Dr. Abdullah Roy, M.AKajian KitabKitab Lum'atul I'tiqad

Kajian Kitab Lum’atul I’tiqad #5

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا. أَمَّا بَعْدُ.

Alhamdulillah, segala puji tentunya hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tidak ada sekutu bagi-Nya. Kita bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah. Semoga selawat dan salam senantiasa Allah Subhanahu wa Ta’ala limpahkan kepada beliau, keluarga beliau, para sahabat beliau, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai akhir zaman.

Para hadirin dan juga hadirat, di awal pertemuan yang kelima dari pembahasan kitab لُمْعَةُ الْاِعْتِقَادِ الْهَادِي إِلَى سَبِيلِ الرَّشَادِ yang ditulis oleh Al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi رَحِمَهُ اللهُ, saya ingatkan diri sendiri dan juga para ikhwah dan juga akhwat tentang keutamaan menuntut ilmu secara umum dan bahwasanya mendalami ilmu, mencari ilmu agama ini adalah sebuah kewajiban, sebagaimana sabda Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ (“Mencari ilmu itu adalah kewajiban bagi setiap muslim”). Apalagi ilmu tentang perkara yang merupakan inti dan pokok di dalam agama kita, yaitu perkara-perkara yang berkaitan dengan akidah, yang di dalamnya dipelajari tentang keimanan kepada Allah, keimanan kepada malaikat, kepada kitab. Tentunya mempelajari ilmu yang berkaitan dengan akidah ini lebih didahulukan daripada mempelajari ilmu yang berkaitan dengan selain akidah.

Alhamdulillah, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufik dan juga kemudahan bagi kita semua. Di saat banyak saudara kita yang mereka lalai dengan pentingnya menuntut ilmu, mempelajari agama Allah, memahami tentang masalah akidah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak untuk memudahkan kita semuanya mendatangi masjid ini, mempelajari salah satu di antara kitab yang ditulis oleh ulama-ulama Ahlus Sunnah yang berkaitan dengan masalah akidah. Sehingga tentunya kita berharap kesungguhan, konsentrasi, mencatat apa yang kira-kira perlu dicatat, dan apa yang kita tulis tentunya perlu dimurajaah, perlu diulang. Kalau memang di sana ada sesuatu yang belum kita pahami, maka berusaha untuk menanyakan karena ini berkaitan dengan akidah, berkaitan dengan agama kita.

Dalam perkara dunia saja, misalnya berkaitan dengan obat, kalau sampai kita tidak paham apa yang diucapkan oleh dokter, tadi bilang sehari dua kali atau sekali, maka kita akan bertanya kembali, “Dok, maaf, tadi bilang sekali atau dua kali?” karena kita tahu risikonya kalau sampai overdosis, maka ini bisa menjadikan seseorang akan lebih parah keadaannya. Nah, kalau ini dalam perkara dunia saja kita bertanya karena kita tahu akan menjadikan rusak badan kita, lalu bagaimana dengan masalah agama yang itu adalah modal kita untuk bahagia di dunia maupun di akhirat? Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan: فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (“Maka hendaklah kalian bertanya kepada orang yang berilmu apabila kalian tidak mengetahui”).

Terakhir kemarin kita telah mempelajari bersama apa yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah al-Maqdisi, bahwasanya setiap apa yang datang di dalam Al-Qur’an atau sahih dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berupa sifat-sifat Ar-Rahman, wajib untuk diimani dan diterima, dan tidak boleh ditolak, ditakwil, atau diserupakan sifat tersebut dengan sifat makhluk. Sudah berlalu penjelasan tentang ucapan-ucapan beliau ini.

Maka setelahnya, beliau mengatakan: وَمَا أُشْكِلَ مِنْ ذَلِكَ (“Dan apa yang bermasalah di antara hal tersebut…”). Ucapan yang sebelumnya dengan mudah kita memahami apa yang beliau maksud karena itulah yang menjadi akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Nah, setelahnya di sini, dan ini ada pembicaraan di antara para ulama, ucapan beliau, “Apa yang bermasalah di antara perkara-perkara tersebut,” maksudnya adalah di antara sifat-sifat Allah yang datang di dalam Al-Qur’an maupun hadis Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Maksud bermasalah di sini, wallahu a’lam, seakan-akan di situ ada penyerupaan Allah dengan makhluk atau seakan-akan Allah Subhanahu wa Ta’ala serupa dengan makhluk-Nya. Misalnya, hadis yang berkaitan yang menunjukkan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki sifat يَضْحَكُ, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala tertawa. Hadisnya sahih, dan menurut sebagian orang mungkin ini adalah suatu yang isykal, sesuatu yang bermasalah. Bagaimana kita menetapkan sifat tertawa bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala? Maka dalam keadaan demikian, kata beliau: وَجَبَ إِثْبَاتُهُ لَفْظًا وَتَرْكُ التَّعَرُّضِ لِمَعْنَاهُ (“Wajib untuk menetapkan lafaznya dan meninggalkan mengotak-atik maknanya”). Dalam keadaan demikian, wajib untuk menetapkan lafaz tersebut. Ini yang pertama yang beliau sebutkan. Bagaimana sikap seorang muslim? Pertama adalah wajib menetapkan lafaz tersebut. Sampai di sini, inilah yang sesuai dengan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Terimalah sebagaimana datangnya, lewatkan sebagaimana datangnya, jangan sekali-kali menolak lafaznya atau mendustakan lafaznya. Padahal hadisnya sahih, kemudian karena dianggap ini tidak masuk ke dalam akal mereka, kemudian mengatakan bahwasanya hadisnya مَوْضُوعٌ atau hadisnya ضَعِيفٌ, maka ini termasuk mengingkari lafaz.

Kemudian yang kedua, “dan meninggalkan mengotak-atik maknanya”. Di sinilah para ulama mereka berselisih pendapat tentang makna dari ucapan Ibnu Qudamah al-Maqdisi di sini. Ada yang memahami ucapan beliau di sini maksudnya adalah sebagaimana mazhab مُفَوِّضَة, mazhab yang sesat, yang mereka meyakini bahwasanya makna dari sifat-sifat tersebut hanyalah Allah Azza wa Jalla yang mengetahuinya. Istiwa’, ya kita katakan Allah beristiwa, maknanya apa? Kita tidak tahu. Yang mengetahui makna istiwa’ adalah Allah. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengabarkan Allah turun, ya kita tetapkan Allah turun, maknanya apa? Kita tidak tahu, yang mengetahui maknanya hanyalah Allah saja. Ini adalah mazhab siapa? Al-Mufawwidhah, orang-orang yang menyerahkan makna dari sifat-sifat tersebut kepada Allah, meyakini bahwasanya kita sebagai makhluk, sebagai muslim, tidak ada di antara kita yang mengetahui tentang maknanya.

Sehingga sebagian berkeyakinan bahwa Ibnu Qudamah al-Maqdisi di dalam hal ini beliau tergelincir, sebagaimana ulama, dan mereka adalah manusia, tidak semua apa yang mereka lakukan benar karena الْمَعْصُومُ مَنْ عَصَمَهُ اللهُ (orang yang maksum itu orang yang Allah jaga). Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ beliaulah yang maksum. Adapun para ulama, bahkan setingkat para sahabat رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمْ, tidak ada di antara mereka yang terlepas dari kesalahan. Ada di antara ulama yang mengatakan kalimat ini adalah kalimat yang tidak benar dan ini adalah mazhab mufawwidhah, sehingga ucapan Ibnu Qudamah di sini harus ditolak. Bukan berarti kemudian ilmu beliau semuanya ditolak, tapi yang dimaksud adalah kesalahan beliau yang kita ketahui itu adalah salah, maka inilah yang harus ditolak. Al-Imam Malik, beliau mengatakan, كُلٌّ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُرَدُّ إِلَّا صَاحِبَ هَذَا الْقَبْرِ (“Masing-masing bisa diambil dan ditolak ucapannya, kecuali yang berada di kuburan ini”), dan beliau berada di atas kursi di Masjid Nabawi, mengajar murid-muridnya, sambil beliau menunjuk kepada kuburan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Artinya seperti beliau, Imam Syafi’i, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Ibnu Mubarak, bisa diambil dan juga ditolak ucapannya, bisa salah bisa benar. Ukurannya hanya dalil dari Al-Qur’an, dari hadis Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dengan pemahaman para Salaf. Imam Malik di sebagian ucapannya tidak sesuai dengan dalil, maka harus diambil hadis dan ditolak ucapannya Imam Malik. Al-Imam Syafi’i juga demikian, imam-imam yang lain juga demikian. Sehingga ini bukan sesuatu yang aneh, “Lho, kok Imam Ibnu Qudamah kok salah?” Beliau adalah bukan nabi, beliau seorang ulama, bisa benar bisa salah. Kitab yang terlepas dari kesalahan hanya Kitabullah, Al-Qur’an, لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ (“Tidak dimasuki oleh kebatilan dari arah depannya maupun dari arah belakangnya”).

Maka seorang Ahlus Sunnah menghadapi yang seperti ini biasa. Bukan kemudian menganggap bahwasanya Ibnu Qudamah jahil, sesat, kemudian dibakar buku-bukunya sebagaimana dilakukan oleh sebagian yang mereka tidak mengerti, membakar Fathul Bari yang ditulis oleh Ibnu Hajar, membakar Al-Minhaj yang ditulis oleh Al-Imam An-Nawawi, yang dikenal dengan Al-Haddadiyun. Kita juga bukan orang yang berlebihan. Kalau tadi meninggalkan sama sekali, kemudian ada orang yang di sana mengambil semuanya, menganggap bahwasanya yang berasal dari mereka adalah hak yang murni, kebenaran. Ini juga berlebihan, mereka adalah manusia yang bisa salah bisa benar. Mereka, meskipun melakukan kesalahan tersebut, tetap statusnya sebagai seorang ulama. Karena ulama, sebagaimana disebutkan oleh Adz-Dzahabi رَحِمَهُ اللهُ, seseorang dinamakan ulama itu kalau lebih banyak benarnya daripada salahnya. الْجَاهِلُ مَنْ خَطَؤُهُ أَكْثَرُ مِنْ صَوَابِهِ (“Orang yang bodoh itu adalah orang yang salahnya jauh lebih banyak daripada benarnya”). Bagaimana seorang ulama bisa benarnya lebih banyak daripada salahnya? Ketika kaidah dia di dalam beragama itu sahih. Kalau kaidahnya benar, kembali kepada Al-Qur’an, kembali kepada hadis, mengagungkan para sahabat رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمْ, menjadikan pemahaman mereka adalah sebagai ukuran, maka insya Allah kebenaran yang ada pada dirinya lebih banyak dan jauh lebih banyak daripada kesalahan yang ada pada dirinya. Sehingga sampai sekarang ulama Ahlus Sunnah masih mengambil ilmu dari semisal Al-Hafizh Ibnu Hajar, An-Nawawi, Al-Baihaqi, karena mereka adalah ulama kita, ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Kalau kita melihat buku mereka, menelaah tulisan-tulisan mereka, kita dapatkan mereka adalah orang yang mengagungkan Al-Qur’an, mengagungkan hadis-hadis Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Kalau ada hadis yang maudhu’, mereka sampaikan. Ada hadis yang dhaif, mereka tinggalkan atau disampaikan dan dijelaskan itu adalah dhaif. Mereka datangkan أَقْوَالُ الصَّحَابَةِ (ucapan para sahabat), ucapan para tabi’in, sebagaimana kita Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengagungkan ucapan para Salaf. Ini akan kita dapatkan jelas sekali di dalam kitab-kitab Al-Hafizh Ibnu Hajar, Al-Imam An-Nawawi, Al-Baihaqi, dan yang lain. Maka status mereka adalah tetap sebagai para ulama.

Demikian pula Ibnu Qudamah di sini, seandainya maknanya adalah seperti yang disampaikan oleh sebagian ulama, ini adalah ketergelinciran Ibnu Qudamah رَحِمَهُ اللهُ.

Ada sebagian ulama Ahlus Sunnah yang mengatakan ini bukan ketergelinciran, karena maksud beliau “dan tidak boleh mengotak-atik maknanya” maksudnya adalah tidak boleh mentakwil dengan takwil yang tidak sahih, karena ini bagian dari mengotak-atik makna. Orang yang mengatakan misalnya istiwa’ dengan اسْتَوْلَى (menguasai), maka ini termasuk mengotak-atik makna, mendatangkan makna yang tidak ada dasarnya. Dari mana istiwa’ di dalam bahasa Arab bermakna اسْتَوْلَى? Orang Arab memahami istiwa’ adalah عَلَا وَارْتَفَعَ وَصَعَدَ وَاسْتَقَرَّ (tinggi, naik, dan menetap). Empat makna. Tidak ada di antara mereka yang mengartikan istiwa’ dengan اسْتَوْلَى. Ketika datang muta’akhirin kemudian mengatakan maknanya adalah اسْتَوْلَى, berarti dia sudah mengotak-atik maknanya. Berarti kalau memang maknanya demikian, Ibnu Qudamah di sini tidak tergelincir, bahkan beliau tetap berada di atas kebenaran sesuai dengan manhaj para Salaf di dalam masalah ini. Ulama-ulama di zaman sekarang yang mereka menjelaskan tentang Lum’atul I’tiqad ada yang mengambil pendapat yang pertama dan ada yang mengambil pendapat yang kedua. Ini bukan sesuatu permasalahan yang besar, karena seandainya maknanya adalah makna yang pertama, tadi sudah kita sebutkan, ini adalah ketergelinciran dan kita harus kembali kepada kebenaran dan tetap kita menghormati Ibnu Qudamah sebagai seorang ulama di antara ulama-ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

وَنَرُدُّ عِلْمَهُ إِلَى قَائِلِهِ (“Dan kita mengembalikan ilmunya kepada yang mengucapkannya”). Siapa yang mengucapkan? Kalau ayat, ya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dialah yang mengabarkan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala beristiwa, bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah yang memiliki tangan. Kalau hadis, “Allah Subhanahu wa Ta’ala turun,” berarti yang mengucapkan adalah Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Maka sikap yang ketiga yang disebutkan adalah kita kembalikan ilmu makna tentang sifat-sifat tersebut kepada yang mengucapkan. Ucapan ini menguatkan pendapat yang mana? Pendapat yang pertama tadi atau yang kedua? Menguatkan pendapat yang pertama. Menyerahkan ilmu tentang sifat-sifat tadi atau makna sifat-sifat tadi kepada yang mengucapkan. Istiwa’, diserahkan ilmunya kepada Allah. Ini adalah mazhab mufawwidhah. Sehingga ada yang, sekali lagi, ada yang mengatakan bahwasanya Ibnu Qudamah memang beliau bermazhab mufawwidhah di dalam masalah ini.

وَنَعْزُو عُهْدَتَهُ عَلَى نَاقِلِهِ (“Dan kita menjadikan tanggung jawabnya kepada yang menukilnya”). Maksudnya adalah, kita jalankan saja. Maknanya, Allah beristiwa, Allah turun, maknanya Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah yang lebih tahu, kita tidak mengetahui maknanya, dan kita serahkan tanggung jawabnya kepada yang menukil. Ini yang meriwayatkan Bukhari, ini yang meriwayatkan adalah Abu Daud. Ya sudah, itu tanggung jawab mereka karena merekalah yang menukil hadis-hadis tersebut misalnya.

اتِّبَاعًا لِطَرِيقَةِ الرَّاسِخِينَ فِي الْعِلْمِ (“Karena mengikuti jalannya orang-orang yang dalam di dalam masalah ilmu”). Jadi menganggap bahwasanya cara seperti ini, mazhab seperti ini, akidah seperti ini adalah mengikuti orang-orang yang dalam ilmunya. Nah, kalau kita merasa kita masih cetek, masih dangkal ilmunya, ya kita mengikuti jalannya orang-orang yang dalam ilmunya. Yaitu orang-orang yang Allah puji mereka di dalam kitab yang jelas yaitu Al-Qur’anul Karim dengan firman-Nya: وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا (“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: ‘Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya itu dari sisi Rabb kami’”). Beliau berdalil dengan ayat ini yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan di dalam Ali Imran, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji Ar-Rasikhuna fil ‘Ilm (orang-orang yang dalam keilmuannya). Mereka mengatakan, “Kami beriman dengannya, semuanya adalah dari sisi Rabb kami.” Dalil ini termasuk dalil yang dibawakan oleh Al-Mufawwidhah dalam menguatkan mazhabnya. Mereka memahami bahwasanya lihat, Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji orang-orang yang dalam ilmunya. Siapa orang yang dalam ilmunya? Orang yang menyerahkan makna sifat-sifat Allah kepada Allah, dan dia mengatakan, “آمَنَّا بِهِ (kami beriman dengannya),” yaitu kami tetapkan itu sebagai salah satu di antara sifat Allah, tidak kami ingkari. “كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا (semuanya adalah berasal dari Allah).” Jadi menganggap bahwa ini adalah ucapan orang-orang yang mereka mufawwidhah.

Memang ada sebagian yang mereka belum bisa membedakan mazhab Salaf di dalam masalah sifat Allah dengan mazhab mufawwidhah. Mari kita coba bedakan antara mazhab Salaf dengan mazhab mufawwidhah. Orang-orang mufawwidhah, mereka beriman dengan lafaz dan mereka meyakini bahwasanya maknanya tidak mengetahuinya kecuali Allah, sehingga mereka pun menyerahkan maknanya kepada Allah. Yang mereka serahkan adalah makna dari lafaz sifat-sifat tersebut. Sehingga sama sekali mereka, baik, makna istiwa’ apa? Mereka tidak berkomentar sama sekali, mereka tidak mengatakan maknanya adalah ‘ala’ atau irtafa’a’ atau اسْتَوْلَى. اللهُ أَعْلَمُ, Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah yang tahu tentang makna sifat-sifat-Nya. Mungkin sebagian menganggap bagus juga mazhabnya, seakan-akan dia adalah tunduk dan menyerahkan ilmunya hanya kepada Allah saja. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah yang lebih tahu? Sehingga sebagian menganggap inilah mazhab para sahabat, dianggapnya para sahabat mereka adalah mufawwidhah, menyerahkan ilmu tentang makna dari sifat-sifat tersebut hanya kepada Allah saja, sama sekali tidak berkomentar tentang makna dari sifat-sifat tersebut.

Padahal mazhab Salaf bukan demikian. Mazhab As-Salafus Shalih di dalam masalah sifat, mereka menetapkan lafaz dan mereka meyakini bahwasanya makna dari sifat-sifat tersebut diketahui. Artinya, kita sebagai makhluk, sebagai seorang muslim, tentunya dengan berbagai tingkatannya, kita mengetahui makna dari sifat-sifat tersebut. Kenapa demikian?

Pertama, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan Al-Qur’anul Karim sebagai petunjuk bagi manusia. Bagaimana mungkin Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menurunkan Al-Qur’an dan hadis Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ juga sebagai petunjuk… bahkan Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengatakan, “Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara, selama kalian berpegang dengan keduanya kalian tidak akan tersesat: Al-Qur’an dan juga hadis.” إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ. Bagaimana Al-Qur’an yang jelas-jelas diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai petunjuk kemudian ternyata banyak di antara lafaz-lafaznya yang kita tidak mengetahui maknanya? Sekarang kalau kita buka mushaf, setiap shafhah (halaman) dari Al-Qur’an pasti di situ disebutkan nama atau sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Berarti banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang kita tidak mengetahui maknanya. Ar-Rahman maknanya wallahu a’lam, Ar-Rahim maknanya wallahu a’lam, Al-‘Alim apa maknanya? Allahu a’lam. Al-Quddus? Karena itu adalah nama dan setiap nama mengandung sifat. Tidak mungkin Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan sebuah kitab yang disifati dengan hidayah ternyata tidak dipahami oleh manusia.

Kedua, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyeru di dalam Al-Qur’an: أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ (“Apakah mereka tidak mentadaburi Al-Qur’an?”). كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ (“Kitab yang Kami turunkan kepadamu berbarokah supaya mereka mentadaburi ayat-ayatnya”). Bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh manusia untuk memahami sesuatu yang tidak mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala? Ini bukan sifat Yang Maha Bijaksana, padahal nama Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Al-Hakim. Kalau sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan sebuah kitab yang tidak bisa dipahami oleh manusia, maka tentunya ini bertentangan dengan nama Allah Subhanahu wa Ta’ala Al-Hakim, Yang Maha Bijaksana. Apakah Allah tidak mampu menurunkan sebuah kitab yang bisa dipahami oleh manusia?

Ketiga, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan di dalam Al-Qur’an: بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ (“Allah turunkan Al-Qur’an itu dengan bahasa Arab yang jelas, yang terang-benderang”). Dipahami kalimat-kalimat, kata-kata yang ada di dalamnya oleh orang yang memahami bahasa Arab. Sehingga ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ, orang-orang Arab memahami makna istiwa’. Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ (“Kenapa engkau tidak sujud kepada sesuatu yang Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku?”), mereka memahami bahwasanya makna tangan adalah sesuatu yang maklum. Bukan seperti kita misalnya membaca tulisan Cina atau tulisan Jepang, sama sekali kita tidak mengetahui satu huruf pun, satu kata pun dari apa yang kita baca. Sebagian yang mereka bermazhab dengan mazhab yang sesat tadi menganggap bahwasanya para sahabat dahulu ketika mereka membaca Al-Qur’an seperti itu, seperti ummiyyin yang sama sekali mereka tidak mengenal huruf-huruf tersebut. Sehingga mazhab ini adalah mazhab yang tentunya tidak benar.

Al-Imam Malik رَحِمَهُ اللهُ ketika beliau didatangi oleh seorang laki-laki yang dia membacakan kepada Al-Imam Malik firman Allah Subhanahu wa Ta’ala الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ kemudian bertanya, “كَيْفَ اسْتَوَى?” (Bagaimana Allah beristiwa, ya Imam?). Pertanyaan yang belum pernah para sahabat رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمْ bertanya kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dengan pertanyaan tersebut. Maka beliau menundukkan kepalanya dalam keadaan bergetar karena ini adalah pertanyaan yang baru, bertanya tentang bagaimana Allah beristiwa. Bismillah. Kemudian beliau mengangkat kepalanya dan mengatakan: الِاسْتِوَاءُ مَعْلُومٌ، وَالْكَيْفُ مَجْهُولٌ، وَالْإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ. “Al-istiwa’u ma’lum“, maksudnya adalah maklum, diketahui maknanya di dalam bahasa Arab, sebagaimana kita mengetahui makna Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-‘Alim. Sesuatu yang maklum maknanya di dalam bahasa Arab. “Wal-kaifu majhul“, adapun kaifiahnya, seperti yang ditanyakan dalam pertanyaan ini, bagaimana Allah beristiwa, maka itu adalah sesuatu yang majhul, kita tidak tahu tentang bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala beristiwa. “Wal-imanu bihi wajib“, beriman bahwasanya Allah beristiwa adalah sebuah kewajiban. “Was-su’alu ‘anhu bid’ah“, dan bertanya tentang bagaimananya adalah sesuatu yang bidah, tidak pernah ditanyakan oleh para sahabat رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمْ.

Imam Malik, guru dari Al-Imam Syafi’i رَحِمَهُ اللهُ, menunjukkan bahwasanya, dan ini bukan hanya dalam istiwa saja tapi di dalam seluruh sifat-sifat Allah, demikianlah kaidahnya. Sifat-sifat tersebut semuanya adalah sesuatu yang maklum, diketahui di dalam bahasa Arab. Lalu apa perbedaan antara kita dengan mereka, Al-Mufawwidhah? Mazhab As-Salaf, yang mereka serahkan adalah kaifiahnya. Yang mereka serahkan kepada Allah adalah ilmu tentang kaifiahnya. Ilmu tentang “bagaimananya”, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberitahukan kepada kita tentang bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala beristiwa. Sehingga kalau kita ditanya, “Bagaimana Allah beristiwa?” Allahu a’lam. Tapi yang jelas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki kaifiah.

Bisa membedakan antara mazhab Salaf dengan Al-Mufawwidhah? Siapa yang bisa mengulangi secara singkat saja perbedaan antara mazhabus Salaf dengan Al-Mufawwidhah? Apa yang diserahkan kepada Allah ilmunya menurut mufawwidhah dan apa yang diserahkan kepada Allah ilmunya menurut mazhab As-Salaf?

Jawaban dari jamaah: Mufawwidhah menyerahkan maknanya kepada Allah, sedangkan As-Salaf menyerahkan kaifiahnya.

Ustadz: Ahsan. Persamaannya antara mufawwidhah dengan mazhabus Salaf?

Jawaban dari jamaah: Sama-sama menetapkan lafaznya.

Ustadz: Baik.

Jadi, itulah perbedaan antara Al-Mufawwidhah dengan mazhab As-Salaf. Beliau di sini berdalil dengan ayat yang biasa dijadikan dalil oleh Al-Mufawwidhah, dan ini semakin menambah yakin sebagian bahwasanya beliau di dalam masalah ini adalah bermazhab Al-Mufawwidhah. Apakah makna ayat ini menunjukkan mazhab mufawwidhah? Maka jawabannya tentunya tidak mungkin. Tidak mungkin Al-Qur’anul Karim menunjukkan tentang sebuah kesesatan.

Kita lihat makna ayat ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan di dalam Surah Ali Imran: هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ. “Dialah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menurunkan kepadamu Al-Qur’an, di antaranya adalah ayat-ayat yang muhkamat.” Muhkamat yaitu ayat-ayat yang kokoh, ayat-ayat yang jelas maknanya meskipun tanpa digabungkan dengan ayat-ayat yang lain. Ini namanya ayat-ayat yang kokoh, yang muhkamat. Dia bisa kita pahami secara langsung meskipun kita tidak kembali kepada ayat-ayat yang lain. هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ (“dan ayat-ayat tersebut adalah Ummul Kitab”). Umm artinya apa? Induk. Jadi ayat-ayat tersebut, ayat-ayat yang muhkamah tersebut adalah induk dari Al-Qur’an, artinya induk tempat kembali ayat-ayat yang lain. Sebagaimana seorang anak kembali kepada ibunya, dia mungkin lari ke sana ke sini tapi nanti akan kembali kepada ibunya. وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ (“dan sebagian yang lain adalah ayat-ayat yang mutasyabihat”). Berarti makna mutasyabihat adalah ayat yang ketika kita memahaminya harus kembali kepada ayat-ayat yang lain, yaitu ayat-ayat yang muhkamat.

Ternyata ada perbedaan sikap antara orang-orang yang beriman dengan orang-orang yang di dalam dirinya ada penyakit terhadap ayat-ayat yang mutasyabihat tersebut. Allah mengatakan: فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ. “Adapun orang-orang yang di dalam dirinya ada penyimpangan, memang sudah ada penyakit di dalam hatinya, memiliki akidah yang batil, tidak tulus dalam melaksanakan agama ini, masih mengikuti hawa nafsunya, belum benar-benar taslim, pasrah kepada Allah, maka bagaimana sikap mereka? Mereka mengikuti yang mutasyabih, yang samar dari ayat-ayat tersebut.” Jadi mereka ikuti ayat-ayat yang samar tadi, yang tidak bisa kita pahami kecuali kembali kepada ayat-ayat yang muhkamat, kemudian mereka tafsirkan sendiri-sendiri ayat-ayat yang mutasyabihat tadi.

Perlu diketahui bahwasanya ayat-ayat yang merupakan ayat-ayat sifat itu termasuk yang muhkamat, bukan termasuk yang mutasyabihat, karena tadi sudah disebutkan bahwasanya dia adalah maklum maknanya di dalam bahasa Arab. الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ termasuk ayat yang muhkamat, bisa dipahami maknanya meskipun kita tidak kembali kepada ayat-ayat yang lain. Jelas di dalam bahasa Arab. “لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ (Apa yang mencegahmu, wahai Iblis, untuk sujud kepada makhluk yang Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku?)” ini termasuk ayat yang muhkamat.

Mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat tadi ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ, ingin mencari fitnah, yaitu memfitnah manusia di dalam agamanya, menyimpangkan manusia dari agamanya, dengan tujuan untuk mencari takwilnya, yaitu hakikatnya, tapi bukan dengan cara yang benar, memaknai ayat-ayat tersebut dari dirinya sendiri, bukan dengan kembali kepada pemahaman yang benar, yaitu pemahaman para Salaf. Ini banyak dilakukan oleh ahlul bid’ah. Contoh misalnya Al-Khawarij yang mereka mengambil sebagian ayat yang seharusnya mereka kembalikan ayat tersebut kepada ayat-ayat yang muhkamat, sebagaimana mereka berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا (“Dan barang siapa yang bermaksiat kepada Allah dan juga Rasul-Nya, maka dia memiliki atau dia akan masuk ke dalam neraka jahanam dalam keadaan kekal selamanya di dalamnya”), sehingga mereka beranggapan bahwasanya pelaku dosa besar, orang yang melakukan kemaksiatan, keluar dari agama Islam. Tanpa kembali kepada firman Allah yang muhkam: إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ (“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan masih mengampuni dosa selainnya, yaitu yang di bawah syirik, bagi siapa yang dikehendaki”). Ini ayat yang muhkamah. Tapi mereka, yang namanya di dalam dirinya masih ada penyakit hawa nafsu, melihat sesuatu yang menurut mereka itu adalah sesuai dengan akidahnya, maka mereka akan mengambilnya, karena mereka sudah punya akidah terlebih dahulu baru mencari dalil di dalam Al-Qur’an. Ini adalah cara ahlul bid’ah.

وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ. “Dan tidak mengetahui tentang takwilnya kecuali Allah.” Perhatikan supaya kita memahami tentang ayat tadi dan bahwasanya ayat tadi tidak ada kaitannya dengan mazhab mufawwidhah. Orang-orang yang ahli membaca Al-Qur’an, mereka ada yang berhenti di dalam di tempat ini yaitu وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ, berhenti di situ. Dan ada di antara mereka yang melanjutkan, وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ. Ada dua qira’ah.

Kalau berhenti pada illallah, maka takwil yang dimaksud adalah hakikat dari sesuatu. Hakikat terjadinya hari kiamat, Allah saja yang tahu. هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا تَأْوِيلَهُ ۚ يَوْمَ يَأْتِي تَأْوِيلُهُ يَقُولُ الَّذِينَ نَسُوهُ مِنْ قَبْلُ…. “Tidaklah mereka menunggu kecuali takwilnya.” Orang-orang kafir tidaklah mereka menunggu kecuali hakikat dari kejadian-kejadian di hari kiamat. Sekarang mereka mengatakan itu adalah khayalan, itu adalah kedustaan, bohong, fiksi. Tidaklah mereka menunggu kecuali kejadian yang hakikatnya, yang sebenarnya. Ketika datang takwilnya, yaitu kejadian yang sebenarnya, dan itu yang mengetahui saat ini hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah yang mengetahui tentang takwilnya, apa yang benar-benar terjadi di hari tersebut, hakikatnya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala Dialah yang mengetahui hakikatnya. Ini kalau berhenti di dalam firman Allah illallah.

Tapi kalau dilanjutkan, وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ, “Tidaklah mengetahui tentang takwilnya kecuali Allah dan juga orang-orang yang berilmu,” maka yang dimaksud dengan takwil di sini adalah tafsir. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan para ulama sebagai waratsatul anbiya’, Allah menjadikan mereka sebagai pewaris para nabi. Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menjelaskan tentang ayat, didengar oleh para sahabat, didengar oleh para tabi’in, setelahnya tabi’ut tabi’in, dan seterusnya, disampaikan oleh para ulama kepada kita. Makanya At-Thabari menulis tafsir, Ibnu Katsir menulis tafsir, As-Sa’di menulis tafsir, mereka juga mengetahui tentang tafsir dari ayat-ayat tersebut karena memang dijelaskan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan, “Dan orang-orang yang berilmu, mereka mengatakan, ‘Kami beriman dengan semuanya, semuanya berasal dari Rabb kami’.” Ketika menghadapi ayat-ayat yang mutasyabihat, orang-orang yang beriman, apa yang mereka lakukan? Mereka beriman bahwasanya ayat ini tidak mungkin bertentangan dengan ayat-ayat yang muhkamat. Mereka tidak menolaknya, tetapi mereka yakin, meskipun mereka belum memahami maknanya sekarang, tapi mereka yakin bahwasanya ayat mutasyabihat yang ada di depannya tidak mungkin bertentangan dengan ayat-ayat yang muhkamat. Mereka beriman dengan yang mutasyabihat dan beriman dengan yang muhkamat. كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا, semuanya adalah berasal dari Rabb kami. Kalau yang muhkamat adalah Ummul Kitab, induknya Al-Qur’an, dan ayat-ayat yang lain kembali kepada muhkamat, maka kewajiban dia adalah menyerahkan, mengembalikan makna ayat-ayat yang mutasyabihat kepada ayat-ayat yang muhkamat.

Contoh misalnya, ada sebagian yang memahami firman Allah: وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَٰكِنْ لَا تَشْعُرُونَ (“Dan janganlah kalian mengatakan bahwasanya orang-orang yang meninggal di jalan Allah, mereka adalah mayit. Akan tetapi mereka adalah hidup, akan tetapi kalian tidak merasakan kehidupan mereka”). Dipahami oleh sebagian, berarti mereka hidup. Kalau mereka hidup, berarti mereka mendengar. Kalau mereka mendengar, boleh kita meminta doa dari mereka, sebagaimana kita datang kepada orang yang saleh di dunia mengatakan, “Ya Fulan, tolong doakan semoga saya cepat sembuh.” Sehingga dia pun datang kepada kuburan orang yang saleh, memohon, meminta didoakan, berdasarkan ayat ini. Padahal ayat yang mahkamah Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan: وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا (“Dan sembahlah Allah dan janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun”). Dan Allah mengatakan وَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ…. Dan Allah mengatakan وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ. Allah tidak mengatakan, “Berdoalah kalian kepada orang-orang yang saleh yang sudah meninggal dunia.” Allah mengatakan ادْعُونِي. Orang yang di dalam hatinya ada penyakit, mereka tinggalkan, seakan-akan mereka buta, tidak pernah membaca ayat-ayat yang muhkamah tersebut. Tapi orang yang beriman mengatakan, “Semuanya adalah berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita beriman dengan semuanya,” kemudian mereka mengembalikan pemahamannya kepada ayat-ayat yang muhkamat.

Jelas bahwasanya kabar orang-orang yang meninggal di jalan Allah mereka adalah hidup tidak mungkin bertentangan dengan larangan atau perintah untuk menyembah Allah saja dan larangan untuk menyekutukan Allah. Tidak mungkin bertentangan di antara dua ayat ini. Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwasanya orang-orang yang mati syahid mereka hidup, mereka tidak meninggal, maka itu adalah benar, karena seluruh yang meninggal dunia, meninggalkan dunia ini, ketika mereka masuk di alam kubur, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengutus dua orang malaikat, mengembalikan sementara nyawa dengan jasadnya sehingga dia pun bisa diajak berdialog, ditanya tentang siapa Rabb-mu, siapa nabi-mu, apa agama-mu. Di sana ada kehidupan alam barzakh. Dan dinamakan itu adalah sebagai kehidupan. Ada kehidupan di dalam janin di dalam perut ibu, ada kehidupan dunia, ada kehidupan alam barzakh, dan di sana ada kehidupan akhirat. Semuanya dinamakan dengan kehidupan, tapi kehidupan para syuhada lebih sempurna daripada kehidupan manusia-manusia yang lain. Sehingga Allah mengatakan بَلْ أَحْيَاءٌ, mereka adalah hidup di dalam alam kuburnya dengan kehidupan yang lebih sempurna daripada kehidupan manusia yang lain. Para nabi mereka juga hidup di dalam alam barzakh dengan kehidupan yang paling sempurna. الْأَنْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِي قُبُورِهِمْ يُصَلُّونَ (“Para nabi, mereka hidup di dalam kuburan mereka dalam keadaan mereka salat”). Salat mereka di alam kubur adalah kenikmatan, bukan merupakan pembebanan. وَلَٰكِنْ لَا تَشْعُرُونَ (“Akan tetapi kalian tidak merasakan kehidupan mereka”). Kehidupan ini adalah berbeda dengan kehidupan di dunia, dan tidak melazimkan ketika mereka hidup di sana kemudian mereka mendengar apa yang diucapkan oleh seseorang di alam dunia ini. Sebagaimana kita tahu, hidup belum tentu mendengar. Ada orang yang hidup dan dia tuli, dan kita katakan dia adalah orang yang hidup tapi belum tentu dia mendengar. Ada orang yang hidup dan telinganya normal, cuma dia tidak mendengar apa yang terjadi di belakang tembok. Berarti hidup belum tentu apa? Mendengar. Kalau itu terjadi dan mereka berada dalam satu alam yaitu alam dunia, orang yang hidup belum tentu mendengar, apalagi ini berbeda alam. Mereka berada di alam barzakh, kita berada di alam dunia. Bagaimana langsung diambil kesimpulan kalau mereka hidup di sana berarti mereka mendengar apa yang kita ucapkan, kemudian akhirnya berdoa kepada orang yang saleh? Baik, seandainya mereka mendengar, Allah mengatakan وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ (“Seandainya mereka mendengar pun, mereka tidak mampu untuk mengijabahi doa kita”). Nah, kalau tidak mampu untuk mengijabahi, untuk apa seseorang mengatakan, “Ya Fulan, doakan saya”? Ini adalah pemahaman yang benar terhadap ayat ini dan kita lihat tidak ada pertentangan antara ayat ini dengan ayat yang وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا.

Berarti ayat ini tidak bisa dijadikan oleh Al-Mufawwidhah tentang mazhab mereka, yaitu mazhab tafwidh. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mengucapkan, menyebutkan dalam keadaan mencela orang-orang yang mencari takwil untuk ayat-ayat yang mutasyabih. Nah, sudah kita katakan bahwasanya ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat bukan termasuk ayat-ayat yang mutasyabihat, itu adalah ayat-ayat yang muhkamat. Di sini Ibnu Qudamah رَحِمَهُ اللهُ masih menjelaskan kepada kita dan menganggap bahwasanya ayat yang ada dalam surat Ali Imran ini menunjukkan mazhab apa? Tafwidh. Makanya beliau mengatakan di sini, “Allah mencela orang-orang yang mencari takwil terhadap ayat-ayat yang mutasyabih…” dan mendatangkan ayat ini. Sudah kita sampaikan, sahih, ayat ini adalah benar sebagaimana yang Allah turunkan, tapi ayat-ayat yang merupakan ayat-ayat sifat ini tidak termasuk ayat-ayat yang mutasyabihat.

Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan bahwasanya mencari takwilnya ini adalah tanda orang yang di dalam hatinya ada penyakit. Kalau takwil tersebut maknanya adalah hakikat dari sesuatu yang tidak mengetahuinya kecuali Allah, kemudian ada di antara kita yang berusaha untuk mencarinya, seperti misalnya kaifiah, bagaimana hakikat dari sifat Allah, tidak mengetahuinya kecuali Allah saja. Kemudian ada di antara manusia yang berusaha untuk mengetahui hakikat dari sifat Allah tersebut, maka inilah yang merupakan tanda dari penyimpangan. Seperti misalnya Al-Musyabbihah, mereka yang menyerupakan Allah dengan makhluk, mengatakan bahwasanya istiwa Allah sama dengan istiwa makhluk, tangan Allah sama dengan tangan makhluk, maka ini adalah tanda bahwasanya di dalam hatinya ada zaighun karena dia apa? Mencari takwilnya, padahal وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ. Sehingga apa yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah al-Maqdisi, pendalilan dengan ayat ini tentang mazhab Al-Mufawwidhah, maka ini tidak pada tempatnya.

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyandingkan celaannya dengan mencari fitnah. Mencari fitnah tercela, mencari takwilnya juga tercela. Maksud dari mencari takwilnya di sini adalah kalau takwil di sini adalah hakikat dari sesuatu, mencari takwil yang tidak mengetahuinya kecuali Allah, maka ini adalah sesuatu yang tercela. Adapun takwil dengan makna tafsir, dan Allah telah mengatakan وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالRَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ, maka orang yang belajar tafsir, ingin mempelajari tentang makna dari الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ, ingin mempelajari makna هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ, maka ini bukan sesuatu yang tercela karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengajarkan kepada sebagian manusia takwil terhadap Al-Qur’an, yaitu tafsir terhadap Al-Qur’an.

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menutupi mereka dari angan-angan mereka dan memutus keinginan-keinginan mereka dari apa yang mereka maksudkan, yaitu dengan firman-Nya وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ. Sampai di sini, Ibnu Qudamah memahami bahwasanya ayat ini menunjukkan tentang mazhab Al-Mufawwidhah, dan sudah kita sampaikan bahwasanya pengertiannya tidak seperti yang beliau maksud. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkahi ilmu para ulama kita dan mengampuni dosa kita dan juga dosa mereka. Sampai di sini yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini, dan insya Allah kita lanjutkan dengan tanya jawab.


Tanya Jawab

Pertanyaan: Kalau ada seseorang yang datang kajian telat dan kajian sudah mulai, bagaimana hukumnya salat tahiyatul masjid? Apakah langsung tahiyatul masjid apa langsung duduk mendengarkan kajian?

Jawaban: Ya, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyebutkan adab di antara adab-adab ketika masuk masjid, yaitu kita menghormati masjid. Bagaimana cara menghormatinya? Dengan melakukan salat. إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى يَرْكَعَ رَكْعَتَيْنِ (“Apabila salah seorang di antara kalian masuk ke dalam masjid, maka jangan dia duduk sampai dia salat dua rakaat”). Ini umum, baik kita dalam keadaan mau kajian, duduk mendengarkan kajian, atau kita mau membaca Al-Qur’an, atau kita ada janjian dengan seseorang di dalam masjid, sebelum kita duduk maka kita salat terlebih dahulu. Pernah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam keadaan khotbah di hari Jumat, kemudian melihat seseorang masuk di dalam masjid dan dia langsung duduk, maka Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam keadaan beliau berkhotbah menyuruh orang tadi untuk berdiri dan melakukan salat dua rakaat. Padahal kita tahu bahwasanya mendengarkan khotbah hukumnya apa? Wajib. Tapi beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menyuruh orang tadi untuk kembali berdiri dan melakukan salat. Kalau ini dilakukan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ padahal mendengarkan khutbah adalah wajib, lalu bagaimana dengan kajian yang mendengarkannya bukan merupakan kewajiban? Tentunya lebih ditekankan lagi, dianjurkan lagi seseorang untuk melakukan salat dua rakaat sebelum dia duduk mendengarkan kajian. Tentunya melakukan salat tahiyatul masjid tersebut sesederhana mungkin karena dia akan melakukan atau di hadapan dia ada amalan yang lebih afdal yaitu menuntut ilmu. Apa yang dilakukan adalah sunah, tapi di depannya ada perkara yang lebih afdal yaitu menuntut ilmu agama, sehingga dia segerakan. Enggak perlu mungkin baca Al-Baqarah ya, keburu selesai kajiannya. Ya, sesederhana mungkin sehingga dia bisa segera duduk bersama yang lain mendengarkan kajian.


Pertanyaan: Apabila kata “sayyidina” diucapkan di dalam bacaan salat, apakah salatnya batal?

Jawaban: Yang merupakan rukun di dalam salat adalah membaca selawat atas Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Kalau sampai tidak membaca selawat atas Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, maka ini bisa batal dan tidak sah salatnya. Selawat yang paling afdal yang diajarkan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang dinamakan dengan selawat Ibrahimiyah: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ. اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ. Ini yang paling afdal. Tapi seandainya seseorang hanya mencukupkan diri dengan mengatakan اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ, maka dia sudah dianggap mengucapkan selawat. Seandainya dia mengatakan اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ, apakah dinamakan dia berselawat? Dinamakan dia berselawat. Nabi Muhammad صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah sayyiduna. Dalam sebuah hadis, Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengatakan, أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ (“Aku adalah pemimpin anak Adam”). Itu tidak kita ingkari. Tapi mana yang afdal? Orang yang mengatakan اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ… atau orang yang mengatakan اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا…? Tentunya yang afdal adalah lafaz yang diajarkan oleh Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, yaitu tanpa menggunakan “sayyid”. Kita tidak mengatakan bahwasanya orang yang menambahkan dengan “sayyidina” berarti dia telah batal salatnya, karena yang penting adalah mengucapkan selawat di dalam salat. Ini, wallahu a’lam, pendapat yang pertengahan, bahwasanya yang afdal tanpa menggunakan “sayyidina”, tapi barang siapa yang menambahkan di situ “sayyidina” maka tidak batal salatnya.


Pertanyaan: Apakah kita boleh membeli kue di toko yang dia juga menjual kue yang mengandung babi? Toko tersebut hanya menerima titipan kue-kue, tidak membuat sendiri.

Jawaban: Asalnya tidak masalah karena yang kita beli adalah sesuatu yang halal, tidak ada di sana campuran dengan bahan-bahan yang lain yang haram. Adapun dia di toko yang sama juga menjual sesuatu yang diharamkan, maka ini bukan kemudian menjadikan kita tidak boleh membeli barang dari orang tersebut. Seperti orang yang di dalam tokonya dia menjual barang-barang yang halal dan juga misalnya menjual rokok, bukan berarti kemudian kita tidak boleh membeli barang dari toko tersebut. Apa yang itu merupakan suatu yang halal, ya boleh kita beli, tidak masalah.


Demikian yang bisa kita sampaikan. Wallahu Ta’ala a’lam.

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ.

وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.

Related Articles

Back to top button