Kajian Kitab Umdatul Ahkam – 31, Dr. Emha Hasan Ayatullah, M.A


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَبِهِ نَسْتَعِينُ عَلَى أُمُورِ الدُّنْيَا وَالدِّينِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِينَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً، وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ، إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ، وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.

Amma ba’du.

Ikhwah sekalian, semoga Allah ‘Azza wa Jalla memberikan kita keikhlasan, ketakwaan, dan ilmu yang bermanfaat. Kemudian, kita meminta kepada Allah agar kita dimudahkan untuk memahami agama ini, memahami dari sumber asalnya. Merupakan sebuah kebanggaan ketika seorang bisa bertekuk lutut untuk belajar ilmu Hadis. Sebagaimana dulu para sahabat, mereka mempelajari agama ini dengan mempelajari hadis, mereka melakukan perjalanan jauh, mereka bersabar bahkan satu bulan untuk mendapatkan satu hadis. Bukan berarti hadis itu tidak pernah mereka dengar, akan tetapi mereka ingin memantapkan apa yang pernah mereka dengar, dan ini mereka jadikan sebuah ibadah yang mereka banggakan dan andalkan.

Bahkan kita barangkali pernah mendengar, Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah, sebagaimana disebutkan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Muqaddimah Fathul Bari, beliau menyebutkan dengan sanad yang bisa dipastikan kuat. Kata Al-Hafiz Ibnu Hajar, beliau mengatakan, aku mendengar Al-Imam Bukhari pernah menceritakan: “رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا وَاقِفٌ بَيْنَ يَدَيْهِ” (Aku melihat dalam mimpi, seolah aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan aku berdiri di hadapannya), aku membawa sebuah kipas besar untuk menghalau beliau dari semua yang menyakitinya. Maka aku bertanya kepada orang-orang yang ahli mimpi, mereka mengatakan kepadaku bahwa engkau akan menyingkirkan kedustaan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mimpi itulah yang membuat aku terdorong untuk menyusun Shahih Al-Bukhari.

Dan sekarang, kaum muslimin sepakat bagaimana Shahih Al-Bukhari menjadi أَصَحُّ الْكُتُبِ بَعْدَ كِتَابِ اللهِ (kitab yang paling shahih setelah Kitabullah) dengan perjuangan, keikhlasan, dan kehati-hatian beliau dalam belajar dan menyusun. Ini menjadi sebuah tanda, semoga Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan ini merupakan tanda keberkahan dan benarnya niat beliau. Ini menjadi motivasi ketika beliau menjadikan Shahih Bukhari sebagai usaha untuk menghilangkan kebodohan dan kedustaan. Dan ini harus, karena memang terjadi; tidak sedikit para ulama yang berusaha menyusun buku hadis tujuannya untuk menghindarkan kebodohan atau kedustaan dalam hadis, sebagai tugas yang ditegaskan oleh Imam Muslim rahimahullah dalam mukadimahnya.

Beliau, ketika menyusun kitab, diminta oleh salah satu muridnya atau sebagian sahabat-sahabatnya, dan beliau mengatakan bahwa menyebutkan tentang pembahasan hadis tidak semua orang bisa mengerjakan, dan saya tidak memandang saya termasuk orang yang mampu. Membutuhkan perjuangan, membutuhkan ketelitian, itu kata beliau dalam mukadimah Shahih Muslim. Lalu beliau mengatakan, kalau bukan karena banyak orang yang menisbatkan diri kepada hadis, mereka menyebarkan hadis-hadis yang lemah dan berita-berita yang mungkar, yang seharusnya seorang ahli hadis menghilangkan hadis-hadis dhaif, meninggalkan itu dan juga mencampakkan hadis-hadis yang dipalsukan, harusnya mereka berusaha untuk menyebarluaskan dan mencukupkan dengan hadis-hadis yang shahih. Kemudian beliau menyebutkan tentang berbagai realita di zaman itu, tahun 200-an. Beliau menyebutkan realita kaum muslimin banyak seperti itu, maka akhirnya beliau mengatakan, “Semoga menjadi sebuah kemudahan untuk menulis apa yang kamu minta.”

Ini bukan hanya Imam Muslim saja. Ketika mereka berusaha untuk menjelaskan kepada umat hadis-hadis ini, berat sekali memang, tetapi harus diperjuangkan. Dan kini kita bisa menikmati hadis-hadis itu dengan jelas, bagaimana ada yang shahih dan tidak shahih. Kata Al-Iraqi rahimahullah: “فَقَيَّضَ اللهُ لَهَا نُقَّادَهَا” (Maka Allah pilih sebagian orang yang bisa menjelaskan), mereka dengan keahlian dan kedisiplinan, kepekaan mereka, akhirnya yang shahih baru ketahuan dari yang tidak shahih, apakah itu sakit atau rusak hadis itu ketika tidak shahih. Sebagaimana ditegaskan para ulama, berbicara tentang fikih sebuah hadis adalah cabang dari hadis itu shahih atau tidak. Bagaimana seorang melalang buana dengan sebuah fikih, kemudian tiba-tiba hadis itu tidak shahih? Maka menjadi sebuah kehormatan setiap muslim ahlus sunnah bisa belajar ilmu hadis.

Ini, seperti kita sebutkan, membutuhkan kesabaran, membutuhkan perjuangan, dan yang lebih penting adalah keikhlasan. Karena tidak ada manfaatnya ketika seseorang sudah menghabiskan waktu untuk mencari sanad, ijazah yang banyak, kemudian menghafal berbagai dalil, setelah itu ilmunya tidak bermanfaat. Wal’iyadzubillah.


Ikhwah sekalian, malam hari ini kita akan membahas tiga hadis, bi idznillah, mudah-mudahan tidak terlalu panjang. Tiga hadis ini berkaitan dengan masalah menghadap kiblat. Menghadap kiblat merupakan syarat sahnya salat menurut kesepakatan para ulama, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Mundzir, An-Nawawi, kemudian Ibnu Abdil Barr. Mereka menukil ijma’ (kesepakatan) para ulama bahwa menghadap kiblat merupakan syarat sahnya salat, kecuali ada beberapa keadaan yang memang mau tidak mau seseorang tidak bisa menghadap kiblat. Seperti orang sakit yang tidak bisa bergerak; kalau andainya dia masih mampu untuk memiringkan badan, maka ini yang diharapkan. Kalau tidak, atau orang yang melakukan perjalanan seperti yang akan kita bahas ini; kalau seandainya dia menghadap kiblat lalu jatuh, atau dia tidak mampu karena diborgol di penjara sehingga memang dia tidak dihadapkan ke arah kiblat, entah sengaja atau tidak sengaja, dan dia harus salat. Kalau seandainya diborgol terus-menerus sampai berhari-hari akan lewat waktu salat itu berulang-ulang, maka pada saat itu dia boleh untuk tidak menghadap kiblat. Intinya, hukum asalnya menghadap kiblat merupakan syarat sah. Kalau tidak, maka salatnya bisa tidak sah. Akan tetapi, ketika tidak bisa, baru seseorang bisa dimaklumi.

Baik, hadis yang pertama adalah hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي سُبْحَتَهُ حَيْثُمَا تَوَجَّهَتْ بِهِ رَاحِلَتُهُ، يُومِئُ بِرَأْسِهِ إِيمَاءً. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَفْعَلُهُ.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan salat sunah, dikatakan يُسَبِّحُ atau يَتَنَفَّلُ (melaksanakan salat sunah). Beliau melaksanakannya di atas kendaraannya ke mana pun arah kendaraan itu menghadapkan, kemudian beliau menggerak-gerakkan kepalanya. Dan Ibnu Umar mengerjakan hal ini pula. Dalam sebuah riwayat disebutkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan salat Witir di atas kendaraan. Dalam riwayat Muslim disebutkan, “غَيْرَ أَنَّهُ لَا يُصَلِّي عَلَيْهَا الْمَكْتُوبَةَ” (Hanya saja Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengerjakan salat wajib di atas kendaraan). Dalam riwayat Bukhari, “إِلَّا الْفَرَائِضَ” (kecuali salat fardu). Berarti dalam hadis ini disebutkan bahwa salat fardu tidak seperti yang disebutkan dalam hadis karena dikecualikan.

Kemudian, yang dilakukan di sini adalah salat sunah, yang dicontohkan secara rinci dan tegas adalah salat Witir, dan ini tegas sekali dalam hadis ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengerjakan salat fardu di atas kendaraan. Kedua, yang dilakukan adalah salat sunah, karena يُسَبِّحُ di situ artinya salat sunah. Kemudian, riwayat yang lain disebutkan يُوتِرُ (salat Witir). Ini menunjukkan bahwa salat Witir adalah salat sunah. Kenapa ditegaskan seperti ini? Karena sebagian mazhab menganggap bahwa salat Witir wajib. Salat Witir wajib, yang ditegaskan ini, seperti disebutkan oleh An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim, adalah mazhab Hanafiah. Mereka menyebutkan salat Witir wajib. Maka, kebanyakan orang-orang Hanafiah seperti orang Pakistan, orang-orang Afganistan, sebagian mereka habis salat Isya, salat ba’diah, setelah itu salat sunah Witir. Kebanyakan mereka seperti itu, habis salam, salat sunah, habis salam, mereka tambah lagi satu rakaat salat Witir. Ini kebanyakan, dan ini sebenarnya tidak apa-apa karena memang kita tahu salat Witir boleh dilakukan sebelum tidur. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan: “مَنْ خَافَ أَنْ لَا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ، وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ، فَإِنَّ صَلَاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ، وَذَلِكَ أَفْضَلُ” (Barangsiapa yang takut tidak bangun di akhir malam, hendaklah ia witir di awal malam. Dan barangsiapa yang yakin akan bangun di akhir malam, maka hendaklah ia witir di akhir malam, karena salat di akhir malam itu disaksikan, dan itu lebih utama). Ini dalam riwayat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma. Tetapi, karena mereka memandang itu wajib, maka mereka kerjakan lebih pasti lagi. Namun, hadis yang kita bahas sekarang menunjukkan bahwa salat Witir itu bukan wajib, tapi sunah, jelas. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengerjakan salat fardu di atas kendaraan.

Baik, kemudian ditambah lagi ada sebuah hadis yang mengatakan bahwa Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma melakukan perjalanan ditemani oleh keponakannya, namanya Hafsh bin Ashim. Ashim ini saudara Abdullah bin Umar. Nah, Hafsh ini cerita, “صَحِبْتُ ابْنَ عُمَرَ فِي سَفَرٍ” (Satu saat aku melakukan perjalanan bersama pamanku Abdullah bin Umar), “فَصَلَّى بِنَا الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ” (Salat beliau memimpin dua rakaat, dua rakaat saja). Kemudian, sampai beliau kembali ke kendaraan. Maka, satu saat kita istirahat. Ternyata beliau melirik ada beberapa orang yang sedang salat. Maka beliau bertanya, “Mereka ngapain?” “Mereka salat sunah.” Maka beliau berkata, “Kalau aku ingin salat sunah, niscaya mending salat yang tadi tidak aku qashar, dua rakaat itu aku lengkapkan empat rakaat.” Artinya, kesimpulan beliau, kalau salat yang fardu saja diqashar atau diringkas, maka mestinya salat sunah tidak perlu. Begitu.

Tetapi, maksudnya di sini bukan semua salat sunah tidak disyariatkan ketika safar. Buktinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam salat di atas kendaraan, salat Witir, dan beliau dalam kondisi safar. Itu menunjukkan bahwasanya Witir tidak ditinggalkan ketika safar. Dan di akhir hadis dikatakan, “وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَفْعَلُهُ” (Dan Abdullah bin Umar mengerjakan itu). Ini menunjukkan bahwa salat Witir tidak pantas ditinggalkan meskipun alasannya safar. Imam Ahmad rahimahullah pernah suatu saat kedatangan tamu, disambut oleh beliau. Kemudian, di kamar tamu itu disediain air. Ketika salat subuh, dilihat ternyata airnya enggak berkurang. Akhirnya Imam Ahmad bertanya kepada tamunya, “Kok airnya masih utuh, enggak dipakai?” “Iya, أَنَا مُسَافِرٌ,” (Aku sedang safar) kata tamunya. Maka Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Tidak pantas seorang penuntut ilmu hadis dia tidak salat malam,” begitu, “meskipun kamu sedang melakukan perjalanan.” Imam Ahmad pernah ditanya juga tentang orang yang sering meninggalkan salat malam. Beliau mengatakan, “رَجُلُ سُوءٍ” (Ini orang jelek), ya, ketika beliau ditanya tentang orang yang sering meninggalkan qiyamul lail. Kita bayangkan, ini salat sunah, bagaimana seandainya salat fardu berjamaah? Kalau orang belajar ilmu agama, dia sering tidak salat jamaah, ini kira-kira bagaimana pendapat para ulama kalau melihat kebiasaan kita?

Dan ini merupakan salah satu bukti bahwa salat sunah pun tetap dikerjakan, sekalipun tidak bisa secara sempurna, tetapi di atas kendaraan. Yang dimaksud dari perkataan Abdullah bin Umar tadi itu, kata Al-Hafiz Ibnu Hajar, itu bukan merupakan pengingkaran untuk salat Witir, tetapi yang dimaksudkan adalah salat sunah rawatib. Kalau orang melakukan qashar salat zuhur dua rakaat, dijamak lagi Asar dua rakaat, maka enggak pantas kalau seandainya dia kemudian menambahi dengan salat sunah. Kalau dia pengin salat sunah, ingin tambah pahala, mending salat fardunya saja disempurnakan, kata beliau. Dan ada riwayatnya memang menunjukkan itu. Di dalam beberapa riwayat yang disebut oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar bahwa Abdullah bin Umar ketika mengatakan itu, beliau menambahi, dalam riwayat At-Tirmidzi juga, “لَا يُصَلِّي قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا” (tidak salat sebelumnya dan sesudahnya). Jadi redaksinya mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena dalam hadis yang pertama disebutkan, “Aku safar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Aku tidak pernah melihat mereka salat lebih dari dua rakaat sampai Allah wafatkan mereka.” Ketika safar, beliau selalu salat dua rakaat, dua rakaat, enggak pernah lebih dari itu. Ternyata, dalam riwayat At-Tirmidzi dengan tambahan “لَا يُصَلِّي قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا” (ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, mereka tidak salat qabliyah dan ba’diyah). Jadi, yang diingkari salat sunah di safar tadi itu adalah salat qabliyah dan ba’diyah. Adapun salat malam, tahajud, maka tetap dikerjakan.

Pelajaran lain dalam hadis ini, berarti seorang yang melakukan perjalanan dan dia melaksanakan salat sunah, maka dibolehkan untuk tidak menghadap ke arah kiblat. Boleh langsung ke mana arah kendaraannya berjalan. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan ini ketika pulang dari kota Makkah. Disebutkan dalam sebuah riwayat kata Al-Hafiz Ibnu Hajar, “Eh, kata Imam Nawawi, ‘يُصَلِّي وَهُوَ مُقْبِلٌ مِنْ مَكَّةَ إِلَى الْمَدِينَةِ‘ (Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam salat di atas kendaraan itu sedang menghadap ke arah Madinah).” Dan ketika pulang dari kota Makkah, dalam riwayat lain disebutkan dari sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma: “رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى حِمَارٍ وَهُوَ مُوَجِّهٌ إِلَى خَيْبَرَ” (Dan aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam salat di atas keledai dan beliau sedang menghadap ke arah Khaibar). Ini daerahnya tidak satu arah dengan Makkah. Ini menunjukkan bahwa beliau bisa melaksanakan salat membelakangi kiblat, ini dibolehkan.

Al-Hafiz Ibnu Hajar juga mengatakan bahwa di dalam hadis ini ada pelajaran bahwa orang yang melaksanakan salat sunah bisa melaksanakannya dengan isyarat kepala. “يُومِئُ بِرَأْسِهِ” (memberikan isyarat dengan kepalanya). Kata Al-Hafiz Ibnu Hajar, memang dalam hadis ini tidak dijelaskan secara rinci bagaimana mengisyaratkan dengan mengangguk, seberapa ukurannya. Hanya dalam sebuah hadis dari riwayat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengunjungi orang yang sedang sakit, dan orang yang sedang sakit ini salatnya di atas bantal. Dia jadikan bantal ini sebagai tempat untuk sujud karena dia tidak bisa salat sambil sujud, maka bantalnya didekatkan. “فَأَخَذَهُ فَرَمَى بِهِ” (Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian mengambil bantal itu lalu dilempar). Orang itu ganti mengambil tongkat atau kayu dipakai untuk sujud, dikiranya barangkali dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu karena pakai bantal, akhirnya cari yang lain. Ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengambilnya lagi, dilempar lagi, lalu beliau bersabda, “Kalau kamu bisa, salatlah di atas tanah itu. Kalau tidak bisa, cukup kamu memberikan isyarat saja. Enggak usah capek mengambil barang apa pun ditempelkan.” Ketika sujud, gerakannya lebih rendah dari ketika rukuk. Berarti memang ada anjuran untuk membedakan ketika kita rukuk dan sujud. Kalau sujud, diusahakan lebih rendah, itu sunah. Kalau kita bisa mengerjakan itu bagus, tapi kalau enggak bisa bagaimana? Enggak apa-apa. Seperti orang yang di bus, misalkan. Alhamdulillah sekarang sudah agak enak jalannya, tapi biasanya gerakannya tidak sestabil kendaraan lain seperti pesawat, kapal, atau kereta. Mungkin pas sujud, bus ngerem, bisa kejengkang dia.

Sehingga, disebutkan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar bahwa hukum asalnya salat wajib juga enggak boleh pakai isyarat. Hukum asalnya, salat yang wajib tidak boleh dengan isyarat sebagaimana salat yang wajib juga tidak boleh membelakangi kiblat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu turun. Bahkan An-Nawawi rahimahullah menukil dalam Mazhab Syafi’i, salat di atas kendaraan ketika dia berjalan enggak boleh, enggak sah. Kalau seandainya dia menggunakan unta, di atas unta itu ada tempat yang dipakai untuk menutupi seperti kotak, namanya haudaj. Kalau seandainya dia berhenti, kemudian dia salat di atas pelananya itu, di atas haudaj, maka dia boleh, tapi berhenti. Kalau jalan, maka enggak boleh. Ini dalam Mazhab Syafi’i yang disebutkan oleh An-Nawawi rahimahullah. Artinya, sedemikian ketat mereka untuk mendisiplinkan mempraktikkan hadis ini kalau itu bisa.

Kalau tidak bisa bagaimana? Al-Hafiz Ibnu Hajar juga menukil, beliau mengatakan bisa jadi sah-sah saja kalau dia enggak bisa untuk berhenti. Contohnya orang yang di atas perahu. Kalau perahunya gede, kapal pesiar, wah ini masyaallah, barangkali lebih enak dari rumah kita. Tapi orang yang naik sampan, pada saat itu kalau berdiri khawatir terbalik kapalnya, maka bagaimana dia salat? Salatnya sambil duduk, seperti orang yang salat kalau khawatir kapalnya terbalik. Termasuk orang yang seandainya dia salat di darat, tapi kalau dia salat di darat khawatir rombongannya pergi. Atau orang yang memang perjalanannya di darat, akan tetapi kalau dia salat ditinggal, atau bisa bahaya, maka boleh dia salat di atas kendaraannya.

Sekarang ini, kebanyakan para sopir tidak salat. Kalau puasa Ramadan, sahur berhenti, salat enggak berhenti. Karena itu jatah, ya kan. Jadi mereka berhenti jam malam, kita penginnya itu kalau seandainya bus-bus itu berhenti jam 3 pagi, kan enak itu. Ada yang masuk ke kamar mandi, ada yang makan belum selesai, nanti ada alasanlah. Kita salat di bawah bisa itu. Tapi enggak, jam 2 sudah berhenti. Jam 3 pada selesai, ayo naik, naik. Setengah 4 waktunya hampir azan, jalan mereka, enggak berhenti. Baru kalau ada ibu-ibu datang, “Ah, berhenti, mau salat,” oh baru berhenti dia. Kalau penumpangnya kayak kita ini, enggak berhenti. Nah, maksudnya, kalau seandainya ada orang yang memang dihadapkan seperti itu, ya maka wallahu a’lam, tidak apa-apa dia salat sambil duduk dan tidak menghadap kiblat pun tidak apa-apa. Tapi kalau bisa menghadap kiblat, diusahakan. Kalau misalkan berjalan dari arah barat perjalanannya, sekarang ini katanya busnya banyak yang sleeper, maksudnya busnya yang tidur, kita enggak bisa tidur ya. Maksudnya, kalau kita bisa untuk mengarahkan ke arah kiblat, maka kita mengarah kiblat. Bisa berdiri maka berdiri. Kalau enggak bisa, ya sudah, berarti salat sebisanya. Tapi maksudnya, ini merupakan pelajaran bagaimana para ulama menyebutkan bahwa detailnya seperti ini. Maka yang paling enak ketika seorang melakukan perjalanan dengan kendaraan pribadi. Kapan pengin berhenti, berhenti. Waktu salat, berhenti. Enak sekali. Berarti mereka tidak mendapatkan uzur untuk tidak salat di bawah, kecuali tadi itu yang disebutkan, kalau dia khawatir berhenti bahaya, kalau dia turun ada penyamun, atau dia akan terlambat atau semacamnya, itu urusan lain. Tapi kalau terlambat, gampanglah urusannya. Tapi kalau seandainya dia khawatir berhenti bahaya, diincar segala macam, maka dia enggak apa-apa tidak berhenti.


Hadis kedua, dari Abdullah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan, ketika para sahabat sedang melaksanakan salat subuh di Quba. Quba ini nama tempat aslinya, kemudian karena ada masjidnya, maka sekarang lebih dikenal dengan Masjid Quba, dan orang-orang lupa bahwa itu adalah nama tempat. Bahkan di dalam hadis ini, kata Al-Hafiz Ibnu Hajar, maksudnya adalah masjidnya penduduk daerah Quba. Nah, sekarang ini Masjid Quba itu besar sekali, perluasan, diindahkan, menjadi tempat rekreasi sebelum tempat ibadah mungkin sebagian orang. Ada yang datang ke sana tidak pengin ibadah, tapi pengin jalan-jalan aja. Padahal, sayang sekali.

Disebutkan ketika para sahabat sedang salat di masjid itu, “إِذْ جَاءَهُمْ آتٍ” (ketika mereka sedang salat subuh, tiba-tiba datang seorang sahabat). Dalam riwayat lain, disebutkan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar, “صَلَاةُ الْغَدَاةِ” (salat pagi), maksudnya adalah salat Subuh. Dan Al-Hafiz Ibnu Hajar mengatakan ini adalah salah satu penamaan, meskipun ada sebagian ulama menyebutkan riwayat bahwa makruh menamakan salat Subuh dengan Salat Al-Ghadah, tapi itu yang disebutkan dalam beberapa hadis. Ketika tiba-tiba ada seorang sahabat yang datang, satu orang. Ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhuma bahwa kejadian ini bukan di salat Subuh, akan tetapi di salat Asar. Kejadian itu sama-sama diriwayatkan dari sahabat lain yang bernama Al-Bara’ bin ‘Azib, di salat Asar, datang pula ada orang yang memberitahu. Dan di dalam riwayat itu disebutkan bahwa yang memberitahukan namanya ‘Abbad Ibnu Bisyir radhiyallahu ‘anhu. Dia yang mengatakan, “Eh, sekarang kiblat sudah berubah.” Tetapi dalam hadis yang kita pelajari ini, enggak ada disebutkan siapa yang memberitahu. Maka kata Al-Hafiz Ibnu Hajar, mungkin orangnya sama, tapi mungkin juga berbeda. Karena memang dalam jalur periwayatan, “Ana tidak temukan,” kata Al-Hafiz Ibnu Hajar. Jadi kelebihan Al-Hafiz Ibnu Hajar ketika beliau menyebutkan ada kemungkinan maknanya seperti ini, yang mendukung adalah riwayat A, B, C, beliau jamak semua. Ini kelebihan beliau, ini bagus sekali. Tapi kata beliau, “Ana cari di semua jalurnya, enggak ketemu siapa nama orang ini.”

Maka kata beliau, bisa jadi kejadian ini terulang dua kali, dan itu mungkin sekali. Karena dalam riwayat yang pertama, disebutkan Bani Haritsah dalam salat Asar. Kemudian yang kedua dalam hadis ini, dalam hadis yang salat Subuh di Quba, bukan Bani Haritsah, akan tetapi Bani ‘Amr Ibnu ‘Auf. Ini kabilah yang berbeda. Lalu beliau mengatakan, mungkin saja kejadian itu berulang. Bani Haritsah mereka tinggal di dalam kota Madinah, sementara Bani ‘Amr bin ‘Auf mereka tinggal di luar, yaitu di Quba. Karena Quba dulu tidak di kota Madinah. Kota Madinah itu dulu kecil, saya pernah dengar dari beberapa orang, mereka katakan Masjid Nabawi itu dulu Madinah, ya kampung Madinah itu sekarang hanya jadi masjid saja, Masjid Nabawi karena luas sekali. Dulu ada Masjid Bani Salimah, yang sekarang di sekitaran Masjid Al-Qiblatain, dan itu memang ada kejadian lain lagi kata Al-Hafiz Ibnu Hajar. Bani Salimah bukan sama dengan Bani Haritsah, sehingga bisa jadi kejadian itu mungkin terjadi beberapa kali.

Baik, disebutkan ketika tiba-tiba datang kepada mereka salah seorang yang memberitahu, “إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أُنْزِلَ عَلَيْهِ اللَّيْلَةَ قُرْآنٌ” (orang tadi mengatakan, “Eh, yang lagi salat, sungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mendapatkan wahyu tadi malam”). Dalam lafaz ini, disebut oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar, maksudnya bukan tadi malam pasti, akan tetapi kata-kata اللَّيْلَةَ bisa dipahami pokoknya kemarin, entah kemarin sore, kemarin pagi, kemarin malam. Maksudnya اللَّيْلَةَ itu bisa diartikan sebagian dari waktu kemarin. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mendapatkan wahyu, turun Quran. Kata Al-Hafiz Ibnu Hajar, disebutkan Quran, tapi yang dimaksudkan sebagian Al-Qur’an. Karena ketika menyebutkan sesuatu, boleh saja seorang menyebutkan semuanya.

Yang dimaksudkan ayat yang turun adalah firman Allah di surat Al-Baqarah, awal juz 2 itu, ya: “قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا” (Kami sudah melihat bagaimana kamu menoleh-noleh ke atas). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pengin cepat wahyu diturunkan agar tempat yang kita agungkan, yaitu Ka’bah, menjadi kiblat, padahal sebelumnya di Baitul Maqdis. Baitul Maqdis juga tempat yang diagungkan, tempat yang dibangun oleh para nabi, sama saja. Para nabi juga salat di Baitul Maqdis, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lebih ingin kalau seandainya kiblat itu mengarah ke arah Ka’bah. Kata Allah ‘Azza wa Jalla: “فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ” (kalau begitu sekarang arahkan mukamu ke arah Masjidil Haram). Ayat ini yang turun pada saat itu, disampaikan oleh orang itu.

Orang-orang lagi salat. “وَقَدْ أُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ فَاسْتَقْبِلُوهَا” (Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah diperintahkan untuk menghadap ke arah kiblat, maka kalian yang lagi salat ini, arahkan muka kalian ke arah kiblat). Dalam beberapa riwayat dikatakan فَاسْتَقْبَلُوهَا (maka mereka, orang yang lagi salat, sama-sama ramai-ramai membalikkan badan). Dalam riwayat bahkan dikatakan mereka sedang rukuk, sehingga mereka ramai-ramai membalikkan badan dalam kondisi salat. Yang memberitahu tidak salat, kata Al-Hafiz Ibnu Hajar. Berarti bagaimana? Boleh orang yang tidak salat mengajari orang yang lagi salat. Boleh. Contohnya bagaimana? Ada tamu dari jauh, enggak ngerti kalau ini kiblat. Tahunya kiblat itu ada mihrabnya. “Ini mihrabnya di mana, ya? Enggak ada ini, rumah apa kamar apa masjid?” Akhirnya dia salat menghadap ke arah sana, misalkan. Antum masuk, lihat orang salat, arahnya salah. Maka Antum bisa mengatakan, “Mas, salatnya ke arah kiblat, kiri antum itu.” Boleh.

Yang pertama. Yang kedua, boleh untuk orang yang lagi salat mengerjakan apa yang diperintahkan orang yang tidak salat. Ini juga boleh. Tapi enggak boleh ngomong. Kalau ngomong enggak boleh. “السَّلَامُ عَلَيْكُمْ” kalau antum lagi salat, jawab “وَعَلَيْكُمُ السَّلَامُ,” ya, ini enggak boleh. Termasuk ketika dia lagi salat sebelah antum lalu dia bersin kemudian reflek bilang “الْحَمْدُ لِلَّهِ,” antum pengin jawab enggak boleh, meskipun dia boleh karena “الْحَمْدُ لِلَّهِ” bagian dari Al-Qur’an. Antum bilang “يَرْحَمُكَ اللهُ,” enggak boleh.

Kemudian, di dalam riwayat ini juga disebutkan boleh seseorang menerima khabarul wahid, artinya berita satu orang. Dan ini menunjukkan bahwa dulu para sahabat, mereka mengamalkan itu tanpa membedakan apakah riwayat itu mutawatir atau ahad. Dan ini dijadikan oleh ahlus sunnah untuk membantah ahlu bid’ah yang menolak hadis ahad. Mereka katakan hadis itu harus mutawatir, kalau tidak mutawatir enggak boleh diterima. Ini salah. Buktinya, ini di antara dalilnya. Mereka tidak perhatikan. Mereka lagi salat, yang datang juga enggak diketahui siapa, yang penting itu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika diberitahu, “Eh, salatnya menghadap ke arah kiblat,” mereka menghadap kiblat padahal mereka lagi salat.

Baik, silakan azan… [azan] …Baik, dalam hadis ini, kemudian orang tadi mengatakan, “فَاسْتَقْبِلُوهَا” (maka kalian yang lagi salat sekarang arahkan muka kalian ke arah kiblat). Kata Al-Hafiz Ibnu Hajar, ada dua riwayat. Riwayat yang pertama dikatakan “فَاسْتَدَارُوا” (maka mereka segera mengalihkan kiblat mereka), tapi riwayat yang lain berupa fi’il amr: “فَاسْتَقْبِلُوهَا” (kalian arahkan ke arah kiblat). Mana yang lebih tepat? Kata Al-Hafiz Ibnu Hajar, wallahu a’lam, yang lebih tepat adalah perintah, “Arahkan muka kalian ke arah kiblat,” karena ada sebuah riwayat yang mengatakan, “Maka ketahuilah, segera arahkan.” Ini merupakan riwayat yang menunjukkan bahwa nadanya perintah, bukan berita.

Kemudian disebutkan di sini, muka mereka tadinya menghadap ke arah Syam. Syam itu daerah yang berlawanan dengan arah Makkah. Syam itu, kalau tidak salah, arahnya ke arah barat, karena itu daerah pesisir pantai, menyeberang kemudian Laut Merah, itu daerah Syam. Sementara Makkah ke arah selatan. Maka ketika muka mereka ke arah barat, kemudian berpindah ke arah Ka’bah yang di daerah selatan (karena di Madinah), Ka’bah mereka mutar. Gimana mutarnya? Disebutkan kata Al-Hafiz Ibnu Hajar, ada riwayat yang disebutkan dalam Ibnu Abi Hatim dari seorang sahabiah yang bernama Nuwailah binti Aslam, disebutkan riwayatnya, “Maka ibu-ibu maju ke tempat laki-laki dan laki-laki pindah ke tempat ibu-ibu.” Berarti mutarnya ini kacau katanya, artinya banyak sekali gerakannya. Kata Al-Hafiz Ibnu Hajar, antum tahu, dalam Mazhab Syafi’i dikatakan tidak boleh orang bergerak dalam salat kecuali karena dibutuhkan atau kemungkinan karena gerakan mereka ini tidak berturut-turut. Karena dalam Mazhab Syafi’i dikatakan, ketika seseorang butuh untuk bergerak, maka dia bergeraknya putus-putus. Ini dibahas dalam buku-buku fikih mereka. Kalau mau gerak itu tidak boleh langsung, tapi jalan dulu satu langkah, jalan lagi satu langkah, agar gerakan kita tidak bersambung. Kalau bersambung, batal. Ternyata memang begini, ya. Orang-orang yang pernah kita lihat di tengah masyarakat, ketika mereka melihat di depan ada yang kosong, mereka enggak langsung, tapi jalan satu langkah, kemudian jalan satu langkah. Ternyata buku fikih seperti itu.

Maka Al-Hafiz Ibnu Hajar mengatakan, “Loh, ini gimana? Ini yang pindah kiblat ini bukan hanya pindah kiblat, tapi secara besar-besaran, ya, masif, sistematis, dan terstruktur.” Jadi pindahnya itu ramai-ramai, karena memang banyak sekali. Kata Al-Hafiz Ibnu Hajar, kemungkinan ini mereka berhenti-berhenti, tapi itu kayaknya jauh sekali. Dalam kondisi para sahabat salat, mereka bersegera untuk mengamalkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu mereka berhenti sejenak, ini jauh sekali kemungkinannya. Tapi kemungkinan seperti yang disebut oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar adalah mereka mengerjakan itu karena dibutuhkan. Dan kata beliau, gambarannya memang mau tidak mau imamnya itu jalan paling jauh, karena dia di paling depan. Kalau dia hanya bergerak untuk berbalik badan, maka dia menjadi paling belakang, depannya adalah mihrab, enggak bakal cukup untuk makmumnya. Akhirnya, dia yang jalan ke belakang, lalu laki-laki ngikutin di belakangnya, ibu-ibu balik arah ke belakang. Sehingga memang pergerakan perpindahan itu besar dan jauh seperti itu. Dan ini menunjukkan bahwa itu boleh karena memang ada hajah (kebutuhan).

Di sini juga disebutkan, di antara pelajaran pentingnya, bahwa sebuah hukum yang menghapus hukum yang lama, dia tidak berlaku untuk seorang mukallaf (orang muslim, berakal, dan dewasa) yang tidak mengerti kalau ternyata hukum ini sudah tidak berlaku. Tapi kapan berlaku untuk dia? Ketika dia sudah sampai ilmunya, ketika dia sudah diajarin. Kalau belum diajarin, maka dia dimaklumi. Maka sampai kata Al-Hafiz Ibnu Hajar, Ath-Thahawi mengambil kesimpulan lebih luas: seorang yang belum mendengar sebuah dakwah dan pelajaran, kalau dia mengerjakan sesuatu yang salah, maka dia tidak disalahkan. Buktinya ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyuruh mereka untuk mengulang salatnya. Sudah berapa rakaat salatnya? Misalkan sudah satu rakaat karena mereka sedang rukuk, maka rakaat pertama tidak diulang. Ternyata tidak diulang karena memang berita itu sampai kepada mereka ketika di rakaat berikutnya, maka rakaat pertama aman.

Dan ini disebutkan juga oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar bahwa dulu di zaman sahabat, mereka juga bisa berijtihad. Karena ketika ada perintah itu, kira-kira apa yang dibayangkan kalau bukan ijtihad? Imam yang tidak paham bisa buyar salat itu. Contohnya banyak di masyarakat, ya. Jadi imam dibilang “سُبْحَانَ اللهِ,” bingung dia, ini yang salah apa, akhirnya buyar dia. Atau dia enggak ngerti gimana cara negur imamnya, akhirnya dia batalkan salatnya, beritahu, “Eh, kurang ininya,” ngomong sudah. Dia rela untuk membatalkan salatnya, berarti memang sama-sama enggak ngerti. Nah, di zaman sahabat, antum bayangkan, ini sebuah kejadian baru, pindah kiblat, dan mereka pertama kali mendengar itu. Susah sekali, maka butuh orang yang langsung mengambil keputusan, ya itulah ijtihad, kata Al-Hafiz Ibnu Hajar. Dan itu boleh, dan itu dibenarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Seandainya itu salah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan membenarkan. Ketika tidak disalahkan, berarti ijtihad itu benar. Bukan berarti kalau begitu masing-masing berinovasi, enggak. Karena sunah itu menjadi sunah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar tapi tidak menyalahkan. Dan ijtihad para sahabat sah saja, karena ketika mereka ijtihad kemudian salah, akan ditegur. Kalau kita mau berijtihad dengan menyelisihi syariat, bahaya.


Hadis ketiga, tinggal 5 menit lagi, enggak apa-apa, aman insyaallah. Hadis dari Anas Ibnu Sirin. Antum perhatikan, ini kisahnya menarik sebenarnya. Anas bin Sirin beliau mengatakan, “اسْتَقْبَلْنَا أَنَسًا حِينَ قَدِمَ مِنَ الشَّامِ” (Kami menyambut Anas ketika beliau datang dari daerah Syam). Anas bin Sirin, beliau ini merupakan anaknya Sirin. Ya iyalah namanya Anas bin Sirin. Tapi maksudnya, Sirin ini merupakan budaknya Anas bin Malik. Dan Sirin ini punya anak para ulama, sekarang kita ceritakan Anas bin Sirin, kemudian di antara yang paling terkenal adalah Muhammad Ibnu Sirin. Muhammad Ibnu Sirin ini dia seorang ahli hadis dan seorang faqih. Mereka punya saudari perempuan juga, ana lupa namanya, bintu Sirin. Padahal ini anak seorang budak. Gimana ceritanya perbudakan itu?

Sekarang ceritanya, dia mengatakan kami menyambut Anas ketika datang dari safar. Kata Al-Hafiz Ibnu Hajar, ini ada pelajaran bahwa memang orang menyambut tamu itu bagus. Bukan tamu, akan tetapi orang yang datang bepergian kemudian disambut. Ada orang yang kita hormati, dia datang dari perjalanan jauh, disambut, itu boleh karena itu kebiasaan dulu para Salaf. Kemudian datang dari daerah Syam. Ada apa ini daerah Syam? Daerah Syam ini kejadian pada saat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu melapor ke Abdul Malik Ibn Marwan. Kita tahu bahwa pusat pemerintahan pada saat Khulafa Rasyidin di Madinah, tapi setelah itu ketika dipegang oleh dinasti Muawiyah sampai bawah-bawahnya, Bani Umayyah, berpindah pusat ibukotanya di daerah Syam. Pada saat itu, di zaman Hajjaj Ibnu Yusuf Ats-Tsaqafi, Hajjaj ini, naudzubillah, ketika pemerintahan Khilafah Bani Umayyah, kaum muslimin diuji dengan kebenaran, benar-benar diuji. Orang zaman sekarang enggak kebayang di zaman itu bagaimana kebengisan pemerintah, termasuk Hajjaj Ibnu Yusuf Ats-Tsaqafi.

Pernah Anas ini sampai lapor ke Abdul Malik bin Marwan, sang khalifah. Ketika dilaporin oleh Anas bin Malik, khalifah ini marah besar luar biasa ke Hajjaj. Hajjaj ini, naudzubillah, tapi saking marahnya si Abdul Malik bin Marwan ini, nulis surat ke Hajjaj, “Ente kalau sudah terima surat ini, ente harus datang minta maaf ke Anas bin Malik, cium tangannya, cium kakinya, ente minta maaf. Demi Allah, kalau ente enggak kerjakan itu, kamu akan tahu apa akibat hukuman dariku.” Ini saking ngamuknya. Kenapa? Karena Hajjaj bin Yusuf ini orangnya bengis, gampang bunuh, kata-katanya kotor sekali. Sampai dihina ibunya Anas ini dengan kata-kata tentang masalah hubungan badan segala macam, dituduh yang macam-macam. Ini sampai marah sekali Anas. Anas sampai mengatakan, “يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى إِذَا أَدْرَكُوا خَدَمَةَ نَبِيِّهِمْ لَأَكْرَمُوهُمْ، وَهَا أَنَا قَدْ خَدَمْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ سِنِينَ” (Wahai Amirul Mukminin, orang Yahudi dan Nasrani kalau mereka melihat ada pembantu-pembantu nabinya, mereka akan agungkan itu. Sekarang aku membantu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam 10 tahun, sekarang ini Hajjaj, orang-orangmu ini, bawahanmu ini seperti ini kata-katanya). Sampai kepada telinga Abdul Malik bin Marwan, kata-katanya kotor menghina Anas bin Malik, parah sekali. Antum kalau membaca ini dalam Al-Bidayah wan Nihayah Ibnu Katsir, ini parah sekali. Dihina sekali dengan kata-kata yang kotor. Anas enggak terima itu. Kalau seandainya hina dia saja masih mending, ibunya dihina seperti itu, akhirnya lapor. Sampai seperti itu. Nah, ini Anas bin Malik baru pulang dari daerah Syam dalam kisah ini.

Dikatakan oleh Anas bin Sirin, “فَلَقِينَاهُ بِعَيْنِ التَّمْرِ” (maka kami sambut beliau di daerah ‘Ainut Tamr). ‘Ainut Tamr ini bukan di Madinah. ‘Ainut Tamr itu daerah jalur ke Irak, tapi tempatnya lebih dekat dengan Syam. Baru keluar dari daerah Syam, ketemu dengan jalur ke arah Irak, nah itu namanya ‘Ainut Tamr. ‘Ainut Tamr ini memiliki catatan sejarah ketika zaman kekhilafahan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Pemerintahan kaum muslimin semakin melebar. Di antaranya, Khalid bin Walid mengalahkan beberapa daerah, akhirnya dijadikan sebuah negeri muslim sampai ke daerah namanya ‘Ainut Tamr. ‘Ainut Tamr itu merupakan daerah kekuasaan Persia dan di sana ada dua kekuatan yang melindungi daerah itu: kekuatan pertama orang Persia sendiri, dan itu ada panglimanya, namanya Mihran Ibnu Bahram. Ini nama Persia. Kemudian ada orang-orang Arab yang Nasrani, mereka mendukung Persia di situ, dan mereka menjadi pagarnya pemerintahan itu. Ada pemimpinnya juga, panglimanya namanya ‘Aqqah Ibnu Abi ‘Aqqah. Ini orang Arab. Ketika mendengar ada Khalid bin Walid datang, mereka khawatir. Raja Persianya waktu itu mulai khawatir. Akhirnya terjadi perbincangan antara Mihran tadi itu dengan ‘Aqqah Ibnu Abi ‘Aqqah. Orang Arab ini sombong, dia bilang, “Serahkan urusan itu pada kami, orang Arab lebih tahu cara menghadapi orang Arab.” Padahal justru si Mihran ini mengerti, Khalid ini bahaya sekali. “Aku berusaha menghindari dia,” kok ini sekarang bilang begitu. Akhirnya Mihran bilang, “Ya sudah, saya serahkan kepada kamu.” Nah, ketika dia ngomong kayak gitu, ‘Aqqah bin Abi ‘Aqqah maju dia dengan pasukannya. Si Mihran ini ditegur keras oleh atasannya, yaitu rajanya, “Eh, kenapa malah muji dia kayak begitu?” Akhirnya kata Mihran, “Loh, ana sengaja ngomong kayak gitu biar menghancurkan mereka. Ana biarkan mereka, korbankan mereka, tumbalkan saja. Kalau nanti dia berhasil mengalahkan Khalid bin Walid, bagus. Kita berhasil tanpa mengeluarkan tenaga. Tapi kalau ternyata dia kalah, maka kita tetap bisa memerangi Khalid bin Walid karena mereka sudah lemah menghadapi pasukan ini. Setelah lemah, kita serang, kita masih dalam kondisi fit dan kuat.” Tapi rajanya bilang, “Oh, enggak mungkin.”

Akhirnya, benar yang di luar dugaan, ‘Aqqah bin Abi ‘Aqqah ini dengan sombongnya keluar dengan pasukan yang besar. Khalid bin Walid ini enggak ngerti bahwa ‘Aqqah ini sengaja pengin ngadepin dia, tapi sudah senior banget Khalid bin Walid ini. Akhirnya dia tugaskan, apa? Pasukan yang diutus itu bukan pasukan inti, tapi yang ditugaskan hanya pasukan sayap kanan kiri saja. “Ayo maju,” gitu. Tapi beliau siapkan pasukan kecil, tujuannya apa? Langsung saja sabet panglimanya, culik aja, habis sudah dia. Betul-betul ‘Aqqah enggak nyangka. Tahu-tahu dia sudah dikejutkan dengan pasukan khususnya Khalid bin Walid. Gampang sekali orang diculik, digeret, sampai akhirnya diumumkan, “Nih, panglima kalian sudah tertangkap!” Akhirnya gampang sekali, pasukan sudah enggak berani maju semua. Enggak lama itu hancur semuanya, nyerah.

Ketika nyerah seperti itu, Mihran tadi di belakang kan kirim mata-mata, “Gimana perkembangannya?” “Oh, ternyata kalahnya hancur lebur itu, tanpa perlawanan yang susah.” Akhirnya mereka kabur, kerajaan yang dibentengin dengan kokoh itu ditinggalkan, dibiarkan terbuka. Tinggal orang-orang Arab yang tersisa itu, mereka kabur lari masuk ke benteng. Loh, kok terbuka? Langsung masuk semuanya, tutup, dikiranya aman-aman saja. Ternyata penguasanya sudah kabur. Datang Khalid bin Walid, mengerti itu, dikepung dengan keras. Akhirnya mereka nyerah. “Sudah, kita nyerah, kita damai.” Apa kata Khalid bin Walid? “Enggak mau damai, ana akan terapkan hukum kami.” Ya sudah, akhirnya ditangkaplah orang yang tersisa itu semua, dikalahkan, dirampas jadi maghanim. Termasuk orang-orang yang memang tidak bisa didakwahi, selesai sudah urusannya. Kemudian di situ ada sebuah tempat, ada 40 pemuda rupanya mereka dilatih membaca Injil, ada pondokannya di situ. Dan ada pintu tertutup rapat, oleh Khalid bin Walid dipecahkan. Ternyata ada orang-orang, ditanya oleh Khalid, “Kalian siapa?” “Kami pemuda yang dipelajari untuk ini.” Akhirnya oleh Khalid ditawan, mereka dibagi-bagi di pasukan kaum muslimin. Maka di antara mereka adalah Sirin. Kata Ibnu Katsir rahimahullah: “وَعَدَدٌ مِنَ الْأَسْمَاءِ الَّتِي أَرَادَ اللهُ بِهِمْ خَيْرًا” (Dan sejumlah nama yang Allah kehendaki kebaikan kepada mereka). Maka di antara yang ditawan adalah Sirin ini tadi. Sirin ini akhirnya punya anak namanya Muhammad, kemudian Anas, dan seterusnya. Diambil jadi bagiannya Anas bin Malik, lalu dibebaskan oleh Anas bin Malik, jadilah dia maula Anas, belajar Islam yang benar, akhirnya jadi ahli hadis semuanya. Termasuk di antaranya Humran, yang dulu meriwayatkan hadis wudu Utsman. Karena dia diambil atau jadi jatahnya Utsman, jadi budaknya, kemudian dia sampai jadi alim juga. Ini kejadian waktu di ‘Ainut Tamr.

فَرَأَيْتُهُ يُصَلِّي عَلَى حِمَارٍ وَوَجْهُهُ مِنْ ذَا الْجَانِبِ” (Maka aku melihat, kata Anas bin Sirin, bahwa Anas bin Malik ini salat tapi mukanya ke arah sini), maksudnya ke arah kiri, disebutkan, tidak menghadap ke kiblat tapi malah ke arah kirinya kiblat. Maka di sini kata Al-Hafiz Ibnu Hajar, boleh seseorang memberikan isyarat untuk menjelaskan sebuah berita. Kemudian dikatakan, kata Anas bin Sirin kepada gurunya ini, “Aku melihat kayaknya muka antum ke selain kiblat ya.” Kata Al-Hafiz Ibnu Hajar, ini menunjukkan bahwa seorang murid ketika akan bertanya kepada gurunya, dia harusnya memilih kata-kata yang sopan. Enggak langsung, “Antum ini kayak gini,” gurunya marah. Di sini, kata Al-Hafiz Ibnu Hajar, seorang perlu bertanya dengan santun, dan boleh seorang murid bertanya kepada gurunya kenapa kok tidak sama dengan sunah. Ini penting sekali. Al-Hafiz Ibnu Hajar mengatakan boleh seorang murid ketika melihat gurunya tidak sama dengan yang dipelajari, dia bertanya, “Apa alasan antum? Kenapa kok tidak ini, dalilnya apa?” Begitu, enggak ada masalah.

Kemudian Anas bin Malik menjawab: “لَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ مَا فَعَلْتُهُ” (Kalau bukan aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan itu, enggak bakal aku kerjakan. Aku enggak main-main, ana mengerjakan seperti ini karena aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan itu). Ini kisahnya dinukil dari Anas bin Malik. Kata Al-Hafiz Ibnu Hajar, ini menunjukkan bahwa para sahabat dulu mereka menjadikan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sama dengan perkataan beliau. Kalau seandainya para fuqaha atau ushuliyyun mengatakan bahwa fi’il (perbuatan) itu lebih lemah atau tidak lebih kuat dari qaul (perkataan), artinya ada hadis yang mengatakan dengan tegas seperti “أَقِيمُوا الصَّلَاةَ” (tegakkan salat), ini lebih kuat, lebih tegas daripada “كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي” (Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasanya beliau salat). Ini ada hadis fi’liyah, ada hadis qauliyah. Kata ushuliyyun, qauliyah lebih kuat dari fi’liyah karena fi’il itu masih memiliki beberapa ihtimalat (kemungkinan), bisa jadi itu khususiyyah (kekhususan), bisa jadi karena beliau sedang sakit, bisa jadi karena itu menunjukkan ini boleh, dan seterusnya. Tapi kalau qaul, enggak, itu jelas perintah. Begitu istinbatnya para ulama. Tetapi maksudnya, para sahabat mereka menjadikan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu tidak berbeda dari qaul, dan memang itu hukum asalnya. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan perbuatannya dicontoh semuanya, kecuali ada dalil khusus yang menunjukkan ini khusus untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Di sini juga disebutkan bahwa Anas bin Malik naik himar. Di akhir bagian hadis ini beliau mengatakan, “Kalau aku tidak melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan, aku enggak bakal lakukan.” Maka kata sebagian ulama, berarti termasuk naik himarnya merupakan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Padahal himar itu kan tidak boleh dimakan dagingnya. Kalau himar wahsyi (keledai liar), itu boleh dipakai untuk berburu, dagingnya halal. Tetapi kalau himarul ahli (keledai jinak) yang biasa dipakai untuk mengangkat barang, ditunggangi, dan seterusnya, itu dagingnya enggak boleh dimakan, najis dagingnya. Otomatis, kalau menurut pendapat para fuqaha, yang dagingnya tidak boleh dimakan, maka kotorannya najis. Lah, ini gimana kalau keringatan keledai ini, kemudian kita salat di atasnya? Bagaimana? Sebagian ulama mengatakan kalau sebuah najis tidak bisa dihindari, maka dimaafkan. Atau kemungkinan ketika naik di atas kendaraan itu ditutupi badannya, tidak menempel pada anggota badannya keledai. Itu juga mungkin, ada pelananya, kemudian dia pakai pakaian, atau kakinya tidak gantung tapi bisa jadi mungkin lagi bersila atau bagaimana. Maka para ulama mengambil istinbath. Disebutkan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar, termasuk di antaranya seorang yang salat di atas barang najis tapi dia tidak menyentuh najis itu. Seperti contohnya dia di atas himar. Selama dia tidak menyentuh barang najis itu, maka salatnya sah-sah saja. Kecuali kalau dia sentuhan sama najis itu, baru dia bisa batal salatnya.

Para ulama juga ada yang mengatakan, tapi enggak boleh sengaja memegangi najis meskipun enggak sentuhan. Wallahu a’lam, ini juga pendapat semua ulama. Contohnya bagaimana? Ini difatwakan oleh para ulama kontemporer dan menukil dari perkataan ulama sebelumnya dalam buku-buku mazhab. Kayak orang yang salat membawa bayi yang pampersnya ada najisnya. Boleh apa enggak? Mereka mengatakan enggak boleh. Meskipun pampers itu kuat sekali, enggak bakal bocor, tapi di dalamnya itu sudah menggelembung, jadi tandon misalkan, itu semua najis, boleh apa enggak? Enggak boleh, karena dia membawa najis. Contoh yang disebutkan oleh para ulama mazhab seperti Ibnu Qudamah, ketika menyebutkan seandainya ada orang salat membawa botol, di dalam botol itu ada air kencingnya. Botolnya kuat, tetapi kalau seandainya dia tahu di dalam isinya itu ada air kencing, meskipun tidak sampai ke tangannya, tetap salatnya batal karena dia bawa air kencing itu.

Intinya, orang harus hati-hati. Dalam hadis ini, intinya dalam masalah menghadap kiblat, kemudian bagaimana para sahabat berhati-hati dalam mempraktikkan itu, dan mereka semangat dalam mempraktikkan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ini dapat kita pelajari. Mudah-mudahan bermanfaat, kurang lebihnya mohon maaf.

صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى عَبْدِهِ وَرَسُولِهِ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.


#Prolog

Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ’anhu. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara langsung dengan melenyapkan ilmu itu dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang berilmu lagi, orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.’” (HR. Bukhari)

Sumber: https://muslim.or.id/93486-malapetaka-akhir-zaman.html
Copyright © 2025 muslim.or.id