Kajian Kitab Umdatul Ahkam – 26, Dr. Emha Hasan Ayatullah, M.A


Umdatul Ahkam Pert. 26 (Waktu Terlarang Untuk Shalat) – Teks yang Telah Disunting

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَبِهِ نَسْتَعِينُ عَلَى أُمُورِ الدُّنْيَا وَالدِّينِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.

Ikhwah sekalian, semoga kita termasuk orang-orang yang ikhlas dalam belajar, bisa disiplin dan istikamah dalam mempelajari agama. Sekalipun kita menjadi orang yang paling asing, orang yang paling tidak dikenal, dan banyak orang yang tidak suka dengan perbuatan dan pekerjaan kita, akan tetapi ketika seorang berupaya untuk istikamah di atas sunah, maka insyaallah Allah Azza wa Jalla yang akan membuat kita rida dengan apa yang kita kerjakan. Dan Allah rida kepada kita, itu yang paling inti. Sekalipun orang tidak tertarik atau orang tidak ikut, tidak masalah. Karena itu tidak pernah menjadi pertimbangan untuk kita dakwahkan, untuk kita ajarkan, termasuk untuk kita tulis dan seterusnya.

Dan dalam hadis yang sering kita dengar, Nabi ﷺ menyatakan, “Diperlihatkan kepadaku umat-umat, maka aku melihat ada seorang nabi yang membawa pengikut antara tiga sampai sembilan orang, ada seorang nabi yang pengikutnya hanya satu atau dua orang, ada seorang nabi yang bahkan tidak membawa pengikut sama sekali.” Ini dalam Sahih Bukhari Muslim. Akan tetapi, ketika mereka menerima wahyu dari Allah, itu yang benar. Tidak masalah tidak memiliki pengikut, tidak masalah.

Kemudian yang kedua, ini juga diceritakan sebagai keteladanan para ulama di zaman salaf. Mereka alim, hafalan kuat, pengetahuan tentang ilmu agama betul-betul mendalam, tapi rupanya masyarakat tidak tertarik kepada mereka. Bahkan ketika meninggal pun, rupanya murid-murid mereka tidak banyak. Ana pernah sampaikan ini, seperti yang disebutkan oleh al-Auza’i rahimahullah. Al-Auza’i, ahli hadis dari daerah Syam, meninggal tahun 157 Hijriah. Beliau menceritakan tentang salah satu gurunya, yaitu Atha’ ibn Abi Rabah, beliau meninggal tahun 114 Hijriah. Beliau katakan, ketika Atha’ ibn Abi Rabah, sang alim, sang ahli hadis meninggal, padahal beliau adalah orang yang paling afdal barangkali di zaman itu, ternyata di kajian-kajian beliau tidak ada yang hadir, mungkin hanya delapan orang atau bahkan sembilan orang. Zaman sekarang ada pengajian segitu, bubar itu, ya. Apalagi kalau dai viral, wah, disangkanya banyak, ya. Tablig akbar kok jadi tablig asghar, kecewa sekali, ya. Tapi maksudnya, para ulama rupanya mereka seperti itu. Memang ilmu yang mereka bawa itu berat, apalagi hadis.

Maka, kita berdoa kepada Allah semoga kita bisa istikamah dan tidak terlalu terbawa oleh kebiasaan orang. “Orang maunya kayak begini, orang maunya kayak begini, ini yang diharapkan masyarakat.” Kita katakan, kita tidak ikut masyarakat, tapi masyarakat perlu mengikuti ilmu yang dipelajari oleh para ulama turun-temurun. Sekalipun berat, kita biasakan mereka. Kalau seandainya kita mengikuti gaya mereka, sampai kapan itu? Maka justru hadis ini ketika menjadi asing, kita perlu kenalkan kepada mereka.

Ikhwah sekalian, kita membahas dua hadis dalam satu pembahasan, yaitu waktu terlarang untuk salat. Antum sering mendengar ini. Hadis yang disebutkan oleh al-Maqdisi, Abdul Ghani al-Maqdisi rahimahullah, hadis Ibnu Abbas dan hadis Abu Said al-Khudri رضي الله عنهما. Kemudian beliau menyebutkan bahwa riwayat tentang pembahasan ini diriwayatkan dari banyak para sahabat.

Yang pertama, hadis Abdullah ibn Abbas رضي الله عنهما. Beliau mengatakan, “شَهِدَ عِنْدِي رِجَالٌ مَرْضِيُّونَ وَأَرْضَاهُمْ عِنْدِي عُمَرُ” (Syahida ‘indi maksudnya adalah ‘allamani, artinya aku diajari). Maka dalam riwayat yang lain disebutkan, “حَدَّثَنِي رِجَالٌ مَرْضِيُّونَ” (Orang-orang yang diridai). Maksudnya apa? Kata Hafizh Ibnu Hajar, orang yang terpercaya dalam masalah agama maupun keilmuannya. Artinya, ketika seorang thalibul ‘ilm ingin belajar agama, maka dia perlu melihat gurunya, bagaimana kapasitas ilmu dan bagaimana kapasitas agama. Antum sudah pelajari dulu waktu daurah pertama di awal tahun ajaran ketika kita membahas tentang 20 prinsip ilmu, ya. Kita perlu mengambil dari seorang mualim yang nasuh, dia memiliki kriteria bisa mengarahkan dan mengharapkan kebaikan kepada muridnya, termasuk dia memiliki keahlian. Kalau seandainya agama seorang guru tidak baik, maka bagaimana kita akan mempelajari agama dari orang itu? Kemudian yang kedua, kalau seandainya guru itu tidak memiliki ilmu, bagaimana pula kita akan belajar kepada guru itu?

Di sini disebutkan, kata beliau, “Aku diberitahu oleh orang-orang yang aku ridai agama mereka.” Dan yang paling aku rela, aku sukai adalah Umar. Disebutkan dalam beberapa riwayat, “Dan yang paling aku sukai di antara para sahabat nabi adalah Umar.” Dalam riwayat at-Tirmidzi dikatakan, “Dan yang paling aku sukai adalah Umar.” Dalam riwayat al-Baihaqi dikatakan, “Yang paling aku kagumi, Umar bin Khattab.” Orang yang mengagumkan sekali, terutama Ibnu Abbas. Beliau kagum kepada gurunya ini. Nikmat sekali dapat guru orang kayak Umar, ya. Tegas, berilmu, fakih, enggak basa-basi dia, pejabat lagi, ya. Jin saja takut sama dia.

Pernah satu saat, Ibnu Abbas cerita, “Aku ingin bertanya kepada Umar,” kata orang Jawa itu gajeg-gajeg, mau nanya, ah, enggak jadi, saking wibawanya Umar bin Khattab رضي الله عنه. Sampai satu saat, beliau (Umar) pas wudu sendirian, aku carikan air, kemudian aku persiapkan wudunya, baru aku tanya, “Ya Amirul Mukminin, aku ingin bertanya, مَنِ الْمَرْأَتَانِ اللَّتَانِ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِيهِمَا: إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا؟” (Wahai Amirul Mukminin, siapa sih dua orang perempuan yang dikatakan oleh Allah dalam surat at-Tahrim, ‘Jika kalian berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan)’?). Kata Umar Bin Khattab, “Celaka kamu, wahai Ibnu Abbas, kenapa kamu enggak tanya? Tanya saja.” Maksudnya Aisyah dan Hafshah. Lalu diceritakanlah dalam hadis yang panjang kisah ketika Nabi ﷺ akhirnya tidak mengajak bicara semua istrinya ketika mereka minta tambahan nafkah.

Intinya, Umar Bin Khattab رضي الله عنه ini, beliau adalah orang yang fakih sekali. Dan Ibnu Abbas رضي الله عنهما mengatakan bahwa di antara guru-guru para sahabat ini yang mengajari aku, yang paling hebat adalah Umar Bin Khattab رضي الله عنه.

Kemudian disebutkan di sini, bahwa Nabi ﷺ melarang salat setelah Subuh sampai matahari terbit, dan tidak boleh juga salat habis Asar sampai matahari terbenam.

Hadis yang kedua, dari Abu Said al-Khudri رضي الله عنه, dari Rasulullah ﷺ, bahwasanya beliau bersabda, “لَا صَلَاةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ، وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ” (Tidak boleh salat setelah Subuh sampai matahari meninggi, dan tidak boleh salat setelah Asar sampai matahari tidak kelihatan).

Baik, kemudian Abdul Ghani al-Maqdisi mengatakan, pembahasan ini diriwayatkan dari sahabat Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amr ibn ‘Ash, wa Abi Hurairah, Samurah ibnu Jundub, Salamah ibnu al-Aqwa’, Zaid ibn Tsabit, wa Mu’adz ibn Jabal, wa Ibnu Abi Umamah, wa ‘Amr ibn ‘Abasah as-Sulami, dan dari Aisyah رضي الله عنها, kemudian dari as-Sunabihi. As-Sunabihi ini seorang mukhadram, beliau tinggal di zaman Nabi ﷺ akan tetapi belum sempat ketemu, sehingga kalau dia meriwayatkan, hukumnya seperti hadis mursal (terputus).

Hadis ini merupakan larangan untuk salat habis Subuh dan habis Asar. Akan tetapi, riwayat lain masih banyak yang akan menentukan hukum dalam larangan tersebut. Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan bahwa larangan salat ini maksudnya adalah kalau seseorang sudah salat Subuh. Kalau orang belum salat subuh, misalkan bangun terlambat jam 5, dia tetap boleh melaksanakan salat karena dia belum salat Subuh. Maka larangan ini berkaitan dengan pelaksanaan salat, bukan waktu salat saja.

Kemudian, dalam hadis ini disebutkan batasannya sampai terbit matahari. Dalam riwayat lain dikatakan sampai matahari meninggi (حَتَّى تَرْتَفِعَ). Mana yang lebih benar? Kata Hafizh Ibnu Hajar, ini bisa digabungkan. Maksudnya, seorang tetap tidak boleh melaksanakan salat sampai matahari itu terbit dan meninggi. Ukurannya, para ulama mengatakan untuk orang yang mau salat syuruk, dia menunggu sekitar seperempat jam setelah waktu terbit.

Ada hadis yang berkaitan dengan ini dalam riwayat Muslim dari sahabat ‘Uqbah ibn ‘Amir رضي الله عنه, beliau mengatakan:

ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ، أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ، وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ” (Ada tiga waktu yang Nabi ﷺ melarang kami untuk melaksanakan salat di situ dan tidak boleh pula kita menguburkan mayit: 1. Ketika matahari terbit sampai meninggi. 2. Ketika matahari tepat berada di atas kepala sampai tergelincir. 3. Ketika matahari miring dan mau terbenam).

Maka, al-Hafizh Ibnu Hajar kemudian mengatakan, berarti waktu larangan dalam salat itu ada lima, yang bisa diringkas menjadi tiga:

  1. Habis salat Subuh sampai matahari meninggi.
  2. Habis salat Asar sampai matahari terbenam.
  3. Ketika matahari tepat di atas kepala.

Apakah larangan ini betul-betul berlaku secara mutlak dan haram? Ternyata para ulama tidak satu pendapat.

  • Al-Hanafiyah: Mengatakan makruh tahrim (haram) untuk semua salat.
  • Sebagian Ulama Salaf & Az-Zahiriyah: Mengatakan larangan itu mansukh (dihapus), sehingga tidak ada waktu larangan.
  • Jumhur (Mayoritas Ulama): Mengatakan larangan itu berlaku, sifatnya makruh, kecuali untuk salat-salat yang memiliki sebab (dzawatil asbab).

Adapun salat yang tidak memiliki sebab, maka hukumnya makruh dilakukan pada waktu-waktu larangan. Kalau memiliki sebab, aman. Contoh yang memiliki sebab:

  1. Salat Qadha: Orang yang lupa atau ketiduran salat, maka dia harus segera salat ketika ingat, meskipun di waktu terlarang.
  2. Salat Jenazah: Boleh dilakukan habis Subuh atau habis Asar. Tetapi, jika pada tiga waktu yang berkaitan dengan matahari (terbit, zenith, terbenam), sebaiknya ditunda karena larangannya tegas dan menunggunya tidak lama.
  3. Tahiyatul Masjid: Termasuk dzawatil asbab.
  4. Salat setelah Tawaf.

Dalam riwayat Ibnu Umar disebutkan lafaz “لَا تَحَرَّوْا” (jangan sengaja mencari-cari) waktu terbit atau terbenam untuk salat. Sebagian ulama menyebutkan dari sini bahwa larangan hanya berlaku jika ada unsur kesengajaan. Namun, jumhur ulama mengatakan, sengaja atau tidak, selama salat itu tidak ada sebabnya, maka tidak boleh dilakukan.

Hikmah larangan ini disebutkan dalam riwayat lain, karena pada waktu-waktu itu “يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ” (orang-orang kafir sujud kepada matahari).

Pelajaran Tambahan dan Pengecualian

  • Salat di Pertengahan Siang: Jumhur ulama melarangnya. Namun, Imam Malik berpendapat boleh.
  • Pengecualian Hari Jumat: Mazhab Syafi’i mengecualikan hari Jumat. Boleh salat sunah terus-menerus hingga khatib naik mimbar, meskipun melewati waktu matahari di atas kepala. Hal ini berdasarkan praktik para sahabat di zaman Umar رضي الله عنه.
  • Waktu Makruh Lainnya:
    • Ketika iqamah sudah dikumandangkan. Nabi ﷺ bersabda, “إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَلَا صَلَاةَ إِلَّا الْمَكْتُوبَةُ” (Kalau sudah dikumandangkan iqamah, maka yang berlaku adalah salat fardu, bukan salat sunah).
    • Ketika khatib Jumat sudah mulai berkhutbah.

Tanya Jawab

A: Tidak apa-apa, selama dia tidak mensyaratkan nominalnya. Lebih bagus lagi jika gaji itu diberikan oleh pemerintah dari Baitul Mal.

Q: Bolehkah mengqadha salat sunah Fajar di pesawat?

A: Boleh, insyaallah. Antum juga bisa salat sunah di jalan (dalam kendaraan) sebelum sampai bandara, lalu salat Subuh di bandara.

Q: Bagaimana mengatasi kebiasaan mendengarkan musik?

A: Dengan tekad kuat dan menyibukkan diri mendengarkan murattal Al-Qur’an. Ibnu Qayyim mengatakan, kecintaan terhadap Al-Qur’an dan musik tidak akan terkumpul dalam satu hati. Tapi jangan mendengarkan Al-Qur’an dari suara perempuan (qariah), karena itu fitnah yang lain.

Q: Mana yang didahulukan untuk dihafal setelah Arba’in: Umdatul Ahkam atau Bulughul Maram?

A: Umdatul Ahkam lebih mudah dan pendek, cocok untuk membiasakan diri dan agar bisa selesai satu kitab. Bulughul Maram lebih panjang dan rumit, cocok jika punya tekad kuat, hafalan kuat, dan waktu yang cukup.

Q: Bagaimana hukum hadis salat syuruk?

A: Ada perbedaan pendapat. Sebagian ulama menghasankannya, sebagian melemahkannya. Jika ingin mengerjakan, banyak ulama yang menganggapnya hasan.

Q: Apa hukumnya imam atau muazin menerima upah?

A: Tidak apa-apa, selama dia tidak mensyaratkan nominalnya. Lebih bagus lagi jika gaji itu diberikan oleh pemerintah dari Baitul Mal.


#Prolog

Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ’anhu. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara langsung dengan melenyapkan ilmu itu dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang berilmu lagi, orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.’” (HR. Bukhari)

Sumber: https://muslim.or.id/93486-malapetaka-akhir-zaman.html
Copyright © 2025 muslim.or.id