Kajian Kitab Umdatul Ahkam – 20, Dr. Emha Hasan Ayatullah, M.A

Bismillahirrahmanirrahim, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillahirobbilalamin wabihi nasta’inu ala umuriddunya waddin, sholatu wassalamu ‘ala. Pada malam hari ini, kita, bismillah, akan menyelesaikan hadis tentang mandi besar yang berkaitan dengan hadas besar atau janabah. Karena pertemuan ini adalah pertemuan terakhir untuk semester ini, seperti biasa gaya mahasiswa, kita kejar target. Masih ada 5 hadis dan insyaallah kita akan usahakan selesaikan pada malam hari ini. Subhanallah, biasanya yang susah jadi gampang kalau terpaksa. Itu menjadi kebiasaan mahasiswa.

Dulu, ketika kita belajar, menyambut ujian, guru kami memberikan nasihat agar kita bersiap untuk ujian. Beliau berkata, “Coba أَنْتُمْ (antum) perhatikan betapa mahal sekali waktu yang أَنْتُمْ (antum) miliki sekarang. أَنْتُمْ (Antum) hitung waktunya. Kematangan, kemudian meringkas, أَنْتُمْ (antum) sudah mulai jarang minum kopi bersama. Pelajarannya ternyata masih banyak yang belum terbaca, dan sebagainya.” Betul-betul kita bisa menghargai waktu pada saat kita terdesak. Bayangkan, kata beliau, seandainya kita bisa menghargai waktu sepanjang belajar, manfaatnya besar.

Yang kedua, kata beliau, kita bisa menghafal, membaca, memaksa untuk paham, meringkas, dan minimal sabar untuk menyelesaikan kurikulum dalam waktu tidak kurang dari dua hari. Padahal, satu semester kita tidur di kelas. Ini menunjukkan bahwa

عَزِيمَة (azimahnya) perlu ditingkatkan.

Subhanallah, sadarnya memang di belakang. Orang bilang yang di belakang itu namanya apa? Penyesalan. Kalau di awal namanya pendaftaran. Tapi, subhanallah, ini terulang semester demi semester sampai lulus. Ternyata pelajaran di kelas itu baru kita hafal kalau sudah mau ujian, dan memang bisa. Tetapi, sebagaimana kita hafalkan satu malam, maka rupanya satu jam, dua jam, sampai kalau أَنْتُمْ (antum) dapat sebagian, أَنْتُمْ (antum) bisa ditanyakan masalah apa, dari ujung sampai ujung. Titik komanya mereka tahu. Mungkin belum sempat ganti itu copas untuk jawaban e-learning, itu belum sempat ganti, jadi titik komanya sampai ketahuan. Tapi maksudnya, kita bisa melakukan itu ketika kita dipepet dan kita harus apa? Menghafal, meringkas, dan sebagainya.

Seandainya kita lakukan seperti itu tiap hari, tidak menghafal, tidak meringkas, atau apa, baca sudah satu hari dua halaman, kemudian kurikulum yang kita pelajari di kelas kita kuasai, insyaallah akan jadi خَيْرًا كَثِيرًا (khairan katsiran), faedahnya besar sekali. Tapi kan realitanya tidak seperti itu, kebanyakan kita melupakan dan melalaikan itu.

Kemudian yang terakhir, kata Syekh, kita lihat ujian itu, orang menghargai dengan luar biasa, takut sekali namanya gagal. Padahal, gagal itu bisa diulang, meskipun bayar lagi, tapi setidaknya dia masih bisa mengulang, tidak sampai mati. Kalau gagal, paling ya nilainya jelek saja begitu. Pokoknya kalau dapat istri nilainya A plus, wah, subhanallah, kayaknya enggak mau nikah itu ya. Jelek banget begitu. “Mana ijazahmu? Coba lihat.” Kita lihat saja malu. Maksudnya, itu masih bisa diulang, tetapi ujian akhirat susah. Dan, subhanallah, kita sudah tahu teorinya itu, tapi seringkali kita tidak indahkan, sehingga kita terlena untuk tidak beribadah. Maka ini menjadi pelajaran, semoga Allah

عَزَّ وَجَلَّ (azza wa jalla) memberi kita hidayah dan kita bisa istiqomah sekalian.

Hadis yang pertama dari sahabat ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ (Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu) seperti yang disebutkan oleh Abdullah ini, kemudian Umar bin Khattab yang bertanya, “Ya Rasulullah…” Nah, dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Umar yang mendapatkan kejadian ini, tapi dalam riwayat Muslim ditegaskan, dan juga termasuk dalam riwayat Imam Bukhari di beberapa jalur, menunjukkan bahwa memang yang bertanya adalah Umar. Bedanya apa? Bedanya adalah akhirnya hadis ini dikatakan hadis siapa? Apakah hadisnya Abdullah bin Umar atau hadisnya Umar bin Khattab? Tapi, Hafiz Ibnu Hajar mengatakan kesimpulannya tidak berbeda, yang penting hukumnya, tidak penting siapa yang meriwayatkan, apakah itu anak atau bapaknya. Dua-duanya sahabat Nabi

صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Bahkan, dalam riwayat yang kuat dikatakan yang junub itu Abdullah bin Umar, kemudian dia lapor ke bapaknya, lalu bapaknya bertanya. Sekalipun redaksi pertanyaannya menggunakan “di antara kami.” “Baik, يَا رَسُولَ اللَّهِ (ya Rasulullah), apakah mungkin atau bisa atau boleh kita tidur dalam keadaan junub?” Maka jawaban Nabi

صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam), “Iya, boleh. Kalau seandainya salah seorang di antara kalian junub, kemudian wudu, setelah itu mau tidur, silakan.”

Dalam beberapa riwayat dikatakan, “Sebelum kita tidur, kalau sempat junub,” maka yang dimaksudkan adalah wudu secara syar’i seperti orang mau salat. Karena wudu, kalau disebutkan secara umum begini, bisa dipahami pengertian bahasa, artinya sekadar bersih-bersih, itu namanya wudu, karena dari artinya cemerlang, bercahaya, bersih. Ini namanya bersih. Akan tetapi, yang dimaksudkan ketika disebutkan di sini, dalam riwayat yang lain dikatakan, “Mau salat, mau duduk, mau tidur, mau ngomong, mau ngobrol, silakan.”

Dalam riwayat yang lain dalam Sahih Muslim dan juga dalam Sahih Bukhari disebutkan, “Dan cucilah kemaluannya.” Sehingga di sini ada perintah untuk bersih-bersih sebelum tidur. Mayoritas ulama mengatakan bahwa perintah ini hukumnya مُسْتَحَبّ (mustahab), hukumnya adalah sunah. Artinya, kalau seandainya ada orang junub kemudian capek sekali, tidak bisa mengerjakan itu, ya sudah tidur, tidak berdosa dia. Tetapi, seandainya dia bisa mengerjakan,

أَفْضَل (afdal).

Ketika dia tidur, dia dalam keadaan bersih, entah bersih dari fisiknya maupun bersih dari sisi makna karena dia sudah berwudu sebelum dia tidur, tapi dia masih junub. Sehingga para ulama mengatakan manfaatnya adalah… manfaatnya adalah ketika seorang berwudu, maka dia berkurang hadasnya. Dan ini tidak berlaku untuk wanita yang haid. Karena wanita yang haid, ketika dia haid, mau wudu, mau mandi sekalipun, sekalipun dia berniat dengan mandi besar, kalau seandainya belum suci dari masa haidnya, maka ini tidak mengurangi hadas.

Ini tidak bisa disamakan dengan janabah. Kalau perempuan bagaimana? Sama. Kita akan bahas bahwa pembahasan mandi besar atau hadas besar ini tidak ada bedanya antara laki dan perempuan. Tetap mereka dianjurkan untuk mandi besar agar hilang janabahnya, kemudian juga untuk meringankan janabah itu juga dianjurkan untuk wudu. Ini tidak ada bedanya antara laki dan perempuan. Sehingga ini yang disebutkan oleh jumhurul ulama, merupakan ibadah yang sunah, afdal dikerjakan. Akan tetapi, seandainya tidak dikerjakan, tidak berdosa. Ada yang mengatakan bahwa hukumnya wajib.

Seperti biasa, mazhabnya mereka mengatakan wajib untuk orang yang junub untuk wudu dan tidak boleh dia tidur, tidak boleh tidur kalau dia belum wudu. Dalam beberapa riwayat bahkan dikatakan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) ketika akan makan atau tidur apabila dalam keadaan junub, beliau akan berwudu dulu. Berarti makan dalam kondisi terjaga, bukan tidur. Dan ternyata kita juga dianjurkan untuk berwudu sekalipun kita dalam kondisi tidak tidur.

Dan para ulama mengatakannya, disimpulkan oleh Ibnu Hajar bahwa memang tidak dibedakan antara tidur dan terjaga. Karena hakikatnya waktu yang kita lewati tidak berbeda. Kalau kita boleh untuk tidur dalam kondisi junub, maka dalam kondisi tidak tidur pun kita boleh untuk bertahan pada posisi hadas besar. Ini dibolehkan selama dia tidak akan melaksanakan salat. Tapi kalau sudah akan melaksanakan salat, maka dia harus dan segera wajib untuk mandi. Tapi jika seandainya masih lama waktunya, kemudian dia memang belum datang waktu salat, maka tidak mengapa.

Dan ini disebutkan dengan berbagai dalil dan kita sempat bahas kemarin, ketika pasar keluar rumah dan sebagainya. Ini membolehkan seseorang dalam kondisi seperti itu. Karena Ibnu Hajar menyebutkan tidak beda antara orang tidur dengan orang yang terjaga, sebagaimana kalaupun orang itu tidur diizinkan, maka pasti antara tidur dengan bangun atau dalam kondisi bangun akan tidur, ada posisi dia belum tidur. Sehingga kalau dia dibiarkan untuk tidur dalam kondisi junub, maka dalam kondisi terjaga pun tidak apa-apa. Ini maksudnya diambil dari hadis ini.

Boleh seseorang dalam kondisi junub untuk beraktivitas. Ini menjadi penguat yang kemarin. Dan ketika kita membahas sebuah hadis, kita perlu mengetahui bagaimana penalaran dari sebuah hadis sehingga diambil kesimpulan hukum. Karena seperti kita membutuhkan untuk memastikan hadis yang kita pakai sahih, itu penting, tetapi tidak kalah penting. Karena banyak orang ngawur dalam menggunakan hadis.

Maka sebagian ulama menyebutkan, termasuk ini ditegaskan oleh Ahlussunah, memiliki kunci yang tidak dimiliki selain mereka, yaitu ketika mereka memahami dalil dengan pemahaman para ulama. Al-Qur’an dan hadis, dua-duanya disepakati seluruh kaum muslimin, tidak berbicara orang di luar agama. Semua yang ada dalam Islam menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah pedoman, semua sepakat, tidak ada yang berbeda sama sekali. “Marilah kami jalan yang lurus.” Kemudian dalam Al-Qur’an yang ditegaskan, “وَاهْدِنَا صِرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ” (Wahdina siratal mustaqim), “Wahai Muhammad, kamu mengajak kepada jalan yang lurus.” Berarti jalan lurus ada dua, Al-Qur’an dan hadis Nabi.

Bagaimana dengan jalan yang lurus ketika kita ingin memahami Al-Qur’an dan hadis dengan pemahaman disebutkan dalam Al-Qur’an, disebutkan dalam Al-Qur’an juga dalam surat Al-Fatihah, “صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ” (siratal ladzina an’amta ‘alaihim). Kata Ibnu Qayyim رَحِمَهُ اللَّهُ (rahimahullah), sebesar-besar nikmat yang Allah berikan kepada orang adalah ketika dia bisa mendapatkan jalan yang lurus dari Al-Qur’an dan hadis. Dan ini menjadi rukun ketiga yang dimiliki Ahlussunah dan menjadi ciri khas mereka. Mereka tidak mengambil Al-Qur’an dan hadis sesuai dengan hawa nafsu mereka, akan tetapi mereka memahami dengan pemahaman para salafus saleh. Dan ini yang menyelamatkan mereka memahami semuanya sendiri.

Akhirnya memberontak, mengkafirkan, sebagainya. Orang Muktazilah mereka pahami dengan takwil, menolak apa namanya, macam-macam azab kubur dan segala macam, karena pemahaman mereka. Dan sekarang banyak orang yang begitu, hadisnya sahih dalam Bukhari, dalam Muslim, dalam apa, kemudian kesimpulannya apa gitu. “Kok bisa kesimpulan أَنْتُمْ (antum) beda dengan kesimpulannya para sahabat ya?” “Siapa yang lebih bagus ini kalau begitu?” Ini juga perlu kita pelajari ketika kita ingin memahami pemahaman yang benar.

Tapi intinya dalam riwayat disebutkan ada hadis Nabi

صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam), “Sesungguhnya malaikat tidak masuk rumah yang ada anjingnya, ada gambarnya, dan ada orang junubnya.” Dalam riwayat ini ada seorang rawi yang diperselisihkan. Mereka mengatakan dia ini

مَجْهُولٌ (majhul), tidak dikenal, tetapi sebagian orang lain mengatakan, “Enggak, dia orang yang fitrah.” Minimal hadis yang diterima berarti memang hadis ini tetap bisa dijadikan landasan. Kata Al-Khattabi رَحِمَهُ اللَّهُ (rahimahullah), maksudnya dalam hadis ini untuk memberikan teguran kepada orang bukan yang menunda mandinya, akan tetapi orang yang tidak perhatian kepada mandi. Sehingga bukan mandi yang tidak pernah mandi itu bukan, akan tetapi yang tidak pernah mandi besar dari janabahnya, sehingga kebiasaan dia selalu dalam kondisi, selalu dalam kondisi berlumuran hadas besar dan mereka tidak perhatikan itu.

Maka ini yang dicela, sebagaimana sebagian anjing dalam hadis ini kan sama itu, ada anjing, ada gambar, kemudian ada orang junub. Tidak semua orang junub yang dicela sehingga membuat malaikat tidak masuk ke rumahnya. Sebagaimana tidak semua anjing yang membuat rumah seseorang tidak didatangi oleh malaikat, akan tetapi anjing yang dijadikan berburu dibolehkan dan tidak melarang malaikat untuk masuk. Sebagaimana juga gambar, gambar yang bernyawa, gambar makhluk bernyawa, ini yang membuat malaikat tidak masuk. Masuk semuanya dalam hadis yang sahih, Jibril tidak masuk bertemu dengan Nabi

صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam). Masuk, ternyata ada gambar, ngamuk sekali, dicabutnya itu gambar yang ada تَصَاوِيرُ (tasawir), ada تَمَاثِيلُ (tamatsil), gambar makhluk bernyawa. Akan tetapi, ketika dijadikan barang yang tidak terhormat, seperti dijadikan sprei, keset, atau sarung bantal, atau yang didudukin, maka tidak apa-apa, sebagainya disebutkan oleh Aisyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا (radhiyallahu ‘anha), gambar-gambar itu dijadikan sebagai مُبْتَهَن (mubtahan), barang yang tidak terhormat. Nah, seperti itu Nabi

صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak mengingkari.

Kemudian hadis ini tadi yang kita sebutkan, karena memang orang yang wudu sebelum dia tidur maka hadasnya bisa ringan. Ada riwayat yang dikuatkan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar, “Rasulullah

صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) bersabda: ‘Tidak mengapa apabila salah seorang di antara kalian junub di malam hari, maka apabila dia akan tidur hendaklah dia berwudu karena itu separuhnya bersuci.’ Separuhnya bersuci, ada bersuci dari hadas kecil, ada bersuci dari hadas besar. Kalau kita sudah berwudu minimal kita sudah mengerjakan salah satunya meskipun tidak boleh lupa, besok harus mandi.

Tayib, kemudian ikhwan sekalian, berikutnya hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah. Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) pernah menikah dengan Malik, ayahnya Anas. Kemudian ayahnya Anas ngamuk ketika Ummu Sulaim masuk Islam, akhirnya dia pergi ke Syam sampai mati. Nah, kemudian dia nikah sama Abu Talhah, akan tetapi setelah disuruh masuk Islam dia mau. Akhirnya menikah dengan seorang Sahabiyah yang mulia, dan beliau dikenal dengan kesabarannya, kebijaksanaannya, sampai termasuk di antaranya ketika anaknya sakit dan akan meninggal, sakit keras.

Abu Talhah melihat anaknya sudah saking sakit parahnya itu sampai berat mau meninggalkan rumah. Akhirnya dia keluar karena ada kebutuhan. Ternyata anaknya meninggal. Kaum muslimin mengatakan sampai aku sendiri yang akan beritahukan. Ketika datang Abu Talhah dia tanya langsung, “Anak kita bagaimana?” “Dia sudah lebih tenang, enggak ada apa-apa,” padahal sudah tidak bergerak. Akhirnya masuk, disiapkan makanan. Setelah disiapkan makanan, dia berdandan dengan penampilan dan hiasan yang rapi sekali seperti orang yang mempersiapkan untuk menyambut suaminya. Kemudian malam hari itu mereka tidur, berkumpul. Kemudian setelah itu dia bertanya, “Ya Abu Talhah, apabila seorang kaum menitip sesuatu barang ini, titipan, kemudian mereka datang untuk mengambilnya, apakah berhak orang yang dititipin melarang?” “Oh jangan, ini masih aku butuhkan.” “Allah enggak kayak gitu.” “Yang enggak lah!” Kata Ummu Sulaim, “Kalau begitu, kamu sabar ya. Yang punya anak kita mengambil anak kita.”

Ngamuk dia. “وَاللَّهِ (wallahi), demi Allah, kamu tidak bakal bisa membuat aku sabar kalau kayak begini. Aku sudah sampai kenyang, kemudian aku sudah berlumuran dengan hadas besar begini, kamu baru beritahu aku. Tadi kamu tidak mengabari.” Ngamuk sampai lapor ke Rasul صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam). Bercerita semuanya begini-begini, sampai kata Nabi, “Semoga Allah memberikan barokah pada malam hari tadi.” Dan subhanallah, Anas bin Malik jadi punya adik namanya Abdullah. Ketika dilahirkan, langsung di apa namanya, diberi oleh Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) kurma segala macam. Kemudian setelah itu didoakan, didoakan.

Dan para ahli sejarah mengatakan Abdullah bin Abi Talhah ini memiliki anak sekitar 10, mereka hafal Qur’an semua karena doa dari Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam). Nah, ini yang sabar bisa menaklukkan suaminya ketika menghadapi musibah yang berat. Sekarang Ummu Sulaim cerita, yang cerita Ummu Salamah, istri Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam). Beliau mengatakan, “جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ (Jaa’at Ummu Sulaim) istri Abu Talhah datang إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (ila Rasulillahi shallallahu ‘alaihi wa sallam). ‘Ya Rasul, sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran.'” Mengatakan kenapa wanita ini mengatakan mukadimahnya, “Ya Rasul, Allah tidak malu untuk menjelaskan kebenaran?” Karena sebenarnya dia ingin menutupi rasa malunya dan menunjukkan bahwa kaum wanita rata-rata mereka memiliki rasa malu seperti itu. Terlebih menyebutkan sesuatu yang sangat privasi, yang berkaitan dengan hal yang khusus sekali, ditambah lagi ceritakannya kepada laki-laki lain. Ini berat luar biasa.

Maka beliau dengan bijaknya bertanya, “Ya Rasul, Allah tidak malu dari kebenaran.” Maka nanti ketika Rasul صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) menjawab pun sampai disebutkan, “Mendengarkan itu malu.” Dalam riwayat dikatakan bahwa tersenyum, “Tidak bisa menahan itu.” “Kamu membuka aib perempuan-perempuan, kok bisa kayak begini ditanyakan?” Tapi ini wahyu, dan ini para ulama justru menyebutkan pujian, bagaimana mereka dalam kondisi malu sekalipun tidak terhalang untuk belajar. Maka hal itu mengajar. Dalam hadis yang sama beliau mengatakan ini adalah malu yang terpuji. Ketika seseorang tidak terhalang dari mencari ilmu. Malu yang benar yang sesungguhnya ketika rasa malu itu bisa menghormati yang lebih tua, bijak dalam berinteraksi dengan orang lain. Tapi malu yang justru membuat orang tidak bertanya, ini namanya

عَجْزٌ (ajz). Disebutkan dalam faedah hadis ini, ini namanya

عَجْزٌ (ajz), membuat orang tidak mau belajar. Ini bukan hanya namanya akan tetapi namanya عَجْزٌ (ajz). Ini juga ada pujian, sebenarnya merupakan keistimewaan para wanita yang masih memiliki rasa malu di saat banyak perempuan yang sudah tidak malu.

Kalau perempuannya tidak malu, laki-lakinya sudah lebih parah lagi. Dan dalam hadis ini disebutkan kenapa kok sampai Aisyah mengatakan menutup mukanya? Betul-betul malunya luar biasa karena ini berkaitan dengan apa namanya, hal yang privasi sekali, bahkan termasuk dalam urusan syahwat mereka. Disebutkan perempuan punya syahwat kepada laki-laki sebagaimana laki-laki pada perempuan. Maka ini yang sering dikatakan, “Wah, ini harusnya tidak disebutkan, malu sekali.” Nah, zaman sekarang seperti Haji tembok untuk rasa malu itu hilang. Yang itu untuk menjelaskan atau menunjukkan bahkan syahwatnya luar biasa, tidak mau belajar. Dalam waktu yang sama, tidak mau belajar. Kita lihat bagaimana

مَحْرَمُهُمْ (mahramuhumnya) orang-orang yang sebenarnya dengan berbagai fitnah tidak ada yang aman dari fitnah. Maka sebisa mungkin kita yang belajar ini betul-betul harus pandai-pandai menjaga diri, karena kalau tidak maka setannya kuat sekali. Setan ini pengen menjaga kita barangkali lebih banyak daripada orang-orang yang memang sudah rusak. Maka kita harus hati-hati sekali.

Lain dalam hadis ini datang kemudian mengatakan, “Ya Rasulullah, apakah seorang wanita perlu mandi apabila dia bermimpi?” Tetapi disebutkan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar, ini bukan sekadar mimpi, akan tetapi mimpi khusus yang kaitannya dengan syahwat, bahkan dalam urusan hubungan badan. Dan ini ada hadisnya, tapi memang secara

ظَاهِرٌ (zhahir) hadis ini berkaitan bukan dengan mimpi biasa, akan tetapi mimpi yang kaitannya dengan masalah syahwat dan hubungan seorang suami dengan istrinya. Dalam beberapa riwayat di antara yang disebutkan adalah riwayat Imam Ahmad, “Rasulullah…” Maka ini di antara contoh bagaimana menafsirkan hadis dengan hadis. Ditegaskan sekali kalau hadis dalam Sahih Bukhari hanya mencukupkan isyarat saja, “إِذَا رَأَتِ الْمَرْأَةُ مَا يَرَى الرَّجُلُ” (Idza ra’atil mar’atu ma yarar rajulu), dalam itu apa?

اِحْتِلاَمُ (ihtilam) itu mimpi-mimpi. Ngapain mimpi makan? Tidak ada masalah itu mimpi makan. Akan tetapi, kalau seandainya mimpi yang urusannya syahwat seperti itu, nah perempuan juga sering bermimpi yang seperti itu. Kalau laki-laki bermimpi, maka perempuan juga bermimpi. Dan di sini dikatakan bahwa perempuan bermimpi sedang didatangi oleh suaminya. Nah, maka Rasul

صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) menyatakan, “Dia mandi kalau seandainya dia mendapatkan basah atau air.” Dan itu yang dimaksud adalah air sperma.

Baik, ini di sini hanya disebutkan pendek. Kalau أَنْتُمْ (antum) juga begitu kan, sampai situ selesai. “Iya, kalau seorang wanita melihat apa yang dilihat oleh laki-laki, kemudian dia melihat perempuan, maka dia wajib mandi.” Tapi dalam riwayat Muslim ditambahkan dengan riwayat lebih detail. Maka Anas sebutkan tadi, maka Ummu Salamah sampai menutup mukanya. Dalam riwayat Muslim dikatakan bahwa yang nutup muka adalah Aisyah juga. Sampai dikatakan tadi dalam riwayat lain dalam Sahih Bukhari dikatakan, “Oh, seperti ini ditanyakan?” Dan memang jawabannya vulgar apa adanya. Dan memang ketika dibutuhkan satu saja sampaikan, tidak ada masalah.

Subhanallah, ketika pembahasan yang seperti ini adalah pembahasan yang memang suka. Seandainya ada orang tidak bijak dalam memberi jawaban atau bermain-main atau punya pikiran kotor, maka tidak sampai pada tujuan orang belajar. Bayangkan betapa banyak dalam proses pendidikan terjadi hal-hal yang merusak moral, ya kan? Lihat bagaimana kalau seandainya ketakwaan tidak bisa melandasi pendidikan, rusak. Sehingga belum berbicara tentang masalah keikhlasan ilmunya, bahkan dalam pesan moral hancur itu sudah di tengah lembaga pendidikan bisa نَعُوذُ بِاللَّهِ (na’udzubillah). Semoga Allah menjaga kita semua.

Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) orang yang terhormat, seorang wanita boleh هِبَةٌ (hibah) memberikan dirinya kepada Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam). Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) menjelaskan kepada mereka. Dalam riwayat Muslim, dalam riwayat Bukhari juga dikatakan, “فَبِمَ؟” (Fabima?). “Lho, kok bisa ya? Iya, bisa. Masa tidak bisa salah?” Dikatakan, “Iya, kalau seorang wanita melihat air, melihat sperma, maka dia perlu mandi sebagaimana laki-laki yang melihat seperti itu.” Ini ada hadisnya dalam riwayat Abdur Razzaq.

Rasul صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) menyatakan, “Apabila salah seorang di antara kalian, wahai perempuan, melihat apa yang dilihat laki-laki.” Laki-laki yang mengeluarkan sperma itu wajar, semua orang tahu, anak kecil saja tidak mengerti itu. Tapi perempuan, apakah seperti itu? Barulah mengatakan, “Kenapa sampai ada pengingkaran dari Ummu Sulaim, Ummu Salamah, atau siapa dalam mengatakan, ‘Apakah bisa kayak begitu?'” Artinya perempuan sampai mengeluarkan air.

Sebagian ulama seperti beliau mengatakan, ini menunjukkan bahwa perempuan semua juga bisa mengeluarkan sperma sebagaimana laki-laki. Tapi sebagian ulama mengatakan tidak, justru perempuan jarang sekali yang mengeluarkan sperma seperti laki-laki. Buktinya apa? Ada pengingkaran seperti ini. Tetapi, kata Hafiz Ibnu Hajar, ingin mengatakan bahwa seorang wanita barangkali jarang terjadi seperti apa yang dialami laki-laki. Hanya itu ada. Maka dalam riwayat lain dikatakan, “Anak dari mana?” Lalu disebutkan, “Laki-laki itu kental dan putih, sementara sperma perempuan kuning dan cair.” “Dari mana yang lebih dulu atau lebih kuat maka akan menyebabkan kemiripan pada anak?” Mana yang lebih mirip, apakah jenis kelamin atau mukanya? Kemudian maksudnya yang lebih cepat atau lebih kuat? Nah, ini ada tafsiran para ulama yang memang berbeda-beda, tapi intinya masing-masing memiliki sperma yang memang ada akarnya untuk peranakan seperti itu, dan itu wajar, itu wajar seperti itu.

Kemudian dalam riwayat yang dikatakan bahwa Ummu Salamah bertanya, “Ya Rasulullah, apakah seorang wanita juga memiliki air seperti itu?” Maka Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan, “هُنَّ (hunna) mereka adalah saudara kandungnya laki-laki dalam berbagai urusan.” Dalam hadis yang lain riwayat Imam Ahmad dari Shahabiyah binti Hakim. Ini

خَالَةٌ (khalah). Dari mana ini ceritanya kok bisa datang tadi yang menceritakan adalah Aisyah kemudian Ummu Salamah. Jadi sebagian ulama mengatakan bisa jadi kejadian ini barengan, mereka kumpul semua itu mungkin. Sahabatnya mereka bertanya kepada Nabi

صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) belajar bahwa ada yang bertanya yang lain mendengarkan. Kemudian dalam hadis yang diriwayatkan ceritanya berdekatan, “Kemudian seorang wanita tidak wajib mandi janabah sampai dia mengeluarkan air sperma seperti laki-laki mengeluarkan air sperma.” Ini menunjukkan bahwa memang dua-duanya bisa mengalami hal seperti itu. Jadi di sini kesimpulannya adalah para ulama menyebutkan bahwa seorang wanita sama hukumnya tidak wajib mandi kalau tidak melihat air sperma.

Ibnu Hajar bisa jadi pernah dengar hadis “الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ” (Al-Ma’u minal ma’), الْمَاءُ (al-ma’u) artinya mandi janabah dengan menggunakan air dari mandi besar itu disebabkan karena ada keluarnya air lain, yaitu air sperma. Mungkin Ummu Salamah tidak pernah mendengarkan hadis itu atau dia pernah mendengar hadis itu tapi anggapan dia ini hanya laki-laki saja. Maka dia sampai mengatakan, “Mungkin perempuan bisa dihukumi sama dengan laki-laki.” Maka jawabannya sama, jawabannya mereka tidak wajib mandi seperti laki-laki, tidak wajib mandi mimpi macam-macam, bangun tidur tidak ada apa-apa, ya sudah. Tapi jangan diatur mimpinya, kayak tanya pertanyaan yang dulu sebelum Ramadan disebutkan di sini. Jadi ketika dia mengatakan kalau dia melihat air berarti kalau tidak melihat sperma maka tidak wajib untuk mandi. Ini jelas sekali dan ini kesimpulannya. Sehingga ada hadis Nabi

صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang mengatakan “الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ” (Al-Ma’u minal ma’). Tapi para ulama menyebutkan bahwa itu sudah masuk, itu sudah masuk nanti kita akan pelajari pada hari berikutnya insyaallah.

Di sini ada pelajaran bahwa boleh seorang wanita bertanya kepada laki-laki asing kalau memang dibutuhkan, sebagaimana seorang wanita boleh bertanya langsung dalam urusan pribadi sekali. Urusan pribadi dia tanyakan kepada seseorang yang kira-kira bisa menjelaskan hukumnya, boleh. Akan tetapi, tentu dengan berbagai syariat yang tidak melanggar syariat, tidak خَلْوَةٌ (khalwat) menyendiri, kemudian tidak apa namanya untuk perempuan, kemudian tidak saling pandang terus-menerus. Akan tetapi, dengan menundukkan pandangan dan sebagainya. Baik, ini setidaknya apa yang kita pelajari dari hadis yang kedua, ketiga ini masih hadis yang sama, akan tetapi karena memang hukumnya sedikit berbeda, maka di nomornya sendiri.

Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa Aisyah menyatakan, “تَسْتَحِبُّ الْجُنُبَ” (tastahibul junub), baca صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam), bukan yang riwayat Muslim tapi masih riwayat Bukhari dan Muslim, untuk mencuci junub. Maksudnya apa? Bekas yang ditimbulkan dari mandi besar atau hadas besar dari baju beliau. Kemudian Nabi

صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) menggunakan baju yang barusan aku cuci tadi dipakai untuk mengimami, dipakai untuk mengimami. Bukan artinya warna yang berbeda, ada bekas air dan bekas yang dicuci. Alhamdulillah mengatakan dari hadis ini ditunjukkan bahwa Al-Imam Bukhari mengambil kesimpulan ketika sebuah najis, ini bukan berarti Imam Bukhari menilai bahwa mani najis, akan tetapi ketika sebuah najis bendanya sudah hilang, kemudian dicuci, dicuci, dicuci berkali-kali, ternyata sudah hilang bendanya, bekasnya masih ada. Bekasnya masih ada, maka ini tidak mengganggu kesuciannya.

Kalau air mani, para ulama mengatakan mayoritas ulama menyebutkan bahwa air mani suci. Air mani suci dan hadis ini termasuk yang menunjukkan karena seandainya tidak suci maka harus dicuci sampai tidak ada bekasnya sama sekali. Artinya, butuh lebih perhatian dalam mencuci sebagaimana mereka mencuci air kencing anak kecil perempuan atau najisnya anjing atau najis-najis lainnya. Akan tetapi, riwayat kedua beliau hanya mencukupkan dengan mengerik saja atau apa namanya, membersihkan dengan ujung kukunya.

Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Menggaruk bekas air sperma.” Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) menggunakan baju itu. Nah, ada sebagian orang mengatakan bahwa kalau seandainya air mani itu basah atau lembap atau memang tidak kering, maka dicuci. Tetapi kalau kering, maka dikeringkan dengan dua riwayat ini, “Aku mengeriknya.” Berarti kalau seandainya dia najis, tidak bakal Aisyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا (radhiyallahu ‘anha) cuma mengerik, pasti akan mencuci dengan bersih-bersihnya. Apalagi Aisyah bedanya warna antara dicuci dan masih ada sisa yang masih nempel di situ. Nempel itu menunjukkan bahwa memang pembersihannya tidak betul-betul maksimal.

Nah, ini menunjukkan bahwa air mani itu suci. Kemudian pelajaran berikutnya, ada anjuran seorang wanita untuk membantu suaminya dalam membersihkan semacam ini. Kemudian lihat di sini, sebagian orang mengatakan bahwa sebenarnya air mani semua orang itu najis, tidak bisa dibiasakan dengan air maninya Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) karena air maninya Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) bisa jadi suci bahkan mengandung berkah sebagaimana kotoran-kotoran lainnya dipakai rebutan oleh para sahabat. Maka tidak bisa kita samakan. Tapi jawabannya tidak seperti itu, dikatakan, “Andai saja memang seperti yang kalian sampaikan, Nabi

صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak pernah bermimpi.”

Paham أَنْتُمْ (antum)? Jadi, junubnya Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) itu dari hubungan badan. Kalau seandainya berhubungan badan berarti campur dengan air spermanya orang lain yang bukan Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam). Kalau seandainya air sperma para sahabat juga najis seperti pendapat kalian, maka akan bercampur dengan sucinya sperma Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam). Kemudian ini juga masih disebutkan oleh sebagian ulama itu bisa najis. Kenapa? Karena kecampur dengan مَذْي (madzi), sebahas pada pembahasan sebelumnya bahwa مَذْي (madzi) keluar ketika orang betul-betul dalam kondisi syahwat. Mengatakan itu suci mani, kalau campur bagaimana antara mani dengan mani? Maka yang suci menjadi najis.

Tapi kata Hafiz Ibnu Hajar, pula bahwa ketika seorang dalam kondisi puncak syahwatnya, maka مَذْي (madzi) sudah tidak akan keluar. Dia kalah dengan dengan maninya. Air kencing tidak bisa keluar atau beda, tidak mengerti. Jadi ketika dalam kondisi syahwat yang tinggi, maka مَذْي (madzi) pun tidak keluar. Seperti ada orang mimpi, ketika orang mimpi bangun-bangun yang dilihat sperma, bukan مَذْي (madzi), mau dicari juga ketemu karena memang yang keluar itu, itu seperti itu. Ini menunjukkan kesimpulan bahwa mani itu bersih, itu bukan barang suci, harus dibersihkan akan tetapi tidak sampai najis, tidak sampai najis.

Jadi kita sebutkan tadi bahwa menukil dari Imam Bukhari bahwa atau menyimpulkan dari pemahaman Imam Bukhari bahwa beliau menyebutkan dari hadis ini bahwa air mani tidak najis. Kemudian ketika sebuah عَيْنُ النَّجَاسَةِ (ainun najasah) atau benda yang najis sudah hilang dicuci, sudah dihilangkan betul-betul memang sudah tidak ada lagi tersisa apa namanya barangnya, tetapi sisanya susah untuk di bekasnya susah untuk dibersihkan, maka beliau mengatakan ini sudah tidak berefek lagi. Artinya masih dimaklumi dalam syariat ketika baju seseorang masih ada bekas najisnya tapi hanya bekas saja kalau najis itunya sudah hilang.

Ini disebutkan dalam sebuah riwayat meskipun ada kelemahannya, ada kelemahannya, akan tetapi ada jalur lain yang juga sama-sama lemah dan bisa menguatkan, yaitu hadis Abu Hurairah bahwa Khaulah binti Yasar mengatakan, ini seorang Sahabiyah mengatakan kepada Rasul صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam), “Aku tidak punya baju kecuali satu saja dan aku sering haid. Pakai اِفْعَالُ الْأَسْنَى (ifa asna), bagaimana cara mengatasinya ketika seorang datang bulan dan dia tidak memiliki kecuali satu baju?” Dan sebagian orang menjadikan baju ketika haid berbeda dengan baju ketika salat.

Maka kata sebagian ulama yang mengatakan bahwa mani itu najis atau sebagian membedakan, ini tadi kan ada air mani atau sisanya atau ada riwayat mencuci, mereka katakan dibedakan kalau pakaian yang dipakai untuk salat dicuci, kalau pakaian yang dipakai untuk tidur baru dikerik karena itu lebih ringan dan mungkin bekasnya lebih besar untuk tetap menempel. Tapi ini ditolak, dibantah dengan hadis yang kita pelajari karena Aisyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا (radhiyallahu ‘anha) cerita, “Aku mengerik,” kemudian pakaian yang dikerik itu akhirnya dipakai salat. Itu menunjukkan bahwa tadi yang diperinci itu salah perinciannya.

Baik, sedangkan seorang wanita yang haid darahnya bisa susah untuk dihilangkan apalagi bajunya cuma satu. Bagaimana? Maka Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan, “إِذَا (idza) kalau nanti kamu sudah suci, cuci saja, cuci dan kamu pakai salat saja.” Maka dia mengatakan, “فَإِنْ لَمْ (fa’ilam) kalau darahnya tidak hilang bagaimana?” “Kamu cuci saja pakai air, nanti sisanya tidak usah kamu pikirkan.” Ini yang tadi kita sebutkan bahwa hadis ini ada kelemahannya, akan tetapi Ibnu Hajar ada penguat dari jalur yang lain sekalipun juga lemah tapi bisa menguatkan.

Kemudian ada riwayat yang dihasankan oleh Nabi Daud, Rasul

صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan kepada sebagian sahabat, “Dan cucilah menggunakan air dan daun bidara.” Nah, ini menunjukkan bahwa kalaupun seandainya orang sudah berusaha untuk menghilangkan itu ternyata masih ada yang tersisa maka tidak. Sebelum terakhir, Rasulullah

صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) dari sahabat Abu Hurairah, Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) bersabda, “Apabila seorang laki-laki berhubungan badan dengan seorang istri dan dia sudah betul-betul tidur bersama yang di sana dikatakan, artinya apabila dia sudah duduk di antara empat cabang.”

Sebagian ulama menafsiri 4 cabang artinya dua tangan istri dan dua kakinya, ada yang mengatakan semua kakinya, akan tetapi ada kaki bagian atas, kaki bagian bawah, atau yang jelas kesimpulannya kata Habib dan Hajar, ini adalah كِنَايَةٌ عَنِ الْجِمَاعِ (kinayatul ‘anil jima’), ini adalah isyarat tentang hubungan suami istri. Apabila seorang sudah betul-betul akan melakukan hubungan badan, kemudian dia memang betul niat, niat untuk mengerjakannya, “فَقَدْ وَجَبَ” (faqad wajaba), maka dia sudah diwajibkan untuk mandi besar. Dalam riwayat Muslim dikatakan, “

وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ” (wa illam yunzil), sekalipun air spermanya belum sampai keluar.

Kalau tadi yang kita bahas ketika orang bermimpi, maka yang menjadi patokan adalah dia lihat air apa tidak. Dia mau mimpi bergulat sampai setengah mati juga kalau seandainya dia bangun akhirnya tidak mendapatkan apa-apa, wong dia mimpi ya. Maka yang dijadikan patokan adalah dari spermanya, ada mandi, tidak ada, tidak usah mandi. Tetapi kalau yang dia lakukan nyata hubungan badan antara seorang suami dan istri, sekalipun dia tidak mengeluarkan air sperma, akan tetapi sudah dia lakukan hubungan badan itu, maka dia wajib mandi, dia wajib mandi.

Dalam beberapa riwayat disebutkan memang kalau sudah bertemu antara dua kelamin, dalam riwayat Abu Daud disebutkan seperti itu, ketika memang mereka sudah melakukan hubungan badan sehingga kemaluan sudah bertemu dengan kemaluan, maka ini tidak dijadikan apa patokannya? Apakah ada air spermanya tidak? Pokoknya sudah mengerjakan itu harus mandi seperti itu. Dan ini menjadi hukum yang berbeda. Maka kata Imam Nawawi

رَحِمَهُ اللَّهُ (rahimahullah), di sini makna الْحَدِيثِ (al-hadits) “أَنَّ إِيجَابَ الْغُسْلِ” (anna ijabal ghusli), kewajiban mandi janabah yang disebabkan oleh hubungan badan suami dan istri tidak bergantung pada ada atau tidaknya air mani, itu tidak dijadikan pertimbangan yang penting sudah melakukan itu maka dia harus mandi, berbeda dengan orang yang bermimpi.

Kemudian terakhir sebagai penutup hadis tentang jumlah air yang dipakai Muhammad ya, tapi di sini disebutkan anak, kalau Muhammad ini cucunya Ali, Muhammad tapi dia memang datang kepada sahabat Jabir Ibnu Abdillah. Datang dengan bapaknya. Jadi cucunya Ali dengan anaknya, dengan cicitnya, dua orang ini ke tempatnya Jabir bin Abdillah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ (radhiyallahu ‘anhu). Ini sedang berada di Jabir Ibnu Abdillah. Dan أَنْتُمْ (antum) kalau perhatikan hadis tentang haji, hadis tentang haji yang panjang diriwayatkan oleh Imam Muslim itu Imam Bukhari tidak diriwayatkan secara lengkap. Yang meriwayatkan ibadah ritual haji secara detail Imam Muslim dalam hadis Jabir itu diriwayatnya oleh ini anak-anak keturunannya Ali. Ini mereka datang kepada Jabir bin Abdillah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا (radhiyallahu ‘anhuma). Kemudian memperkenalkan diri, “Aku adalah cucunya Ali.”

Maka Jabir bin Abdillah ketika melihat ada cucunya Ali رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ (radhiyallahu ‘anhu), beliau suka sekali, “Ini cucunya kawanku, kawanku yang aku cintai karena dia adalah apa, saudara Rasul صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan sebagainya.” Akhirnya ketika datang di perlu dirangkul begitu, dan waktu itu sudah buta, sudah buta. Kemudian disampaikanlah hadis itu ketika memang ditanya tentang bagaimana tata cara haji seperti itu. Nah, ini termasuk riwayat yang disampaikan oleh Jabir bin Abdillah kepada mereka.

Nah, mereka mengatakan, “Kami berada di majelis Jabir bin Abdillah.” Disebutkan pada saat itu ada beberapa orang bertanya kepada beliau. Bertanya tentang tata cara mandi dan berapa air yang dibutuhkan. “Dua telapak tangan.” Kalau satu صَاعٌ (sa’) berarti empat kalinya, tapi bukan tangan anak, tangan anak kecil. Tapi kalau soalnya orang gede begitu maka airnya juga agak banyak.

Kemudian dalam riwayat Anas bin Malik رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ (radhiyallahu ‘anhu), beliau ceritakan Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) apabila berwudu beliau menggunakan air yang bilangannya cuma satu مُدٌّ (mud), satu seperti ini. Kalau mandi beliau menggunakan satu صَاعٌ (sa’), empat kali ini sampai lima kali ini. Nah, ini diceritakan oleh Jabir Abdillah, “Kalau cuma untuk mandi janabah saja satu صَاعٌ (sa’) cukup, berarti sedikit itu empat kalinya ini.” Maka orang tadi mengatakan, “

مَا يَكْفِينِي” (ma yakfini), di sini disebutkan ada seorang mengatakan, “Aku tidak cukup.”

Kemudian Jabir bin Abdillah mengatakan, “كَانَ يَعْنِي يَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ” (Kana ya’ni ya Rasulallahi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Maka Jabir mengatakan, “Kalau kamu bilang kamu tidak cukup air satu صَاعٌ (sa’), maka air satu صَاعٌ (sa’) ini pernah cukup dipakai oleh orang yang lebih bagus dari kamu dan rambutnya lebih tebal, yaitu Rasul صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam).” Kemudian Jabir mengatakan, “ثُمَّ أَمَّنَّا فِي الْصَّفِّ” (Tsumma ammanna fiish shaff), “Kemudian beliau menjadi imam kami.” Jadi mandinya cepat pakai air cuma begitu. Kemudian beliau mandi.

Dalam beberapa riwayat dikatakan bahwa Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) sudah siap takbir, kemudian beliau mengatakan, “Kalian tetap di tempat kalian.” Karena Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) ternyata ingat beliau dalam kondisi junub belum mandi besar. Lalu beliau masuk sebentar, keluar kepalanya meneteskan air dan beliau habis mandi besar ini. Kemudian Rasul صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam). Nah, ini menunjukkan bahwa beliau tidak berlama-lama di kamar mandi, kemudian air juga banyak-banyak. Kalau orang kita bilang apa namanya, mandi keramas, mandi keramas katanya. Mungkin dia tidak pernah keramas kalau tidak mandi besar. Jadi maksudnya orang zaman sekarang kok bisa tidak cukup ya karena aktivitasnya banyak sekali.

Intinya seorang memang tidak boleh إِسْرَافٌ (israf) dalam menggunakan air. Dalam riwayatnya dikatakan karena Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengucurkan air itu ke atas kepalanya tiga kali. Tapi meluncur tiga kali itu kan tidak harus coba أَنْتُمْ (antum) dengar air grojok begitu untuk apa kira-kira kayak mau nyiram tanaman. Jadi apa namanya, إِسْرَافُهُ (israfuhu) atau berlebihan dalam menggunakan air itu kelewatan. Di sini disebutkan Nabi

صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengucurkan air di atas kepalanya tiga kali, bisa kecil sedikit-sedikit yang penting rata.

Kemarin kita sudah sebutkan di antara tata cara mandi janabahnya adalah dengan pertama dibersihkan kemaluannya, kemudian setelah itu bahkan tangannya ditempelkan ke tanah atau ke tembok untuk membersihkan. Dan kita kami sampaikan kalau seandainya bangun dipakai untuk sabun maka itu sudah bisa. Kemudian setelah itu wudu seperti wudunya orang salat, kemudian setelah itu kepalanya sampai air itu betul-betul masuk. Saya itu baru diluncurkan. Jadi air itu masih bisa tersisa seperti itu, masih bisa.

Jadi intinya Jabir bin Abdillah ingin menegaskan, “Kalau kamu menyatakan satu صَاعٌ (sa’) tidak cukup, maka Rasul صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang rambutnya lebih tebal bahkan disebutkan di situ lebih tebal dan lebih bagus rambut Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) itu ternyata cukup satu. Kamu kok tidak cukup bagaimana?” Seperti itu. Intinya di sini pelajarannya adalah agar seorang tidak boros dalam menggunakan air. Kalaupun seandainya lebih dari itu tidak mengapa yang penting tidak sampai boros.

وَاللَّهُ أَعْلَمُ (Wallahu a’lam), mudah-mudahan bermanfaat dan kurang lebihnya mohon maaf.

“Bagaimana membersihkan najis ketika celana dalam terkena satu tetes air kencing saja, apa langsung ganti atau bisa kita basahi sampai tiga sifat itu hilang?”

Iya, kalau seandainya tiga sifat itu hilang, tidak harus ganti, ya. Tidak harus ganti atau أَنْتُمْ (antum) cuci kemudian أَنْتُمْ (antum) pakai lagi juga tidak apa-apa, memang terbiasa seperti itu tidak apa-apa. Artinya, kalau seandainya memang najisnya sedikit dibersihkan yang penting hilang semuanya, insyaallah tidak ada masalah.

“Jika ada rasa pasta gigi setelah berkumur, apakah harus dihilangkan sampai hilang rasanya jika mau salat?”

Kalau seandainya أَنْتُمْ (antum) sudah bersihkan betul-betul sudah bersihkan, kemudian ada tersisa seperti itu, tidak, tidak harus. Dan kalau أَنْتُمْ (antum) tahu siwak yang pakai kayu siwak yang betul-betul pakai kayu أَرَاكِ (arak) gitu, betul-betul rasanya hampir sama dengan pasta gigi, itu pedas, kemudian rasanya betul-betul segar. Kalau dipakai untuk orang puasa seperti ini, maka tidak mengapa. Dan Nabi

صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak beda-bedakan antara orang berpuasa dengan tidak puasa, antara waktu زَوَالٌ (zawal) Zuhur dengan waktu pagi. Ketika ada orang ingin bersiwak, maka tidak apa-apa seperti itu. Salat pun demikian.

وَاللَّهُ أَعْلَمُ (Wallahu a’lam).

“Menggunakan rambutnya yang ada di apa namanya sumur itu di kampung jika yang disihir meninggal maka turun ke nasabnya jadi jin nasab akan mengenal demikian kok tanya. Tetapi apakah praktiknya karena memang dia disihir sampai meninggal?”

وَاللَّهُ أَعْلَمُ (Wallahu a’lam), tidak seperti itu. Bahkan وَاللَّهُ أَعْلَمُ (Wallahu a’lam) yang ana pernah kenal dari beberapa orang yang punya جِنَازَةٌ (jinazah) seperti itu, biasanya dikasih sukarela artinya bukan karena harus ada korban meninggal dulu. Tetapi mbahnya misalkan dukun, akhirnya kepada anaknya dikasih biar anaknya diganggu. Tujuan mereka itu bagus tapi lihat bagaimana niat itu tidak selalu dibenarkan ya kan. Dia ingin agar anaknya tidak ganggu orang dikasih pagar kata dia. Akhirnya anaknya setengah mati. Maka apa? Jin yang seperti itu sebenarnya bukan penunggu tapi pengganggu.

“Apa ini? Apa hukum apa namanya imam dalam takbir intiqal karena imam panjang takbirnya tidak seperti yang kebiasaan orang umum menyamai maksudnya kita takbir dan imamnya belum selesai takbir karena kepanjangan?”

Oh, begitu. Ada sebuah hadis yang menunjukkan bahwa para sahabat mereka tidak pindah dari satu rukun ke rukun yang lain sampai حَتَّى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (hatta Rasulillahi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Jadi, para sahabat mereka nunggu sampai Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) selesai dari sujud baru mereka pindah ke sujud. Itu harusnya, ya. Kalaupun ternyata takbirnya dari sebelum gerak sampai sehabis bergerak ada orang kayak gitu yang di saf kedua saja tidak mengerti ini sudah selesai apa jangan-jangan ketiduran.

اللَّهُ أَكْبَرُ (Allahu Akbar). Tetapi usahakan agar أَنْتُمْ (antum) mulai bergerak ketika orang itu apa namanya sudah selesai dari pindah rukunnya baru أَنْتُمْ (antum) bergerak. Hanya kadang kita diuji dengan fenomena lainnya imamnya اللَّهُ أَكْبَرُ (Allahu Akbar). Ada tempat yang salatnya tuh مُطْمَئِنَّةٌ (mutma’innah), jumlah jamaahnya banyak. أَنْتُمْ (Antum) cari di masjid-masjid yang terpencil yang jamaahnya sedikit. Butuhnya cepat saja ya. Tidak salat zuhur, tidak salat magrib, cari tempat yang paling cepat selesainya. أَنْتُمْ (Antum) berusaha kapan gitu biar bisa menikmati salat gitu, ya enak. Dan biasakan seperti itu, biasakan kalau sudah kebiasaan pengen cepat salat terus, subhanallah terganggu kita tidak bisa menikmati.

“Rasulullah, apakah aurat untuk perempuan antara dagu dan leher semuanya ya?”

“Semuanya ini ditutup termasuk dagu dan leher. Kelihatan aurat, aurat jelas aurat ya.” Para ulama mengatakan sebagian ulama menyebutkan bahwa perempuan dalam salat auratnya semua kecuali telapak tangan dan muka. Ya, dagu otomatis masuk.

“Apakah meninggal dalam kondisi junub dapat dikatakan mati dalam keadaan tergantung?”

“Kenapa dia sampai mati dalam dia suka tidak mandi janabah? Jelek jelas otomatis. Tapi bukan karena itunya, tapi karena kebiasaan dia. Tapi kalau saya sekadar seperti itu, maka tidak.”

أَنْتُمْ (Antum) tahukan Hamzalah itu yang dikenal dengan غَسِيلُ الْمَلَائِكَةِ (ghasilul malaikah), sahabat yang dimandikan malaikat ketika dia sedang berhubungan badan dengan istrinya, tahu-tahu ada panggilan untuk bertempur, untuk berjihad. Tangannya dia langsung keluar, meninggal di Perang Uhud lagi dalam keadaan junub. Ternyata Nabi

صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) kaget, “Kok malaikat tidak ada rame-rame yang mandikan gitu?” Ternyata dia dalam kondisi janabah ketika keluar dari rumahnya. Tapi kita sampaikan kemarin ketika ada orang dalam kondisi seperti itu cepat-cepat bersih-bersih, coba-coba.

“Jika di celana ada lubang kecil, apakah boleh digunakan salat?”

“Ya, hukum asalnya tidak boleh, ya. Biar aman. Kalaupun di dalamnya ada pakaian lain akan mengganggu, ya, mengganggu pemandangan. Tapi kalau seandainya auratnya sampai tidak kelihatan, maka tidak batal salatnya kalau seandainya auratnya tidak kelihatan.” Tapi kalau kelihatan, sebagian ulama menyebutkan bahwa aurat itu ada yang… kan aurat itu ada yang berat sekali terutama yang di bagian itu, ya. Kalau seandainya para ulama mengatakan kalau rakaat apa namanya, tersingkapnya aurat sebentar dan dalam kondisi tidak sengaja, kemudian yang tersingkap adalah aurat yang ringan, maka tidak mengapa. Tetapi kalau seandainya aurat itu tersingkap dengan sengaja dan dia tahu tapi dia tidak segera tutup, salatnya tidak sah. Atau tersingkap sebentar akan tetapi aurat maka

وَاللَّهُ أَعْلَمُ (wallahu a’lam) dalam salatnya karena yang tersingkap adalah aurat.

“Celana bolong kecil di mana? Di lutut. Tidak apa-apa insyaallah kalau tidak sampai menyingkap auratnya apa namanya, tidak sampai menyingkap misalkan bahannya dan sebagainya.”

“Apakah tetap harus bagi kita untuk bershalawat kepada Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) ketika kita mendengar nama beliau disebut-sebut dalam musik yang mana mereka itu menyebutnya berulang-ulang kali?”

وَاللَّهُ أَعْلَمُ (Wallahu a’lam).

“Apa hukumnya mengucapkan Amin dalam doa dan mengucapkan Amin saat berdoa dan di akhir salat?”

وَاللَّهُ أَعْلَمُ (Wallahu a’lam) disyariatkan, وَاللَّهُ أَعْلَمُ (wallahu a’lam) disyariatkan kalau di akhir salat. “Sebelum salat?” Maksudnya bagaimana akhir salat atau sebelum salat. Yang jelas mengucapkan Amin merupakan hal yang syariat yang tidak masalah seorang berdoa kemudian mengucapkan Amin atau mengamini doa orang lain tidak apa-apa. Bahkan dalam beberapa riwayat disebutkan dalam Al-Qur’an dikatakan, “Kami telah mengabulkan doa kalian berdua.” Dikatakan bahwa yang berdoa hanya Nabi Musa, Nabi Harun hanya mengaminkan.

“Lebih penting akidah atau iman? Jika imannya hilang, apakah dia kafir?”

Dua-duanya penting. Pelajari tidak usah bingung kafir apa tidak. Pelajari saja.

“Jika tidak berkumur setelah makan atau minum, bolehkah salat?”

“Boleh, tapi tidak sempurna salatnya.” Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) katakan, “Kalau bukan aku khawatir akan memberatkan umatku, aku akan perintahkan mereka siwakan setiap salat.” Maka ini adalah kondisi yang apa namanya, istimewa dan sempurna. Mau salat gosok gigi dulu seperti orang mau ketemu sama orang yang dihormati, mau ujian lisan ya kan. Masa habis makan jengkol

أَنْتُمْ (antum) dapat nilai jelek itu. Setor hafalan tahfidz Qur’an.

“Berapa jarak bolehnya melewati orang yang tidak menggunakan sutra tempat sujud?”

“Kira-kira sujud dia seberapa sudah itu boleh. Tapi yang lebih bagus lagi

أَنْتُمْ (antum) hati-hati tidak usah lewat depan.”

“Iya, kalau kita masuk kajian dan kajian sudah mulai, apakah kita salat تَحِيَّةُ الْمَسْجِدِ (tahiyatul masjid) akan mendengarkan kajian langsung?”

“Iya, khotbah Jumat saja Nabi

صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (shallallahu ‘alaihi wa sallam) perintahkan sahabatnya untuk salat تَحِيَّةُ الْمَسْجِدِ (tahiyatul masjid).”

“Jika dianjurkan untuk wudu agar meringankan hadasnya bahkan dikatakan separuhnya, apakah dengan dia wudu berkali-kali bisa?”

“Tidak bisa, tidak bisa itu mirip sama orang yang mendengarkan hadis

إِنَّا صَلَوَاتُ (inna sholawat) dan ikhlas sudah baca surat Al-Ikhlas tiga kali sudah kayak khatam gitu kan. Tidak benar, tidak benar seperti itu.”

“Afwan izin bertanya, bagaimana hukum ketika seorang menyamai atau bahkan mendahului imam ketika salat dikarenakan imam bertakbirnya pelan dan panjang dan ini secara berkali-kali. Kok bisa sama ya pertanyaannya ya, kayaknya masjidnya sama ini, satu kos?”

Makanya Nabi bilang salat سَلَامَةٌ (salamah) saja, ya. Dulu kita kalau salat di masjid kampus luar biasa bahagianya itu karena kita selalu kesulitan untuk dapat sudah datang duluan. Kecuali kalau pas tidak ada jam ketujuh terakhir karena datang ke masjid baru kosong, masyaallah. Sudah tidak akan biarkan saf awal itu ada yang nganggur sedikit, bahkan sudah sampai kayak gini, ya, itu baru masjid جَامِعَةٌ (jami’ah). Tapi ketika anak salat di masjid kampung, wah datang sudah komat saja أَنْتُمْ (antum) bisa mendapat di kampung kayak gitu. Kekurangannya seperti itu. أَنْتُمْ (Antum) nikmati ada tempat bisa salat khusyuk panjang. Mungkin

أَنْتُمْ (antum) mendapatkan nanti.

#Prolog

Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ’anhu. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara langsung dengan melenyapkan ilmu itu dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang berilmu lagi, orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.’” (HR. Bukhari)

Sumber: https://muslim.or.id/93486-malapetaka-akhir-zaman.html
Copyright © 2025 muslim.or.id