Kajian Kitab Umdatul Ahkam – 23, Dr. Emha Hasan Ayatullah, M.A

Segala puji bagi Allah رب العالمين, kita memohon pertolongan-Nya dalam segala urusan dunia dan agama. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad , keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Para ulama senantiasa mengaitkan antara ilmu dan ketakwaan, sebagaimana firman Allah عز وجل:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.”

Belajar menuntut keikhlasan yang harus senantiasa diperbarui (تَجْدِيْدُ النِّيَّة). Tanpa kesadaran ini, seorang penuntut ilmu dapat tergelincir pada penyakit رِيَاء (ingin dilihat) hanya karena pujian atau pencapaian akademis. Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitabnya Jami’ul Ulum wal Hikam menukil perkataan seorang ulama salaf, Ma’ruf al-Karkhi, yang berkata: “Jika engkau tidak bisa bertakwa dengan baik, maka engkau akan makan riba. Jika engkau tidak bisa bertakwa, maka akan ada perempuan lewat dan engkau tidak menundukkan pandangan.”

Beliau juga mengingatkan bahwa dalam setiap interaksi—bahkan dalam perjalanan dari masjid menuju majelis ilmu—terdapat ruang untuk menguji ketakwaan kita. Hal ini selaras dengan hadis Nabi yang mengingatkan bahwa seorang yang diikuti dapat terfitnah (فِتْنَةٌ لِلْمَتْبُوعِ), sementara yang mengikuti bisa jatuh dalam kehinaan (مَذَلَّةٌ لِلتَّابِعِ).

Para ulama besar terdahulu, seperti Syekh Muhammad Shalih al-Utsaimin, sangat menjaga diri dari hal ini. Beliau dikenal tidak suka dikawal dan memilih berjalan cepat seorang diri untuk menghindari pengultusan. Ketidakterkenalan mereka di ruang publik berbanding terbalik dengan kedalaman ilmu mereka. Ini menjadi cerminan bagi kita di zaman sekarang, di mana godaan untuk tampil dan dikenal sering kali mengalahkan esensi ikhlas dalam berdakwah dan belajar. Semoga Allah عز وجل memberikan kita taufik agar ilmu yang kita pelajari berbuah amal, dan kita tidak tertipu oleh amalan kita sendiri, karena sesungguhnya amalan itu dinilai pada akhirnya (وَالْأَمَالُ بِالْخَوَاتِيْمِ).

Pembahasan Utama: Waktu-Waktu Shalat Wajib (بَابُ الْمَوَاقِيتِ)

Kita memasuki pembahasan mengenai بَابُ الْمَوَاقِيتِ (Bab tentang Waktu-Waktu Shalat). Kata مَوَاقِيت adalah bentuk jamak dari مِيْقَات, yang berarti batas. Batas ini terbagi menjadi dua:

  1. Mawaqit Makaniyah (مَوَاقِيت مَكَانِيَّة): Batas-batas tempat, seperti miqat dalam ibadah haji.
  2. Mawaqit Zamaniyah (مَوَاقِيت زَمَانِيَّة): Batas-batas waktu, yang menjadi fokus pembahasan kita, yaitu waktu shalat.

Waktu merupakan rukun sahnya shalat. Para ulama sepakat bahwa ibadah yang dikerjakan di luar waktu yang telah ditentukan, meskipun dengan niat yang baik, tidak akan diterima. Contohnya, seseorang yang shalat Zuhur di malam hari, atau sengaja shalat Isya lima rakaat; perbuatan ini adalah bid’ah yang tertolak.

Hadis Pertama: Amal yang Paling Dicintai Allah

Hadis ini diriwayatkan dari seorang Tabi’in, Abu ‘Amr asy-Syaibani, yang mendengar langsung dari Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه.

Aku bertanya kepada Nabi , “Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Beliau menjawab, “الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا (Shalat pada waktunya).” Aku bertanya lagi, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “بِرُّ الْوَالِدَيْنِ (Berbakti kepada kedua orang tua).” Aku bertanya lagi, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ (Jihad di jalan Allah).” Ibnu Mas’ud berkata, “Beliau menyampaikan itu semua kepadaku. Seandainya aku meminta tambahan (pertanyaan), niscaya beliau akan menambahkannya.”

Faidah dari Hadis:

  • Keutamaan Shalat pada Waktunya: Lafaz yang paling shahih dalam hadis ini adalah عَلَى وَقْتِهَا atau فِي وَقْتِهَا (pada waktunya). Adapun riwayat dengan tambahan فِي أَوَّلِ وَقْتِهَا (di awal waktunya) dinilai lemah oleh para ahli hadis. Meskipun demikian, maknanya benar bahwa menyegerakan shalat di awal waktu adalah lebih utama (أَفْضَل).
  • Perbedaan Jawaban Nabi: Dalam riwayat lain, ketika ditanya tentang amal yang paling utama, Nabi terkadang menjawab إِيْمَانٌ بِاللهِ (iman kepada Allah) atau mendahulukan jihad. Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan bahwa perbedaan jawaban ini disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan si penanya. Terkadang, amal yang bersifat sosial (seperti sedekah di masa paceklik) bisa lebih utama daripada ibadah sunnah yang bersifat individual.
  • Prioritas Amal: Hadis ini menunjukkan urutan prioritas amal-amal badan yang tampak: Shalat, bakti kepada orang tua, lalu jihad. Adapun iman adalah amalan hati yang menjadi fondasi semuanya. Jihad yang hukumnya sunnah (bukan فَرْضُ عَيْن seperti ketika negeri diserang) wajib didahului dengan izin kedua orang tua. Nabi pernah menyuruh seorang pemuda yang ingin berjihad untuk pulang dan “berjihad” dengan membuat kedua orang tuanya bahagia.
  • Adab Murid kepada Guru: Sikap Ibnu Mas’ud yang berhenti bertanya menunjukkan adab yang luhur. Ia sengaja tidak bertanya lebih lanjut karena melihat Nabi letih. Ini adalah pelajaran bagi setiap penuntut ilmu untuk peka terhadap kondisi gurunya dan tidak memaksakan kehendak.

Hadis Kedua: Waktu Pelaksanaan Shalat Subuh di Zaman Nabi

Hadis ini diriwayatkan oleh Aisyah رضي الله عنها:

Rasulullah biasa melaksanakan shalat Subuh, dan para wanita beriman (نِسَاءٌ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ) ikut shalat berjamaah bersama beliau. Mereka datang dengan mengenakan pakaian yang menutupi seluruh tubuh (مُتَلَفِّعَاتٌ بِمُرُوطِهِنَّ). Setelah selesai shalat, mereka langsung kembali ke rumah-rumah mereka tanpa ada seorang pun yang dapat mengenali mereka karena masih gelap (مِنَ الْغَلَسِ).

Faidah dari Hadis:

  • Waktu Shalat Subuh: Hadis ini adalah dalil utama bahwa Nabi seringkali melaksanakan shalat Subuh di awal waktu, yaitu ketika hari masih gelap (غَلَس). Bahkan setelah selesai shalat pun, suasana masih gelap sehingga para jamaah wanita tidak dapat dikenali. Mengingat bacaan shalat Subuh Nabi panjang (sekitar 60-100 ayat), ini menegaskan bahwa beliau memulainya sangat awal.
  • Bolehnya Wanita Shalat Berjamaah di Masjid: Hadis ini menunjukkan kebolehan wanita, bahkan di waktu gelap seperti Subuh, untuk shalat di masjid. Syaratnya adalah mereka harus keluar dengan pakaian yang menutup aurat sempurna, tidak berdandan, dan tidak memakai wewangian yang dapat menimbulkan fitnah.
  • Tidak Ada Pertentangan Hadis: Hadis ini tidak bertentangan dengan hadis lain yang menganjurkan shalat Subuh saat hari sudah mulai terang (أَسْفِرُوا بِالْفَجْرِ). Keduanya menunjukkan rentang waktu pelaksanaan shalat Subuh. Jibril عليه السلام mengajarkan Nabi shalat di awal dan di akhir waktu untuk menunjukkan keluasannya.

Hadis Ketiga dan Keempat: Rincian Waktu Shalat Lima Waktu

Hadis-hadis ini diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah dan Abu Barzah al-Aslami رضي الله عنهما yang memberikan gambaran lengkap mengenai waktu shalat Nabi :

  • Zuhur: Beliau shalat pada waktu الْهَاجِرَة (al-Hajirah), yaitu saat panas sedang terik-teriknya. Ini adalah waktu umum pelaksanaan shalat Zuhur. Namun, jika panas sangat menyengat, beliau memerintahkan untuk إِبْرَاد (mendinginkan), yaitu mengakhirkannya hingga panas mereda. Perintah ini berlaku jika perjalanan menuju masjid memberatkan karena panas.
  • Ashar: Beliau shalat Ashar ketika matahari masih putih bersih dan terang (وَالشَّمْسُ نَقِيَّةٌ), atau dalam riwayat lain, masih “hidup” (حَيَّةٌ), artinya sinarnya masih terasa panas. Ini menunjukkan pelaksanaan shalat Ashar di awal waktu.
  • Maghrib: Waktunya adalah ketika matahari telah terbenam (إِذَا وَجَبَتِ الشَّمْسُ). Patokannya adalah hilangnya seluruh bulatan matahari di ufuk.
  • Isya: Beliau terkadang menyegerakannya dan terkadang mengakhirkannya. Jika beliau melihat para sahabat telah berkumpul, beliau akan menyegerakan shalat. Jika mereka datang terlambat, beliau akan mengakhirkannya. Beliau tidak menyukai tidur sebelumnya dan berbincang-bincang sesudahnya.
  • Subuh: Beliau selesai dari shalat Subuh ketika seseorang sudah bisa mengenali orang yang duduk di sebelahnya. Ini tidak bertentangan dengan hadis Aisyah, karena “mengenali orang di sebelah” (jarak dekat) terjadi lebih cepat daripada “mengenali orang dari kejauhan” saat mereka bubar.

Hadis Abu Barzah ini ditanyakan dalam konteks pemerintahan Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi, seorang gubernur zalim yang gemar mengakhirkan shalat dari waktunya. Ini menunjukkan pentingnya berpegang pada sunnah Nabi dalam menentukan waktu shalat.

Tanya Jawab Fikih

  • Pertanyaan: Apa hukum bercak kecoklatan (flek) yang keluar sehari sebelum atau sesudah darah haid?
    • Jawaban: Jika flek tersebut keluar bersambung dan berdekatan dengan waktu kebiasaan haid, maka ia dianggap sebagai bagian dari haid dan tidak wajib shalat.
  • Pertanyaan: Bagaimana jika haid dimulai setelah masuk waktu shalat (misalnya, haid jam 1 siang di waktu Zuhur), apakah wajib meng-qadha shalat tersebut setelah suci?
    • Jawaban: Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian berpendapat tidak wajib meng-qadha karena seorang wanita tidak berdosa jika belum melaksanakan shalat di awal waktu. Namun, untuk kehati-hatian, meng-qadha shalat tersebut lebih baik.
  • Pertanyaan: Seseorang sering mengalami sakit beruntun dan mimpi buruk. Apakah ini ciri-ciri sihir atau gangguan jin, dan perlukah dirukiah?
    • Jawaban: Rukiah syar’i disyariatkan untuk segala jenis penyakit, baik medis maupun non-medis. Jika terdapat gejala-gejala yang tidak wajar dan berulang, tidak ada salahnya untuk melakukan rukiah, baik secara mandiri maupun meminta bantuan orang lain yang saleh.
  • Pertanyaan: Apakah menyentuh wanita membatalkan wudu, berdasarkan hadis Nabi mandi bersama Aisyah?
    • Jawaban: Ini adalah masalah khilafiyah. Mazhab Syafi’i berpendapat batal. Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat tidak batal, karena yang dimaksud dalam ayat Al-Qur’an adalah kiasan untuk hubungan suami-istri. Hadis tersebut bisa menjadi salah satu pendukung pendapat jumhur.
  • Pertanyaan: Siapa yang wajib menafkahi seseorang dengan down syndrome yang kedua orang tua dan kakak-kakaknya telah meninggal?
    • Jawaban: Jika tidak ada lagi kerabat yang mampu menafkahi, maka ia berhak mendapatkan bantuan dari kaum muslimin atau Baitul Mal, dan ia boleh meminta jika memang tidak mampu bekerja.
  • Pertanyaan: Apa hukumnya orang junub masuk ke dalam masjid?
    • Jawaban: Hanya sekadar lewat atau melintas diperbolehkan, namun tidak boleh untuk duduk atau berdiam diri di dalamnya.
  • Pertanyaan: Apakah boleh berwudu di dalam toilet atau kamar mandi?
    • Jawaban: Boleh. Namun, adabnya adalah tidak mengucapkan basmalah atau doa-doa wudu di dalamnya. Lafazkan niat dalam hati, lalu baca doa setelah wudu ketika sudah berada di luar toilet.
  • Pertanyaan: Bolehkah membuka mushaf (dari saku) saat shalat sendirian karena lupa ayat?
    • Jawaban: Boleh. Gerakan membuka mushaf saat shalat, baik untuk imam maupun shalat sendiri, diperbolehkan jika memang dibutuhkan dan tidak melakukan gerakan yang berlebihan.

#Prolog

Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ’anhu. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara langsung dengan melenyapkan ilmu itu dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang berilmu lagi, orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.’” (HR. Bukhari)

Sumber: https://muslim.or.id/93486-malapetaka-akhir-zaman.html
Copyright © 2025 muslim.or.id