Kajian Kitab Umdatul Ahkam – 29, Dr. Emha Hasan Ayatullah, M.A


Umdatul Ahkam Pert. 29 (Awal Mula Azan dan Tata Caranya)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَبِهِ نَسْتَعِينُ عَلَى أُمُورِ الدُّنْيَا وَالدِّينِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.

Alhamdulillah, ikhwah sekalian. Semoga air hujan yang turun ini bukan hanya sekedar, ee, tidak mengurangi semangat kita dalam ibadah, akan tetapi kita termasuk orang-orang yang berbahagia dengan rahmat Allah. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an tentang Allah Azza wa Jalla yang menciptakan, yang menurunkan, yang mengatur hujan dengan berbagai urutannya, teratur dan rapi sekali. Allah jadikan, “اللَّهُ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ فَتُثِيرُ سَحَابًا فَيَبْسُطُهُ فِي السَّمَاءِ كَيْفَ يَشَاءُ وَيَجْعَلُهُ كِسَفًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ” (Allah yang mengutus angin, angin itu yang akan meniup dan mengatur, mengumpulkan semua awan sampai bertumpuk-tumpuk rapi, kemudian diturunkan hujan di sela-sela itu). Tafsiran para ulama macam-macam, di antaranya ada yang sampai turun seperti gunung atau di awan itu ada yang ada gunungnya atau tingginya seperti gunung. Wallahu a’lam.

Yang jelas setelah itu, turun air dari awan yang Allah susun itu. Itu betul-betul kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalau diturunkan kepada beberapa hamba yang Allah pilih mereka, maka mereka akan berbahagia sekali. Sekalipun ketika pada saat hujan itu belum turun, mereka sempat berputus asa. Maka ini adalah peringatan dari Allah agar kita melihat kepada keagungan dan perintah untuk ibadah, minimal bersyukur. Apalagi orang yang sampai melakukan tindakan kesyirikan, sampai mereka memiliki kekuatan, entah karena memang hujan itu dinilai jasa mereka atau mereka bisa memiliki jasa sebaliknya, menolak hujan. Ini dua-duanya kelewatan, ya. Pengin menandingi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kenapa enggak hujan-hujan? Wah, ada pawangnya banyak. Ketika ada acara mereka bisa menolak hujan. Atau ada orang yang mengatakan kita bisa turunkan hujan. Atau ada orang yang mengatakan hujan itu kencingnya wali, ya. Ini tidak masuk akalnya dua kali, ya. Jadi mending yang lainlah kalau mau bikin khurafat itu yang bermartabat, ya.

Baik, pembahasan kita malam hari ini tentang azan. Ada empat hadis, akan tetapi kita bahas dua di antaranya. Dan yang pertama adalah hadis Nabi ﷺ dari Anas bin Malik رضي الله عنه, Bilal, Bilal رضي الله عنه, muazin Nabi ﷺ diperintahkan oleh Nabi ﷺ untuk mengumandangkan azan dengan jumlah yang genap, sedangkan iqamah dikumandangkan dengan jumlah ganjil. Nanti akan kita bahas, di beberapa riwayat disebutkan إِلَّا الْإِقَامَةَ (kecuali kata-kata iqamahnya). Dalam beberapa riwayat disebutkan dari riwayat Abdurrazzaq ya, إِلَّا قَوْلَهُ قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ، قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ. Nah, itu tetap genap.

Baik, kemudian hadis yang kedua adalah hadis Abi Juhaifah رضي الله عنه, namanya Wahab bin Abdullah. Beliau mengatakan, “Aku mendatangi Nabi ﷺ, menemui beliau ketika beliau berada di tendanya, dia berwarna merah dari kulit. Tiba-tiba Bilal keluar dengan membawa air, dan air itu adalah bekas wudu Nabi ﷺ.” Maka para sahabat ada yang mengambil air bekas wudu beliau untuk dipakai cari berkah, ngalap berkah dari bekas badan Nabi ﷺ adalah hal yang dibolehkan dalam syariat, dan ini dilakukan oleh para sahabat.

Maka salah seorang sahabat yang waktu itu masih kafir, ketika dia menceritakan tentang keistimewaan Nabi ﷺ, dan ini kejadian di Hudaibiyah, ya, beliau mengatakan, “Aku sudah sering diutus untuk menghadap raja-raja.” Dia mengatakan, “Aku sudah sering diutus untuk menghadapi raja-raja, tapi aku melihat ketundukan, kepatuhan, dan sopan mereka, pengikut-pengikut itu kepada rajanya tidak bisa dibandingkan dengan ketundukan para sahabat kepada Nabi ﷺ.” Beliau menceritakan, ini namanya Urwah bin Mas’ud, dia masih waktu itu masih kafir, cerita seperti ini. “Aku tidak pernah melihat para sahabat ketika melihat Nabi ﷺ, mereka berani mengangkat suara mereka, ee, apa, membantah ketika diperintah, enggak pernah ada begitu. Bahkan ketika Nabi ﷺ mengeluarkan nukhamah (nukhamah itu artinya air ingus yang berwarna kuning ya), tidak akan sampai ke tanah melainkan akan dijadikan rebutan oleh para sahabatnya.”

Ini merupakan sesuatu yang merupakan sifatnya khas atau khusus untuk Nabi ﷺ. Karena setelah beliau, tidak ada sahabat yang paling paham terhadap dalil, tidak ada para sahabat yang paling cinta kepada syariat, dan tidak ada para sahabat yang paling ngerti tentang kebiasaan Nabi ﷺ mempraktikkan itu kepada selain beliau, termasuk ahlul baitnya. Jadi, ahlul bait tidak pernah memperlakukan hal yang serupa kepada selain Nabi ﷺ. Jadi, yang seperti itu tidak pernah dilakukan entah kepada Abu Bakar رضي الله عنه, atau kepada Umar, atau kepada Utsman, atau kepada Ali رضي الله عنهما ajmain. Empat orang itu, Khulafaur Rasyidin, calon penghuni surga yang pernah memimpin, orang terdekat Nabi ﷺ, yang dua mertua, yang dua menantu, tetapi tidak pernah ada satu riwayat pun yang menunjukkan entah para sahabat maupun para tabiin rebutan air liur, keringat, atau bekas baju mereka untuk ngalap berkah. Enggak pernah ada. Berarti kalau ada orang sekarang ngalap berkah dari kiainya atau dari gurunya, dari ustaznya, dari tokohnya, ini mereka, ya terserah mereka aja gitu ya. Kalau kita enggak, gitu aja kan. Karena memang Nabi ﷺ hanya beliau saja dan para sahabatnya hanya kepada beliau saja melakukan seperti itu.

Baik, ini disebutkan di sini, nadih itu artinya dia ngambil kemudian disiramkan ke badannya. Dan na’il artinya ngambil, dia pengin dapat jatah bagian dari bekas air wudu Nabi ﷺ. Maka tidak ada riwayat juga orang-orang berebut bekas wudu Abu Bakar, padahal Abu Bakar adalah sebagaimana ditegaskan oleh Ali bin Abi Thalib di atas mimbar Kufah, umat ini yang paling bagus setelah nabinya ﷺ adalah Abu Bakar. Enggak pernah ada orang yang memperlakukan Abu Bakar dengan ngalap berkah.

Disebutkan, kemudian Nabi ﷺ keluar dari tendanya itu, beliau mengenakan jubah yang berwarna merah. “Ya, seolah-olah aku melihat putihnya betis beliau.” Kemudian, ee, Bilal wudu dan azan. Maka aku, kata Abu Juhaifah رضي الله عنه, mulai mengikuti gaya azannya Bilal هَاهُنَا وَهَاهُنَا (nanti ditafsirkan bahwa hahuna itu noleh ke kanan dan noleh ke kiri), dia noleh ke kanan dan ke kiri mengatakan, “حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ“. Ini yang dibaca ketika toleh-toleh. Berarti selain lafaz ini tidak menoleh, gitu. Nanti juga akan kita bahas, menolehnya apakah semua badannya atau dengan wajahnya saja? Ini khilaf di antara para ulama. Dan yang dikuatkan oleh Ibnu Khuzaimah, bahkan beliau kasih judul dalam kitab sahihnya dan menyebutkan hadis ini adalah بِفِيهِ لَا بِبَدَنِهِ (dengan mulutnya tapi tidak dengan badannya). Berarti dengan mulutnya adalah dengan mukanya. Ketika dia azan kemudian dipaling-palingkan, dibelok-belokkan kepalanya ini, maka wajahnya yang menghadap, bukan badannya.

Dan ini memang tidak terbayang di zaman sekarang karena tujuan itu sudah tidak dibutuhkan kembali. Karena dulu orang yang azan, mereka naik ke atas menara agar suara azan itu didengar oleh orang-orang. Mereka perlu menyebar suaranya. Dan betul sekali, jelas orang kalau tidak menggunakan pengeras suara ya, kemudian antum menghadap ke sini, yang di sini enggak dengar ya.

Kemudian Nabi ﷺ diambilkan tombak kecil, dan di sini disebutkan beberapa riwayat bahwa ‘anazah itu adalah tongkat kecil yang bagian kepalanya itu agak begini, biasa dipakai untuk pegangan ya. Kemudian beliau ditancapkan begitu, apanya, ee, tombaknya. Maka beliau maju kemudian salat Zuhur dua rakaat, kemudian beliau salat Asar dua rakaat seperti itu sampai pulang ke Madinah, karena memang riwayat ini sedang dalam kondisi safar.

Baik, antum pernah mendengar barangkali di awal Islam bahwa perintah azan itu belum langsung disyariatkan oleh Nabi ﷺ. Maka dalam riwayat Anas dan dalam Sahih Bukhari ini disebutkan, ketika orang-orang sudah banyak, kaum muslimin sudah bertambah, akhirnya mereka bersepakat musyawarah, usul, kira-kira apa yang dipakai untuk memberitahu, menggunakan tanda yang dikenal oleh kaum muslimin. Maka mereka mengusulkan bagaimana kalau menyalakan api, atau mereka diperintahkan untuk memukul naqus, itu apa artinya? Terompet, ya.

Secara umum di Bukhari Muslim. Imam Ahmad dan lainnya lebih detail, diriwayatkan oleh sahabat Abdullah ibn Zaid ibn Abdi Rabbihi. Dan kata al-Bukhari rahimahullah, “Sahabat ini hanya punya satu riwayat hadis aja, yaitu hadis tentang azan.” Dia mengatakan, “Ketika Nabi ﷺ memerintahkan agar naqus atau terompet itu digunakan untuk tanda masuk waktu azan, aku kepikiran sekali. Ketika aku tidur, aku melihat dalam mimpi ada orang bawa terompet. Jadi beliau sudah kepikiran, ‘Cari di mana terompet ini,’ gitu. Ternyata di mimpi langsung ada orang jualan. ‘Wahai Abdullah, kamu mau jual enggak terompetmu itu?'” Ini disebutkan oleh para ulama di antaranya adalah kalau orang mau memanggil nama yang tidak dikenal, seseorang yang tidak dikenal, mestinya dipanggil Abdullah.

Maka yang biasanya sering kita dengar, “Ya Abdullah,” kayak gitu itu. Abdullah bin Zaid cerita, “Aku melihat ini. ‘Langsung, kamu mau jual nih terompetmu?’ Kemudian dia bertanya, ‘Apa yang kamu inginkan?’ Dia mengatakan, ‘Kita pengin jadikan terompetmu sebagai alat untuk manggil salat.’ ‘Aku tunjukkan kepadamu cara yang lebih bagus dari itu.'” Tunjukkan: “اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ…” sampai selesai. Kemudian beliau diam sebentar. “Kalau kamu sudah mau salat, maka kamu ucapkan: اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ…” Maka disebutkanlah tata cara iqamah. Kata Abdullah bin Zaid, “Ketika pagi hari itu, aku bangun, langsung aku pergi ke Nabi ﷺ dan aku beritahu beliau aku mimpi seperti ini.” Maka Nabi ﷺ mengatakan, “إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٍّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ” (Itu adalah mimpi yang benar, insyaallah). “فَقُمْ مَعَ بِلَالٍ فَأَلْقِ عَلَيْهِ مَا رَأَيْتَ فَلْيُؤَذِّنْ بِهِ، فَإِنَّهُ أَنْدَى صَوْتًا مِنْكَ” (Kalau begitu, sekarang kamu panggil Bilal, ajak dia bersamamu, talkin dia dengan lafaz yang kamu lihat dalam mimpimu, karena suara dia lebih kencang, lebih halus dan bagus, lebih lantang dan lebih bagus). Maka, “Aku talkin kepada beliau dan beliau lantunkan azan itu.”

Ketika Umar mendengar itu, cepat tergopoh-gopok lalu beliau mengatakan, “Ya Rasulullah, aku sudah melihat apa yang dilihat oleh Abdullah bin Zaid.” Maka kata Nabi ﷺ, “Alhamdulillah.” Dalam beberapa riwayat, Umar bin Khattab sudah ngerti dan duluan melihat, sudah lebih duluan melihat tetapi tidak mau bercerita. Bahkan dalam riwayat disebutkan, dua puluh hari sudah melihat mimpi itu tapi disembunyikan aja. Enggak berani menyampaikan ke Nabi ﷺ. Kata Nabi ﷺ, “Apa yang membuat kamu tidak segera memberitahu aku?” Kata Umar bin Khattab, “سَبَقَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ فَاسْتَحْيَيْتُ” (Aku sudah keduluan Abdullah bin Zaid, maka aku malu untuk memberitahu kamu, gitu).

Ini tidak bisa diambil kesimpulan bahwa seseorang beribadah boleh dengan mimpi. Di sini syubhat yang sering dipakai oleh sebagian orang yang tidak paham. Mereka katakan mimpi dibolehkan. Di zaman Nabi ﷺ, bukan ini bukan bolehnya seorang memakai mimpi, akan tetapi yang dijadikan syariat karena Nabi ﷺ perintahkan itu.

Baik, maka ini adalah riwayat diturunkannya lafaz azan tersebut. Dan di sini memang disebutkan bahwa, ee, permulaannya ketika orang-orang pengin mencari lafaz untuk memberitahu waktu salat. Dan kita tahu bahwa azan adalah ibadah, tidak boleh seorang menggunakan lafaz lain dalam menyerukan orang untuk memberitahu waktu azan.

Di dalam syariat disebutkan bahwa azan ini dilakukan dengan jumlah dua kali dua kali. Takbir dua kali, tasyahud dua kali, tasyahud uluhiyah wal ‘ubudiyah, kemudian tasyahud bir risalah dua kali. Kemudian حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ, masing-masing dua kali. Kemudian takbir dan لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ. Kata Hafizh Ibnu Hajar, semua ulama sepakat لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ di belakang berapa kali? Sekali. Antum kenapa bingung ya? Enggak pernah azan? Coba muazin sekali-kali lailahaillallah-nya dua kali ya, bikin ramai ya. Jadi لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ, kata para ulama semua sepakat hanya satu kali. Berarti perintah “أُمِرَ بِلَالٌ أَنْ يَشْفَعَ الْأَذَانَ” maksudnya kecuali لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ.

Kemudian, ee, disebutkan bahwa iqamah witir, ganjil, sekali-sekali. Maka, ee, Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah beliau menyebutkan hadis ini di dua tempat tapi berurutan. Yang pertama diberi judul bab Al-Adzanu Matsna, tentang pembahasan azan itu dua kali. Setelah itu, Al-Imam Al-Bukhari memberi judul Al-Iqamatu Wahidah, iqamah itu dilakukan sekali-sekali. Tetapi di dalam riwayat ini ditambah إِلَّا الْإِقَامَةَ, kecuali pembahasan tentang قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ. Dan ini ada riwayatnya. Dalam riwayat disebutkan, “إِلَّا الْإِقَامَةَ” (kecuali lafaz iqamah). Kemudian di dalam riwayat yang lain disebutkan إِلَّا قَوْلَهُ قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ, marfu’ kepada Nabi ﷺ.

Apakah ada cara lain dalam azan? Iya, ada. Dan dari cara lain yang berangkat dari hadis lain ini, sebagian fuqaha berbeda dalam tata cara azan. Ada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Abu Mahdhurah. Beliau diajari untuk azan. Cara bagaimana? “اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ. أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ.” Ada yang beda? Enggak? Takbirnya cuman dua kali. Yang berbeda di sini, kemudian dia kembali lalu berkata, “أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ…” Ini namanya tarji’. Tarji’ itu dia sudah Asyhadu an laa ilaha illallah dua kali, Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah dua kali, kemudian diam, lalu dia dengan suara lirih mengatakan Asyhadu an laa ilaha illallah dua kali, Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah dua kali, gitu. Nah, kemudian baru setelah itu حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ

Intinya, sebagaimana para ulama berpendapat, ada yang menganggap bahwa semua bisa dipraktikkan. Dan itu masuk dalam kategori al-ikhtilaful mubah, perbedaan yang boleh semuanya. Cuman, ketika seorang ingin menerapkan sebuah tuntunan, perlu mempertimbangkan maslahat dan mudarat. Kalau seandainya sebuah sunah dilakukan bikin ramai, bahasa gaulnya zaman sekarang itu gaduh, ya, maka tidak perlu antum paksakan.

Sunah untuk melakukan beberapa tindakan tadi, ada tambahannya seperti Nabi ﷺ, seperti itu. Nabi ﷺ menggunakan sutrah dalam salat. Ke mana-mana beliau selalu membawa sutrah. Sutrah ini ada pembahasannya sendiri. Intinya, ini akan membedakan, ini orang sudah belajar atau tidak. Kalau ada orang yang salat di tengah-tengah tanpa pakai sutrah, ini dia sedang tidak tahu. Karena orang sudah tahu, dia sadar bahwa sutrah ini ditekankan sekali.

Termasuk di antaranya yang berkaitan dengan azan adalah menoleh-nolehkan ketika azan. Dan menoleh-noleh itu dilakukan ketika حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ. Ditambah lagi pembahasan lainnya adalah meletakkan salah satu jari di telinga. Itu ada dalam riwayat Abu Juhaifah. Ditekankan sekali seseorang yang akan azan hendaklah dalam keadaan berwudu.

Baik, silakan azan.

[Azan]

Sebelum kita lanjutkan hadis ini, tadi disebutkan di antara faedahnya yang disebutkan oleh Hafizh Ibnu Hajar, hikmahnya kenapa dibedakan antara azan dan iqamah. Kalau azan kenapa disyariatkan dua kali, kemudian iqamah sekali? Kata al-Hafizh Ibnu Hajar, bisa jadi, wallahu a’lam, karena azan itu diberikan untuk orang-orang yang belum hadir, sementara iqamah rata-rata dikumandangkan untuk orang yang sudah di masjid. Oleh karenanya, azan biasanya dilakukan dengan suara keras, iqamah tidak harus. Kemudian azan biasanya dilakukan dengan suara tartil, sementara iqamah tidak.

Tadi kita sebutkan bahwa Ibnu Khuzaimah rahimahullah beliau mengatakan bahwa yang dimaksudkan menoleh-noleh itu adalah dengan mulutnya saja, maksudnya dengan wajahnya, ya. Tetapi sebagian ulama yang lain mengatakan apa adanya. Sebagian ulama ahli hadis menerima riwayat itu dan diamalkan. Seperti Ibnu Daqiqil ‘Id rahimahullah beliau mengatakan bahwa dari hadis dan riwayat ini, ada syariat disunahkannya seseorang memutarkan badan.

Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, sunahnya seorang yang melakukan azan, dia naik ke menara. Karena suara itu akan sampai. Meletakkan tangan di telinga ini diriwayatkan dari jalur yang banyak. Perintah dari Nabi ﷺ kepada Bilal untuk meletakkan jari-jari tangannya untuk ditaruh di telinganya ini riwayatnya lemah. Tetapi yang sahih adalah Bilal sendiri melakukan dan Nabi ﷺ tahu dan dibiarkan. Imam an-Nawawi rahimahullah menegaskan bahwa yang sunah adalah meletakkan jari telunjuk untuk ditaruh di telinga, akan tetapi tidak ada dalilnya kata Hafizh Ibnu Hajar. Apa manfaatnya? Disebut oleh Hafizh Ibnu Hajar, manfaatnya bisa jadi dua hal. Yang pertama, agar suaranya lebih melengking. Kedua, agar orang yang jauh melihat dia, paham, “Oh ini sedang azan.”

Tanya Jawab

  • Q: Ada sapu yang terkena najis seperti kencing kucing atau kotoran anak-anak. Apa ketika kita memegang ujung sapu itu, bagian yang tidak terkena najis, tetap membatalkan wudu kita?
    • A: Ya enggak, ya. Tidak sampai menular seperti setrum, ya. Meskipun kita megang bagian yang najisnya, batal juga tidak, wudu juga tidak batal, ya. Karena najis itu tidak membatalkan wudu, ya. Tapi dicuci seperti itu.
  • Q: Apa pendapat yang rajih terhadap kotoran cicak di masjid-masjid?
    • A: Ini para ulama mengatakan cicak termasuk hewan yang dagingnya tidak boleh dimakan karena cicak diperintahkan untuk dibunuh, sehingga dagingnya haram. Yang dagingnya haram, kotorannya najis. Kalau kotoran najis, berarti harus dibersihkan. Hanya para ulama mengatakan, kalau seandainya susah karena banyak, dari dulu itu cicak itu banyak ya, maka dimaafkan dengan kesulitan yang dihadapi kaum muslimin.
  • Q: Apakah boleh seorang anak video call dengan ibunya di dalam masjid sedangkan ibunya tidak pakai jilbab?
    • A: Iya, ya. Kalau di… enggak ada masalah. Karena sekalipun perempuan masuk masjid tidak pakai jilbab pun tidak dilarang ya, selama tidak ada orang lain. Kalau ada orang lain berarti dia diperintahkan untuk menutup aurat. Kalau anaknya video call dengan ibunya, ibunya tidak pakai jilbab, enggak apa-apa, tapi jangan kelihatan orang lain seperti itu.
  • Q: Apa hukumnya bekerja di Go-Jek atau Go-Food dan mengantar makanan yang tidak halal atau mengantar orang ke tempat yang tidak sesuai dengan syariat?
    • A: Ini tidak berkaitan dengan perusahaannya, tapi berkaitan dengan pekerjaannya. Kalau pekerjaan itu ada keharamannya dan antum turut membantu dalam ketidakhalalan itu, maka tidak dibolehkan seperti itu, ya. Maka cari yang halal aja.
  • Q: Apakah hadis ini sahih, “Allahumma ajirni minan nar” sebanyak tiga kali?
    • A: Wallahu a’lam. Ee, ana pernah membaca ada yang menghasankannya, meskipun yang melemahkan juga ada. Tetapi, ee, apa namanya, seandainya diamalkan, ini juga diwasiatkan oleh banyak ulama untuk membaca seperti ini. Wallahu a’lam, ini bisa diamalkan, ee, dan seingat ana riwayat yang minta ijarah ini hasan, wallahu a’lam.
  • Q: Mohon nasihatnya agar kami takut bermaksiat kepada Allah dan semangat dalam menuntut ilmu.
    • A: Orang yang tidak tahu dia perlu diingatkan, tetapi orang yang sudah tahu dia perlu menyadari, ya. Dan, ee, sering disampaikan bahwa seringkali orang itu melakukan maksiat dalam kesendirian. Kalau dia sudah menyadari dia tidak mampu untuk sendirian, jangan sendirian. Kemudian, di antara yang lain, antum bisa lihat, ee, hal-hal yang bisa membuat antum takut seperti ceramah para ulama yang mengingatkan tentang neraka dan panasnya api itu. Teori itu tidak penting, yang penting adalah keseriusan orang yang mengerjakan.
  • Q: Apakah lafaz azan yang sekarang dikumandangkan oleh muazin seperti yang dikumandangkan pada zaman Nabi ﷺ, yaitu sahabat Bilal, dari panjangnya irama mendayu?
    • A: Yang jelas intinya, ee, azan itu diperintahkan dengan suara keras, ditartilkan, kemudian dipanjangkan dan seterusnya. Kalau kita paksakan untuk sama dengan Bilal ya, siapa yang bisa sama kan? Wallahu a’lam seperti itu.
  • Q: Apakah ada bacaan ini di antara syahadatain? Apakah ada zikirnya ketika lafaz-lafaz azan dikumandangkan?
    • A: Wallahu a’lam, ana tidak pernah baca, eh, apa namanya, riwayat itu. Wallahu a’lam. Kita yang mendengar diperintahkan, nanti insyaallah pada hadis yang berikutnya, anjuran untuk menjawab lantunan azan.
  • Q: Cara ana belajar ya seperti antum belajar, tidak ada bedanya, ya.
    • A: [Ini tampaknya bukan pertanyaan, melainkan pernyataan dari penanya yang ditanggapi]. Pada para guru-guru kita mengatakan, kalau seorang Thalib tidak bisa mempelajari karena waktunya terbatas dan disibukkan dengan muqarrar atau kurikulum, itu sudah cukup. Pelajaran tambahan itu sifatnya sunah, pelajaran muqarrar sifatnya wajib. Keliru kalau orang terlalu semangat untuk mengikuti pelajaran yang sunah, akhirnya pelajaran wajibnya terbengkalai.
  • Q: Seorang yang bermimpi di malam hari dan saat salat subuh ia lupa untuk mandi janabah sehingga datang waktu zuhur ia baru ingat, apakah dia harus mengulang salat subuhnya?
    • A: Iya, mengulang mandinya, kemudian mengulang salat subuhnya.
  • Q: Nenek saya sudah berusia 80 tahun, secara fisik masih sehat namun sudah agak pikun. Bagaimana caranya agar nenek saya dapat meninggal dalam kondisi husnul khatimah karena sudah tidak salat?
    • A: Kalau seandainya dia betul-betul pikun, maka dia tidak wajib untuk melakukan ibadah apapun. Tidak puasa, tidak salat, karena memang sudah pikun. Orang yang pikun tidak dianjurkan untuk ibadah sama sekali, dia tidak mukhatab, tidak diajak bicara dalam syariat untuk menerima perintah. Maka tidak perlu fidyah sebenarnya.
  • Q: Bagaimana hukumnya menggunakan aplikasi seperti [pihak ketiga] karena penjual barang mensyaratkan untuk pembayaran menggunakan aplikasi tersebut?
    • A: Kalau seandainya masih ada pilihan yang tidak sampai pada praktik-praktik yang tidak disyariatkan, enggak usahlah. Enggak usah. Tapi kalau seandainya terpaksa enggak bisa kecuali dengan itu, ya darurat. Kalau seandainya masih bisa, enggak usah masukkan ke dalam hal-hal yang meragukan. Sering ditanya, beliau jawabannya, ya tinggalkan suatu yang ragu kepada yang jelas tidak ragu.
  • Q: Apakah ana sebenarnya layak mendalami ilmu hadis sedangkan ana masih sering berkata dan melakukan dosa yang hina?
    • A: Tidak ada syarat untuk belajar ilmu hadis harus jadi malaikat dulu. Antum tahu al-Fudhail ibn ‘Iyadh rahimahullah? Beliau mantan penyamun. Tak pernah dia tanya, “Apakah pantas seperti saya ini berubah menjadi seorang muhadis?” Ya, antum belajar. Siapa tahu justru dengan belajar itu antum akan dipalingkan dari maksiat itu.

#Prolog

Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ’anhu. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara langsung dengan melenyapkan ilmu itu dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang berilmu lagi, orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.’” (HR. Bukhari)

Sumber: https://muslim.or.id/93486-malapetaka-akhir-zaman.html
Copyright © 2025 muslim.or.id