Kajian Kitab Lum’atul I’tiqad #12

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ.
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Alhamdulillah, segala puji hanyalah untuk Allah, Rabbul ‘alamin. Dialah yang memiliki nama-nama yang husna dan sifat-sifat yang ‘ulya. Kita memuji-Nya karena Dialah yang telah memberikan seluruh nikmat dan karunia. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita termasuk hamba-hamba yang pandai memuji dan bersyukur kepada-Nya.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah Subhanahu wa Ta’ala limpahkan kepada orang yang telah diutus sebagai nabi yang terakhir dan rahmat bagi semesta alam, nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, keluarga beliau, para sahabat beliau, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai akhir zaman.
Para hadirin dan juga hadirat yang dimuliakan oleh Allah, insyaallah kita masih membahas Kitab Lum’atul I’tiqad yang ditulis oleh Ibnu Qudamah al-Maqdisi. Setelah sebelumnya beliau menyebutkan tentang akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah ketinggian Allah dan keyakinan bahwa Allah ber-istiwa’ di atas ‘Arsy, maka beliau melanjutkan dengan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah sifat Al-Kalam (Berbicara).
Keyakinan Ahlus Sunnah tentang Sifat Kalam Allah
Di antara sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang harus kita yakini adalah bahwasanya Allah مُتَكَلِّمٌ (berbicara). Tentunya, sesuai dengan kaidah yang sudah sering kita ulang, sifat ini sesuai dengan keagungan Allah, tidak sama dengan sifat yang dimiliki oleh makhluk.
Beliau mengatakan: بِكَلَامٍ قَدِيمٍ “Dengan ucapan yang qadim (lama/azali).”
Maksudnya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala sejak dahulu telah memiliki sifat kalam. Dari sisi jenisnya, sifat ini adalah qadim. Para ulama menjelaskan bahwa sifat kalam ini adalah قَدِيمُ النَّوْعِ، حَادِثُ الْآحَادِ (jenisnya qadim/azali, sedangkan setiap individu/kejadiannya adalah hadits/baru).
Artinya:
- Jenisnya Qadim: Allah senantiasa memiliki kemampuan untuk berbicara sejak azali, sebagaimana Dia senantiasa memiliki sifat mendengar, melihat, dan mengetahui.
- Individunya Baru: Allah berbicara kapan pun Dia kehendaki. Ucapan-Nya kepada Nabi Musa, kepada para malaikat, dan firman-Nya “Kun” (Jadilah) adalah kejadian-kejadian baru yang terjadi sesuai dengan kehendak-Nya.
Allah memperdengarkan ucapan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara makhluk-Nya. Ini adalah sebuah kemuliaan (takrim). Bahkan tidak semua rasul pernah mendengar langsung kalamullah. Nabi Musa ‘alaihissalam adalah salah satu yang mendapat kemuliaan ini, di mana beliau mendengar kalamullah secara langsung مِنْ غَيْرِ وَاسِطَةٍ (tanpa perantara). Malaikat Jibril ‘alaihissalam juga mendengar firman Allah, kemudian turun menyampaikannya kepada para nabi.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga termasuk كَلِيمُ اللهِ (orang yang diajak bicara oleh Allah) secara langsung ketika peristiwa Mi’raj, saat diwajibkannya shalat lima waktu.
Di akhirat kelak, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan berbicara kepada orang-orang yang beriman, dan mereka pun akan berbicara kepada-Nya.
Dalil-Dalil Penetapan Sifat Kalam
Penulis membawakan beberapa dalil dari Al-Qur’an:
- Firman Allah Ta’ala: وَكَلَّمَ اللهُ مُوسَىٰ تَكْلِيمًا “Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan sebenar-benar pembicaraan.” (QS. An-Nisa: 164)Lafaz تَكْلِيمًا adalah maf’ul mutlaq yang berfungsi untuk penegasan, menunjukkan bahwa Allah benar-benar berbicara kepada Musa, bukan sekadar majas (kiasan).
- Firman Allah Ta’ala: وَلَمَّا جَاءَ مُوسَىٰ لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Rabb-nya telah berfirman (langsung) kepadanya.” (QS. Al-A’raf: 143)Ayat ini membantah kelompok sesat yang mencoba mengubah harakat ayat pertama menjadi “…wakallamallaha Musa…” (Musa berbicara kepada Allah) untuk menafikan sifat kalam dari Allah. Ayat kedua ini tidak bisa diubah dan dengan jelas menyatakan bahwa Rabb-nya yang berbicara kepadanya.
- Firman Allah Ta’ala kepada Nabi Musa: يَا مُوسَىٰ إِنِّي اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِسَالَاتِي وَبِكَلَامِي “Wahai Musa, sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan dengan kalam-Ku (pembicaraan-Ku langsung denganmu).” (QS. Al-A’raf: 144)Ini menunjukkan bahwa berbicara langsung dengan Allah adalah sebuah keistimewaan.
- Firman Allah Ta’ala tentang cara Allah berbicara kepada manusia: وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا “Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat)…” (QS. Asy-Syura: 51)Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memiliki sifat kalam.
- Firman Allah Ta’ala saat memanggil Nabi Musa dari sebatang pohon: إِنَّنِي أَنَا اللهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Thaha: 14)Penulis menegaskan bahwa ucapan seperti ini وَيَسْتَحِيلُ أَنْ يَقُولَ هَذَا أَحَدٌ غَيْرُ اللهِ (mustahil diucapkan oleh selain Allah).
Bantahan terhadap Paham Menyimpang tentang Kalamullah
Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah berada di tengah-tengah antara dua paham menyimpang:
- Jahmiyyah dan Mu’tazilah: Mereka meyakini bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Menurut mereka, jika Allah berbicara, maka Dia sama dengan makhluk. Sehingga, mereka berpendapat bahwa Allah menciptakan pembicaraan di luar Dzat-Nya. Ahlus Sunnah membantah ini, karena sifat Allah tidak terpisah dari Dzat-Nya, sama seperti sifat mendengar dan melihat. Mengatakan Al-Qur’an (kalamullah) adalah makhluk merupakan kekufuran, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ahmad.
- Kullabiyyah dan Asy’ariyyah: Mereka meyakini bahwa kalamullah adalah الكَلَامُ النَّفْسِيُّ (Kalam Nafsi), yaitu ucapan yang ada di dalam Dzat Allah tanpa suara dan tanpa huruf. Menurut mereka, Al-Qur’an yang kita baca di dalam mushaf bukanlah kalamullah yang hakiki, melainkan عِبَارَةٌ عَنْ كَلَامِ اللهِ (sebuah ungkapan atau ekspresi dari kalamullah).
Ahlus Sunnah membantah paham ini karena:
- Dalil-dalil menunjukkan bahwa kalamullah didengar. Firman Allah نُودِيَ يَا مُوسَىٰ (Musa dipanggil) menunjukkan adanya suara, karena panggilan (nida’) dalam bahasa Arab adalah dengan suara.
- Al-Qur’an yang kita baca terdiri dari huruf-huruf.
- Secara bahasa, kalam adalah ucapan yang bersuara dan berhuruf. Kalam Nafsi (ucapan dalam hati) tidak disebut kalam secara mutlak.
- Paham ini secara tidak langsung berujung pada kesimpulan yang sama dengan Mu’tazilah, yaitu Al-Qur’an yang ada di mushaf adalah makhluk, karena ia hanyalah “ungkapan” dari kalamullah, bukan kalamullah itu sendiri.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk, yang terdiri dari huruf dan suara.
Dalil Tambahan dari As-Sunnah
Penulis juga membawakan riwayat dari para sahabat:
- Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu: “Apabila Allah berbicara dengan wahyu, maka penduduk langit mendengar suara-Nya.” Ini menunjukkan kalamullah memiliki suara.
- Dari Abdullah bin Unais radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda tentang Hari Kiamat: يَحْشُرُ اللهُ الْخَلَائِقَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عُرَاةً حُفَاةً غُرْلًا بُهْمًا، فَيُنَادِيهِمْ بِصَوْتٍ يَسْمَعُهُ مَنْ بَعُدَ كَمَا يَسْمَعُهُ مَنْ قَرُبَ: أَنَا الْمَلِكُ، أَنَا الدَّيَّانُ “Allah mengumpulkan seluruh makhluk pada Hari Kiamat dalam keadaan telanjang, tidak beralas kaki, tidak berkhitan, dan diam. Kemudian Allah memanggil mereka dengan suara yang didengar oleh yang jauh sebagaimana didengar oleh yang dekat: ‘Akulah Sang Raja, Akulah Sang Pemberi Balasan’.”Hadis ini, yang diperjuangkan oleh sahabat Jabir bin Abdillah dengan melakukan perjalanan sebulan penuh dari Madinah ke Syam hanya untuk mendengarnya, dengan jelas menunjukkan bahwa kalamullah adalah dengan suara.
Kesimpulan
Ijma’ (kesepakatan) para Salaf, mulai dari sahabat, tabiin, dan para imam setelahnya, adalah meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki sifat Kalam. Sebagaimana dinukil oleh Abul Hasan al-Asy’ari, Ahlus Sunnah bersepakat bahwa Allah senantiasa bersifat hidup dan senantiasa bersifat berbicara.
Keyakinan kita adalah: Allah berbicara sesuai dengan keagungan-Nya, dengan suara dan huruf, kapan pun Dia kehendaki, dan kalam-Nya tidak sama dengan ucapan makhluk. Dengan memegang prinsip ini, kita terhindar dari berbagai penyimpangan dan kerancuan akal.
Sesi Tanya Jawab
Pertanyaan: Bagaimana Allah menghisab seluruh makhluk yang begitu banyak pada saat yang bersamaan?
Jawaban: Sebagaimana yang Allah sebutkan di dalam Al-Qur’an, Allah adalah أَسْرَعُ الْحَاسِبِينَ (Pemberi perhitungan yang paling cepat). Dalil menunjukkan adanya pembicaraan khusus antara Allah dengan setiap makhluk-Nya. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Allah akan berbicara kepada masing-masing dari kita tanpa ada penerjemah di antara kita dengan-Nya. Allah akan menampakkan dosa-dosa seorang hamba, lalu setelah hamba itu mengira akan binasa, Allah berfirman, “Aku telah menutupi dosa-dosamu ini di dunia, maka pada hari ini Aku mengampuninya untukmu.” Ini menunjukkan bahwa setiap individu akan dihisab oleh Allah. Hakikat dan caranya tidak ada yang mengetahui kecuali Allah, namun kita wajib mengimani bahwa Allah Maha Mampu dan hisab-Nya sangat cepat.
Demikian yang dapat kita sampaikan. صَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ