Kajian Kitab Umdatul Ahkam – 25, Dr. Emha Hasan Ayatullah, M.A

Umdatul Ahkam Pert. 25 (Waktu Ideal Untuk Shalat Isya’)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَبِهِ نَسْتَعِينُ عَلَى أُمُورِ الدُّنْيَا وَالدِّينِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.

Amma ba’d. Ikhwah sekalian, kita akan melanjutkan pembahasan tentang hadis penentuan waktu dalam salat. Di bagian pertama dan kedua yang akan kita bahas akan berkaitan dengan waktu salat Isya, dan ini akan kita mulai. Kemudian berikutnya, kita akan membahas tentang hadis orang yang salat sedangkan ada hidangan yang sudah siap, kemudian ada waktu larangan, insyaallah kita akan bahas pada kesempatan berikutnya dengan izin Allah. Baru setelah itu ditutup dengan hadis yang ternyata masih berkaitan dengan kemarin tentang salat Asar yang tertunda.

Nabi ﷺ disibukkan dengan membuat parit, berjaga juga untuk menghadapi Perang Khandaq atau Perang Ahzab. Dan hadis ini sudah kita baca pada syarah hadis-hadis yang berkaitan dengan kondisi Nabi ﷺ sedang ribath. Kemudian terlambat salat dan kita sebutkan hadis Jabir bin Abdillah رضي الله عنه, Umar bin Khattab datang pada saat terjadi perang setelah matahari terbenam. Maka, Umar bin Khattab mulai mencela orang kafir. Dan kita sebutkan kemarin, di antara pelajarannya, boleh seseorang mencela orang kafir, terutama karena mereka telah menyebabkan salat seseorang tertunda. Bukan melaknat personalnya, akan tetapi mencela tindakan dan juga orang kafir secara umum karena mereka telah menyebabkan salat Asar tertunda.

Kemudian disebutkan, maka Nabi ﷺ [bersabda], “Demi Allah, aku belum salat.” Dan kita sebutkan kemarin, di antara pelajarannya adalah Nabi ﷺ ingin menunjukkan bahwa kemarahan, kekecewaan, dan kesedihan Umar itu masih ada [yang] lebih parah, “Aku belum salat. Kalau kamu salat menjelang waktu habis dan kamu ngamuk-ngamuk, ini aku masih belum salat sekarang.” Lalu, Nabi ﷺ salat bersama para sahabatnya. Maka kami semua beranjak untuk menuju ke Buthan. Buthan adalah sebuah tempat di kota Madinah. Kemudian wudu, juga sama-sama, di sini tidak ada yang menunjukkan ada syariat berwudu bersama-sama, ya. Tidak ada yang mengambil kesimpulan bahwa ada anjuran untuk berwudu bersama-sama.

Kemudian, Nabi ﷺ salat setelah matahari terbenam, salat Asar, kemudian baru salat Magrib. Kita sebutkan kemarin bahwa salat yang tertinggal tetap dilakukan dengan urut, kecuali sebagian ulama mengatakan kalau salat yang berikutnya khawatir akan keluar waktu juga. Kalau masih ada waktu yang senggang, maka hukum asalnya semua dilakukan secara urut. Nah, ini di antara contohnya, Nabi ﷺ salat Asar di waktu Magrib, dan waktu Magribnya ditunda karena rupanya waktu Magribnya masih ada kesempatan yang agak luas. Kalau seandainya waktu Magrib pun akan habis, maka para ulama menyebutkan mending awalkan Magribnya karena khawatir Asar sudah kelewat, nanti Magribnya jadi kelewat pula. Dua-duanya jadi salat qada, mending Magribnya ada, yang qada hanya Asar. Ini menurut sebagian ulama.

Baik, ini kita sebutkan kembali karena memang al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi rahimahullah menyebutkan ini di bagian akhir dari pembahasan al-mawaqit tentang masalah waktu salat. Dan kita sebutkan di antara pelajarannya, untuk orang yang sudah terlambat juga salatnya, meskipun keluar waktu, tetap dianjurkan untuk salat berjamaah. Dan Nabi ﷺ juga pernah melakukan itu. Bahkan bukan hanya salat berjamaah, beliau bahkan kalau perlu salat sunah dulu. Seperti ketika beliau terlambat salat Subuh, sudah ngomong sama para sahabatnya, “Siapa nanti yang mau bangunkan kita? Kecapekan semua ini kita baru pulang dari perang.” Maka Bilal mengatakan, “Ana ya Rasulullah.” Akhirnya Bilal siap-siap untuk membangunkan, rupanya ketiduran semua. Bilal pun tidur. Pertama kali yang bangun adalah Abu Bakar, tapi Abu Bakar orang pemalu. Ketika melihat Nabi ﷺ tidur, dibiarkan. Baru Umar bin Khattab bangun. Umar bin Khattab bangun langsung teriak, “Allahu Akbar!” Nabi ﷺ baru bangun karena diteriakin oleh takbirnya Umar رضي الله عنه. Baru akhirnya beliau mengatakan, “تَحَوَّلُوا عَنْ مَكَانِكُمُ الَّذِي أَصَابَتْكُمْ فِيهِ الْغَفْلَةُ” (Ayo kita pindah dari tempat yang kita ketiduran tadi).

Kemudian kita akan membahas malam hari ini tentang waktu salat Isya. Dari hadis Abdullah ibn Abbas رضي الله عنهما, satu saat Nabi ﷺ salat Isya sampai waktunya terlampau malam. A’tama artinya mengakhirkan sampai masuk waktu ‘atamah. Maka karena waktunya malam gelap, akhirnya sebagian orang menamakan salat Isya adalah sebagai salat al-‘Atamah. Kita sudah bahas beberapa waktu yang lalu, yang sampai dikatakan Nabi ﷺ tidak pengin para sahabat menamakan salat Isya dengan salat ‘Atamah. Beliau menyebutkan dalam hadis yang sahih, “Jangan kalian terpengaruh oleh orang-orang Arab Badui dalam menamakan salat Isya sebagai salat ‘Atamah. Itu namanya salat Isya.”

Nabi ﷺ sengaja suatu saat beliau mengakhirkan salat malam. Dalam beberapa riwayat disebutkan إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ (sampai pertengahan malam). Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa beliau salat sampai sepertiga malam. Dalam sebuah hadis riwayat Anas bin Malik dalam Sahih Bukhari disebutkan, Nabi ﷺ sengaja mengakhirkan salat Isya sampai pertengahan malam. Bagaimana mengukurnya? Gampang. Para ulama mengatakan, Antum lihat waktu terbenam matahari, kemudian Antum hitung sampai matahari terbit fajar. Setelah itu, Antum jumlah, berapa itu bagi dua. Selama ini kita barangkali menyangka bahwa waktu salat Isya sampai Subuh, enak sekali, ya. Tidur saja begitu, yang penting bangun salat tahajud plus Isya. Ini salahnya dua: yang pertama dia ketinggalan salat Isya, kemudian yang kedua salatnya sudah keluar waktu.

Al-Hafizh mengatakan, apakah ada kontradiksi pada waktu akhir ini (sepertiga malam vs. setengah malam)? Beliau mengatakan tidak. Akan tetapi, ini terkadang beliau lakukan sepertiga malam, terkadang beliau lakukan sampai setengah malam. Dan ini menjadi waktu ikhtiyari. Kata Al-Imam an-Nawawi rahimahullah, ini merupakan waktul ikhtiyar, waktu yang memang ditentukan sebagai salat Isya, dari sejak terbenamnya mega merah sampai sepertiga atau setengah malam. Adapun setelah itu namanya waktu dharurah atau waktul jawaz (waktu darurat atau waktu yang dibolehkan). Maksudnya, orang karena ada uzur (ketiduran, kecapekan), maka baru dibolehkan dia sampai sebelum waktu Subuh.

Dalam riwayat disebutkan Nabi ﷺ mengakhirkan salat Isya. Dalam riwayat Bukhari ada tambahannya, disebutkan hal itu (terjadi) ketika Islam belum menyebar ke mana-mana. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan maksudnya belum menyebar di luar kota Madinah.

Kemudian disebutkan dalam hadis ini, keluarlah Umar, lalu berkata, “الصَّلَاةَ يَا رَسُولَ اللهِ” (Salat, ya Rasulullah!). Maksudnya, “Ya Rasulullah, ini sekarang kita mau salat, ayo kita salat.” “Perempuan dan anak-anak sudah pada tidur.” Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan maksudnya perempuan dan anak-anak yang ada di masjid, bukan yang tinggal di rumah. Mereka sudah ketiduran karena kecapekan menunggu.

Ibnu Baththal rahimahullah (meninggal 449 H) mengatakan bahwa ini tidak pantas kita kerjakan oleh imam-imam zaman sekarang. Antum bayangkan, beliau mengatakan ini sudah tidak pantas kita lakukan sekarang, orang akan kesulitan sekali. Karena Nabi ﷺ juga perintahkan agar kita salat sambil meringankan. “إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ” (Apabila salah seorang di antara kalian menjadi imam salat, hendaklah dia memendekkan salatnya). Maka, kata Hafizh Ibnu Hajar, sebenarnya pernyataan Ibnu Baththal yang mengatakan tidak pantas zaman sekarang tidak benar juga secara umum. Karena Nabi ﷺ melakukan ini dan memang memberatkan. Di bagian akhir, akhirnya Nabi ﷺ mengatakan, “Kalau tidak karena khawatir akan memberatkan umatku, akan aku beritahu mereka ini waktunya, nih sekarang waktunya.” Dalam riwayat lain disebutkan, “إِنَّهَا لَوَقْتُهَا” (inilah waktu idealnya), yaitu ditunda.

Maka, kata Hafizh Ibnu Hajar, yang tepat adalah hadis Jabir: Nabi ﷺ suka mengakhirkan salat Isya. Jika beliau melihat sahabatnya mereka sudah ngumpul, beliau mulai salat. Tapi kalau mereka masih datang satu dua, belum banyak yang datang, maka beliau sengaja untuk mengakhirkan. Berarti, kalau seandainya ada imam, dia memperhatikan makmum siap tempur semua, mereka siap untuk diakhirkan, kemudian tidak ada yang sakit, maka tidak apa-apa seorang terkadang menunda, kemudian memanjangkan, itu sesuai dengan kemampuan.

Kemudian dalam hadis ini ditambah, Nabi ﷺ keluar dari rumah sementara kepalanya meneteskan air. Itu merupakan tanda bahwa Nabi ﷺ habis mandi janabah.

Hadis ini juga menunjukkan kondisi bahwa Nabi ﷺ pernah mengakhirkan salat sampai malam. Dalam Sahih Bukhari disebutkan حَتَّى ابْهَارَّ اللَّيْلُ. Ibharra ini diartikan oleh ahli bahasa macam-macam, ada yang mengatakan sampai bintang mulai banyak dan bertaburan di tengah malam. Orang dulu bukan hanya menikmati, bahkan mereka menjadikan sebagai tanda. “وَعَلامَاتٍ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ” (Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk).

Kejadian ini diangkat oleh beberapa ulama ahli hadis sebagai keutamaan orang yang bergadang karena ilmu. Ibnu Hibban dalam sahihnya beliau menyebutkan tentang dalil tidak disukainya orang begadang malam. Dikatakan bahwa Nabi ﷺ tidak suka tidur sebelum Isya atau mengobrol sesudah Isya. Itu makruh, kecuali beberapa hal, di antaranya: bercanda dengan keluarga, menghormati tamu, atau mempelajari ilmu. Di antara dalil yang disebutkan adalah hadis ini. Dalam sebuah riwayat Ibnu Hibban, Nabi ﷺ bersabda: “إِنَّ النَّاسَ قَدْ صَلُّوا وَنَامُوا، وَإِنَّكُمْ لَمْ تَزَالُوا فِي صَلَاةٍ مَا انْتَظَرْتُمُ الصَّلَاةَ” (Sungguh orang-orang semua sudah salat dan mereka tidur, dan kalian masih tetap dihitung dalam kondisi salat selama kalian menunggu salat).

Anas bin Malik berkomentar, “Sungguh, orang-orang senantiasa dalam kebaikan selama mereka menunggu kebaikan.” Berarti belajar sambil nunggu salat Isya ini khairun ‘ala khair.

Setelah Umar bin Khattab protes, Nabi ﷺ keluar kemudian berkhotbah sambil mengatakan, “Tidak ada penduduk dunia ini sekarang yang menunggu salat Isya seperti kalian.” Ini pujian dari Nabi ﷺ. Dan para ulama menyebutkan bahwa ini merupakan fadilah ta’khir salat Isya. Para sahabat, setelah diberitahu itu, mereka bahagia sekali. Ini menunjukkan bagaimana mereka ini bisa berbahagia dengan janji akhirat.

Baik, di antara pelajarannya, apabila seseorang mampu untuk mengakhirkan salat Isya, maka itu lebih utama. Seandainya ada orang yang ingin mengakhirkan salat Isya tetapi jemaah semua salat Isyanya di awal, apakah boleh dia mengakhirkan salat Isya untuk mendapatkan afdaliah tapi kehilangan salat berjamaah? Jawabannya, enggak boleh. Karena salat berjamaah lebih ditekankan daripada mendapatkan fadilah diakhirkannya waktu salat.

Hukum Tidur Sebelum Isya & Salat Saat Makanan Terhidang

Para ulama mayoritas memakruhkan tidur sebelum salat Isya. Apakah tidak boleh? Boleh, tetapi makruh. Sebagian ulama memberi keringanan jika menyongsong waktu Ramadan, karena ingin salat malam yang panjang. Sebagian lain mengatakan ruksah itu jika ada orang yang siap untuk membangunkan.

Hadis berikutnya berkaitan dengan salat kalau sudah ada hidangan. Diriwayatkan dari hadis Aisyah رضي الله عنها, Nabi ﷺ bersabda, “إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ وَحَضَرَ الْعَشَاءُ فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ” (Kalau iqamah sudah dikumandangkan dan ada makan malam, maka mulailah dengan makan malam).

Dalam riwayat Muslim dari Aisyah disebutkan, “لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ، وَلَا وَهُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ” (Tidak boleh salat ketika hidangan makan telah disajikan atau dia salat sambil menahan buang air besar atau kecil). Jumhur ulama menafsirkan la sholata (tidak boleh salat) sebagai tidak sempurna salat, tapi sebagian ulama seperti mazhab Zhahiri mengatakan tidak sah salat. Jumhur mengatakan menjadi makruh seandainya nafsunya terpaut pada makanan. Kata jumhur ulama, sunah dia untuk makan dulu, tapi mau salat dulu tidak apa-apa, tapi makruh.

Disebutkan bahwa Abdullah bin Umar رضي الله عنهما, apabila beliau sudah dihidangi makanan, kok mendengarkan iqamah bahkan bacaan imam, beliau sudah mulai makan. Beliau tidak peduli sampai beliau selesai dari makanan itu.

Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan, makruh memang orang makan dalam kondisi lapar dan makannya sudah siap. Tetapi, kalau seandainya waktunya memang masih panjang, maka tidak apa-apa dia mulai dengan makannya. Akan tetapi, seandainya dia makannya lama dan khawatir waktu salat akan habis, maka para ulama mayoritas mengatakan tidak boleh dia makan dulu. Karena jika ada dua mafsadah yang bertabrakan, kita ambil mafsadah yang lebih ringan. Salat dalam kondisi makruh (kepikiran makanan) ini lebih mending daripada kita tidak salat sampai waktunya habis. Perintah ini menunjukkan betapa pentingnya khusyuk dalam salat.

Tanya Jawab

  • Q: Bolehkah masah di atas kaos kaki?
    • A: Kaos kaki tetap sama hukumnya dengan khuffain, karena dia tetap menutupi kaki kemudian tinggi sampai mata kakinya tertutup.
  • Q: Bagaimana agar bisa bangun Subuh dan tidak tidur lagi?
    • A: Tergantung keinginan. Kalau antum punya keinginan, insyaallah bisa. Caranya, kuatkan tekad dan jangan lupa minta doa kepada Allah Azza wa Jalla.
  • Q: Bagaimana dengan mahasiswa yang bermudah-mudahan dalam salat berjamaah dengan mengambil pendapat ulama yang ringan?
    • A: Orang yang mencari-cari keringanan, diambil pendapat paling gampang, dia telah melakukan tindakan orang munafik. Bahaya. Orang yang tasahul (bermudah-mudahan) dalam masalah salat sunah, dikhawatirkan agamanya bisa dicurigai, karena biasanya akan merembet ke ibadah wajib.
  • Q: Apa hukumnya menanyakan soal ujian kepada teman kelas lain yang sudah ujian?
    • A: Tidak apa-apa, insyaallah. Kalau di mata kuliah ana, kok ada waktu ujian yang tidak sama, soalnya beda, insyaallah. Tanya saja sudah. Tapi lebih penting bukan tanya soalnya, tanya jawabannya. Maksudnya, baca saja itu. Mau soal diotak-atik kayak gimana, kalau antum persiapan, aman insyaallah.

Mudah-mudahan apa yang kita pelajari bermanfaat.

وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى عَبْدِهِ وَرَسُوْلِهِ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.


#Prolog

Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ’anhu. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara langsung dengan melenyapkan ilmu itu dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang berilmu lagi, orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.’” (HR. Bukhari)

Sumber: https://muslim.or.id/93486-malapetaka-akhir-zaman.html
Copyright © 2025 muslim.or.id