Bismillahirrahmanirrahim, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillahirobbilalamin, asholatu wassalamu ‘ala. Sekalian, semoga Allah عَزَّ وَجَلَّ (azza wa jalla) melimpahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh, menjadikan kita sebagai orang yang istiqomah dalam belajar. Dan kita menyadari bahwa mempelajari ilmu agama merupakan ibadah yang berat sehingga perlu keistiqomahan, dan diminta kepada Allah عَزَّ وَجَلَّ (azza wa jalla). Seseorang tidak bakal mendapatkan ilmu jika kita tidak merasa butuh, kemudian kita perlu تَوَاضُعَ (tawadhu’), kita perlu berjuang, dan kita perlu mengorbankan semuanya. Belum apa-apa yang kita kerjakan, maka tidak pantas kita meminta kepada Allah atau berharap angan-angan yang banyak dari ilmu itu.
Kalau kita melihat bagaimana para ulama, mereka betul-betul tidak menghiraukan kondisi di sekitar untuk belajar. Nah, ada salah satu kisah yang disebutkan oleh Darimi dan ini juga disebutkan oleh lainnya dari Ibnu Abbas رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ (radhiyallahu ‘anhu). Kita tahu Ibnu Abbas merupakan sahabat yang junior, junior sekali. Sehingga ketika beliau di tengah para sahabat, beliau sempat naik kendaraan keledai di tengah para sahabat yang lagi salat. Itu tidak mungkin dilakukan kalau beliau tidak karena kecil. Bahkan ketika beliau tidur menginap di rumah bibinya Maimunah, maka beliau waktu itu memang masih kecil sampai kepalanya ditarik oleh Nabi
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) untuk dibenarkan berdirinya dari tadinya di sebelah kiri diarahkan ke sebelah kanan.
Ini menunjukkan bagaimana semangat beliau dalam belajar. Beliau cerita, “لَمَّا تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ” (Lamma tuwuffiya Rasulullahi shallallahu ‘alaihi wa sallam) meninggal, beliau masih kecil. Bahkan ada beberapa riwayat dikatakan waktu itu beliau baru saja dikhitan. Maka beliau mengatakan kepada salah seorang dari Quraisy, “Ayo kita tanya, kita belajar kepada para sahabat Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam). Mereka masih banyak ini, ini kesempatan. Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) meninggal, ilmunya sudah ada di sahabat. Sekarang kita tanya.” Maka pernyataan itu ditanggapi dengan ejekan, dikatakan, “Apakah orang-orang akan butuh kepada engkau sementara di tengah masyarakat ini banyak para sahabat, banyak para sahabat? Sehingga kalau mau bertanya, tanyanya kepada para ulama senior, para sahabat senior. Mau tanya sama kamu ngapain? Kamu capek-capek belajar.”
Dan model seperti ini banyak di tengah masyarakat, orang yang مُحْبِطٌ (muhbit) sudah tidak belajar, ini مُحْبِطٌ (muhbit) lagi. Akhirnya kata Ibnu Abbas, orang itu tidak belajar, dia pergi. “Tapi aku tetap bertanya kepada para sahabat. Ingkarnya aku bertanya, aku belajar, aku mendengar sebuah hadis dari seseorang. Aku datang di rumahnya, dia sedang tidur sampai ada debu yang disiram oleh pasir itu sampai kena mukaku.” “Hai, apa yang membuat engkau datang ke sini? Seandainya engkau utus orang, aku datang kepada engkau yang berhak untuk datang kepadamu.”
Maka aku bertanya kepadanya tentang hadis-hadis itu sampai pada waktu mendatang orang tadi yang aku ajak dia belajar, dia melihatmu sudah duduk di tengah majelis dan orang-orang belajar darimu. Maka orang tadi mengatakan, “قَدْ كُنْتَ تَقُولُ” (qad kunta taqulu), artinya belajar membutuhkan perjalanan. Pada saatnya ilmu itu akan dibutuhkan, bukan ketenaran yang kita butuhkan, akan tetapi pelajarannya. Bagaimana ada momen-momen kita ini tidak siapa-siapa dan orang tidak mengajukan kita atau tidak membutuhkan kita, maksudnya tidak membutuhkan kita. Dan kita belajar memang bukan untuk kita, kita belajar untuk kebutuhan kita sendiri. Pertama agar kita tidak termasuk orang-orang yang juga. Setelah itu kita pengen agar nikmat yang kita rasakan ketika belajar habis menghafal. Kita tahu para ulama bagaimana.
Kita sampaikan kalau kita perhatikan ketika dalam kondisi sekarang medsos, masyarakat terjun di dunia pendidikan, akademisi, dan segala macam, ada kebutuhan di sana. Kita masuk dan kita warnai. Kebutuhan sangat mendesak sekali. Kalau seandainya yang mengisi di sana di tengah-tengah kekosongan itu adalah orang-orang yang tidak tahu agama, maka kita bayangkan bagaimana kondisi kaum muslimin pada saat itu. Orang yang hanya semangat tapi tidak meniti jalannya para ulama, dia hanya akan berjalan di tempat. Dia semangat saja dan dia anggap bahwa belajar itu cukup dengan Browse. Kita katakan dia akan menjadi ahli Browse berjamaah.
أَنْتُمْ (Antum) tahu, tidak akan jadi ulama.
Belajar itu perlu langkah demi langkah, sabar, perlu menghafal, kemudian perlu membaca, dikoreksi. Bagus sekali ini kesempatan أَنْتُمْ (antum). أَنْتُمْ (Antum) punya قَرِينٌ (qarin) mengoreksi kerjaan أَنْتُمْ (antum). Bagus sekali, luar biasa. Manfaatkan أَنْتُمْ (antum) ada tempat, أَنْتُمْ (antum) bisa bertanya. Ini semua fasilitas. Kalau kita tidak manfaatkan itu sekarang, maka kapan kita akan manfaatkan? Nanti akan ada waktu pada saat orang-orang bertanya kepada kita dan modal kita pas-pasan apa adanya. Tapi realitanya mengatakan orang-orang harus bertanya kepada kita, tidak mengerti. Kita dulu tidur saja tidak pernah datang atau kita tidur.
Ada pernyataan Umar رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ (radhiyallahu ‘anhu) yang mengatakan, “Sebelum kalian dituangkan di tokoh dan kalian setelah dijadikan tokoh pun harus tambah belajar, harus menjadi orang yang banyak berbekal.” Kemudian Imam Bukhari menyebutkan tentang banyaknya para sahabat justru belajar setelah mereka besar. Intinya, ikhwan sekalian, kita berharap pada Allah ini untuk anda sendiri dan kalau
أَنْتُمْ (antum) manfaatkan, alhamdulillah. Kita ingin agar langkah belajar kita tidak terhenti. Kita ingin terus membaca, menghafal, dan kita juga kalau bisa bersimpuh di majelis para ulama.
Di antara kelebihan ketika seseorang bisa hadir di majelis adalah bagaimana dia تَوَاضُعٌ (tawadhu’), yang pertama. Yang kedua, bagaimana dia bisa تَعَلُّمٌ (ta’allum). Ketika seseorang memiliki gaya belajar otodidak, hal yang paling bahaya selain kesalahan dia dalam memahami adalah yang kedua, kesombongan. “Ketika menurut aku seperti ini pada dia,” dan sebagainya. Sehingga اِسْتِخْفَافٌ (istikhfaf) atau meremehkan para ulama ini muncul sebagai ظَاهِرَةٌ (zhahirah) atau fenomena di tengah orang-orang yang tidak pernah bersimpuh di majelisnya para ulama. Mereka hanya duduk, kemudian dia baca, nulis, jadilah dia berbagai gelar dia sandang. Setelah itu dia menyangka dia pakar paling hebat sendiri dan dia bisa sama dengan para ulama.
Syekh pernah bercerita ada orang doktor datang kepada beliau kemudian pengen belajar, “Syekh, ana pengen belajar tentang Tauhid sehingga ana bisa اِسْتِفَادَةٌ (istifadah) belajar yang taksir.” “Baik,” kata beliau, “Ana pengen أَنْتُمْ (antum) belajar Kitab Tauhid. Kita baca yang sudah sering kita dengar, kita pelajari waktu kita masih kecil. Kita sering dengar di دَوْرَةٌ (daurah)-دَوْرَةٌ (daurah).” “Kita pengen yang lain lah, kita baca buku yang lain yang jarang kita lihat.” Ini awal kesalahan أَنْتُمْ (antum). أَنْتُمْ (Antum) merasa sudah doktor, sudah hebat. Setelah itu أَنْتُمْ (antum) pengen ngatur guru أَنْتُمْ (antum). Kalau begitu kebanyakan dirasakan oleh orang atau tidak dirasakan justru terjerumus ke dalam hal ini tanpa dirasa.
Maka kita yang ada di Indonesia ini barangkali kekurangan referensi barangkali atau kurang tokoh atau kurang اِسْتِفَادَةٌ (istifadah). Tapi alhamdulillah kalau kita manfaatkan, kita bisa pelajari jurus مَشَايِخُ (masyayikh) dan kita bisa pelajari buku-buku yang itu kalau kita salah, kita tanyakan. Tapi kalau kita hanya mengandalkan kemalasan, buku cari yang terjemah, tugas cari yang termudah, ujian saja sarannya pilihan ganda begitu, nah ini membuat kita rugi sendiri ke depan. Tidak ada yang mengarahkan karena kita akan jalan sendiri. Sekarang masih mending ada yang maksa. Kebanyakan orang kalau tidak dipaksa tidak bisa jalan. Semoga menjadikan semua usaha kita.
Akan membahas ikhwah sekalian pembahasan tentang janabah atau mandi besar. Dan ini merupakan rutinitas orang yang sudah dewasa. Sehingga ketika orang tidak tahu sekalipun, maka dia sebenarnya tetap tertutup untuk mengerjakannya. Dan para ulama menyebutkan, “Ketika seseorang melewati masa junub, maka dia memang tidak harus segera mandi. Akan tetapi dia akan tertutup pada saat dia akan melaksanakan ibadah yang disyaratkan.” Maka kita lihat, kita tidak ingin bandingkan sebenarnya. Tapi kita lihat bagaimana kasihannya orang-orang yang tidak pernah memiliki, tidak belajar, tidak pernah memiliki syariat untuk bersuci dari sekadar seseorang mendapatkan nasihat atau kembali semangat dan kesegaran dalam badan. Itu merupakan faedah besar dalam hadis.
Kemudian apabila seorang ingin berhubungan dengan istrinya kemudian selesai dan dia ingin melakukan kembali maka seandainya dia bisa wudhu terlebih bagus. Dalam riwayat Al-Hakim disebutkan karena itu lebih semangat untuk mengerjakan aktivitas. Bayangkan orang tidak pernah seperti itu tidak pernah mandi dalam kondisi junub tidak karu-karuan dan dia beraktivitas kira-kira bagaimana aktivitas yang dia lakukan? Orang selesai pekerjaan kemudian ada waktu
break setengah jam dimanfaatkan.
Kita tahu bahwa penyebab orang untuk mandi janabah tidak mesti yang halal, tapi termasuk yang haram. Tetap dia dalam kondisi hadas besar, dia tetap harus bersuci. Maka kepada Allah mengatakan, “Orang yang baru masuk Islam dia harus mandi atau tidak?” Pendapat yang kuat adalah tidak harus mandi. Sekalipun kalau seandainya dia mandi, yang dia masuk Islam, kemudian dia mandi dalam sahihain tidak disebutkan bahwa Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) memerintahkan dia untuk mandi. Tapi dia pergi sendiri, mandi sendiri. Maka tidak bisa diambil kesimpulan bahwa ini diperintahkan oleh Nabi
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّAM (shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Tapi para ulama mengatakan kalau seandainya dia dalam kondisi junub, maka dia harus mandi, belum tahu dia caranya, sudah mandi saja. Para ulama menyebutkan bahwa hukum asalnya mandi itu sekadar melengkapkan atau apa namanya, betul-betul meratakan, meratakan air ke seluruh badan. Sehingga kalau ada orang yang tidak mengenal bagaimana sunah mandi janabah, akan tetapi dia niat akan menjadi janabah, kemudian dia wudunya dan itu harus niat. Kalau tidak niat, bagaimana? Tidak sah. Kalau lupa niat, bagaimana? Atau dia sudah niat tapi agak jauh. Ini sering terjadi pertanyaan. Jadi dia tidur, kemudian dia lihat, “Aduh, aku setelah itu mau mandi.” “Nanti masih jam 12.30 terlalu awal bangun setengah satu. Besok setengah 7 bangunnya sudah tidur lagi.” Tapi sudah niat, “Aku mau bangun setengah empat mandi.”
Baik, dia sudah rajin, sudah terbiasa. Bangun tidur langsung mandi. Dia karena apa? Kebiasaan dia. Bukan hanya sebelum kuliah, sebelum salat subuh dia sudah mandi. Dalam kondisi apa? Dia mandi dalam kondisi tidak ingat lagi kejadian semalam. Maka dia langsung saja sampai dia salat baru dia ingat. Mengatakan mandi besarnya tidak sah karena dia tidak niat. Sekalipun dia mandinya pelan-pelan, gosok giginya dinikmati, tapi kalau seandainya dia tidak niat yang seperti itu, ibadahnya tidak sah.
Ada beberapa pembahasan nanti yang akan kita lewati. Yang pertama insyaallah kita akan bahas empat hadis. Yang pertama hadis Abu Hurairah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam). Ini yang cerita Abu Hurairah. Ayo, beliau katakan bahwa Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) bertemu dengannya, maksudnya bertemu dengan dirinya. Kadang-kadang menyebutkan orang lain dalam kisahnya. Dan ini bisa jadi karena beliau sendiri yang membuat kiasan seperti ini, bisa jadi orang yang di bawahnya yang menceritakan. Kata Abu Hurairah, “Rasulullah
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) bertemu di salah satu jalan kota Madinah dalam kondisi Abu Hurairah sengaja mundur teratur pelan-pelan.”
Disebutkan pergi pelan-pelan, maka setan itu disebut Al-Khannas karena dia membisikkan dengan tidak diketahui. Maka disebutkan di sini, “Maka aku mandi lalu datang.” “Kamu tadi ke mana?” Disebutkan faedahnya seorang pengikut ketika dia minggir sudah sepantasnya dia pamit sehingga tidak dicari begitu. Sampai lari dari Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) pelan-pelan. Padahal kalau seandainya dia junub dan dia bisa bertemu dengan orang lain tidak apa-apa. Tapi ini ketemu dengan Nabi
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Apabila bertemu dengan sahabatnya, beliau pegang, beliau orang سَلاَمَ (salam), kemudian didoakan macam-macam. Dalam beberapa riwayat disebutkan dengan “فَاجْتَنَبْتُكَ” (fajtanaabtuka), “aku menganggap diriku najis,” artinya kotor, maka aku pergi. Nah, di sini artinya aku pergi merayap tiba-tiba dengan samar-samar. Di riwayat lain dikatakan, “فَاجْتَنَبْتُكَ” (fajtanaabtuka), “aku merasa aku tidak pantas, aku kotor.” Maka aku mending undang-undang datang kemudian ditanya oleh Nabi. Dan ternyata kepergian Abu Hurairah yang sebentar untuk mandi itu ketahuan.
Nah, di sini Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) bertanya menunjukkan perhatian beliau. Kemudian ditanya, “أَنْتُمْ (Antum) ke mana barusan?” Maka beliau mengatakan, “Aku tidak suka bermajelis dengan أَنْتُمْ (antum) dalam kondisi tidak suci.” Maka Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan, “سُبْحَانَ اللَّهِ (subhanallah), orang beriman itu tidak najis.” Ini menunjukkan apa? Kata-kata untuk takjub itu menggunakan Subhanallah. Orang dapat kenikmatan dapatnya diucapkannya subhanallah. Subhanallah yang lulus, ya, kecuali kalau memang dia malas. “Subhanallah itu lulus, pantas.” Ini dikatakan, “Subhanallah.”
Abu Hurairah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ (radhiyallahu ‘anhu), “Kok bisa gitu?” Maka beliau katakan, “Orang beriman itu tidak najis.” Nah, di sini sebagian ulama mengambil kesimpulan dari kilas balik, “Orang beriman tidak najis, berarti orang yang tidak beriman najis.” Dan ini diambil kesimpulan oleh Allah ditambah lagi dalil yang lain. Mereka mengatakan, “Tadi merupakan pendapatnya ظَاهِرِيَّةٌ (zhahiriyyah) dan jumhur mengatakan itu pendapat tidak benar.” Artinya adalah orang beriman terbiasa menjaga kesucian, tidak najis, sehingga dia terbiasa bersuci, beristinja. Sekalipun junub, maka dia tidak najis begitu.
“Kenapa kamu harus pergi?” Ingkarnya Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang disebutkan oleh Ibnu Hajar, bukan karena mengingkari bahwa orang beriman itu tidak najis, akan tetapi, “Kok yang seperti ini kamu tidak mengerti Abu Hurairah? Kamu kan sudah lama, mula zaman hadisnya banyak, kok yang seperti ini tidak mengerti?” Tetapi Abu Hurairah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ (radhiyallahu ‘anhu) merasa tidak pantas untuk berada dengan orang yang فَاضِلٌ (fadil), yang mulia, sementara beliau dalam kondisi حَدَثَ (hadas). Maka di sini ada apa, penekanan oleh jumhur bahwa ini yang dimaksudkan Nabi
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan, “Dia sudah terbiasa bersuci.”
Kemudian bersih-bersih dari yang najis dan sebagainya, bukan berarti kalau orang yang tidak beriman itu najis, itu beda lagi. Adapun النَّجَاسَةُ (najasah) orang-orang musyrik itu najis, itu maksudnya adalah najis akidahnya, najis akidahnya. Di antara buktinya adalah dalam syariat, boleh seorang menikah dengan ahlul kitab. Ahlul kitab boleh dinikahi oleh orang beriman. Kalau seandainya mereka najis, maka dia harus mencuci dulu calon istrinya, dicuci dulu istrinya, kemudian dia menikah, setelah itu cuci lagi, nyuci lagi, susah. Jadi tidak usah punya bayangan punya istri ahlul kitab. Sudah, ya, ahlul iman masih banyak.
Al-Imam al-Bukhari رَحِمَهُ اللَّهُ (rahimahullah) sampai mengatakan dalam pembahasan yang dikasih judul, “أَنْتُمْ (Antum) tahu Imam Bukhari ketika memberi judul, maka ini adalah pendapat beliau menunjukkan bahwa tarjih beliau seperti itu.” Beliau menyebutkan di antara pembahasan hadis ini, “بَابُ عَرَقِ” (bab ‘araq) ini pembahasan tentang keringatnya orang yang junub. “وَأَنَّ الْمُسْلِمَ” (wa annal muslima) “orang yang muslim itu tidak najis.” Ini merupakan pilihan dan penegasan Imam Bukhari bahwa orang beriman itu tidak najis, kemudian otomatis keringatnya tidak najis karena badannya saja suci, keringatnya tidak najis. Ini diambil kesimpulan oleh Imam Al-Bukhari untuk menekan orang-orang yang mengatakan keringatnya bisa jadi tidak suci.
Dan di sini alhamdulillah pelajaran juga bahwa memang pantasnya ketika أَنْتُمْ (antum) bertemu dengan orang yang dihormati, ditokohkan, أَنْتُمْ (antum) dalam kondisi yang sempurna. Sekalipun di sini juga disebutkan bahwa Imam Bukhari ingin menunjukkan bolehnya seseorang beraktivitas dalam kondisi junub. Junubnya tapi habis subuh, setelah itu dia futsal dulu, belanja ke pasar, sekelas jangan. Apalagi ada pelajaran tahfidz, tidak boleh masuk masjid lagi, lupa, ya. Tapi kalau seandainya dia tidak memiliki aktivitas yang memang harus suci, ke pasar, bertemu dengan orang, belanja, jalan pagi, olahraga, dan sebagainya, maka boleh. Dan ditegaskan oleh Hafiz Imam Al-Bukhari
رَحِمَهُ اللَّهُ (rahimahullah) ketika beliau sengaja menyebutkan hadis ini dalam judul yang lain, “بَابُ الْجُنُبِيَّةِ” (babun junubiyyah), “Orang yang junub dia keluar dari rumahnya kemudian dia jalan di pasar.” Bahwa sampai ketemu Nabi, beliau sempat jalan dalam kondisi junub. Dan ini boleh, dia boleh beraktivitas dalam kondisi seperti itu. Dan ini otomatis menunjukkan bahwa orang yang junub pun tidak wajib untuk segera mandi, tidak wajib segera mandi. Dengan catatan dia tidak segera pengen salat. Kalau pengen salat, maka dia harus segera mandi.
Sekalipun kalau seandainya seseorang dalam kondisi yang besar, dalam kondisi yang besar seperti ada sebesar seperti itu, maka seandainya dia segera mensucikan diri itu lebih أَفْضَلَ (afdal). Tiba-tiba ada pengumuman mau salat jenazah, mau salat gerhana, mau apa gitu, sudah siap. Kalau cuma mau wudu cepat selesai, langsung ke masjid salat mandi, subhanallah. Alasan mahasiswa kalau tidak datang, “Ustadz, afwan, tidak bisa hadir.” “Ada عُذْرٌ (uzur).” “عُذْرٌ (Uzurnya) apa?” Tidak mengerti
مُتَعَدِّدُ التَّفَاسِيرِ (muta’addidut tafasir). Jadi ini menunjukkan beberapa hal yang tadi disebutkan.
Dan ada juga anjuran untuk seorang tokoh, seorang guru dalam lafaz yang disebutkan orang yang punya pengikut. Maka sangat pantas ketika dia memberikan arahan kepada para pengikutnya untuk mengerjakan hal yang lebih أَفْضَلَ (afdal). Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) memberikan arahan kepada najis, khawatir bahwa dia punya anggapan. Maka dalam riwayat disebutkan memang dia mengatakan, “Aku menganggap diriku najis,” padahal tidak. Dan ini menunjukkan perlunya seorang tidak melepaskan kesempatan, melewatkan kesempatan untuk memberikan nasihat kepada pengikutnya.
Baik, hadis yang kedua, hadisnya Aisyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا (radhiyallahu ‘anha). Kemudian hadis ketiga juga sama, masih riwayatnya Aisyah. Baru hadis keempat riwayat Maimunah. Dalam hal semacam ini, kita melihat bahwa mandi janabah sangat erat kaitannya dengan sesuatu yang privasi. Jarang ada orang mandi junub dia keluar ke kamar mandi yang pindah ke Sumur, ya kan? Kecuali kalau mati air di sini, mungkin cari tempat yang lain. Tapi yang jelas jarang sekali ada orang sampai keluar apalagi sampai dilihat dari dekat.
Maka Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam), semua riwayat tentang mandi janabah riwayatnya disampaikan oleh istri-istrinya. Ada berapa riwayat dari orang-orang sekitar dan terdekatnya, tapi tidak yang dalam bentuk sifat apa namanya, tata cara mandi junub. Karena seperti tidak bakal dilihat kecuali oleh orang-orang terdekat. Dan di sini sudah kita bahas tentang biografinya, sedangkan Maimunah adalah salah satu istri Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dan seperti yang lainnya, beliau adalah istri Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang janda. Bahkan beliau dinikahi sebagai istri yang akhir-akhir bahwa beliau termasuk yang dinikahi pada sekitar tahun ke-7 Hijriyah. Setelah itu beliau juga termasuk istri Nabi
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang paling akhir meninggalnya, paling akhir meninggalnya sekitar tahun 51 atau 61. Intinya beliau meninggal setelah Aisyah padahal Aisyah adalah istri yang juga belakangan meninggalnya. Sehingga beliau ini juga termasuk beberapa kali meriwayatkan hadis dan termasuk kisah beliau waktu ingat-ingat adalah, “Apakah Nabi
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) menikahi beliau dalam kondisi مُحْرِمٌ (muhrim) atau halal?”
Karena beliau dinikahi pada saat kejadian Hudaibiyah, ada yang meriwayatkan seperti itu. Dan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) dalam kondisi akan umrah. Dan Ibnu Abbas dalam Sahih Bukhari cerita bahwa Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) menikah dengan bibinya pada saat beliau sedang إِحْرَامٌ (ihram). Padahal أَنْتُمْ (antum) tahu orang yang ihram tidak boleh menikah, tidak boleh melamar, tidak boleh ngomong macam-macam masalah seperti itu. Orang Islam mau haji dia harus mengingat akhir saja, jangan enak-enakan begitu. Nah ini kalau sekarang malah nikah begitu. Ini kan bertentangan seperti itu.
Dan seberapa beberapa mazhab berpegangan dengan riwayat Bukhari itu bahwa Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) menikah dalam kondisi مُحْرِمٌ (muhrim). Tapi riwayat ini salah. Dan kita disampaikan Ibnu Abbas رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا (radhiyallahu ‘anhuma) masih kecil. Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) meninggal beliau masih usia kita. Maka ketika beliau belum meninggal dikurangi saja itu mundur prediksinya beliau kira-kira masih 10 tahun. Anak 10 tahun SD belum terlalu tahu tentang urusan pernikahan. Bukan itu masalahnya. Akan tetapi yang menjadi juru kunci atau pelaku kisah ini beliau sendiri cerita bahwa janin Nabi
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) ditambah lagi.
Satu lagi riwayat dari sahabat lain namanya Abdullah الْكُمُّ بِصِفَّةٍ (al-kumm bi sifatin). Itu artinya perantara, perantara. Bahkan dalam riwayat itu sebenarnya Abu Rafiq sama seorang lagi ditugaskan oleh Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) untuk nemuin Abbas agar menikahkan Maimunah dengan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) karena Abbas adalah pamannya. Sementara Maimunah merupakan apa namanya, saudaranya atau bibinya Ibnu Abbas. Oleh salah seorang untuk menjadi penyampai ternyata kendaraannya tidak tahu hilang atau bagaimana jadi terlambat datangnya, terlambat datangnya. Beliau waktu itu lewat daerah Rabigh yang disebutkan oleh keburu datang. Akhirnya berangkat bareng-bareng. Akhirnya bahwa pernikahan itu terjadi ketika Nabi
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) sudah meriwayatkan tata cara mandi dan disebutkan pada dua riwayat itu bahwa mandi itu dilihat dari dekat.
Beliau mandi bersama dengan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam). Menunjukkan bahwa mandi bersama boleh antara suami dan istrinya. Dan ini juga disebutkan bahwa bolehnya seseorang melihat aurat istrinya. Lihat aurat istrinya tidak seperti pendapat sebagian orang, “Tidak boleh melihat aurat perempuan sekalipun istrinya.” Nah, ini salah karena Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) seperti itu. Bahkan ada riwayat yang disampaikan dalam Kitab Ibnu Hibban yang menunjukkan bahwa ada seorang menyebutkan hadis ini yang sama tentang tata cara mandi junub. Kemudian dia ditanya oleh orang tentang, “Apakah boleh seorang laki-laki melihat aurat istrinya?”
Maka dia bertanya kepada atasnya dan orang atasnya bertanya kepada Aisyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا (radhiyallahu ‘anha), lalu Aisyah mengatakan dengan hadis ini jawabannya. Maka hadis ini bisa dipahami menunjukkan bolehnya seorang laki-laki melihat aurat istrinya.
Baik, hadis yang kedua dari Aisyah, “Karena Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) apabila mandi mencuci tangannya terlebih dahulu.” Kita sebutkan tadi bahwa mau pakai tata cara apapun, bahkan kalau tidak pakai sunah ini tapi langsung saja niat. Dia niat mandi junub pokoknya, kemudian diambil, kemudian sudah umum semua kena ratanya. Demikian pula seandainya dia niat mandi kemudian dia nyemplung ke kolam renang, sudah dia bukan hanya rata dia, ya sampai kedinginan seandainya begitu. Maka tapi sunahnya ada dan Imam Syafi’i
رَحِمَهُ اللَّهُ (rahimahullah) mengatakan bahwa riwayat yang paling kuat dan paling bagus serta yang dipilih adalah riwayat Aisyah. Kalau seandainya terjadi perbedaan tata cara, lebih dipilih oleh Imam Syafi’i
رَحِمَهُ اللَّهُ (rahimahullah).
Kemudian mengatakan bahwa riwayat yang paling bagus dalam menceritakan tentang tata cara mandi junub, riwayat Aisyah. Beliau cuci tangannya terlebih dahulu. Cuci tangan ini maksudnya apa? Ibnu Hajar bisa jadi cuci tangan karena khawatir di tangannya ada kotorannya, entah kotoran dari air mani atau air kencing atau yang lainnya. Atau bisa jadi ini perintah secara khusus untuk cuci tangan sebelum mandi janabah sehingga ini menjadi sunah tersendiri seperti orang bangun tidur. Orang bangun tidur tidak mesti ada kotoran dan najisnya akan tetapi diperintahkan seorang tidak boleh memasukkan tangan ke dalam bejana atau wadah sampai dia cuci dulu tangannya, ya kan, kita pernah bahas itu sebelumnya. Maka ini bisa jadi pembahasan yang itu. Intinya Nabi
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) kerjakan itu seperti wudunya orang salat.
Berarti wudu seperti wudunya orang salat ini dibedakan. Bukan sekadar untuk wudu secara bahasa. Secara bahasa namanya wudu itu bersih-bersih. Tapi wudu secara syar’i apalagi wudu untuk salat disebutkan seperti ini, ini menunjukkan sunah tersendiri seseorang ketika akan melaksanakannya. Orang salat nanti akan ada tambahan dalam riwayat Maimunah.
Rambutnya dengan إِصْبَعَيْنِ (isba’ain), seperti dalam beberapa riwayat yang menafsirkan menggunakan dua tangan untuk kepalanya. Ini setelah dia wudu kemudian dia atau beliau menyiramkan air, ternyata beliau masih ingin memasukkan lagi tangannya untuk memastikan betul-betul tangan itu atau air itu sampai di dasar rambut. Dalam ulama yang namanya mandi itu cukup mengalirkan air sampai rata, tetapi tidak wajib untuk menggosok. Akan tetapi atau menggosokkan menjadi مَشْرُوعٌ (masyru’) dalam mazhab Maliki. Bahkan dikatakan itu wajib, kalau
أَنْتُمْ (antum) tidak menggosok maka tidak sah mandinya.
Sebagaimana ketika menggosok dalam bahasa Bali. Kalau rambutnya keriting, dia disebutkan sampai beliau yakin air itu sudah betul-betul meresap di dasar rambut. Karena memang rambut ini banyak, kecuali rambutnya tipis dan bisa cepat air masuk ke dalamnya, maka tidak apa-apa. Sebagian orang rambutnya seperti benteng dia tidak bisa masuk. Nah, seperti ini harus dimasukkan karena prinsipnya harus rata. Kalau seandainya dikasih seperti ini maka tidak tembus misalkan. Maka yang penting Nabi
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan sampai beliau menyangka dan yakin bahwa air itu betul-betul sudah meresap di بَشَرَةٌ (basharah) itu artinya kulit.
Baru beliau kemudian mengguyurkan air berikutnya tiga kali. Baru beliau mengguyurkan semua badannya dengan air. Berarti kita lihat di sini yang pertama cuci tangan, yang kedua wudu, yang ketiga perhatian dengan kepala, baru setelah itu seluruh badan. Ini lebih gampang dan tidak disebutkan di situ bagaimana beliau memperlakukan tempat keluar air sperma.
Berarti riwayat yang menyebutkan itu lebih lengkap dan ini memang hadisnya ringkas. Sedangkan pada beberapa riwayat yang lain menyebutkan itu dalam riwayat Aisyah. Ini disebutkan anak ambil dari kitab Al-Muharrar. Al-Muharrar itu seperti Bulughul Maram oleh Ibnu Abdul Hadi. Beliau sebutkan dalam hadis Aisyah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) keluarga أَنْتُمْ (antum) ngomong kalau tidak mengerti masuk. Jadi Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) kemudian mengucurkan air dari tangan kanan ke tangan kiri, tangan kanan ke tangan kiri. Baru beliau membersihkan kemaluannya. Berarti yang digunakan untuk membersihkan kemaluan tangan kiri dan tangan kanan digunakan untuk mengocorkan air ke tangan kiri beliau.
Beliau kemudian ambil air dan beliau masukkan jari-jarinya ke dalam dasar-dasar rambut. Ini menunjukkan lebih tegas tadi dengan pakai apa namanya, jari-jarinya sampai beliau yakin semua air sudah mengenai tapi ambil satu apa namanya ya, satu tempat begitu kemudian tiga kali. Kemudian beliau menyiramkan ke seluruh anggota badannya. Kemudian mencuci kakinya lagi. Ini bagaimana? Padahal tadi kan sudah disebutkan wudu seperti wudunya orang salat. Kok malah ada kaki ini? Apa urusannya kaki ini? Nah, disebutkan bahwa sebagian ulama menyebutkan wudu itu tidak disempurnakan. Artinya tadi salat beliau wudu seperti wudunya orang salat kecuali kaki. Dan ini disebutkan pada beberapa riwayat Imam Bukhari jelas selain dua kakinya. Sehingga beliau mengakhirkan pencucian kaki.
Dan ini dipilih oleh sebagian mazhab. Sebagai mazhab mengatakan bahwa mencuci kaki dalam proses mandi janabah diakhirkan. Dalam Mazhab Syafi’i tidak, yang paling أَفْضَلَ (afdal) yang paling sempurnakan setelah itu bagaimana? Cuci lagi, tidak ada masalah dan itu yang lebih أَفْضَلَ (afdal). Dalam Maliki, ya, ditafsir dirinci, “Kalau tempat bawahnya kotor maka dia akhirkan mencucinya, tapi kalau seandainya tempatnya tidak kotor maka di awal kan tidak mengapa.” Kalau diulangi tidak apa-apa juga tadi kita sebutkan seperti itu. Dan ini disebut oleh Hafiz Ibnu Hajar ketika mendahulukan anggota wudu untuk dikucurkan atau dimandikan. Padahal sudah mandi kan semua kena, kenapa harus mulai dulu diusap dulu nanti masih mau mandi. Disebutkan ini artinya penghormatan untuk anggota ini dihormati dan kita juga beradab dengan badan kita.
Seperti kita sebutkan pada pertemuan yang lalu, ketika kita menggunakan tangan kanan, kaki kanan, dan semua bagian kanan untuk hal-hal yang terhormat yang bagian kiri untuk yang bagian bersih-bersih. Seperti ini termasuk adab dalam perlakukan anggota badan. Tadi kita sebutkan bahwa memang ada anjuran untuk memberikan penghormatan kepada anggota wudu sehingga didahulukan sebelum mandi secara umum. Kemudian juga menyatakan agar terkumpul antara dua
طَهَارَةٌ (thaharah), antara dua bersuci, bersuci dari hadas kecil dan bersuci dari hadas besar. Ketika berkumpul dua طَهَارَةٌ (thaharah) ini, maka lebih sempurna.
“Apakah boleh sebagian orang bertanya, ‘Kalau saya sudah mandi junub, apakah boleh saya tidak untuk kembali karena dia sudah wudu?'”
Jawabannya boleh selama dia tidak batal kembali. Ketika dia awal sudah wudu kemudian dia mandi, maka mandi dan wudunya sudah cukup untuk tanpa mengulang untuk di bagian akhir kalau tidak melakukan hal yang membatalkan wudu lagi. Contohnya tidak buang angin, tidak buang air, dan tidak menyentuh kemaluan. Tapi kalau seandainya mau sentuh-sentuh lagi karena dia kan baru wudu di awal kemudian dia mau mungkin kalau dia mandi itu lama sehingga sampai batal berkali-kali untuk lagi.
Hukum asalnya ketika orang ingin mandi tanpa sabun dan dia hanya sekadar ingin meratakan air sesuai sunah maka itu bisa, bisa sekali. Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) bahkan mandi dengan lima kali dua telapak tangan itu airnya bisa dipakai untuk mandi kok cukup. Nanti akan datang pembahasannya insyaallah. Tapi yang jelas itu mungkin sekali dilakukan. Pertama orang wudu, setelah wudu dia kasih airnya untuk membasahi kepala, setelah itu sebagian air dikeluarkan diratakan di bagian kanan bagian kiri, setelah itu dia pakai sisanya untuk diguyurkan sekali, sisa yang paling sedikit dipakai untuk cuci kaki. Selesai. Bisa. Dan itu tanpa menggunakan sabun, tanpa menggunakan sabun. Rata airnya bisa seperti itu sebenarnya yang sunah begitu. Tapi kalau seandainya kita memakai sabunnya tidak apa-apa, tidak ada masalah.
Sebagian orang memang menjadi rukun kalau mandi harus pakai sabun. Kalau tidak, dia seperti tidak mandi. Ya sudah, tidak apa-apa. Tayib, kemudian isinya juga ada riwayat Rasulullah mencuci tiga kali tiga kali dan ini menunjukkan memang sunah mengulang-ulang sampai tiga kali. Tadi kita sebutkan bahwa Al-Imam Al-Bukhari
رَحِمَهُ اللَّهُ (rahimahullah) beliau termasuk beranggapan dan berpendapat boleh wudu itu dipisah untuknya, dipisah. Jadi pertama beliau wudu kemudian setelah itu cuci kakinya nanti belakangan. Mandi dulu, setelah mandi baru cuci kaki. Wudunya sekali saja dan memang dalam tata cara itu tidak menunjukkan wudunya batal lagi kalau seandainya menyentuh kemaluan atau buang angin atau buang air maka otomatis dia harus wudu lagi.
Tapi kalau tidak, maka dalam hadis Aisyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا (radhiyallahu ‘anha) tidak menunjukkan bahwa wudu itu batal lagi. Kalau seandainya mau mencukupkan dengan tata cara mandi janabah sesuai sunah itu, maka dia boleh wudu kemudian mandi janabah, kemudian yang nanti kakinya ini dipisah dari wudu tadi. Pertama cuci tangan, muka, tangan, kemudian kepala, setelah itu kaki. Tapi kakinya di belakang. Nah, ini sebagian ulama boleh selama tidak sampai kering anggota badan sebelumnya.
Disebutkan di sini, “Aku dulu pernah mandi bersama Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) dari satu wadah yang kita pakai untuk mandi.” Cuma satu wadah, bukan dicemplungin wadahnya. Tidak cukup airnya sedikit. Tapi ini ingin menunjukkan bahwa Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّامَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan Aisyah mandi bersama dari satu bejana. Bukan nyemplung di bejananya. Maka disebutkan, “Kita sama-sama نَغْتَرِفُ (naghtarifu) mengambil air dari situ.” Ini dibolehkan. Ini menjadi bantahan untuk orang yang mengatakan bahwa air kalau sudah dipakai perempuan tidak boleh pakai laki-laki, kalau memakai maka perempuan tidak boleh pakai sisa air itu. Nah, ini bantahannya karena di sini ada riwayat yang mengatakan, “Kita sama-sama memakai mengambil air dari situ.”
Kemudian dalam, “Kami ganti-gantian,” ganti-gantian masuk, bukan hanya itu bahkan ditafsirkan pada riwayat yang lain menunjukkan mendahuluiku untuk mengambil air sampai aku bilang, “Eh, gantian aku.” Dalam riwayat An-Nasai dikatakan, “Kemudian aku ganti duluin ngambil air sampai beliau mengatakan, ‘Eh, tungguin aku, gantian.'” Yang menunjukkan bahwa pertama di bersama boleh. Kemudian yang kedua sampai bermain pun boleh. Tidak apa-apa, istrinya kok begitu. Ya susahnya juga banyak. Ini yang ditunjukkan dan ini tadi kita sebutkan berarti saling melihat aurat untuk pasangan.
Oleh tadi kita sebutkan dalam riwayat dari seorang perawi yang bernama Sulaiman Ibnu Musa, Sulaiman tentang, “Apakah boleh seorang laki-laki melihat aurat istrinya?” Maka dia mengatakan, “Saat aku tanyakan kepada guruku atau Ibnu Abi Rabah, aku pernah tanya kepada Aisyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا (radhiyallahu ‘anha) meriwayatkan hadis ini.” Ini menunjukkan bahwa mandi bareng sambil lihat-lihat masa menundukkan pandangan. Boleh-boleh saja begitu biar tidak melihat yang haram. Kemudian ini diriwayatkan bahwa Aisyah Bukhari cerita bahwa pernah juga Maimunah bibinya mandi bersama Nabi. Untuk pertama ngajar, yang kedua juga untuk menjaga keharmonisan. Di luar sama keluarganya tidak bisa harmonisan seperti itu.
Baik, tapi harus lihat situasi yang penting. Kemudian di sini hadis yang berikutnya dari Maimunah bintil. Hadis yang saya sebutkan ini istrinya Rasul صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang lain. Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) meletakkan tempat duduk atau air yang digunakan untuk mandi janabah saat mandi. Maka beliau mengguyurkan atau mengalirkan air dengan tangan kanannya ke tangan kirinya dua kali atau tiga kali. Kemudian beliau menggosok atau membersihkan kemaluannya. Ini sama dengan yang tadi riwayat Aisyah tapi yang bukan dalam kitab Al-Muharrar. Kemudian disebutkan, “Kemudian setelah mencuci kemaluannya beliau menggosokkan tangannya ke tanah, ke tanah atau ke tembok.” Temboknya juga dari tanah bukan dari keramik, kalau di keramik tidak bisa membersihkan. Di sini kenapa kok digosok-gosokkan untuk
الْمُبَالَغَةُ (al-mubalaghah)?
Untuk semakin memantapkan pembersihan. Katanya terkena bekas-bekas yang perlu dibersihkan. Lalu ada di sini lengket begitu maka dibersihkan dengan di bawah. Entah di tanah atau di tembok-temboknya juga kalau seandainya dari pelepah kurma akan bersihkan seperti itu disebutkan tanah atau tembok dua kali atau tiga kali. Mengatakan ini dalam rangka pembersihan. Maka seandainya diganti dengan sabun karena tujuannya adalah membersihkan. Kalau sekarang di tanah juga tidak ada tanahnya kan kebanyakan orang mandi kan keramik gitu sampai subhanallah sebagian lebih bersih dari rumah kita.
Disebutkan di situ beliau kemudian berkumur. Kemudian beliau memasukkan air ke dalam hidung. Ini menunjukkan sunah berikutnya dan ini sebenarnya masuk dalam bagian wudu akan tetapi tadi tidak disebutkan. Bagaimana sunah ini juga ditekankan ketika mandi junub salat. Kemudian beliau mengguyurkan air dari kepalanya. Beliau kemudian apa namanya mencuci semua badannya. Kemudian beliau berpindah karena itu artinya minggir dari tempat semula. Dan kita bayangkan kalau tanah itu menyipratkan air otomatis kotoran tanahnya pindah ke kaki. Maka beliau pindah ke tempat yang tidak becek. Nah, ini kita bayangkan rata-rata rumah orang dulu seperti itu. Tapi subhanallah tidak menghalangi mereka untuk tengah malam habis itu salat. Setelah itu baru tidur dalam kondisi wudu.
Zaman sekarang kadang di dalam rumah ya kan, bukan kadang maksud anak di dalam kamar. Jadi kalau mau wudu itu mungkin sambil tidur juga bisa begini. Masalah yang seperti ini pengaruhnya sama. Hidayah. Orang mau tidur dalam kondisi wudu saja marah sekali. Padahal kan sebenarnya dia bisa cuci-cuci kemudian gampang tanpa becek di mana-mana. Hampir sama seperti sapu tangan atau kain yang dipakai untuk mengeringkan badan. Dalam riwayat ternyata Nabi
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak ingin maka beliau mengeringkan air bekas mandi itu dengan tangannya. Berarti begini ya, begini kemudian badan-badannya seperti itu.
“Toyib, apakah boleh seseorang menggunakan handuk ketika dia mandi?”
Yang jelas sekarang Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْHİ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengerjakan ini artinya mengerikan dengan tangan begini-begini bagus karena Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) mencontohkan. Berarti boleh dan ini termasuk dibolehkan ketika wudu, ketika seorang mau kayak gini-gini boleh tidak ada masalah. Nah, tapi sebagian ulama mengatakan tidak boleh biar ada sisa air wudunya. Dan itu menjadi berkah dan sebagainya. Tapi tidak ada dalilnya, tidak ada dalilnya. Kadang ada orang habis wudu seperti habis mandi air di mana-mana kemudian ketika lewat kita mau salat dilewatin dan yang lainnya karena gara-gara dia habis wudu tidak, tidak sama sekali apa hilang itu bekasnya. Mungkin dia juga salat. Tapi sekarang permasalahannya boleh atau tidak seperti itu. Orang datang kemudian ambil tisu atau pakai handuk karena di sini bisa salam dikatakan
سَلَامٌ يُرِيدُ (salamun yurid) beliau ternyata tidak mau.
Maka sebagian ulama mengatakan tidak boleh. Sebagian ulama mengatakan tidak boleh menggunakan seperti itu karena bisa tidak mau. Tapi dibantah oleh mayoritas ulama. Mayoritas ulama mengatakan bahwa ketidakmauan beliau bisa jadi karena beliau مُسْتَعْجِلٌ (musta’jil), beliau terburu-buru. Bahkan sebagian ulama menyatakan justru adanya Maimunah membawa handuk atau sobekan ini karena kebiasaan orang di zaman itu menggunakannya. Kalau tidak, berarti tidak berarti beliau membawa kain. Kalau seandainya itu akan menjadi kebiasaan penduduk dan masyarakat, kemudian tidak akan berani. Ini disebutkan oleh Abdul Qasim Al-Ashbahani رَحِمَهُ اللَّهُ (rahimahullah). Beliau katakan ini justru menunjukkan kebiasaan orang zaman itu menggunakannya seperti itu. Dan juga mungkin hal yang serupa.
Intinya ini menunjukkan bagaimana tata cara seorang mandi. Dan tadi kita sebutkan ini yang lebih أَفْضَلَ (afdal). Kalau seorang mandi dengan tata cara demikian. Ini yang dapat kita sampaikan. Ada beberapa faedah lain ini tadi yang kita sebutkan ada hadis. Kita khawatirnya pernah dengar hadis ini tapi ditegaskan oleh disebutkan oleh Ar-Rafi bahwa ada hadis yang وَافْتِهَا (wafatuha) “لاَ تَنْفُضُوا أَيْدِيَكُمْ” (la tanfudhu aidiyakum), “Jangan kalian apa namanya membersihkan atau mengeringkan, mengeringkan bekas air wudu kalian dari tangan karena itu seperti apa namanya, dia bisa menghilangkan setan dan semacamnya.” Artinya ada faedahnya. Cuman dan yang dijelaskan tadi justru boleh.
Para ulama membolehkan kalau ada orang ingin membersihkan, mengeringkan dan sebagainya. Di sini ada apa namanya, ada faedah bahwa para istri sudah pantasnya mereka تَخِيطُوا (takhitu) kepada suaminya. Dalam riwayat yang disebutkan tapi dalam riwayat yang lain dikatakan, “أَدْنَا” (adna) itu صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam). Ini ada apa namanya, anjuran seorang untuk suaminya. Dan ada juga pelajaran boleh seorang minta tolong agar air yang mau dipakai untuk mandi disiapkan, “Tolong siapkan air, aku mau mandi.” Boleh entah minta ke pembantu, boleh kepada istri, boleh kepada anak, dan sebagainya. Jangan minta ke atasan.
Kemudian ini juga disebutkan ada anjuran juga untuk mendahulukan pencucian tangan sebelum mencuci kemaluan. Kalau memang toh akan membersihkan kemaluan yang itu rata-rata ada bekas yang harus dibersihkan. Kenapa harus cuci tangan dulu? Khawatirnya di tangannya ada macam-macam, ya seperti itu. وَاللَّهُ أَعْلَمُ (Wallahu a’lam) macam-macamnya.
“Bagaimana jika melihat tidak membatalkan wudu, apakah boleh baginya untuk tidak wudu lagi?”
“Yang lebih hati-hati أَنْتُمْ (antum) mengikuti pendapat yang tidak ada ulama menyalahkan أَنْتُمْ (antum). Jangan ambil yang seperti itu.”
“Apakah benar mandi sebelum subuh adalah sunah?”
“Ana pernah mendengarkan perkataan itu dari orang di kampung anak, ya sunah di kampung ya. Tidak ada.” Cuman dimandi yang disiapkan itu yang disebutkan seperti sunah itu seperti mandi di hari Jumat. “Siapa yang mandi di hari Jumat sampai dia ada yang riwayat mengatakan dia membuat orang mandi dan sebagainya, ya.”
Kemudian mandi janabah seperti itu. “Boleh tapi kalau mandi sebelum subuh dalam mandi junub, apakah sekali siraman secara menyeluruh apakah sudah cukup?”
“Tadi sudah kita bahas, boleh atau harus berapa kali. Sudah cukup mengatakan bahwa yang wajib itu cuma sekali. Kalau dia mau melakukan tiga kali, itu lebih
أَفْضَلَ (afdal). Yang lebih أَفْضَلَ (afdal) lagi kalau dia menggunakan sunah-sunah yang tadi kita pelajari.”
“Apakah benar ketika junub tidak boleh potong rambut atau potong kuku?”
“Boleh, saya sebutkan tadi beraktivitas boleh, mau jalan-jalan, mau futsal, mau belanja, mau apa, boleh. Ada tamu juga tidak apa-apa, sambut tidak masalah. Mau makan cuma yang
أَفْضَلَ (afdal) seorang ketika junub dia tidak, tidak makan atau tidak tidur sampai wudu terlebih dahulu. Ada hadis yang menunjukkan tentang itu.”
“Bolehkah seseorang yang mandi junub hanya melaksanakan rukunnya tanpa berwudu kemudian setelah itu langsung salat tanpa wudu?”
“Boleh, tidak ada masalah. Kecuali yang ini yang dia tanpa butuh tanpa wudu dia langsung mandi begini. Nah, sepertinya sebagian orang menyebutkan bahwa itu tidak cukup untuk wudu karena wudu membutuhkan urut membutuhkan sebagai dalil. Dan untuk mengambil pendapat yang hati-hati.”
“Biasanya di bagian telapak kaki ada kotoran seperti tanah atau debu yang menempel, apakah harus dihilangkan saat wudu atau mandi wajib?”
“Kalau seandainya kena air langsung hilang maka selesai aman. Tapi kalau seandainya dia menempel dan dia justru menghalangi seperti ketempelan isolasi. Habis salat sudah salat sunahnya banyak selesai semuanya sudah capek mau tidur ini apa di kaki ini. Aduh, ternyata isolasi kenanya jam 10.00 pagi. Berarti wudu untuk salat zuhurnya tidak sampai airnya. Harus diulang dia seperti itu.”
“Jika seorang yang junub dia sudah berniat untuk mandi akan tetapi dia keluar dulu beli sabun atau peralatan mandi kemudian tiba-tiba hujan deras mengguyur seluruh badan apakah dia menjadi suci?”
“Karena sebutkan bahwa ini tergantung kalau seandainya dia sudah niat, niat mandi dengan hujan-hujannya tidak apa-apa. Tapi kalau hujan-hujannya tidak niat mandi apalagi dia sambil lari berarti ngapain lari kalau mau begitu. Jadi intinya kembali kepada niat.”
“Allah disebutkan oleh Syekh Ibnu الْمُسْلِمِينَ (al-muslimin) bahwa tanah pada mandi janabah bisa digantikan dengan sabun. Apakah hal ini juga bisa menjadi dalil menggantikan tanah dengan sabun pada penyucian bekas jilatan anjing?”
“Ini sebutkan juga Syekh Muhammad
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak bisa. Sebutkan tidak bisa karena ada tanah itu ada zat-zat yang bisa mensucikan dan tidak bisa diwakili oleh sabun seperti itu.”
“Apakah orang junub tidak boleh masuk masjid? Lantas apakah boleh menunda mandi bagi orang yang tinggal di masjid karena kadang tengah malam itu dingin sekali?”
“Kalau tinggal di masjid tidak boleh, ya. Walau dari sini ke situ, nah itu boleh. Tapi kalau tinggal di masjid tidak boleh. Kalau orang tinggal di masjid kemudian junub padahal dalam kondisi dingin, bismillah sudah, bagaimana lagi. Kalau dia mau biar aman pindah tempat tidur.”
“Jika saat terjadi menjadi makmum saya memilih pendapat bahwa tidak membaca “سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ” (sami’allahu liman hamidah) saat jadi makmum, pertanyaannya kapan membaca bacaan?”
“Makanya
أَنْتُمْ (antum) berpendapat saja yang mengatakan “رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ” (rabbana walakal hamdu). Kalau tidak salah beliau mengatakan makmum ketika imam mengatakan sampai Allah sampai Allah. Tapi وَاللَّهُ أَعْلَمُ (wallahu a’lam) ini justru tidak sama dengan hadis apa baca itu berarti makmum membaca “رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ” (rabbana walakal hamdu) seperti itu.”
“Maka kapan dia bangunnya? Setelah dia bangun katanya dia baca dia ketika bangun sampai Allah Alhamdulillah begitu dia mengucapkan. Apakah darah ketika pakaian membuat pakaian itu apakah darah itu najis atau tidak?”
“Sebagaimana mengatakan itu najis tapi
يُعْفَى (yu’fa) dimaafkan kalau sedikit. Kalau darahnya banyak maka baru najis menurut pendapat mereka. Dan حَتَّى (hatta) seandainya orang yang mengatakan darah itu najis, mereka pun mengatakan di antara dalilnya adalah para sahabat ketika perang, mereka terluka-luka kemudian darahnya di pakaian-pakaian mereka dan tidak pernah ada perintah Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) untuk mencuci pakaian itu. Ini menunjukkan bahwa darah itu tidak najis sekalipun yang dianggap bahwa itu sedikit ternyata sedikitnya luka para sahabat kan banyak.”
“Apalagi kalau cuma itu apa itu namanya nanah dikeluarkan ada airnya atau kena saya. Apakah boleh berhubungan suami istri dengan tidak memakai sehelai pakaian dengan dalil bisa dilakukan ada sopan santunnya mengatakan memang tidak sepantasnya seorang mendatangi istrinya dalam kondisi seperti itu karena lupa dalilnya. Memang ada anjuran untuk tidak seperti itu, tidak seperti itu. Hanya
وَاللَّهُ أَعْلَمُ (wallahu a’lam) yang seperti ini sifatnya adalah adab sehingga kalau seandainya seorang tidak bisa apa namanya melakukannya maka dia tidak sampai haram berdosa.”
“Suatu ketika seorang, seorang ereksi, ereksi seseorang, seseorang ereksi tatkala salat berjamaah sedang berlangsung. Kemudian di tengah salat ternyata keluar مَذْي (madzi) sedikit dan dia baru menyadarinya ketika salat sudah selesai. Apakah salatnya?”
“Dia baru tahu apa namanya
مُدَّةُ الْخَمْسَةِ (muddatul khamsati), tapi dia tahu ereksinya ini kan Subhanallah. Orang lagi salat sampai diterus-terusan kira orang mau ujian mikir lagi mau jawab soal apalagi kalau pertanyaannya panjang dan susah semua tidak mikir macam-macam. Akhirnya ya kayak gitu sampai kayak gitu. Sampai akhirnya keluar masjid ini kan berarti dia ya melanjutkan.”
“Kalau ada orang dari dulu tidak tahu mandi wajib atau mandinya salah, bagaimana salat?”
“Tidak apa-apa kalau tidak mengerti. Tidak pernah juga memerintahkan para sahabat yang tidak mengerti untuk mengulangi semua salatnya seperti itu. Kemudian orang yang baru masuk Islam juga, ‘Oh kamu selama ini curuk tidak pernah juga di apa namanya diperintahkan untuk macam-macam.'”
“Apakah orang yang dulunya berkelimangan dosa bisa menjadi seorang yang berilmu dan bertakwa?”
“Ya bisa, bisa. Seperti karena terkadang ketika teringat dengan dosa-dosa yang lalu membuat orang ini jadi minder. Ini jangan, jangan mengatakan, ‘Kamu ini tidak bisa jadi orang saleh, sudah kotor-kotor, sudah tidak bisa.’ Jadi dia ingin menghalangi orang untuk bertobat. Justru bahkan dulunya syirik yang dikerjakan syirik tapi ternyata setelah mereka masuk Islam sehingga bisa dikatakan sebagai orang-orang yang di apa namanya, yang diridai Allah.”
“Apa pendapat ulama tentang penggunaan songkok peci yang menutupi dahi ketika sujud dalam salat?”
“Tapi kalau seandainya ada orang yang rambutnya terurai begitu tidak perlu diangkat seperti ini. Biarkan apa adanya, biarkan apa adanya. Seperti dalam riwayat, ‘Tidak boleh dan aku juga dilarang oleh Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) untuk menahan apa namanya rambut yang tidak boleh ditahan.’ Tidak boleh. Biarkan saja, biarkan dia sujud apa adanya, mau rambutnya ke mana-mana, biarkan. Tidak ada masalah, sujud saja dengan itu seperti itu.”
“Izin bertanya, ini keluar dari pembahasan dan manfaat ketika mengikuti majelis sama, minta motivasi dari Ustadz supaya mengisi utamanya.”
“Banyak sekali yang pertama mendengarkan hadis, ya, mendengarkan hadis dari awal sampai akhir. Dan itu bisa jadi tidak terulang dari kita beriman, kita berjihad, kemudian ada mendengarkan riwayat-riwayat, nama-nama orang, nama-nama para ulama hadis. Kita tidak pernah dengar itu kecuali kalau seperti ini. Mungkin pertama asing, tapi dari awal kita sampai akhir.”
Kemudian ditambah lagi bisa bersholawat ketika setiap lewat Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) disebutkan. Kemudian berikutnya kita menghidupkan sunah seorang belajar sana, belajar sana kemudian mendapatkan ini semua ada apa namanya, tata caranya. Kemudian kita berlatih untuk sabar dalam majelis. Ini juga kesempatan ditambah dinaungi malaikat dan lain sebagainya. Dan semua adalah kesempatan untuk ikut sama seperti itu. Bagus kalau seandainya
أَنْتُمْ (antum) ada kesempatan untuk mengikuti bismillah, ya.
Kemudian ketika أَنْتُمْ (antum) mendapatkan kawan-kawan lain juga hal yang mendapatkan hal yang sama, ini luar biasa. Ada motivasi tersendiri ketika lihat, “Wah, ternyata banyak sekali.” Dan أَنْتُمْ (antum) tahu majelis sama yang lalu yang datang dari luar kota banyak sekali karena kesempatan bicara. Maka kalau
أَنْتُمْ (antum) sendiri yang menjadi tuan rumah menyia-nyiakan, rugi sekali seperti itu.
وَاللَّهُ أَعْلَمُ (Wallahu a’lam), ini dapat kita pelajari mudah-mudahan bermanfaat. صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (Shallallahu ‘alaihi wa sallam).