Kajian Kitab Umdatul Ahkam – 24, Dr. Emha Hasan Ayatullah, M.A


Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmush shalihat. Wash-shalatu was-salamu ‘ala asyrafil anbiya’i wal mursalin, nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du.

Pada kesempatan kali ini, kita akan melanjutkan pembahasan mengenai hadis-hadis seputar penentuan waktu dalam salat. Pembahasan akan kita mulai dengan waktu salat Isya, dilanjutkan dengan fikih mengenai kondisi di mana hidangan telah siap sementara salat akan didirikan. Adapun pembahasan mengenai waktu-waktu terlarang untuk salat akan kita kaji pada pertemuan berikutnya, dengan izin Allah.

Sebagai penutup bab waktu ini, Al-Hafiz Abdul Ghani al-Maqdisi akan menyajikan sebuah hadis yang masih berkaitan dengan pembahasan sebelumnya, yaitu tentang salat Asar yang tertunda akibat kesibukan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan para sahabat dalam mempersiapkan Perang Khandaq.

Tinjauan Ulang dan Pelajaran dari Hadis Salat Asar pada Perang Khandaq

Sebagaimana telah kita kaji, sebuah hadis dari Jabir bin Abdillah رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا mengisahkan bahwa Umar bin Khattab رَضِيَ اللهُ عَنْهُ datang setelah matahari terbenam pada saat Perang Khandaq. Beliau lantas mulai mencela kaum kafir Quraisy yang menjadi sebab tertundanya pelaksanaan salat Asar. Dari sini, dapat diambil pelajaran mengenai kebolehan mencela kaum kafir secara umum atas tindakan mereka yang menghalangi ibadah, bukan melaknat individu secara personal.

Merespons keluhan Umar, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “Demi Allah, aku pun belum salat.” Pernyataan ini menunjukkan betapa dalamnya kesedihan dan kekecewaan Nabi, bahkan melebihi apa yang dirasakan Umar. Seakan-akan beliau berkata, “Jika engkau kecewa karena baru salat di akhir waktu, keadaanku lebih dari itu, aku bahkan belum melaksanakannya sama sekali.”

Setelah itu, dikisahkan, “maka kami semua beranjak untuk menuju ke Buthan.Buthan adalah nama sebuah lembah atau tempat di Madinah. Mereka kemudian berwudu di sana, lalu Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ melaksanakan salat Asar setelah matahari terbenam, dan setelah itu barulah menunaikan salat Magrib. Peristiwa ini menjadi landasan fikih yang penting:

  1. Tertib dalam Mengqada Salat: Hukum asal dalam mengqada salat yang terlewat adalah mengerjakannya secara berurutan. Salat Asar didahulukan sebelum salat Magrib. Namun, sebagian ulama memberikan pengecualian: jika dengan mengerjakan salat yang terlewat secara berurutan akan menyebabkan waktu salat yang sekarang habis, maka dahulukanlah salat yang waktunya sekarang agar tidak keduanya menjadi qada.
  2. Qada Berjamaah: Meskipun telah keluar dari waktunya, salat qada tetap dianjurkan untuk dikerjakan secara berjamaah.
  3. Sunah Berpindah Tempat: Dalam riwayat lain, ketika Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan para sahabat tidak sengaja tertidur hingga melewatkan salat Subuh, beliau memerintahkan, “تَحَوَّلُوا عَنْ مَكَانِكُمُ الَّذِي أَصَابَتْكُمْ فِيْهِ الْغَفْلَة” (Berpindahlah dari tempat kalian yang membuat kalian lalai ini). Ini menjadi anjuran untuk berpindah dari lokasi di mana seseorang lalai dari ketaatan kepada Allah.

Waktu Pelaksanaan Salat Isya dan Keutamaannya

Dari hadis Abdullah bin Abbas رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا, diriwayatkan bahwa pada suatu malam, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengakhirkan salat Isya. Istilah yang digunakan dalam hadis adalah أَعْتَمَ بِصَلَاةِ الْعِشَاء (a’tama bi-shalatil ‘isya’), yang artinya mengakhirkan hingga masuk waktu malam yang pekat. Karena itulah, sebagian orang menamakan salat Isya sebagai صَلَاةُ الْعَتَمَة (shalat al-‘atamah), sebuah penamaan yang tidak disukai oleh Nabi.

Batas Akhir Waktu Isya

Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah mengakhirkannya hingga pertengahan malam (إِلَى نِصْفِ اللَّيْل), dan dalam riwayat lain hingga sepertiga malam. Para ulama menjelaskan bahwa cara menghitung pertengahan malam adalah dengan menjumlahkan durasi dari terbenamnya matahari hingga terbitnya fajar, lalu dibagi dua.

Dari sini, Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa waktu salat Isya terbagi menjadi dua:

  • Waktu Ikhtiari (وَقْتُ الْاِخْتِيَارِي): Waktu pilihan yang ideal, yaitu sejak hilangnya mega merah di ufuk hingga sepertiga atau pertengahan malam.
  • Waktu Jawaz/Darurah (وَقْتُ الْجَوَاز/الضَّرُوْرَة): Waktu yang dibolehkan, yaitu setelah waktu ikhtiari hingga sebelum terbit fajar. Waktu ini diperuntukkan bagi mereka yang memiliki uzur syar’i, seperti ketiduran, lupa, atau kondisi darurat lainnya.

Keutamaan Mengakhirkan Salat Isya

Ketika Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengakhirkan salat tersebut, Umar bin Khattab memanggil beliau seraya berkata, “الصَّلَاة يَا رَسُوْلَ الله، نَامَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ” (Salat, wahai Rasulullah, para wanita dan anak-anak telah tertidur). Umar menyebut wanita dan anak-anak karena merekalah golongan yang paling lemah dan patut dikasihani jika harus menunggu terlalu lama.

Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pun keluar dari rumahnya dengan kepala yang masih meneteskan air—sebuah isyarat bahwa beliau baru saja mandi janabah. Beliau kemudian bersabda: “إِنَّهُ لَوَقْتُهَا، لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي” (Sesungguhnya inilah waktu (ideal)nya, seandainya aku tidak khawatir akan memberatkan umatku).

Kemudian, untuk menghibur para sahabat yang telah lama menunggu, beliau menambahkan, “Tidak ada seorang pun dari penduduk bumi ini yang menunggu salat ini selain kalian.” Mendengar pujian ini, para sahabat yang tadinya resah menjadi sangat bahagia. Peristiwa ini menunjukkan keutamaan besar dari mengakhirkan salat Isya.

Adab Sebelum dan Sesudah Salat Isya

Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum tidur sebelum salat Isya dan berbincang-bincang setelahnya adalah makruh. Hal ini dikecualikan untuk beberapa kondisi, seperti:

  • Berbincang dengan keluarga (مُسَامَرَةُ الْأَهْلِ).
  • Menemani dan memuliakan tamu.
  • Mempelajari ilmu agama.

Anas bin Malik رَضِيَ اللهُ عَنْهُ berkomentar mengenai peristiwa menunggu salat Isya, “Sesungguhnya manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menanti kebaikan.” Ini menunjukkan bahwa memanfaatkan waktu antara Magrib dan Isya untuk menuntut ilmu adalah sebuah amalan yang sangat mulia.

Fikih Mendahulukan Makanan atas Salat

Hadis dari Aisyah رَضِيَ اللهُ عَنْهَا menyebutkan bahwa Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda, “إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلَاةُ وَحَضَرَ الْعَشَاءُ فَابْدَءُوْا بِالْعَشَاء” (Apabila iqamah telah dikumandangkan dan makan malam telah dihidangkan, maka mulailah dengan makan malam). Dalam riwayat lain, beliau juga bersabda: “لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ” (Tidak (sempurna) salat seseorang ketika makanan telah dihidangkan, tidak juga (salatnya) orang yang menahan buang air kecil atau besar).

Penafian salat dalam hadis ini ditafsirkan oleh jumhur ulama sebagai penafian kesempurnaan (yakni salatnya makruh), bukan penafian keabsahan (salatnya batal). Tujuannya adalah untuk menjaga kekhusyukan, yang merupakan ruh dari salat.

Para sahabat pun menerapkan sunah ini. Abdullah bin Umar, yang dikenal sangat ketat dalam mengikuti sunah, akan tetap menyelesaikan makannya meskipun iqamah telah berkumandang, bahkan ketika beliau telah mendengar bacaan imam. Namun, perlu dicatat, para ulama menegaskan bahwa rukhsah (keringanan) ini berlaku selama waktu salat masih panjang. Jika dengan mendahulukan makan akan menyebabkan waktu salat habis, maka salat harus didahulukan. Ini didasarkan pada kaidah fikih: jika terdapat dua mafsadah yang bertabrakan (تَعَارُضُ الْمَفْسَدَتَيْنِ), maka pilihlah mafsadah yang lebih ringan. Dalam kasus ini, salat dengan khusyuk yang berkurang (makruh) lebih ringan daripada meninggalkan salat hingga keluar waktunya (haram).

Sesi Tanya Jawab

  1. Hukum Masah pada Kaos Kaki: Kaos kaki pada zaman sekarang dapat diqiyaskan dengan khuff, sehingga berlaku hukum الْمَسْح عَلَى الْخُفَّيْنِ, selama memenuhi syarat: tebal, menutupi kaki hingga mata kaki, dan dipakai dalam keadaan suci.
  2. Sulit Bangun untuk Salat Subuh Berjamaah: Kuncinya adalah tekad dan keinginan yang kuat. Jika seseorang bisa memaksakan diri bangun untuk ujian, seharusnya ia lebih bisa untuk salat. Caranya adalah dengan segera beranjak dari tempat tidur saat terbangun dan membasuh muka dengan air. Kebiasaan adalah faktor penentu. Sebagaimana seorang tua yang sakit-sakitan tetap bisa bangun untuk salat malam karena sudah terbiasa.
  3. Bermudah-mudahan dalam Salat Berjamaah: Perilaku mencari-cari keringanan dan mengambil pendapat yang paling mudah (تَتَبُّعُ الرُّخَصِ) adalah perbuatan tercela yang bisa menyerupai tindakan kaum munafik. Meremehkan amalan sunah dapat berlanjut pada meremehkan amalan wajib. Sebagai penuntut ilmu (طَالِبُ الْعِلْم), seharusnya menjadi teladan dalam memakmurkan masjid.
  4. Menanyakan Soal Ujian kepada Kelas Lain: Hal ini tidak termasuk kecurangan, karena belum tentu soal yang diberikan sama. Yang terpenting adalah persiapan belajar yang matang, bukan sekadar mencari bocoran soal.

Wallahu a’lam bish-shawab. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.


#Prolog

Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ’anhu. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara langsung dengan melenyapkan ilmu itu dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang berilmu lagi, orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.’” (HR. Bukhari)

Sumber: https://muslim.or.id/93486-malapetaka-akhir-zaman.html
Copyright © 2025 muslim.or.id