِذَا رَكَعَ لَمْ يُشْخِصْ رَأْسَهُ وَلَمْ يُصَوِّبْهُ، وَلٰكِنْ بَيْنَ ذٰلِكَ

Wa kāna idzā raka’a lam yusykhis ra’sahu wa lam yushawwibhu, wa lākin baina dzālik

(Dan Beliau kalau rukuk, tidak terlalu menaikkan kepalanya dan tidak terlalu merendahkannya, akan tetapi di antara keduanya)

Ini menunjukkan rukuknya sempurna dan rata. Maksudnya, kepala dengan bagian belakang bisa rata. Sebagian mazhab mengatakan yang penting dia turun sedikit, selesai. Ini tidak sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena beliau rukuk sampai betul-betul rata punggungnya. Sebagian orang saking semangatnya, yang dipegang bukan lutut tapi mata kaki, ini juga salah.

وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَائِمًا

Wa kāna idzā rafa’a ra’sahu minar-rukū’i lam yasjud hattā yastawiya qā’iman

(Dan Beliau apabila bangun dari rukuk, beliau tidak segera sujud sampai berdiri tegak lurus)

Ini menunjukkan wajibnya i’tidal dan harus seseorang berdiri dengan tegap. Dalam riwayat al-Bukhari dikatakan, “sampai semua tulang punggung kembali ke tempatnya”. Dalam mazhab Hanafiah, yang diwajibkan hanya sekadar mengangkat badan, tidak harus sampai berdiri lurus. Ini salah.

وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السَّجْدَةِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِيَ جَالِسًا

Wa kāna idzā rafa’a ra’sahu minas-sajdati lam yasjud hattā yastawiya jālisan

(Dan Beliau ketika mengangkat kepala dari sujud, Beliau juga tidak segera melanjutkan ke sujud kedua sampai duduk dengan sempurna)

Ini menunjukkan bahwa duduk di antara dua sujud dengan gaya yang sempurna merupakan kewajiban.

وَكَانَ يَقُوْلُ فِيْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ

Wa kāna yaqūlu fī kulli rak’ataini at-tahiyyata

(Dan Beliau selalu membaca at-Tahiyat setiap dua rakaat)

Ini menunjukkan bahwa tasyahud awal dan akhir adalah wajib. Tingkat kewajibannya berbeda: kalau tasyahud awal ketinggalan, cukup sujud sahwi. Tetapi tasyahud akhir adalah rukun; kalau ditinggalkan, harus menambah satu rakaat. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Nabi mengajari kita tasyahud seperti mengajari Al-Qur’an,” menunjukkan betapa pentingnya hal ini.

وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى

Wa kāna yafrisyu rijlahul-yusrā wa yanshibu rijlahul-yumnā

(Dan Beliau [saat duduk] menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya)

Ini adalah deskripsi duduk iftirasy. Dalam mazhab Imam Ahmad, setiap duduk dalam salat yang memiliki dua rakaat (tahiyatul masjid, tarawih, dll), maka duduknya iftirasy. Mereka berdalil dengan hadis Aisyah ini.

Adapun dalam Mazhab Syafi’i, mereka menggunakan hadis Abu Humaid as-Sa’idi dalam Shahih Bukhari. Kaidahnya: setiap duduk yang tidak diakhiri dengan salam, maka duduknya iftirasy. Tetapi setiap duduk yang ditutup dengan salam, maka duduknya tawarruk. Jadi, dalam Witir satu rakaat pun duduknya tawarruk. Sebenarnya masing-masing ada dalilnya yang kuat.

Untuk perempuan, jumhur ulama mengatakan tidak ada bedanya antara laki-laki dan perempuan dalam cara duduk, karena tidak ada dalil khusus yang sahih yang membedakannya.

وَكَانَ يَنْهَى عَنْ عُقْبَةِ الشَّيْطَانِ

Wa kāna yanhā ‘an ‘uqbatisy-syaithān

(Dan Beliau melarang dari ‘uqbah asy-syaithan [gaya duduk setan])

Ini ditafsirkan sebagai duduk al-iqa’ yang terlarang, yaitu duduk di atas tanah, lalu kedua kaki diberdirikan di depan, dan kedua tangan diletakkan di tanah, menyerupai anjing. Namun, ada iqa’ yang sunnah, yaitu saat duduk di antara dua sujud, seseorang duduk di atas kedua tumitnya yang ditegakkan. Ini adalah sunnah Nabi menurut Ibnu Abbas dan ditegaskan oleh Imam Syafi’i.

وَيَنْهَى أَنْ يَفْتَرِشَ الرَّجُلُ ذِرَاعَيْهِ افْتِرَاشَ السَّبُعِ

Wa yanhā an yaftarisyar-rajulu dzirā’aihi-ftirāsys-sabu’

(Dan Beliau melarang seorang laki-laki menghamparkan kedua lengannya seperti terhamparnya binatang buas)

Ini adalah larangan meletakkan siku di tanah saat sujud, yang menunjukkan sikap malas. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika sujud, beliau mengangkat sikunya dan menjauhkannya dari badannya. Hukum ini berlaku sama untuk laki-laki dan perempuan.

وَكَانَ يَخْتِمُ الصَّلَاةَ بِالتَّسْلِيْمِ

Wa kāna yakhtimush-shalāta bit-taslīm

(Dan Beliau menutup salatnya dengan mengucapkan salam)

Ini menjadi rukun menurut jumhur ulama. Salam yang pertama wajib, sedangkan yang kedua sunnah. Dalam mazhab Hanafiah, salam itu sunah, sehingga jika seseorang kentut setelah tasyahud akhir sebelum salam, salatnya tetap sah. Namun, yang paling benar adalah pendapat jumhur.

Tanya Jawab

  • Pertanyaan: Apakah disunahkan membaca ‘alaihimassalam ketika mendengar imam membaca Suhufi Ibrahima wa Musa?
    • Jawaban: Ada perintah untuk berselawat kepada semua nabi dan rasul, dan hadisnya disahihkan oleh Syekh Albani.
  • Pertanyaan: Bagaimana praktik membaca Subhana Rabbiyal A’la ketika mendengar imam membaca Sabbihisma Rabbikal A’la?
    • Jawaban: Ada riwayat yang menunjukkan Nabi berhenti sebentar untuk membaca itu. Jika ada waktu, insyaallah tidak apa-apa. Tapi perintah yang lebih ditekankan adalah mendengarkan bacaan imam.
  • Pertanyaan: Apakah benar doa kafaratul majlis dibaca setelah wudu?
    • Jawaban: Ya, ada riwayat itu, dan Syekh Albani menilainya sahih. Sebagian ulama mengatakan riwayat itu mauquf (perkataan sahabat), tapi Syekh Albani termasuk yang mengatakan itu marfu’ (sampai kepada Nabi).
  • Pertanyaan: Apa saja doa yang warid dari Nabi setelah wudu?
    • Jawaban: Dalam Sahih Muslim: “Asyhadu an la ilaha illallah wahdahu la syarikalah, wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh”. Siapa yang membacanya akan dibukakan delapan pintu surga. Ada tambahan dalam riwayat Tirmidzi: “Allahummaj’alni minat tawwabin waj’alni minal mutathahhirin”.
  • Pertanyaan: Bagaimana mengamalkan ayat La tarfa’u aswatakum fauqa shautin-nabi?
    • Jawaban: Para ulama menjelaskan, ketika membaca hadis atau sirah beliau, mereka tidak mengeraskan suara. Begitu pula ketika di kuburan Nabi atau di Masjid Nabawi.
  • Pertanyaan: Apakah boleh menganggap tertinggal satu rakaat ketika imam sudah selesai membaca Al-Fatihah, sebagai sikap hati-hati?
    • Jawaban: Yang hati-hati adalah mengikuti dalil. Nabi mengatakan, “Siapa yang mendapatkan rukuk, maka ia mendapatkan satu rakaat”.
  • Pertanyaan: Apa hukum membaca surat setelah Al-Fatihah setiap rakaat?
    • Jawaban: Sunnah, dan bukan di setiap rakaat. Dalam hadis Abu Qatadah, Nabi di rakaat ketiga dan keempat hanya membaca Al-Fatihah.
  • Pertanyaan: Jika kita masbuk di rakaat kedua, apakah kita baca iftitah lagi?
    • Jawaban: Antum baca yang rukun, yaitu Al-Fatihah. Khawatirnya, antum sibuk membaca iftitah, imam keburu rukuk.
  • Pertanyaan: Apakah sistem booking dan tidak bisa di-refund jika cancel juga termasuk gharar?
    • Jawaban: Dilihat dulu. Kalau booking itu DP, dan jika batal DP-nya untuk penjual, itu sah, meskipun ulama khilaf. Namun ada kisah Umar bin Khattab melakukan hal itu. Tapi jika booking tiket pesawat, itu bukan booking, itu sudah beli seat. Wallahu a’lam, pertanyaannya kurang jelas.

#Prolog

Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ’anhu. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara langsung dengan melenyapkan ilmu itu dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang berilmu lagi, orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.’” (HR. Bukhari)

Sumber: https://muslim.or.id/93486-malapetaka-akhir-zaman.html
Copyright © 2025 muslim.or.id