Kajian Kitab Umdatul Ahkam – 34, Dr. Emha Hasan Ayatullah, M.A


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِينَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً، وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ، إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ، وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.

Ikhwah sekalian, semoga Allah ‘Azza wa Jalla menjaga kita semua agar bisa istiqamah dan terlindung dari fitnah. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa dia aman. Bisa jadi seseorang ketika terkena fitnah, maka dia menjadi futur, menjadi jelek, bahkan berubah arah. Ini tidak hanya untuk orang-orang fasik atau awam, tetapi bahkan orang yang belajar, ahli ibadah, bisa berubah menjadi futur. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan mengkhawatirkan para sahabat. Ini diceritakan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “إِنَّ قُلُوبَ بَنِي آدَمَ بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ” (Sesungguhnya hati manusia itu berada pada genggaman jari-jemari Allah). Allah akan membolak-balikkan sesuai dengan keinginan-Nya. Dalam hadis Ummu Salamah, disebutkan ada tambahan riwayatnya: yang Allah inginkan, dia bisa lempang, tetap istiqamah berada di jalur yang lurus. Tetapi yang Allah kehendaki lainnya, dia bisa sesat. Tidak ada yang bisa menjamin itu. Orang-orang yang bertakwa bisa seperti itu, bagaimana dengan orang yang tidak mau belajar? Artinya, kita memang perlu banyak berdoa kepada Allah, terutama karena fitnah begitu besar.

Ujian yang paling jelek adalah ketika menimpa agama. Ujian jelek setelahnya adalah ketika menimpa kehormatannya, keluarganya, atau masalah laki-laki dan perempuan. Ketika seseorang sudah terkena fitnah, maka yang awalnya menjadi keistimewaan (mizah), berubah menjadi kejelekan. Misalkan, orang dikenal tahu ilmu, ahli ibadah, rajin menyambung silaturahmi. Ketika ia menjadi jelek, maka keistimewaan itu berubah. “Oh, berilmu kok begitu?” Jadi, semakin membuat dia terpuruk. Jika dikerjakan orang awam masih dimaklumi, tapi ini orang pintar, kenapa begitu? Artinya, kita berdoa kepada Allah agar kita diselamatkan, karena orang kalau sudah terkena fitnah, hina sekali rasanya. Baru di depan orang, dan orang barangkali bisa menyimpan aibnya. Tetapi bisa jadi di depan Allah sudah rusak sekali, tinggal menunggu Allah membuka aibnya.

Kita katakan, tidak ada yang menjamin kita ini aman. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, orang yang ingin meneladani, carilah yang sudah mati (maksudnya para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), karena orang hidup itu tidak aman dari fitnah. Bisa jadi dulunya saleh, kemudian setelah itu, naudzubillah, murtad atau berbalik arah menyerang agama. Semua tahu, ending itu di belakang, itu yang akan menunjukkan orang sukses atau tidak. Orang yang dari awal tidak terlalu kelihatan pandainya, ibadahnya biasa saja, tapi aman dan tidak melakukan macam-macam, bisa jadi jauh lebih baik daripada orang yang pernah tersohor, dikenal, dijadikan referensi, tahu-tahu di akhir hayatnya buruk, naudzubillah. Ada orang-orang yang bisa kena kualat, entah didoakan orang lain atau dia terkena bala sendiri karena terlalu ujub (bangga dengan dirinya).

Ibnu Rajab dalam Syarhul ‘Ilal cerita, ada sebagian Ahlul Hadits ingin mengetes gurunya. Gurunya mengamuk, lalu mendoakan, “Semoga ilmumu tidak bermanfaat.” Betul, Ibnu Rajab cerita, orang itu akhirnya tidak bisa memanfaatkan ilmunya sama sekali. Ada juga sebagian murid didoakan oleh gurunya, “Aku doakan kamu semoga tidak mati sampai ketemu dengan fitnah agama.” Betul, dia diuji dalam agamanya. Hati-hati sekali jika didoakan jelek oleh orang lain karena kita zalim. Yang jelas, kita perlu hati-hati, dan tidak ada orang yang paling hati-hati daripada orang yang punya ilmu yang bermanfaat. Jadi, kita sambil belajar, sambil berdoa, sambil menjaga hubungan baik dengan Allah. Tidak ada yang terlalu percaya diri karena kepandaian atau prestasi. Tapi juga tidak ada orang yang malas, tidak mau belajar dengan alasan, “Daripada saya dituntut beramal, saya tidak bisa, mending saya bodoh-bodoh saja.” Ini juga salah sekali.


Ikhwah sekalian, kita akan membahas masalah yang kemarin, yaitu masalah makmum ketika dia berdiri salat berjamaah di belakang imamnya, tidak boleh dia membalap, tidak pula membersamai. Kita katakan bahwa satu pendapat saja yang mengatakan makmum boleh untuk menyamai gerakan imam, tapi itu tidak benar. Hadis yang kita akan pelajari sekarang menunjukkan itu, tentang bagaimana makmum bergerak setelah imamnya selesai. Insyaallah, kita akan membahas empat hadis: hadis pertama tentang gerakan makmum, hadis kedua tentang aminnya makmum, kemudian hadis ketiga dan keempat berkaitan dengan masalah panjang pendeknya bacaan imam.

Hadis Pertama

Dari Abdullah bin Yazid radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Aku diberitahu oleh Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu—dan Al-Bara’ itu bukan seorang pendusta…” Kok bisa seorang dikatakan “dia bukan seorang pendusta”? Kata-kata ini menjadi sedikit ganjalan bagi para ulama. Sampai sebagian ulama seperti Yahya Ibnu Ma’in rahimahullah mengatakan, kata-kata ini bukan untuk memberi sifat kepada Al-Bara’ bin ‘Azib. Beliau seorang sahabat, ayahnya juga sahabat, maka tidak perlu dikatakan dia bukan pendusta, karena semua sahabat terpercaya agamanya. Justru kata-kata seperti ini seolah-olah melecehkan, masih butuh diberi tazkiyah (rekomendasi). Kata Yahya seperti itu. Lalu, untuk siapa kata-kata ini? Sebagian mengatakan ini untuk Abdullah bin Yazid Al-Khatmi, tapi pendapat ini keliru karena Abdullah bin Yazid Al-Khatmi juga seorang sahabat.

Al-Hafiz Ibnu Hajar mengatakan bahwa dua orang sahabat ini memiliki banyak kesamaan: Abdullah (sahabat) anak Yazid (sahabat), meriwayatkan dari Al-Bara’ (sahabat) anak ‘Azib (sahabat). Keduanya dari kalangan Anshar dari suku Aus, dan keduanya pindah ke Irak. Kisah ini diceritakan ketika mereka berdua sedang di Irak. Riwayat menunjukkan bahwa yang mengatakan kalimat itu memang Abdullah bin Yazid. Lalu bagaimana? Sahabat kok perlu direkomendasi? Al-Hafiz Ibnu Hajar menukil dari para ulama, ini bukan rekomendasi yang dibutuhkan oleh orang fasik, tetapi sebuah ucapan untuk lebih menekankan bahwa orang ini bukan main-main. Seperti Abu Hurairah dan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma ketika meriwayatkan hadis, mereka berkata: “حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوقُ” (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberitahu kami, dan beliau adalah seorang yang terpercaya dan dipercayai). Bukan berarti Nabi tidak terpercaya sehingga perlu dijelaskan, tetapi ini lebih kepada penekanan.

Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu mengatakan: “كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، لَمْ يَحْنِ أَحَدٌ مِنَّا ظَهْرَهُ حَتَّى يَقَعَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم سَاجِدًا، ثُمَّ نَقَعُ سُجُودًا بَعْدَهُ” (Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan ‘Sami’allahu liman hamidah’, kami tidak segera menekukkan punggung kami sampai kami melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sudah sempurna sujudnya, baru kami sujud setelahnya).

Ini menunjukkan bahwa boleh bagi makmum untuk melihat imamnya jika ragu atau ingin tahu. Kedua, menunjukkan bahwa makmum tidak melakukan gerakan untuk mengikuti imam sampai imam selesai. Meskipun kata Al-Hafiz Ibnu Hajar ini tidak harus, yang jelas kita mengikuti setelah imam. Tapi yang lebih afdal adalah menunggu imam selesai bergerak, dan rupanya para sahabat seperti itu. Riwayat lain mengatakan, sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan dahinya ke tanah, menunjukkan sujud itu sudah sempurna, baru mereka bergerak. Ini juga berlaku untuk gerakan lain dan menunjukkan tuma’ninah serta tidak tergesa-gesa.

Hadis Kedua

Tentang aminnya makmum, apakah menyamai imam atau setelahnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “إِذَا أَمَّنَ الإِمَامُ فَأَمِّنُوا، فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ المَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ” (Jika imam beramin, maka kalian ucapkanlah amin. Karena orang yang aminnya bisa bareng sama aminnya malaikat, maka dia akan diampuni dari dosa-dosa yang telah lalu).

Al-Hafiz Ibnu Hajar mengatakan, yang dimaksud adalah dosa-dosa kecil, karena dosa besar harus dengan taubat. Ini juga menunjukkan bahwa para malaikat beramin. Riwayat Muslim lebih tegas: “فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تُؤَمِّنُ” (Karena para malaikat juga beramin).

Bagaimana cara agar amin kita berbarengan dengan malaikat? Caranya adalah dengan menunggu imam. إِذَا أَمَّنَ الإِمَامُ (jika imam beramin). Ada beberapa tafsiran:

  1. Imam membaca ‘Amin’: Tafsiran paling zahir. Imam Al-Bukhari memberi judul bab: “بَابُ جَهْرِ الإِمَامِ بِالتَّأْمِينِ” (Bab mengeraskan suara amin bagi imam). Imam mestinya mengucapkan ‘Amin’ dan mengeraskannya jika bacaan Fatihah-nya juga keras (jahar).
  2. Imam berdoa: Ammana diartikan berdoa. Dalilnya adalah firman Allah: “قَدْ أُجِيبَتْ دَعْوَتُكُمَا” (Telah dikabulkan doa kalian berdua). Ayat sebelumnya menyebutkan yang berdoa adalah Musa, dan Harun mengaminkan. Berarti mengaminkan bisa diartikan berdoa. Namun, hadis pendukungnya lemah.
  3. Imam sampai pada waktu amin: Ammana artinya sampai pada tempat untuk mengucapkan amin. Jadi, makmum tidak harus menunggu imam mengucapkan amin. Jika imam sudah selesai membaca “وَلَا الضَّالِّينَ“, makmum sudah boleh beramin. Ini didukung hadis lain dalam Sahih Bukhari: “إِذَا قَالَ الإِمَامُ: {غَيْرِ المَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ}، فَقُولُوا: آمِينَ“. Ini yang sepertinya diisyaratkan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar sebagai pendapat yang benar.

Sebagian ulama berpendapat, jika imam langsung cepat-cepat mengucapkan ‘Amin’ agar tidak didahului makmum, nanti bisa dikira bahwa ‘Amin’ adalah bagian dari surat Al-Fatihah. Ini adalah penjabaran detail (tafri’at) yang tidak terlalu disukai ulama ahli hadis. Mereka lebih suka tidak banyak bertanya tentang hal yang belum terjadi.

Hadis Ketiga dan Keempat

Kedua hadis terakhir berkaitan dengan apakah salat imam harus panjang atau pendek.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ، فَإِنَّ مِنْهُمُ الضَّعِيفَ وَالسَّقِيمَ وَذَا الحَاجَةِ، وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ” (Apabila salah seorang di antara kalian salat menjadi imam, hendaklah dia meringankan bacaannya. Karena di antara orang-orang yang salat itu ada yang lemah, yang sakit, dan yang punya keperluan. Jika salat sendirian, maka hendaklah dia panjangkan semaunya).

Yang dimaksud meringankan (takfif) adalah bacaannya, bukan rukuk atau sujudnya. Adh-Dha’if (lemah) bisa berarti fisiknya memang lemah, sementara as-saqim adalah yang sakit. Dzal hajah (punya keperluan) ini lebih umum, bisa butuh tidur, kerja, dan lain-lain. “Panjangkan semaunya” tentu tidak sampai keluar waktu, karena menunda salat hingga keluar waktu justru tidak boleh.

Hadis berikutnya dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ada seorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي لَأَتَأَخَّرُ عَنْ صَلاَةِ الغَدَاةِ مِنْ أَجْلِ فُلاَنٍ مِمَّا يُطِيلُ بِنَا” (Ya Rasulullah, aku sengaja tidak mengikuti salat subuh karena si Fulan bacaannya terlalu panjang). Abu Mas’ud berkata, “Aku tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam marah saat memberi nasihat seperti hari itu.” Ini menunjukkan Nabi terkadang marah dalam memberi nasihat, ini bagian dari hikmah. Beliau bersabda: “يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ مِنْكُمْ مُنَفِّرِينَ، فَأَيُّكُمْ أَمَّ النَّاسَ فَلْيُوجِزْ، فَإِنَّ مِنْ وَرَائِهِ الكَبِيرَ وَالضَّعِيفَ وَذَا الحَاجَةِ” (Sungguh, di antara kalian ada orang yang membuat orang lain lari dari agama. Siapapun yang menjadi imam, hendaklah dia meringankan salatnya, karena di belakangnya ada orang tua, orang lemah, dan orang yang punya keperluan). Dalam riwayat lain disebutkan ada anak kecil, ibu hamil, dan ibu menyusui.

Siapakah imam yang dimaksud? Kata Al-Hafiz Ibnu Hajar, yang menyangka itu Mu’adz adalah salah. Karena kejadian Mu’adz itu saat salat Isya di Masjid Bani Salimah. Kejadian ini saat salat Subuh di Masjid Quba. Imam yang dimaksud adalah Ubay bin Ka’ab. Ada riwayat bahwa Ubay suka menjadi imam di Masjid Quba dan memulai dengan surat yang panjang. Seorang pemuda Anshar yang menjadi makmum lalu keluar dari jamaah. Ubay marah dan lapor kepada Nabi, lalu pemuda itu ganti melapor dan mengeluhkan Ubay. Maka Nabi pun marah dan bersabda seperti di atas.

Apakah perintah meringankan ini mutlak? Imam Ahmad rahimahullah berpendapat, jika imam salat di tempat terbuka dengan jamaah yang beragam, ringankanlah. Tapi jika di masjid khusus yang orang-orangnya sudah siap, boleh dipanjangkan. Namun, ulama lain mengatakan perintah ini berlaku sama, karena bisa saja di tengah salat ada orang lemah yang baru datang.

Masalah panjang dan pendek ini relatif (nisbiah). Ada yang menilai suatu bacaan panjang karena tidak terbiasa. Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, perintah meringankan salat maksudnya adalah yang juga dicontohkan oleh Nabi. Beliau memerintahkan untuk memendekkan salat, tapi beliau sendiri terkadang membaca surat ق atau الطُّورُ saat salat Maghrib, yang panjangnya dua sampai tiga halaman. Jadi, ringan menurut beliau pun tetap panjang (menurut ukuran sebagian orang). Yang dimaksudkan adalah tidak seperti salat sebagian orang di masa lalu yang sangat panjang.

Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Salat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu ringan, tidak seperti salat orang-orang (di zaman setelahnya) yang kepanjangan.” Ia juga berkata bahwa Nabi kalau salat Subuh membaca surat ق atau yang semisal. Jadi, intinya perlu latihan agar kita tidak terbiasa dengan yang sangat pendek. Syekh Shalih Fauzan mengatakan, tugas imam juga membiasakan makmum agar tidak hanya mendengar Juz ‘Amma saja, agar mereka tidak kaget saat salat di tempat lain seperti di Arab Saudi yang bacaannya panjang-panjang.


Tanya Jawab Singkat

  • Salat di musala, hanya ada imam di mihrab dan satu makmum. Bagaimana posisi makmum?Jika bisa, salat di samping imam. Jika tidak cukup, salat di belakangnya pun sah, hanya tidak afdal. Yang benar adalah sejajar jika hanya berdua.
  • Masuk jamaah saat imam di pertengahan Al-Fatihah, apakah harus baca Al-Fatihah penuh?Antum baca sebisanya. Jika imam rukuk, antum ikut rukuk.
  • Ancaman diubah kepala, apakah khusus saat sujud saja?Disebutkan memang saat mengangkat kepala (dari sujud), tetapi berlaku untuk semua gerakan. Tidak boleh mendahului imam dalam hal apapun.
  • Ustaz selesai kajian mundur jadi makmum, bukankah yang berhak jadi imam adalah yang paling berilmu?Yang dijadikan imam adalah yang paling banyak hafalannya. Jika hafalan sama, baru yang lebih berilmu.
  • Bagaimana hukumnya tidak duduk tawaruk/iftirasy sesuai sunah di rakaat terakhir?Salatnya sah, semua ulama sepakat. Tapi yang afdal adalah sesuai sunah: pada tasyahud akhir di salat 3 atau 4 rakaat, duduknya tawarruk.
  • Saya kadang menghindar jadi imam subuh karena suara serak, padahal imam lain hafalannya sedikit dan suaranya kecil. Apakah saya berdosa?Jika suara Antum bagus, majulah jadi imam. Suara itu gampang. Bangunnya jangan pas Subuh, tapi tahajud jam 3 untuk pemanasan.
  • Apakah semua masjid di tanah haram pahalanya 100.000 kali lipat?Ada pendapat ulama seperti itu karena mudha’afah (pelipatgandaan pahala) berlaku untuk semua tanah haram.
  • Kapan waktu yang tepat bagi imam untuk takbir intiqal (perpindahan)?Yang paling ideal adalah bareng antara mulai gerakan dan mulai takbir, selesai gerakan selesai takbir. Jangan dipanjangkan.
  • Bolehkah memanjangkan pengucapan takbir untuk mempermudah makmum?Tidak boleh. Memanjangkan takbir hingga berlebihan menyelisihi sunah.

#Prolog

Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ’anhu. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara langsung dengan melenyapkan ilmu itu dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang berilmu lagi, orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.’” (HR. Bukhari)

Sumber: https://muslim.or.id/93486-malapetaka-akhir-zaman.html
Copyright © 2025 muslim.or.id