Kajian Kitab Umdatul Ahkam – 30, Dr. Emha Hasan Ayatullah, M.A


Umdatul Ahkam Pert. 30 (Bila Mendengar Azan)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَبِهِ نَسْتَعِينُ عَلَى أُمُورِ الدُّنْyَا وَالدِّينِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.

Ikhwah sekalian, malam hari ini kita akan melanjutkan pembahasan dua hadis terakhir dalam bab al-Azan. Dan semoga yang kita pelajari bermanfaat, kita bisa semakin ikhlas dan semakin bisa menjaga ibadah kita. Dan kita sangat menyayangkan ketika kita semakin banyak belajar tetapi ibadah kita lemah.

Seperti Sufyan Ibnu Uyainah rahimahullah dinukil dengan riwayat oleh al-Ajurri dalam kitab Akhlaqul Ulama, beliau mengatakan, “Kalau seandainya siang hari aku seperti orang bodoh, malam hari aku juga seperti orang bodoh, untuk apa aku belajar? Ilmu-ilmu yang aku tulis ini untuk apa?” Dan al-Ajurri rahimahullah juga menukil perkataan al-Hasan Al-Bashri rahimahullah, beliau mengatakan, “Orang itu ketika belajar, dia akan kelihatan, hampir bisa dipastikan bahwa belajar itu akan berimbas pada sikapnya, perilaku, perkataan, maupun perbuatan dia.” Dan kita khawatir bahwa yang kita pelajari ini menjadi bumerang.

Kita pernah sampaikan perkataan Ma’ruf al-Karkhi rahimahullah, beliau mengatakan, “Majelis kita ini, kita berhak sekali dan harus untuk menjaga ketakwaan kita.” Kita khawatir justru akan menjadi bumerang, kita belajar, kita menghafal, kita membayar, lalu kita ujian sampai kita berjuang. Dan Subhanallah, memang ini di antara kekurangan metode belajar dengan, ee, konsep formal kemudian ada ujian. Sisi positifnya kita dituntut untuk mencapai sebuah target dan ada evaluasinya. Tetapi sisi negatifnya, berulang menjadi rahasia umum, hampir 80% lebih orang belajar untuk ujian. Setelah ujian, hampir 80% orang tidak belajar lagi. Bahkan ada realita lebih menggemaskan, ini bahasa gaulnya, tapi bahasa aslinya itu memang harus dijewer gitu. Jadi buku-buku, muzakarah-muzakarah hadis, ada perkataan lafzul jalalah, dibuang. Dibuang. Dan ini Jamiah Islamiah tidak terkecualikan. Mereka pergi ke tempat fotokopian, banyak buku difotokopi tebal, setelah ujian dibuang di mana-mana.

Sampai Syekh Abdul Razzaq pernah suatu saat beliau memberikan nasihat, ini menjelang ujian. Di hari-hari tenang pekan depan kan pekan depan itu. Saking semangatnya orang belajar, kalau ada pengajian jengkel, “Ih, ini siapa sih ini, enggak ngerti ini kita mau ujian.” Ternyata Syekh Abdul Razzaq tidak kajian, tapi beliau ingin mengingatkan. “Coba ya ikhwah, ana punya lahazhat, ana pengin memberikan antum renungan sedikit. Coba antum perhatikan, antum sekarang belajar ini, antum hafalkan, antum baca dengan detail, serius banget gitu. Sehingga dosen mau mengasih soal dari pojok sana pojok sini, antum jawab gitu. Seandainya antum melakukan ini setiap hari, antum jadi ulama benar itu, kalah dosen-dosen itu. Tapi kan enggak.”

Bagaimana harusnya? Ya sudah, nusaddid wa nuqarib. Kita sudah diuji oleh Allah dengan zaman yang seperti ini ya. Apalagi kalau kita tambahkan dengan propaganda-propaganda orang yang ingin mendangkalkan metode para ulama dalam belajar. Ya, sudah pakai sistem akademik begitu. Kemudian nanti orang mengatakan hafalan tidak penting, yang penting antum bisa meneliti, jeli, baca dengan qira’ah naqdiyah, kata mereka. Qira’ah naqdiyah itu pembacaan kritis. Jadi tujuan antum membaca bukan untuk istifadah, tapi untuk mengkritisi. Jangan gampang menyerah kepada pemikiran penulis. Tapi harus tahu diri, siapa yang membaca dan buku siapa yang dibaca.

Kita khawatir ilmu-ilmu seperti ini jadi mainan dan tertawaan setan. Dan kita berharap, tidak ada yang bisa menjamin seorang sukses dalam belajar selain Allah Azza wa Jalla, ya. Tidak gelar, tidak lama belajar, tidak tempat, semua sama. Hanya taufik dari Allah Azza wa Jalla.

Baik, dua hadis aja yang kita pelajari malam hari ini, insyaallah.

Hadis yang pertama, hadis Abdullah bin Umar رضي الله عنهما, dari Rasulullah ﷺ, beliau mengatakan, “إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُنَادِيَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ” (Sesungguhnya Bilal [mengumandangkan azan] di malam hari, maksudnya sebelum terbit fajar, maka silakan kalian makan dan minum sampai datang muazin kedua yaitu Abdullah bin Ummi Maktum). Dan disebutkan, Abdullah bin Ummi Maktum adalah seorang yang buta, beliau tidak mulai azan kecuali kalau ada orang yang mengingatkan beliau, “Eh, sekarang sudah pagi, sekarang sudah pagi.” Yang dimaksudkan sudah pagi adalah sudah terbit fajar.

Dan hadis ini disebutkan oleh al-Bukhari rahimahullah dengan bab Adzanul A’ma, pembahasan tentang azannya seorang yang buta. Maksudnya bagaimana? Boleh muazin yang buta menjadi muazin. Kenapa dibahas? Karena kaitan azan itu berhubungan dengan masuknya waktu Subuh. Artinya kalau seandainya waktu Subuh tidak bisa diketahui kecuali untuk orang yang melihat fajar, lah ini buta gimana mau melihat? Maka dikatakan dalam riwayat ini, dia buta, tidak azan kecuali kalau dia diberitahu sudah Subuh. Tetapi dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Abdullah bin Ummi Maktum ini orangnya berhati-hati sekali. Dia betul-betul memperhatikan waktu fajar. Maksudnya bagaimana? Dia betul-betul nunggu dan orang yang memberitahu dia akan dicek dulu, “Dan betul-betul apakah ini sudah masuk fajar?” Baru beliau azan.

Kedua, kata Hafizh Ibnu Hajar, persaksiannya diterima. Dan Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan lagi dalam pembahasan Kitabus Syahadat yang disebut oleh Imam Bukhari, beliau katakan bahwa persaksian orang buta diterima kalau memang sesuai dengan realita dan fakta. Termasuk azan oleh seorang azan, kalau seandainya azan itu bisa dipertanggungjawabkan. Buktinya apa? Buktinya dalam riwayat ini disebutkan, “فَكُلُوا وَاشْرَبُوا“. Ini untuk orang yang berpuasa. Dia mulai tidak makan dan minum ketika azan yang masuk waktu. Dan ini menunjukkan bahwa azannya Abdullah bin Ummi Maktum yang buta sudah dinyatakan masuk waktu.

Kemudian di sini juga disebutkan bahwa bolehnya seseorang azan sebelum waktunya, yaitu azan Subuh. Azan Subuh boleh dilakukan sebelum waktunya. Tetapi yang dikatakan sebelum waktunya ini ada dua, ada azan awal, ada azan kedua. Kalau azan awal, maka hukumnya sunah dan boleh dilakukan sekalipun masih jauh sebelum masuk waktu terbit fajar. Tetapi azan kedua ini merupakan azan yang menunjukkan batas akhir sahur dan masuk waktu salat.

Azan, kata para ulama, tidak ada yang sah kecuali kalau sudah masuk waktu. Ini disebutkan oleh Hafizh Ibnu Hajar, para ulama sepakat bahwa azan itu wajib dilakukan ketika masuk waktu, kecuali Subuh. Kecuali Subuh, boleh dilakukan sebelum waktu, tapi makruh kalau seandainya dia hanya ada satu azan saja.

Dalam hadis ini juga disebutkan bahwa boleh seseorang menugaskan dua orang muazin dalam satu masjid, dan masing-masing azan di waktu yang berbeda. Kalau azannya bareng, gimana? Boleh apa enggak? Jadi azannya barengan di masjid yang sama dan orangnya dua. Ya, ini Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, pertama yang mengadakan muazin seperti ini adalah Bani Umayyah. Mungkin karena masjidnya besar, kemudian masyarakatnya sudah mulai luas dan waktu itu mikrofon belum ditemukan kan. Sehingga mereka menugaskan muazin lebih dari satu dan dilakukan secara bersamaan. Satu mungkin di sana, satu di sini. Nah, sebagian ulama mengatakan ini makruh.

Kemudian, ee, ini disebutkan tambah faedahnya oleh Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. Ee, Abdullah bin Ummi Maktum ini nama aslinya ada yang mengatakan Husain, ada yang mengatakan namanya ‘Amr. Kemudian Nabi ﷺ memberi nama beliau Abdullah. Dan beliau adalah orang yang buta dan tetap menunjukkan loyalitasnya, sampai Nabi ﷺ pernah menugaskan beliau sebagai Wali Kota Madinah ketika Nabi ﷺ berjihad keluar. Dan Subhanallah, para ahli sejarah mengatakan, kita tahu bahwa orang Arab itu ketika mereka terbiasa untuk perang, seseorang atau satu kabilah atau satu pasukan tidak dinyatakan menang sampai dia bisa bertahan di tempat perang itu beberapa hari.

Di antara pelajarannya dari hadis ini adalah, ee, bolehnya seseorang yang bisa melihat, dia mengandalkan berita dari orang buta. Ya, termasuk di antaranya ini, orang yang berpuasa ini mendengarkan azan Abdullah bin Ummi Maktum. Kemudian yang kedua, pelajarannya adalah boleh seseorang menerima berita dari satu orang, yang sering dikenal dengan khabar ahad. Kenapa ditegaskan seperti ini? Karena ada kelompok dari kaum muslimin, mereka menolak hadis ahad. Muazin satu orang. Kalau azan bareng-bareng tadi kita sebutkan kan enggak boleh ya. Nah, maka satu orang azan, apa namanya, informasinya dibenarkan oleh kaum muslimin bahwa ini sudah masuk waktu salat.

Kemudian di antara pelajarannya, kata Hafizh Ibnu Hajar, bahwa orang yang masih ragu ini sudah masuk Subuh atau belum, maka dia tidak disalahkan ketika masih tetap makan. Kalau dia ragu, karena hukum asalnya baqa’ul lail, malam itu masih sebelum ada maklumat yang baru menunjukkan bahwa waktunya sudah berubah menjadi Subuh.

Kemudian termasuk di antara pelajarannya boleh menyebutkan cacat seseorang kalau memang tidak diketahui kecuali dengan cacat itu. “وَكَانَ رَجُلًا أَعْمَى” (Dan dia adalah seorang lelaki buta). Kalau buta, kalau pendek, ya. Di sini disebutkan boleh seorang menyebutkan tentang ‘ahah atau, ee, cacat atau aib seseorang karena memang ada maslahat di antaranya ta’rif, untuk mengenalkan.

Baik, hadis kedua, hadis Abu Said al-Khudri رضي الله عنه, Rasulullah ﷺ [bersabda], “إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ“. Kata Hafizh Ibnu Hajar, seperti ini dalam Umdatul Ahkam. Bagaimana kalau kalian mendengar an-nida’ (panggilan), maka katakan seperti apa yang dikatakan. Maksudnya adalah muadzin.

Para ulama menyebutkan bahwa menjawab azan hukumnya sunah, ini pendapat mayoritas ulama. Pendapat sebagian ulama, di antaranya Zhahiriyah, mengatakan bahwa menjawab azan hukumnya wajib karena ada perintah di sini. Tetapi jumhur mengatakan ada beberapa riwayat yang membuat perintah wajib ini menjadi sunah. Di antaranya adalah sebuah riwayat yang menunjukkan Nabi ﷺ pernah mendengar seorang budak atau anak kecil azan, maka beliau mengatakan kata-kata ghafarallahu lahu atau yang semacamnya. Ini kata jumhur ulama menunjukkan bahwa menjawab azan tidak wajib.

Yang kedua, yang disebutkan oleh Imam Malik, bahwa di zaman Umar bin Khattab رضي الله عنه, orang-orang kalau datang hari Jumat, mereka salat terus sampai Umar bin Khattab keluar dari rumahnya untuk khutbah. “Kalau Umar bin Khattab naik mimbar, kemudian sudah mulai azan, maka kita akan ngobrol. Kalau seandainya Umar sudah mulai khotbahnya, maka kita akan mulai diam.” Ini menunjukkan bahwa di zaman itu, ngobrol pada saat azan dikumandangkan itu tidak dosa dan menjawab azan tidak wajib. Itu menjadi alasan jumhur yang menunjukkan bahwa mendengar azan tidak wajib menjawab.

Kemudian di sini disebutkan, “فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ” (katakan seperti apa yang dikatakan oleh muazin). Berarti setiap yang disampaikan muazin kita ikuti, kecuali apa? Al-hay’alatain. Karena al-hay’alatain ada riwayat dalam Sahih Muslim, itu tegas sekali. Dalam Sahih Muslim dari riwayat Umar bin Khattab رضي الله عنه, beliau mengatakan Rasulullah ﷺ [bersabda], “Kalau muazin bilang اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ, maka salah seorang kalian mengucapkan اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ.” “Kalau muazin bilang أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ, kalian ikutan. أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ, kalian ikutan itu.” “Kalau muazin bilang حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ, maksudnya salah satu dari kalian apa? Mengatakan لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ.” Sampai akhir, kalau dia ikhlas mengucapkan itu, kata Nabi ﷺ, dia akan masuk surga.

Ini menunjukkan fadilah orang yang menjawab azan, maka dia akan dapat pahalanya itu. Sehingga meskipun sunah, kita sayang banget kalau tidak ucapkan.

Baik, silakan azan dulu.

[Azan]

Baik, ee, di antara pelajaran yang disebutkan oleh Hafizh Ibnu Hajar adalah bahwa setiap yang sama dikatakan mitsl tidak mesti sama 100%. Di dalam bahasa Arab, sesuatu yang dikatakan mitslu atau sama itu enggak mesti sama dari semua sisinya. Termasuk ini tadi, mitsla ma yaqulu al-muadzin, tapi ternyata hayya ‘ala-nya diganti dengan hawqalah.

Termasuk yang dibahas oleh al-Hafizh Ibnu Hajar adalah orang yang mendengarkan iqamah, rupanya tetap dianjurkan juga untuk menjawab karena iqamah itu juga azan. Dan tidak ada yang menyebutkan perbedaannya, dan itu bahkan dikatakan azan kedua kalau bukan salat Subuh. Nabi ﷺ mengatakan antara dua azan ada salat sunah, maksudnya azan dan iqamah. Sehingga iqamah itu adalah azan, maka kita pun menjawabnya.

Tanya Jawab

  • Q: Bolehkah ana melaksanakan salat lima waktu di masjid dekat rumah, masjid dekat rumah ana bukan masjid sunah?
    • A: Tidak apa-apa, enggak ada masalah. Tidak harus masjid sunah. Tetapi kalau salatnya menyelisihi sunah, ini yang antum pertimbangkan. Kalau alasannya masjid sunah jauh, enggak ada masalah.
  • Q: Benarkah ada riwayat dari Imam Ahmad bahwasanya kalau ketika menuntut ilmu terus azan, maka melanjutkan menuntut ilmu lebih afdal daripada menjawab azan?
    • A: Wallahu a’lam, wallahu a’lam, Anda enggak ngerti.
  • Q: Bolehkah menjawab azan secara tertunda setelah azan selesai?
    • A: Tadi kita sebutkan, kalau ada uzur. Kalau tidak ada uzur, enggak diharapkan atau enggak dianjurkan ya. Kalau ada uzur, seperti Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan tadi, ketika dia salat. Ada lagi disebutkan, contohnya kalau dia sedang berhubungan badan dengan istrinya atau dia sedang di kamar mandi. Nah, ini enggak pantas dia menjawab azan dalam kondisi seperti itu. Maka dia tunda, setelah keluar baru dia jawab azan.
  • Q: Apa faedah dari azan pertama Bilal?
    • A: Untuk mengingatkan orang agar bangun, untuk mengingatkan orang agar bangun malam.
  • Q: Apakah tiduran sambil tengkurap dilarang dalam Islam?
    • A: Iya, dilarang. Ada sebuah hadis dari seorang sahabat, dia tiduran sambil tengkurap begini, kemudian oleh Nabi ﷺ dibalik badannya pakai kaki, kemudian dikatakan, “Kamu mau tiduran seperti penghuni neraka?” kalau enggak salah seperti itu.
  • Q: Manakah yang lebih afdal antara kita salat sunah menunggu khatib datang atau kita membaca Al-Qur’an atau selawat?
    • A: Oh gitu. Terserah, silakan, sunah banyak. Nah, kalau mau baca Qur’an silakan, mau selawat juga silakan, semuanya sunah. Mau salat pun demikian, boleh salat menunggu imam, silakan, semuanya sunah.
  • Q: Apakah orang mukim boleh menjamak salatnya?
    • A: Boleh kalau ada sebabnya. Orang mukim karena menjamak atau menggabungkan dua salat itu tidak khusus untuk orang safar. Orang mukim boleh antara Zuhur dan Asar, di antara sebabnya adalah hujan, sakit, takut, ya, atau mungkin ada kondisi darurat.
  • Q: Yang ahsan itu iqamah dulu baru imam maju, atau imam maju baru iqamah?
    • A: Ee, ini juga disebutkan oleh para ulama bahwa kalau memang di masjid itu ada imam ratib, maka yang paling ideal, ee, muazin tidak mengumandangkan iqamah sampai, ee, imamnya datang. Bahkan dalam riwayat disebutkan, kata Nabi ﷺ, “Jangan kalian berdiri sampai kalian melihatku.”
  • Q: Menggabungkan dua niat dalam salat sunah seperti tahiyatul masjid dengan Duha?
    • A: Boleh, tidak ada masalah. Menggabungkan dua niat dalam satu gerakan ibadah sunah tidak apa-apa. Ee, tetapi kata Syekh Abdul Muhsin al-Abbad, beliau katakan yang lebih afdal kalau bisa dilakukan masing-masing.
  • Q: Apakah ketika azan harus suci?
    • A: Ini kita sebutkan kemarin ya, sebagian ulama memakruhkan muazin tidak dalam keadaan bersuci.
  • Q: Apa yang diucapkan setelah perkataan “qad qamatish shalah”?
    • A: Wallahu a’lam, riwayat yang menunjukkan أَقَامَهَا اللَّهُ وَأَدَامَهَا itu riwayat lemah. Riwayat lemah. Sehingga kembali kepada keumuman hadis yang tadi.
  • Q: Jika azan Subuh dua kali, perkataan “as-shalatu khairum minan naum” cukup di salah satu azan saja?
    • A: Azan kedua. Yang benar di azan kedua.
  • Q: Apakah ada riwayat tuntunan dari Nabi ﷺ berkaitan dengan salat rawatib ba’da Asar?
    • A: Ini qadha, ini qadha ya. Jadi Nabi ﷺ, ee, pernah kedatangan tamu, wafd Abdul Qais, karena beliau belum sempat untuk, ee, salat ba’diyah Zuhur, akhirnya beliau melaksanakan qadhanya setelah Asar.
  • Q: Mohon doanya untuk para penuntut ilmu.
    • A: Kita juga saling berdoa sendiri agar kita diberi ilmu yang bermanfaat oleh Allah, dibimbing dalam belajar kita agar ilmu kita tidak sia-sia seperti itu.
  • Q: Salat di masjid yang ada kuburannya, apakah salatnya diulang?
    • A: Sebagian ulama akan diulang, tapi tergantung posisi kuburannya di mana dan apakah dibatasi atau tidak. Kalau seandainya posisi kuburan tidak di arah kiblat, itu lebih ringan. Kemudian kalau antara kuburan dengan masjid ada pembatasnya, apalagi kalau pembatasnya dua, tembok masjid kemudian tembok kuburan itu, atau ditambah dengan jalan, itu sudah cukup.
  • Q: Sebagian siswa beristidlal dengan hadis salat di awal waktu lebih afdal sehingga mereka lebih memilih salat di masjid luar.
    • A: Enggak ada masalah salat di masjid luar atau di masjid dalam, enggak ada masalah. Di awal waktu bagus ya. Tapi jujur apa enggak sih ya? Kalau salat Zuhur keluar, salat Magrib keluar juga, padahal di sini tepat waktu, cuman kepanjangan di sini, di luar lebih pendek gitu.
  • Q: Kemarin ana salat Magrib dan imam sudah rukuk, ana takbir tapi lupa sedekap dan langsung rukuk, apa salat ana sah?
    • A: Sah, insyaallah sah.
  • Q: Apakah kesiangan 4 hari berturut-turut itu uzur?
    • A: Ya, coba antum evaluasi agenda antum ada apa itu ya. Kalau seandainya memang itu betul-betul ma’dzur karena kecapekan, karena sakit. Tapi kalau seandainya enggak, maka perlu dievaluasi. Jangan-jangan perlu dirukiah itu ya.

#Prolog

Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ’anhu. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara langsung dengan melenyapkan ilmu itu dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang berilmu lagi, orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.’” (HR. Bukhari)

Sumber: https://muslim.or.id/93486-malapetaka-akhir-zaman.html
Copyright © 2025 muslim.or.id