بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَبِهِ نَسْتَعِينُ عَلَى أُمُورِ الدُّنْيَا وَالدِّينِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ الْأَنْبِيَاءِ وَإِمَامِ الْمُرْسَلِينَ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً، وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ، إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.
Amma ba’du.
Semoga Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan kita istiqamah. Ana sering sampaikan bahwa orang yang mempelajari hadis mendapatkan kemuliaan, kesempatan, dan kehormatan. Maka para ulama sejak zaman sahabat memuliakan orang-orang yang mempelajari hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana disebutkan di dalam kitab Al-Khatib Al-Baghdadi, Syarafu Ashabil Hadits, bahwa sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu jika melihat para pemuda, beliau akan berkata: “مَرْحَبًا بِوَصِيَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ” (Selamat datang, wahai orang-orang yang menjadi wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam).
“أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُوَسِّعَ لَكُمْ فِي الْمَجْلِسِ وَأَنْ نُفَهِّمَكُمُ الْحَدِيثَ، فَإِنَّكُمْ خُلُوفُنَا وَأَهْلُ الْحَدِيثِ بَعْدَنَا” (Kami diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk melapangkan tempat bagi kalian, dan diperintahkan untuk mengajarkan kalian ilmu hadis. Merekalah yang menjadi penerus kami dan mereka adalah Ahlul Hadits setelah kami). Ini yang menjadi estafet perjuangan; pelajaran yang didalami oleh para sahabat, mereka mempelajarinya dan dilanjutkan, dibangun dengan ilmu hadis tersebut, baik itu fikih, pelajaran lain, bahkan bahasa Arab.
Bahasa Arab sering dijadikan rujukan untuk menetapkan apakah suatu ungkapan itu fasih atau tidak ketika ada sebuah hadis. Para ulama biasa mendatangkan syair maupun hadis untuk menetapkan penggunaan bahasa, seperti penggunaan huruf jar atau lafaz tertentu, karena lafaz Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah lafaz-lafaz pilihan. Demikian pula, orang yang memperjuangkan hadis setelah mereka, yang hidup di zaman keterasingan, merekalah yang akan ditolong oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Mereka yang diharapkan menjadi kelompok yang akan dibela oleh Allah. Seperti yang disebutkan oleh Al-Bukhari rahimahullah, beliau bercerita ketika belajar dan mendatangi rumah gurunya, yaitu Ali Ibnul Madini. Beliau katakan, “كُنَّا ثَلَاثَةً أَوْ أَرْبَعَةً” (Kita dulu pernah datang sekitar bertiga atau berempat) ke rumah Ali bin Abdillah Al-Madini. Ketika beliau melihat kami, beliau sangat bahagia dan berkata:
“إِنِّي لَأَرْجُو أَنَّ تَأْوِيلَ هَذَا الْحَدِيثِ: «لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ، لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ أَوْ خَالَفَهُمْ»، أَرْجُو أَنَّ تَأْوِيلَ الْحَدِيثِ أَنْتُمْ” (Aku berharap bahwa tafsir dari hadis ‘Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang menang di atas kebenaran, tidak akan membahayakan mereka orang yang menghina atau menyelisihi mereka’, aku berharap tafsir hadis ini adalah kalian).
Kemudian beliau mengatakan, “Para pedagang telah sibuk dengan bisnis mereka, orang-orang yang ahli dalam berkarya sibuk dengan kreasi dan inovasi mereka, sementara para penguasa sibuk dengan kekuasaan mereka. Dan kalian berusaha untuk menghidupkan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika orang-orang tidak tertarik lagi dan sibuk dengan kepentingan masing-masing.” Maka, semoga Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan kita terhormat, sabar, serta siap dan rela memperjuangkan peninggalan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Baik, ikhwah sekalian, kita akan membahas tentang bab الصُّفُوفِ (pembahasan tentang saf di dalam salat). Pembahasan ini merupakan sunah di dalam salat. Jumhurul ‘ulama (mayoritas ulama) menyatakan bahwa meluruskan saf itu hukumnya sunnah mustahabbah (sunah yang dianjurkan), artinya tidak wajib. Sehingga, ketika seseorang melaksanakannya, ia dapat pahala, tetapi jika tidak, ia tidak berdosa. Akan tetapi, sebagian ulama mengatakan bahwa menyempurnakan saf merupakan kewajiban, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengancam orang yang sengaja tidak meratakan, merapikan, atau menyempurnakan safnya. Ini termasuk keyakinan Al-Imam Al-Bukhari. Kita akan pelajari hadis-hadis tentang saf. Imam Bukhari, ketika menyebutkan tentang “فَسَوُّوا صُفُوفَكُمْ“, beliau memberikan judul bab: “إِثْمُ مَنْ لَمْ يُتِمَّ الصُّفُوفَ” (Dosa orang yang tidak menyempurnakan saf).
Sehingga, salat itu, seperti kita perhatikan, para fuqaha memang menyebutkan ini wajib, ini sunah, ini penyempurna, dan sebagainya. Tetapi kita sebagai seorang muslim, sebagaimana telah kita sebutkan dulu, para sahabat tidak memperhatikan itu. Mereka betul-betul mencontoh semua tindakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kalau Nabi kerjakan, mereka tidak lagi bertanya apakah ini wajib atau sunah. Kaidah dalam ilmu hadis, ketika sebuah perbuatan diriwayatkan dalam riwayat yang sahih, maka itu adalah hujjah (dalil). Hukum asalnya perbuatan itu adalah sunah, kecuali kalau memang ada penjelasan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakannya karena sebatas kebutuhan. Seperti contohnya ketika beliau menggunakan cincin. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggunakan cincin karena digunakan untuk stempel. Beliau tidak pernah menggunakan cincin sejak pertama diutus, baru setelah tahun kelima Hijriah saat perjanjian Hudaibiyah, beliau memanfaatkannya untuk berkirim surat. Dikatakan bahwa ada beberapa raja yang tidak mau membaca surat kecuali jika sudah distempel. Nah, ini ada keterangan yang jelas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggunakan itu karena sebuah kebutuhan. Akan tetapi, hukum asalnya, ketika sebuah tindakan tidak ada keterangan apa-apa, maka itu hukumnya adalah sunah.
Termasuk Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau meriwayatkan salah satu hadis tentang perintah untuk menyempurnakan saf. Ketika datang ke Kota Madinah, beliau ditanya, “Mengapa engkau tidak pernah mengingkari apapun dari kami?” Beliau menjawab, “مَا أَنْكَرْتُ شَيْئًا إِلَّا أَنَّكُمْ لَا تُقِيمُونَ الصُّفُوفَ” (Aku tidak mengingkari sesuatu kecuali kalian tidak menyempurnakan saf). Ini yang akhirnya diambil kesimpulan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah bahwa orang yang tidak menyempurnakan saf berdosa. Sekalipun Al-Hafiz Ibnu Hajar mengatakan bahwa sekadar pengingkaran tidak menunjukkan bahwa yang meninggalkan perbuatan itu berdosa, beliau memberikan taujih (arahan) lain. Beliau mengatakan, bisa jadi Imam Bukhari mengambil banyak dalil, termasuk perintah, larangan, dan ancaman bahwa orang yang tidak menyempurnakan saf, Allah akan jadikan mereka semua bertikai dan berpecah belah. Ancaman ini berbahaya. Kemudian ada perintah secara umum dari Allah agar orang-orang yang menyelisihi perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam khawatir akan ditimpa fitnah (berupa kesyirikan, bid’ah, maksiat) atau siksa di dunia maupun akhirat. Maka pantas seseorang ditegur ketika sengaja meremehkan sebuah sunah.
Hadis Pertama
Hadis Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “سَوُّوا صُفُوفَكُمْ، فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ تَمَامِ الصَّلَاةِ” (Rapikanlah saf kalian, karena merapikan saf merupakan kesempurnaan salat). Dalam lafaz Al-Imam Al-Bukhari dan juga Imam Muslim dalam riwayat yang lain, dikatakan: “أَقِيمُوا الصَّفَّ فَإِنَّ إِقَامَةَ الصَّفِّ مِنْ حُسْنِ الصَّلَاةِ”. Sekalipun Imam Bukhari meriwayatkan lafaz “مِنْ حُسْنِ الصَّلَاةِ”, beliau memberi judul bab “مِنْ تَمَامِ الصَّلَاةِ”. Ini, kata Al-Hafiz Ibnu Hajar, bisa menunjukkan bahwa husn (baiknya) salat bisa ditafsirkan bukan sekadar penampilan, tetapi berkaitan dengan iqamah (mendirikan). Iqamah artinya mendirikan, menyempurnakan, dan melaksanakan sebagaimana mestinya. An-Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim menyebutkan dua tafsiran: (1) terus-menerus mengerjakannya, atau (2) menyempurnakannya sebagaimana Allah perintahkan. Kata An-Nawawi, tafsiran kedua lebih kuat. Artinya, mengerjakan salat seperti perintah Allah “وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ” (tegakkanlah salat). Menegakkan salat berarti mengerjakan semua yang ada dalam dalil tentang salat, termasuk meluruskan saf.
Kita perhatikan, orang yang perhatian terhadap saf biasanya juga perhatian terhadap sunah. Sebaliknya, yang tidak perhatian dengan saf, rata-rata tidak perhatian terhadap sunah. Jarang sekali ada orang yang tidak suka sunah akan perhatian terhadap saf; salatnya miring-miring, renggang, maju-mundur. Bandingkan dengan riwayat dari para Salaf. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah memukul kakinya Abu Utsman An-Nahdi gara-gara safnya tidak sempurna. Bilal bin Rabah juga sama, beliau betul-betul meratakan pundak dengan pundak dan memukul kaki jika ada yang tidak rapi. Sampai sebagian ulama, dinukil oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar, mengatakan ini tidak akan dilakukan jika hukumnya tidak wajib. Ada berapa riwayat dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dalam Mushannaf Ibni Abi Syaibah, beliau sampai berpindah-pindah dari saf pertama, kedua, hingga ketiga; beliau tidak langsung takbir tapi merapikan dulu safnya satu per satu. Namun, kata Al-Hafiz Ibnu Hajar, ini tidak mesti menunjukkan wajib, karena penertiban seperti ini bisa juga dilakukan untuk hal yang sunah.
Jumhurul ‘ulama mengatakan menyempurnakan saf itu sunah, sementara Imam Bukhari, Ibnu Hazm Azh-Zhahiri, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan ini merupakan kewajiban atau lebih dekat kepada wajib. Sehingga tidak pantas, terutama bagi thalabul ‘ilmi (penuntut ilmu), untuk tidak perhatian dalam masalah saf.
Bagaimana cara meratakan saf?
Yang dimaksud menyempurnakan adalah meratakan. Ada riwayat dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan: “كَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ، وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ” (Salah seorang dari kami menempelkan pundaknya dengan pundak sahabatnya dan kakinya dengan kaki sahabatnya). Para ulama mengatakan ini adalah mubalaghah (penekanan kuat), tetapi wallahu a’lam, ketika para sahabat mengerjakannya, ini adalah isyarat bahwa mereka tidak menggampangkan. Para ulama kontemporer banyak yang mengatakan yang penting masing-masing tidak terlalu berjauhan, safnya rapi, tidak ada yang maju atau mundur, dan saf pertama diperhatikan. Namun, praktik para sahabat sampai menempelkan ini. Jika dikatakan ini mubalaghah, ada yang lebih keras dari itu, Umar bin Khattab sampai memukul.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah memukul untuk merapikan saf. Beliau menggunakan redaksi yang berbeda-beda, di antaranya “اعْتَدِلُوا فِي الصُّفُوفِ” dan “حَاذُوا بِالْمَنَاكِبِ“. Dalam riwayat Abu Daud yang paling lengkap disebutkan, apabila iqamah sudah dikumandangkan, beliau akan menghadapkan wajahnya kepada kami lalu memerintahkan untuk merapikan saf. Ini menunjukkan sunahnya. Jika ada yang tidak tahu sunah ini dan malah mengingkari, ini repot. Harusnya sunah ini dilazimkan. Al-Hafiz Ibnu Hajar mengatakan, sekalipun ada ulama yang menilainya wajib, mereka tidak mengatakan salat orang yang safnya tidak sempurna menjadi tidak sah. Buktinya, Anas bin Malik, meskipun mengingkari ketidakrapian saf mereka, beliau tidak menyuruh orang-orang untuk mengulangi salatnya.
Hadis Kedua
Hadis kedua ini lebih tegas. Dalam hadis Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ’ (Sungguh, kalian betul-betul harus menyempurnakan saf kalian, atau Allah akan menjadikan muka-kalian tidak beraturan).”
Bagaimana caranya tidak beraturan itu? Maksudnya, Allah akan mengganti atau merubah. Kata Al-Hafiz Ibnu Hajar, ini ada dua tafsiran:
- Tafsiran harfiah: Muka mereka menjadi seperti tengkuk, rata. Ini sama dengan ancaman bagi orang yang suka mendahului imam, kepalanya akan diubah seperti kepala keledai. Bisa jadi Allah akan mengubah kepala mereka di dunia, atau maksudnya mereka dibuat bodoh dan tidak berakal seperti keledai.
- Tafsiran maknawi: Allah membuat mereka bertikai dan tidak akur. Ada hadis lain dengan lafaz “أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ” (atau Allah akan membuat hati-hati kalian berselisih). Hatinya tidak bersatu, tidak kompak, dan terus bermusuhan. Bayangkan, jika tidak menyempurnakan saf saja bisa membuat tidak akur, bagaimana dengan yang tidak salat sama sekali? Usul perdamaian adalah dengan berpegang pada tali Allah (حَبْلِ اللهِ), yaitu Al-Qur’an, sebagaimana ditafsirkan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Jika orang tidak mau berpegang dengan Al-Qur’an dan sunah, bagaimana akan bersatu? Ini menunjukkan merapikan saf itu tidak remeh.
Dalam riwayat Muslim dikatakan, “كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَوِّي صُفُوفَنَا حَتَّى كَأَنَّمَا يُسَوِّي بِهَا الْقِدَاحَ” (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa meluruskan saf kami seakan-akan beliau sedang meluruskan anak panah). Anak panah jika tidak sama, jalannya akan miring. Ini penekanan yang sangat kuat. “حَتَّى رَأَى أَنَّا قَدْ عَقَلْنَا عَنْهُ” (Hingga beliau melihat kami telah paham apa yang beliau inginkan). Di sebagian tempat ketika mereka terbiasa merapikan saf, salat itu betul-betul rapi. Saya pernah datang ke sebuah masjid rumah sakit, dan yang merapikan itu dokternya sendiri. Dia keliling merapikan saf, sehingga dikenal di masjid itu kalau salat biasanya rapi. Ini bukan sesuatu yang takalluf (membebani diri), karena ini bisa dilakukan dan harus dilatih.
Suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendak takbir, namun beliau melihat ada seorang yang dadanya agak maju. Maka beliau bersabda, “عِبَادَ اللهِ، لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ” (Wahai hamba Allah, sungguh kalian akan merapikan saf kalian atau Allah akan membuat kalian saling berselisih).
Ini ditegaskan oleh Al-Qurthubi rahimahullah, “Kalian akan bertikai, masing-masing akan memilih yang tidak dipilih oleh kawannya.” Permasalahan kecil jadi besar, apalagi yang besar.
Ada tafsiran ketiga dari Al-Hafiz Ibnu Hajar: Allah akan membedakan pahala kalian. Orang yang merapikan saf akan dapat pahala, yang tidak malah dapat kejelekan. Maka penekanannya untuk orang-orang yang mengerti sunah ini lebih ditekankan lagi.
An-Nawawi rahimahullah menyebutkan pelajaran lain: boleh berbicara antara iqamah dan salat. Ini membantah pendapat sebagian ulama yang mengatakan tidak boleh berbicara setelah iqamah.
Ada juga hadis yang sering kita dengar: “خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا، وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا، وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا” (Sebaik-baik saf laki-laki adalah yang pertama dan yang terburuk adalah yang terakhir. Dan sebaik-baik saf wanita adalah yang terakhir dan yang terburuk adalah yang pertama). An-Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa riwayat ini berlaku untuk wanita yang salat bersama laki-laki. Semakin jauh mereka dari laki-laki, semakin bagus. Syarruha (yang terburuk) bukan berarti jelek sekali, tetapi kehilangan keutamaan. Jika kaum wanita salat di tempat sendiri yang tidak ada laki-lakinya, maka hukum asal berlaku: saf depan lebih afdal untuk mereka. Syekh Abdul Muhsin Al-Abbad mengatakan, sekalipun di masjid yang campur, jika ada pembatas yang tidak bakal terlihat sama sekali, maka seperti yang dikatakan Imam Nawawi, hukum asalnya mereka semakin ke depan semakin baik.
Hadis Ketiga
Anas bin Malik bercerita bahwa neneknya yang bernama Mulaikah (ibunya Ummu Sulaim) mengutusnya untuk mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk makan makanan yang dimasak khusus. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun datang. Ini menunjukkan anjuran untuk mendatangi undangan dan ini merupakan bentuk tawadu. Kata Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah, boleh seorang laki-laki menghadiri undangan seorang wanita jika aman dari fitnah. Ketika undangan itu sederhana dan yang diundang adalah orang terpandang lalu ia datang, maka itu menunjukkan ketawaduan dan penghormatan. Namun, jika sering mengundang dengan basa-basi, lalu yang diundang benar-benar datang, itu tidak enak. Tetapi ketika diundang betul-betul dan ia datang, ini penghormatan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan itu. Syekh bin Baz rahimahullah pernah diundang makan malam oleh orang Yaman biasa. Beliau setuju, padahal sebelum itu beliau harus mampir ke kerajaan untuk mengisi pengajian keluarga raja dan menolak ajakan makan dari Amir Abdullah (yang saat itu belum jadi raja) karena sudah ada janji. Ini menunjukkan ketawaduan beliau yang luar biasa.
Setelah selesai makan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan: “قُومُوا فَلِأُصَلِّ لَكُمْ” (Ayo sekarang kita salat, aku akan imami kalian). Ini mirip seperti saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diundang oleh ‘Itban bin Malik radhiyallahu ‘anhu untuk salat di rumahnya. Di undangan ‘Itban bin Malik, beliau datang, langsung salat, baru makan. Di undangan Mulaikah ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang, makan, baru salat. Ini menyesuaikan undangan. Yang dimaksudkan di sini adalah salat sunah, dan Al-Hafiz Ibnu Hajar mengatakan boleh seorang melaksanakan salat sunah berjamaah.
Anas berkata, maka aku mengambil tikar rumah kami yang sudah menghitam karena sering dipakai. Ini menunjukkan kehidupan para sahabat. Para ulama mengatakan ini membolehkan salat menggunakan tikar, membantah pendapat yang mengharuskan salat menempel langsung ke tanah. Pendapat itu, menurut Al-Hafiz Ibnu Hajar, lebih kepada anjuran untuk tawadu. “فَنَضَحْتُهُ بِمَاءٍ” (maka aku cipratkan air), bisa jadi karena kotor, najis, atau untuk melembutkan tikar yang kasar. “فَقَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْيَتِيمُ مَعِيَ وَرَاءَهُ، وَالْعَجُوزُ مِنْ وَرَائِنَا” (Maka kami membuat saf, aku dan seorang yatim di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam). Yatim ini disebutkan namanya Ad-Dhamir bin Abdillah. Aku bersama si yatim di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan nenekku di belakang kami sendirian. Ini menunjukkan bahwa saf perempuan itu di belakang meskipun dia sendiri. Saf seorang anak yang belum baligh itu sah jika ia sudah mumayyiz, buktinya Anas bin Malik bisa menceritakan ini. “فَصَلَّى لَنَا رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ انْصَرَفَ” (Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam salat dua rakaat, kemudian beliau pulang). Ini menunjukkan salat sunah di siang hari cukup dua rakaat.
Dalam riwayat Muslim, disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam salat bersama Anas dan ibunya. Ini mungkin kejadian lain. Anas berkata, “فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ وَأَقَامَ الْمَرْأَةَ خَلْفَنَا” (Beliau menyuruhku berdiri di sebelah kanan beliau dan perempuan di belakang kami). Ini menunjukkan perempuan tidak bisa satu saf dengan laki-laki. Seorang makmum yang hanya berdua dengan imam, safnya sejajar di sebelah kanan.
Hadis Terakhir
Hadis Ibnu Abbas menunjukkan hal yang sama. Beliau menginap di rumah bibinya, Maimunah, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bangun untuk tahajud. “فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ، فَأَخَذَ بِرَأْسِي مِنْ وَرَائِي فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ” (Maka aku berdiri di sebelah kirinya, lalu beliau memegang kepalaku dan memindahkanku ke sebelah kanan). Ini menunjukkan:
- Saf makmum tunggal ada di sebelah kanan imam dan sejajar.
- Melakukan gerakan dalam salat tidak membatalkan salat jika dibutuhkan. Meskipun dalam Mazhab Syafi’i gerakan lebih dari tiga kali berturut-turut bisa batal, gerakan ini dibutuhkan dan tidak mengapa. Kemungkinan besar Ibnu Abbas diputar lewat belakang, bukan depan imam. Gerakan ini tidak membatalkan salat selama tidak banyak dan tidak memalingkan badan dari kiblat.
Tanya Jawab
- Apa hukum melakukan safar untuk rekreasi ke masjid karena bagus dan besar?Ada hadis: “لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ: الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَمَسْجِدِي هَذَا، وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى” (Tidak boleh melakukan kunjungan dengan niat ibadah kecuali ke tiga masjid). Jika kunjungannya untuk rekreasi, berobat, atau belajar, maka boleh. Tapi kenapa rekreasi ke masjid? Wallahu a’lam.
- Bagaimana jika tidak tahu arah kiblat?Jika di tempat banyak manusia, harus bertanya. Jika di tengah hutan atau padang pasir dan menunggu orang akan membuat waktu salat lewat, maka ia harus berijtihad. Zaman sekarang mudah dengan kompas di HP. Jika sudah berijtihad, insyaallah aman. Tapi jika di tempat ramai seperti hotel atau terminal dan tidak bertanya, banyak ulama mengatakan ia harus mengulang salatnya.
- Bolehkah salat sunah di atas kendaraan tidak menghadap kiblat saat mukim?Boleh. Misalkan naik motor dari sini ke Taman Gading sambil salat sunah, tidak menghadap kiblat, insyaallah tidak apa-apa. Tapi mungkin tidak khusyuk. Syekh Hammad Al-Anshari rahimahullah pernah salat sambil menyetir lalu menabrak.
- Bagaimana meluruskan niat saat ikut lomba hafalan hadis?Niatkan untuk melatih hafalan, menguasai hadis, dan menyebarkan syiar. Jika ingin dapat hadiah, boleh saja, tapi jangan jadikan itu tujuan utama.
- Apakah memanjangkan tasyahud akhir untuk berdoa menyelisihi sunah?Wallahu a’lam, tidak. Hanya jika sangat timpang panjangnya mungkin tidak pas. Syekh Utsaimin rahimahullah juga mengatakan memanjangkan sujud jika sampai tidak standar maka tidak pas.
- Apa yang rajih tentang duduk istirahat (sebelum bangkit ke rakaat berikutnya)?Ada dua pendapat. Hadis Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu menyebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam duduk istirahat. Pendapat yang menolaknya mengatakan itu karena Nabi sudah tua saat Malik bin Huwairits datang ke Madinah. Tapi menurut ulama lain, sesuatu yang dilakukan Nabi meskipun sekali adalah sunah, kecuali ada penegasan bahwa itu karena uzur tertentu.
- Jika kiblat masjid melenceng, apakah saf harus dimiringkan?Jika masjidnya memang miring, maka safnya yang diluruskan sesuai kiblat. Tapi jika masjid sudah diusahakan lurus, tidak perlu risau dengan pengumuman “hari ini matahari di atas Ka’bah”. Ada hadis untuk penduduk Madinah: “مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ” (Antara timur dan barat itu ada kiblat). Maksudnya, selama menghadap ke selatan (arah kiblat Madinah), miring sedikit tidak apa-apa selama tidak sengaja menghadap ke arah lain.
- Salat wajib di kereta, lalu kereta jalan. Lanjutkan atau batal?Lanjutkan, masa mau turun? Ini menunjukkan boleh salat di atas kendaraan jika tidak bisa turun. Jika khawatir jatuh saat berdiri, boleh duduk.
- Apa urgensi mempelajari hadis dan menghafalnya di masa kini?Panjang ceritanya. Hadis adalah peninggalan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sama seperti Al-Qur’an dalam istidlal (pengambilan dalil). Urgensinya setara dengan urgensi belajar bahasa Arab meskipun sudah banyak terjemahan. Menghafal adalah untuk menghidupkan ilmu, karena ilmu banyak dilupakan jika tidak dihafal. Majelis sanad juga penting untuk mengakrabkan kita dengan sanad, yang merupakan ciri khas umat ini. Para ulama dahulu mengatakan, “Belajar hadis tanpa sanad itu seperti mau naik rumah tanpa tangga.”
- Benarkah orang salat boleh menjawab salam dengan mengangkat satu tangan?Ana tidak ingat hadisnya, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah seperti itu. Beliau disalami, tidak menjawab, tapi mengangkat tangan. Wallahu a’lam, bisa jadi ana lupa hadisnya.
Wallahu a’lam bishawab. Mudah-mudahan bermanfaat, kurang lebihnya mohon maaf.
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى عَبْدِهِ وَرَسُولِهِ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.