Kajian Kitab Umdatul Ahkam – 22, Dr. Emha Hasan Ayatullah, M.A

Pendahuluan: Refleksi atas Nikmat yang Sering Terlupakan

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Dalam sebuah riwayat dari Sahabat Abu Hurairah رضي الله عنه yang terdapat dalam Shahih Muslim, dikisahkan bahwa pada suatu malam, Rasulullah keluar rumah dan bertemu dengan Abu Bakar serta Umar رضي الله عنهما. Ketika ditanya apa yang membuat mereka keluar pada waktu tersebut, mereka menjawab, “Rasa lapar.” Rasulullah

pun merasakan hal yang sama.

Mereka kemudian mendatangi rumah seorang sahabat dari kalangan Anshar. Di sana, mereka disambut oleh istrinya dan dihidangkan minuman. Tak lama, sang pemilik rumah kembali dan merasa sangat berbahagia seraya berkata, “Alhamdulillah, tidak ada orang yang lebih mulia tamunya daripada aku hari ini.” Ia pun segera menyuguhkan setangkai kurma yang berisi kurma matang (

بُسْر), kurma muda (رُطَب), lalu menyembelih hewan untuk dihidangkan.

Setelah mereka semua makan hingga kenyang dan minum susu yang disajikan, Nabi

mengingatkan sebuah pelajaran fundamental, “Kalian akan ditanya tentang nikmat ini.”

Kisah ini menjadi pengingat bagi kita. Terkadang, kita baru menyadari besarnya sebuah nikmat ketika ia hilang. Ujian sederhana seperti pemadaman listrik yang membuat suasana menjadi panas dapat mengganggu kenyamanan, bahkan memengaruhi kualitas ibadah dan keikhlasan kita. Padahal, nikmat-nikmat ini bukanlah penentu hidup dan mati, berbeda dengan nikmat makanan bagi orang yang kelaparan. Sering kali kita lalai dan baru merasakan nilai suatu kenikmatan—seperti kemudahan mengakses ilmu melalui perangkat elektronik—ketika fasilitas tersebut terhenti.

Oleh karena itu, adalah sebuah keharusan untuk senantiasa bersyukur, bahkan atas nikmat yang paling sederhana sekalipun. Dalam

Shahih Muslim, disebutkan bahwa Allah ridha kepada seorang hamba yang bersyukur setelah makan dan minum. Kita perlu merenungkan kondisi saudara-saudara kita yang diuji dengan sakit, seperti mereka yang harus menjalani cuci darah dan tidak bisa minum dengan leluasa. Semoga Allah memberikan mereka kesembuhan dan pahala yang berlimpah. Bagi kita yang sehat, ini adalah pengingat untuk memperbanyak syukur.

Kajian Fikih Wanita: Membedakan Darah Haid dan Istihadhah

Pembahasan mengenai fikih wanita, khususnya terkait darah

حَيْض (haid), اِسْتِحَاضَة (istihadhah), dan نِفَاس (nifas), merupakan bab yang selalu ada dalam setiap kitab hadis maupun fikih. Meskipun demikian, pertanyaan seputar topik ini, terutama dari kalangan wanita, terus berulang. Pertanyaan sering kali muncul ketika siklus haid tidak teratur atau terdapat darah yang keluar di luar waktu kebiasaan.

1. Pentingnya Mempelajari Hukum Haid dan Istihadhah

Mempelajari hukum-hukum ini berstatus

wajib bagi setiap wanita muslimah karena berkaitan langsung dengan sah atau tidaknya ibadah fundamental seperti shalat. Para ulama telah bersepakat (

ijma’) bahwa wanita yang sedang dalam kondisi haid tidak diperbolehkan untuk melaksanakan shalat.

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya Ulumuddin, menegaskan tanggung jawab seorang suami untuk mendidik istrinya dalam urusan agama. Suami wajib mengajarkan istrinya perkara-perkara seperti aqidah

Ahlussunnah Wal Jamaah, menjauhkannya dari bid’ah, dan mengingatkannya untuk senantiasa takut kepada Allah. Hal ini sejalan dengan firman Allah

عز وجل:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا “Wahai orang-orang yang beriman, selamatkanlah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”

Apabila seorang suami tidak memiliki kapasitas ilmu yang cukup, maka sang istri bahkan diwajibkan untuk keluar rumah demi bertanya kepada para ulama. Namun, keluarnya istri untuk menuntut ilmu harus tetap dengan izin dan keridaan suami, selama di lingkungan sekitarnya masih terdapat majelis ilmu yang memadai. Pentingnya ilmu ini ditegaskan oleh Imam Ibnu Mundzir, yang menghabiskan waktu sembilan tahun untuk mempelajari

كِتَابُ الْحَيْضِ (Kitab Haid), padahal beliau adalah seorang imam besar yang hafalannya sangat kuat.

2. Definisi dan Perbedaan Mendasar antara Haid dan Istihadhah

Dalam kajian ini, hadis-hadis yang dibahas mayoritas diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah

رضي الله عنها, karena beliau menjadi rujukan utama dalam masalah-masalah kewanitaan yang bersifat pribadi.

Seorang

صَحَابِيَّة (sahabat wanita) pernah bertanya kepada Nabi , “Aku mengalami اِسْتِحَاضَة sehingga aku tidak pernah suci. Apakah aku harus meninggalkan shalat?”

Untuk menjawab ini, perlu dipahami perbedaan mendasar antara kedua jenis darah tersebut:

  • Darah Haid (حَيْض): Secara sederhana, darah haid adalah darah alami yang keluar dari rahim seorang wanita yang telah mencapai usia balig. Keluarnya darah ini merupakan bagian dari siklus bulanan yang normal karena tidak terjadinya pembuahan. Ia dianggap sebagai darah “kotor” yang menghalangi seorang wanita dari shalat dan puasa.
  • Darah Istihadhah (اِسْتِحَاضَة): Ini adalah darah penyakit yang keluar dari sebuah urat atau pembuluh darah yang terletak di bagian bawah rahim, bukan dari rahim itu sendiri. Dalam bahasa Arab, urat ini dikenal dengan nama الْعَاذِل (al-‘Adil). Karena merupakan darah penyakit, hukumnya berbeda dengan darah haid.

Nabi memberikan panduan yang jelas: tinggalkanlah shalat pada hari-hari yang menjadi kebiasaan haidmu. Jika setelah masa kebiasaan itu selesai darah masih keluar, maka mandilah dan laksanakan shalat, karena darah tersebut adalah

اِسْتِحَاضَة.

3. Kewajiban Ibadah bagi Wanita Istihadhah

Wanita yang mengalami

اِسْتِحَاضَة tetap diwajibkan untuk melaksanakan shalat. Berbeda dengan haid yang menjadi penghalang hubungan suami istri,

اِسْتِحَاضَة tidak melarangnya. Akan tetapi, darah tersebut tetap najis dan harus dibersihkan serta ditahan (misalnya dengan menggunakan pembalut) agar tidak mengotori pakaian atau tempat shalat.

Para

فُقَهَاء (ahli fikih) juga menjelaskan bahwa ciri-ciri darah haid dan istihadhah berbeda, baik dari segi warna, kekentalan, maupun bau. Seorang wanita yang telah terbiasa dapat membedakannya dengan mudah.

4. Hukum Mandi dan Wudu bagi Wanita Istihadhah

Dalam sebuah riwayat, Nabi

memerintahkan wanita اِسْتِحَاضَة untuk mandi sebelum shalat. Dalam riwayat lain, disebutkan untuk mencuci darahnya dan berwudu. Ini tidak berarti saling bertentangan; mencuci darah adalah bagian dari persiapan menuju mandi suci.

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai wudu bagi wanita اِسْتِحَاضَة:

  • Pendapat pertama: Wudu harus diperbarui untuk setiap shalat fardu. Ia berwudu ketika waktu shalat telah masuk.
  • Pendapat kedua: Satu kali wudu dapat digunakan untuk beberapa kali shalat, karena lafaz hadis tidak menunjukkan perintah pengulangan wudu untuk setiap shalat.

5. Kisah Ummu Habibah: Ujian Istihadhah Selama Tujuh Tahun

Aisyah

رضي الله عنها menceritakan kisah Ummu Habibah binti Jahsy, saudari dari Zainab binti Jahsy (istri Nabi ), yang mengalami اِسْتِحَاضَة selama tujuh tahun. Beliau bertanya kepada Nabi

mengenai kondisinya, dan Nabi memerintahkannya untuk mandi.

Disebutkan dalam riwayat Shahih Muslim, Ummu Habibah kemudian berinisiatif untuk mandi setiap kali akan melaksanakan shalat. Perbuatan ini bukan berdasarkan perintah eksplisit dari Nabi

untuk setiap shalat, melainkan pemahaman dan ijtihad beliau sendiri untuk meraih kesucian yang lebih sempurna. Oleh karena itu, para ulama menyimpulkan bahwa mandi setiap shalat bagi wanita

اِسْتِحَاضَة hukumnya mustahab (disukai), bukan wajib, selama tidak memberatkan. Yang wajib adalah wudu untuk setiap kali shalat (menurut pendapat mayoritas ulama).

Faidah dan Pelajaran Penting dari Hadis

  1. Etika Bertanya tentang Masalah Sensitif: Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa seorang wanita boleh bertanya langsung kepada seorang alim (ulama) mengenai masalah-masalah yang paling pribadi sekalipun, seperti haid dan hubungan suami istri, jika tujuannya adalah untuk memahami hukum agama. Aisyah رضي الله عنها memuji wanita Anshar yang tidak membiarkan rasa malu menghalangi mereka untuk mendalami agama.
  2. Hukum Suara Wanita: Suara perempuan pada dasarnya bukanlah aurat. Seorang laki-laki boleh mendengarnya ketika ada kebutuhan (إِنْدَ الْحَاجَة), seperti dalam jual beli atau saat bertanya tentang ilmu. Namun, para ulama, termasuk Ibnu Abidin dari mazhab Hanafi, menegaskan bahwa menjadi haram hukumnya jika seorang laki-laki menikmati suara wanita (yang bukan mahram), sekalipun yang didengarkan adalah lantunan ayat Al-Qur’an. Fitnah dapat timbul dari sana. Oleh karena itu, sangat dianjurkan bagi seorang wanita untuk belajar Al-Qur’an dari guru perempuan.

Tanya Jawab Fikih

Berikut adalah ringkasan dari sesi tanya jawab yang relevan dengan pembahasan:

  • Pertanyaan: Seorang wanita suci dari haid pada jam 4 sore. Apakah ia wajib shalat Ashar saat itu juga atau boleh menundanya hingga menjelang Maghrib?
    • Jawaban: Ia wajib melaksanakan shalat Ashar karena telah suci pada waktu Ashar. Menunda hingga Maghrib tidak dibenarkan. Penting bagi wanita untuk memastikan tanda suci, yaitu جَفَاف (kering) atau, yang lebih pasti, keluarnya cairan putih yang disebut الْقَصَّةُ الْبَيْضَاءُ (al-qashshatul baidha’). Jangan terburu-buru bersuci sebelum tanda ini muncul agar tidak kebingungan jika setelah mandi masih keluar bercak darah.
  • Pertanyaan: Bagaimana cara shalat dan mandi bagi wanita اِسْتِحَاضَة? Apakah harus mandi setiap masuk waktu shalat?
    • Jawaban: Sebagaimana dijelaskan, mandi tidak wajib untuk setiap shalat, tetapi disukai jika mampu. Yang terpenting adalah membersihkan darah, menutupnya agar tidak menyebar, lalu berwudu setiap kali akan melaksanakan shalat fardu.
  • Pertanyaan: Apa hukum melepas cadar saat berenang di tempat umum karena sulit bernapas?
    • Jawaban: Seharusnya seorang wanita tidak berenang di tempat umum yang campur baur. Carilah tempat khusus wanita yang tertutup dan aman dari penglihatan, termasuk dari CCTV. Jika tempatnya sudah aman dan khusus wanita, maka tidak ada masalah membuka cadar.
  • Pertanyaan: Bolehkah menjual baju yang bersablonkan hadis shahih?
    • Jawaban: Sebaiknya jangan, karena dikhawatirkan hadis tersebut tidak dimuliakan, misalnya dipakai tidur, dibawa ke tempat yang tidak terhormat seperti toilet, atau tidak dirawat dengan baik. Cara mencintai sunnah adalah dengan mengamalkannya, bukan menjadikannya hiasan pada pakaian.
  • Pertanyaan: Berdosakah seorang ibu yang melihat aurat besar anak perempuannya saat membantunya merawat bayi setelah melahirkan?
    • Jawaban: Jika hal itu dibutuhkan untuk tujuan pengajaran dan bantuan (misalnya mengajari cara menyusui atau merawat diri pasca-persalinan), maka insya Allah tidak mengapa. Keterbukaan aurat dibolehkan dalam kondisi darurat atau kebutuhan mendesak, seperti berobat.
  • Pertanyaan: Bolehkah memegang atau membaca Al-Qur’an saat haid atau اِسْتِحَاضَة?
    • Jawaban: Masalah ini termasuk ranah khilaf (perbedaan pendapat) di antara ulama. Sebagian melarang berdasarkan pemahaman ayat dan hadis tertentu, sementara sebagian lain membolehkan karena menilai dalil-dalil yang melarangnya tidak cukup kuat. Solusi terbaik di zaman sekarang adalah menggunakan gawai (HP, tablet) untuk membaca Al-Qur’an, karena ini keluar dari ranah khilaf menyentuh mushaf secara langsung.

#Prolog

Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ’anhu. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara langsung dengan melenyapkan ilmu itu dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang berilmu lagi, orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.’” (HR. Bukhari)

Sumber: https://muslim.or.id/93486-malapetaka-akhir-zaman.html
Copyright © 2025 muslim.or.id