Ilmu Nahwu – kitab Ath-Thurfah .2

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Pendahuluan: Tinjauan Ulang Pertemuan Sebelumnya

Sebagai tinjauan singkat (مُرَاجَعَة) dari pertemuan sebelumnya , telah dibahas beberapa poin utama, antara lain:

  • Biografi Penulis: Pengenalan singkat mengenai sosok penulis kitab, Ibnu Abdil Hadi, dan pengakuan atas keilmuan beliau dari para ulama senior, sejawat, hingga murid-muridnya. Beliau diakui sebagai seorang ulama yang menguasai berbagai disiplin ilmu (multitalenta), tidak terbatas pada ilmu Nahwu saja.
  • Keunggulan Kitab At-Thurfah: Terdapat tiga keistimewaan utama kitab ini dibandingkan dengan kitab nahwu lainnya:
    1. Formatnya yang sangat ringkas, dengan ketebalan kurang dari sepuluh lembar.
    2. Penggunaan bahasa yang lugas dan mudah dipahami.
    3. Kaya akan contoh-contoh aplikatif.
  • Metode Pengenalan Istilah: Penulis kitab cenderung menghindari definisi teoretis (تَعْرِيفَات) yang kompleks. Sebagai contoh, saat memperkenalkan اِسْم (Isim), beliau langsung menyebutkan ciri-ciri fisik yang mudah dikenali, seperti dapat diawali oleh ال (alif lam), menerima تَنْوِين (tanwin), dan didahului oleh حَرْفُ الجَرّ (huruf jar). Pendekatan serupa juga diterapkan pada definisi فِعْل (fi’il) dan حَرْف (huruf).

Pembahasan Bab: Al-Mu’rab dan Al-Mabni

Kajian kali ini memasuki bab baru, yaitu البَابُ المُعْرَبِ وَالمَبْنِي (Bab tentang yang Mu’rab dan yang Mabni). Bab ini merupakan jantung dari ilmu Nahwu, karena pembahasan mengenai إِعْرَاب (I’rab) dan بِنَاء (Bina’) adalah fondasi utama untuk menganalisis setiap kalimat dalam bahasa Arab. Penguasaan pada bab ini akan mempermudah pemahaman bab-bab selanjutnya yang merupakan penerapan dari konsep ini.

1. Definisi Al-Mu’rab dan Al-Mabni

  • المُعْرَب (Al-Mu’rab): Adalah setiap kata yang akhirannya dapat berubah-ubah seiring dengan perubahan kedudukan atau fungsi kata tersebut dalam kalimat, yang dipengaruhi oleh عَامِل (‘āmil) atau faktor penyebab perubahan.
  • المَبْنِي (Al-Mabni): Adalah kebalikannya, yaitu setiap kata yang akhirannya tetap (statis) dan tidak mengalami perubahan meskipun kedudukannya dalam kalimat berubah. Kata ini diibaratkan seperti sebuah bangunan (مَبْنَى) yang kokoh dan tidak terpengaruh oleh faktor eksternal.

2. Jenis-jenis Kata yang Tergolong Mu’rab

Penulis menjelaskan bahwa kategori المُعْرَب hanya mencakup dua jenis kata, yaitu:

  1. الإِسْمُ المُتَمَكِّن (Al-Ism Al-Mutamakkin)
  2. الفِعْلُ المُضَارِع (Al-Fi’l Al-Mudhari’)
a. Penjelasan Al-Ism Al-Mutamakkin

Secara etimologis, مُتَمَكِّن (mutamakkin) berarti kokoh atau mapan (tsābit). Dalam terminologi ilmu Nahwu, Isim Mutamakkin adalah isim yang sepenuhnya murni dan kokoh dalam ke-isim-annya. Artinya, ia tidak memiliki kemiripan atau kecenderungan dengan kategori حَرْف (huruf).

Penulis mendefinisikan Isim Mutamakkin sebagai isim yang tidak menyerupai huruf. Karena kemurniannya inilah, akhirannya dapat menerima perubahan (إِعْرَاب). Contoh klasik untuk isim jenis ini adalah kata رَجُلٌ (rajulun).

b. Sebab-sebab Isim Menjadi Mabni (Kemiripan dengan Huruf)

Sebaliknya, sebuah اِسْم (isim) menjadi مَبْنِي (mabni) jika ia memiliki kemiripan dengan حَرْف (huruf). Menurut Ibnu Malik, terdapat empat jenis kemiripan tersebut:

  1. الشَّبَهُ الوَضْعِي (Asy-Syabah al-Wadh’i): Kemiripan dari sisi jumlah huruf. Isim yang hanya terdiri dari satu atau dua huruf, seperti ضَمِير (dhamir) tunggal (contoh: تَ dalam كَتَبْتُ) atau ganda (contoh: نَا dalam كَتَبْنَا), menyerupai huruf seperti بِ atau وَ.
  2. الشَّبَهُ المَعْنَوِي (Asy-Syabah al-Ma’nawi): Kemiripan dari sisi makna. Isim yang mengandung makna seperti makna yang ada pada huruf. Contohnya adalah isim istifham (kata tanya) seperti مَتَى yang maknanya serupa dengan huruf istifham أَ (hamzah).
  3. الشَّبَهُ النِيَابِي (Asy-Syabah an-Niyabi): Kemiripan dari sisi fungsi sebagai pengganti fi’il. Sebagaimana ada huruf yang beramal menggantikan fungsi fi’il (contoh: إِنَّ), ada pula isim yang berfungsi menggantikan fi’il, yang dikenal sebagai إِسْمُ الفِعْلِ (Isim Fi’il). Karena kemiripan fungsi ini, Isim Fi’il dihukumi مَبْنِي.
  4. الشَّبَهُ الاِفْتِقَارِي (Asy-Syabah al-Iftiqari): Kemiripan dari sisi kebutuhan terhadap kata lain agar maknanya sempurna. Sebagaimana huruf (seperti حَرْفُ الجَرّ) membutuhkan kata lain (isim majrur) untuk berfungsi, ada pula isim yang mutlak membutuhkan kalimat setelahnya. Contoh paling jelas adalah الإِسْمُ المَوْصُول (Al-Ism Al-Maushul), seperti الَّذِي, yang membutuhkan kalimat shilah maushul agar maknanya lengkap. Oleh karena itu, semua Isim Maushul dihukumi مَبْنِي.

Sebuah isim yang terbebas dari keempat kemiripan ini disebut مُتَمَكِّن (mutamakkin) dan ia tergolong مُعْرَب (mu’rab).

c. Penjelasan Al-Fi’l Al-Mudhari’

المُضَارِع (Al-Mudhari’) secara bahasa berarti المُشَابِه (al-musyābih) atau “yang menyerupai”. Fi’il Mudhari’ disebut demikian karena ia memiliki kemiripan dengan اِسْم (isim), sehingga ia menjadi satu-satunya fi’il yang tergolong مُعْرَب.

Ciri utamanya adalah ia selalu diawali oleh salah satu dari empat huruf tambahan yang terangkum dalam singkatan أَنَيْتُ (anaitu): ء (hamzah), ن (nun), ي (ya’), atau ت (ta’).

Menurut Imam الكِسَائِي (Al-Kisa’i), keempat huruf inilah yang menjadi sebab Fi’il Mudhari’ menjadi مُعْرَب. Huruf-huruf ini menjadikan jumlah huruf pada Fi’il Mudhari’ (misalnya, يَذْهَبُ – empat huruf) serupa dengan jumlah huruf pada Isim Fa’il (misalnya, ذَاهِبٌ – empat huruf), sehingga ia “masuk ke zona isim” dan dapat menerima perubahan. Buktinya, ketika huruf مُضَارَعَة ini dihilangkan, seperti saat diubah menjadi فِعْلُ الأَمْرِ (Fi’il Amr) (contoh: اِذْهَبْ), maka ia kembali menjadi مَبْنِي.

3. Hukum Asal pada Huruf dan Fi’il (Status Mabni)

  • Huruf: Semua حَرْف (huruf) tanpa terkecuali dihukumi مَبْنِي . Alasannya adalah karena huruf tidak memiliki fungsi i’rab yang mandiri dalam kalimat. Hukum asal bina’ pada huruf adalah مَبْنِي عَلَى السُّكُون (mabni di atas sukun), kecuali jika terdapat halangan, seperti pertemuan dua sukun, maka ia diberi harakat (contoh: إِنَّ).
  • Fi’il Madhi: Hukum asal fi’il adalah مَبْنِي, sehingga tidak perlu ditanyakan sebab kemabniannya. Penulis menyatakan bahwa الفِعْلُ المَاضِي (Fi’il Madhi) selalu مَبْنِي عَلَى الفَتْحِ (mabni di atas fathah), baik secara terlihat maupun tersembunyi. Pendapat ini sejalan dengan mazhab Bashrah, khususnya Imam سِيبَوَيْهِ (Sibawaih). Menurut mazhab ini, pada kata seperti ضَرَبُوا (dharabū), huruf ب sejatinya memiliki fathah yang tersembunyi (muqaddarah), yang kemunculannya terhalang karena tempatnya telah digunakan oleh harakat dhammah untuk menyesuaikan dengan wawu jama’ah.

Penutup

Pembahasan mengenai المُعْرَب dan المَبْنِي adalah pilar dalam ilmu Nahwu. Telah dijelaskan bahwa yang tergolong مُعْرَب hanya ada dua, yaitu الإِسْمُ المُتَمَكِّن (isim yang murni) dan الفِعْلُ المُضَارِع (fi’il yang menyerupai isim). Adapun kategori lainnya, seperti حَرْف, فِعْل مَاضِي, فِعْل أَمْر, dan isim yang menyerupai huruf, semuanya tergolong مَبْنِي. Pemahaman yang kokoh terhadap konsep dasar ini menjadi kunci untuk melanjutkan ke pembahasan selanjutnya dalam ilmu Nahwu.

Wallahu a’lam bish-shawab.

#Prolog

Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ’anhu. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara langsung dengan melenyapkan ilmu itu dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang berilmu lagi, orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.’” (HR. Bukhari)

Sumber: https://muslim.or.id/93486-malapetaka-akhir-zaman.html
Copyright © 2025 muslim.or.id