Kajian Kitab Lum’atul I’tiqad #14

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا. أَمَّا بَعْدُ.
Alhamdulillah, segala puji hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, Pencipta alam semesta, yang memberikan rezeki kepada mereka. Dialah yang memiliki nama-nama yang husna dan sifat-sifat yang ‘ulya, dan Dialah yang berhak disembah.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah Subhanahu wa Ta’ala limpahkan kepada penutup para nabi dan rasul, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, keluarga beliau, para sahabat beliau, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai akhir zaman.
Hadirin yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita masih bersama kitab Lum’atul I’tiqad yang ditulis oleh Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah. Insyaallah kita lanjutkan pembahasan akidah yang dibawakan oleh beliau.
Melihat Allah di Hari Kiamat (Rukyatullah Yaumal Qiyamah)
Setelah sebelumnya beliau menyebutkan tentang akidah Ahlus Sunnah terhadap Al-Qur’an, maka beliau menyebutkan setelahnya akidah Ahlus Sunnah tentang masalah melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat. Ini termasuk di antara permasalahan akidah yang penting dan telah terjadi perselisihan antara Ahlus Sunnah dengan Ahlul Bid’ah.
Beliau mengatakan: وَالْمُؤْمِنُونَ يَرَوْنَ رَبَّهُمْ فِي الْآخِرَةِ بِأَبْصَارِهِمْ “Dan orang-orang yang beriman akan melihat Rabb mereka di akhirat dengan mata kepala mereka.”
Orang-orang yang beriman, baik yang sempurna maupun yang belum sempurna keimanannya, akan melihat Allah di akhirat dengan mata kepala mereka, bukan hanya dengan mata hati.
Adapun di dunia, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki untuk tidak dilihat oleh manusia. Bahkan manusia yang paling mulia, Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tidak pernah melihat Allah di dunia. Ketika beliau ditanya oleh para sahabat apakah beliau melihat Rabb-nya saat Mi’raj, beliau menjawab: نُورٌ أَنَّى أَرَاهُ “Ada cahaya, bagaimana aku bisa melihat-Nya?”
Cahaya tersebut adalah hijab (penghalang) Allah. Jika hijab-Nya saja berupa cahaya, bagaimana mungkin beliau bisa melihat Allah? Ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ tidak melihat Allah di dunia.
Dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
Ibnu Qudamah kemudian mendatangkan beberapa dalil. Dalil dari Al-Qur’an: وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ ﴿٢٢﴾ إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ﴿٢٣﴾ “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabb-nyalah mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah: 22-23)
Ayat ini menjelaskan bahwa sebab wajah orang-orang beriman berseri-seri di surga adalah karena mereka melihat kepada Rabb mereka. Ini adalah kenikmatan terbesar di surga. Sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Muslim, setelah penduduk surga masuk surga, Allah akan bertanya, “Maukah kalian sesuatu yang Aku tambahkan untuk kalian?” Mereka menjawab, “Bukankah Engkau telah memutihkan wajah kami, memasukkan kami ke surga, dan menyelamatkan kami dari neraka?”
Nabi ﷺ bersabda, “فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ” (Maka Allah pun menyingkap hijab-Nya). Lalu beliau bersabda: فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنَ النَّظَرِ إِلَىٰ رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ “Maka tidaklah mereka diberi sesuatu yang lebih mereka cintai daripada melihat kepada Rabb mereka ‘Azza wa Jalla.”
Kemudian Nabi ﷺ membaca firman Allah: لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَىٰ وَزِيَادَةٌ (“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya”). Para Salaf menafsirkan الْحُسْنَىٰ sebagai surga dan زِيَادَةٌ (tambahan) sebagai melihat wajah Allah.
Dalil dari Hadis: إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ، لَا تُضَامُّونَ فِي رُؤْيَتِهِ “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini (saat purnama), kalian tidak akan berdesak-desakan dalam melihat-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Penyerupaan dalam hadis ini adalah penyerupaan cara melihat, bukan penyerupaan yang dilihat. Sebagaimana kita melihat bulan purnama dengan jelas dari tempat kita masing-masing tanpa harus berdesakan, demikian pula kelak orang-orang beriman akan melihat Allah dari tingkatan surga mereka masing-masing dengan jelas tanpa berdesakan. Bukan berarti Allah diserupakan dengan bulan. Hadis-hadis tentang rukyatullah ini mencapai derajat mutawatir.
Buah Keimanan terhadap Rukyatullah
Keimanan bahwa kita akan melihat Allah di akhirat akan membuahkan banyak kebaikan, di antaranya:
- Menambah Kerinduan untuk bertemu dengan Allah.
- Menumbuhkan Kesabaran dalam menghadapi segala musibah di dunia, karena meyakini ada balasan yang jauh lebih besar.
- Menjaga Istiqamah di atas ketaatan dan menjauhi maksiat.
- Menambahkan Rasa Cinta kepada Allah yang akan memuliakan hamba-Nya dengan nikmat ini.
- Selamat dari Penyimpangan akidah, seperti paham yang mengingkari rukyatullah.
Sesi Tanya Jawab
1. Bagaimana cahaya orang-orang beriman di hari kiamat? Apakah sama? Cahaya yang Allah berikan kepada orang beriman di hari kiamat akan sesuai dengan kadar keimanan dan amalan mereka di dunia. Semakin sempurna iman dan semakin banyak amal saleh, maka akan semakin besar cahayanya. Dosa dan maksiat akan mengurangi kadar cahaya tersebut. Oleh karena itu, kita harus berusaha meningkatkan kualitas dan kuantitas amalan serta bertaubat dari segala dosa.
2. Apakah saat di Padang Mahsyar hijab Allah berupa cahaya sudah ada? Di Padang Mahsyar, matahari masih ada dan didekatkan. Setelah hisab, barulah kegelapan total menyelimuti, dan saat itu tidak ada cahaya kecuali cahaya yang Allah berikan kepada orang-orang beriman sesuai amalan mereka. Masing-masing orang berjalan dengan cahayanya sendiri.
3. Suami tidak shalat karena malas, apakah pernikahannya masih sah? Pendapat yang lebih kuat (rajih), jika ia masih mengakui kewajiban shalat dan hanya kadang-kadang meninggalkannya karena malas (misalnya masih shalat Jumat), maka status pernikahannya masih sah. Namun, jika ia sama sekali tidak pernah shalat, banyak ulama berpendapat ia telah keluar dari Islam meskipun masih mengakuinya sebagai kewajiban. Sebagai istri, kewajibannya adalah terus menasihati dengan sabar, penuh hikmah, dan disertai doa agar Allah memberinya hidayah.
4. Apa kiat berdakwah tauhid di daerah yang penduduknya banyak melakukan kesyirikan dan bid’ah? Kiat utamanya adalah ilmu dan hikmah.
- Mulai dari tauhid, yaitu menjelaskan makna kalimat لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ (tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah).
- Gunakan pendekatan personal, tidak harus selalu di mimbar umum. Ajak bicara satu per satu, tanyakan pemahaman mereka tentang kalimat tauhid, lalu luruskan dengan lembut jika ada kekeliruan.
- Fokus pada fondasi. Jika pemahaman mereka tentang makna “tidak ada pencipta selain Allah” (tauhid rububiyah) sudah benar, arahkan ke pemahaman bahwa hanya Allah yang berhak disembah (tauhid uluhiyah).
- Bersabar dan bertahap, sebagaimana dakwah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada awalnya.
Demikian yang bisa kita sampaikan. Semoga bermanfaat dan sampai bertemu kembali insyaallah setelah bulan Ramadhan. صَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ