Dauroh Syar’iyah: Kitab Tazhimus Sunnah #3
1. Mukadimah Sesi Ketiga
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
الْحَمْدُ لِلهِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ.
Kita lanjutkan pembahasan kitab Takzimus Sunnah. Pada pertemuan sebelumnya, penulis telah membawakan ayat-ayat dan hadis yang menunjukkan wajibnya mengagungkan sunnah. Maka setelahnya, beliau akan mendatangkan atsar (riwayat) dari para salafus saleh yang menunjukkan bagaimana pengagungan mereka terhadap sunnah Nabi ﷺ.
2. Teladan Salaf dalam Mengagungkan Sunnah
A. Ijma’ Kaum Muslimin Menurut Imam Asy-Syafi’i
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata:
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةُ رَسُوْلِ اللهِ ﷺ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
Artinya: “Kaum muslimin telah berijma’ (bersepakat), bahwasanya barang siapa yang sudah jelas baginya sunnah Rasulullah ﷺ, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan seorang pun.”
Ini adalah prinsip Imam Asy-Syafi’i. Jika sebuah hadis sudah jelas kesahihannya dan maknanya, maka haram hukumnya bagi seorang muslim untuk meninggalkannya hanya karena bertentangan dengan ucapan seorang imam, qiyas, ataupun adat istiadat. Beliau juga berkata, “Jika sebuah hadis itu shahih, maka itu adalah mazhabku,” dan “Apabila kalian melihat sebuah ucapanku bertentangan dengan hadis Nabi ﷺ, maka lemparkan ucapanku tersebut ke dinding.”
B. Kisah-kisah Ketegasan Imam Asy-Syafi’i
- Kisah bersama Al-Humaidi: Al-Humaidi (guru Imam Al-Bukhari) menceritakan bahwa suatu hari Imam Asy-Syafi’i meriwayatkan sebuah hadis. Al-Humaidi lalu bertanya, “Apakah engkau mengambil (mengamalkan) hadis ini?” Imam Asy-Syafi’i menjawab dengan keras, “Apakah engkau melihatku keluar dari gereja? Atau engkau melihatku memakai ikat pinggang (khas Nasrani)? Sampai-sampai ketika aku mendengar dari Rasulullah ﷺ suatu hadis, aku tidak mengatakan (mengamalkan) hadis itu!”
- Kisah bersama Penanya: Ketika ditanya tentang suatu masalah, Imam Asy-Syafi’i menjawab dengan hadis. Si penanya kembali bertanya, “Wahai Abu Abdillah, apakah engkau berpendapat dengan ini?” Mendengar itu, Imam Asy-Syafi’i bergetar dan marah, lalu berkata, “Bumi yang mana yang akan menjadi pijakanku, dan langit yang mana yang akan menaungiku, jika aku meriwayatkan hadis Rasulullah ﷺ kemudian aku tidak mengambil (mengamalkan) hadis tersebut?! Kewajibanku adalah mendengar dan taat.”
C. Ucapan Para Imam Lainnya
- Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Barang siapa yang menolak sebuah hadis dari Nabi ﷺ, maka dia di ambang kehancuran.”
- Imam Al-Barbahari berkata, “Apabila engkau mendengar seorang laki-laki mencela sebuah atsar, maka curigailah keislamannya, dan tidak diragukan lagi bahwasanya dia adalah shahibul hawa mubtadi’ (pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah).”
- Abul Qasim al-Asbahani menukil ucapan para salaf, “Apabila seorang laki-laki mencela atsar, hendaklah diragukan keislamannya.”
D. Keutamaan Membela Sunnah Dibandingkan Jihad
- Yahya bin Yahya an-Naisaburi berkata, “Membela sunnah lebih afdal daripada jihad di jalan Allah.” Ketika ditanya, “Seseorang menginfakkan hartanya, mengorbankan dirinya, dan berjihad, apakah membela sunnah lebih afdal darinya?” Beliau menjawab, “Na’am, bikatsir (Iya, jauh lebih afdal).”
- Al-Humaidi berkata, “Demi Allah, sungguh aku memerangi (dengan ilmu) orang-orang yang menolak hadis Rasulullah ﷺ itu lebih aku senangi daripada aku memerangi sejumlah mereka dari orang-orang Atrak (Mongol yang saat itu kafir).”
- Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam berkata, “Orang yang mengikuti sunnah itu seperti orang yang memegang bara api. Dan dia hari ini di sisiku lebih utama daripada orang yang berperang dengan pedang di jalan Allah.”
E. Perumpamaan Imam Malik: Sunnah adalah Bahtera Nuh
Al-Imam Malik berkata:
السُّنَّةُ سَفِيْنَةُ نُوْحٍ، مَنْ رَكِبَهَا نَجَا، وَمَنْ تَخَلَّفَ عَنْهَا غَرِقَ
Artinya: “Sunnah itu ibarat bahtera (kapal) Nabi Nuh. Barang siapa yang menaikinya, ia akan selamat. Dan barang siapa yang tertinggal darinya, ia akan tenggelam.”
3. Sesi Tanya Jawab
Pertanyaan 1: Metode Nabi ﷺ dalam Menyampaikan Hadis
Nabi ﷺ menyampaikan hadis dengan berbagai cara. Terkadang muncul karena sebuah kejadian spesifik, terkadang berupa nasihat ringkas, dan terkadang berupa wasiat atau khutbah yang panjang.
Pertanyaan 2: Hukuman Langsung bagi Pengolok Sunnah
Kisah tentang hukuman yang disegerakan (seperti ular yang jatuh dari atap) bagi orang yang menentang sunnah, jika sanadnya shahih maka mungkin saja terjadi sebagai pelajaran dari Allah. Namun, ini bukan kaidah pasti. Hukuman bisa disegerakan, bisa juga ditunda (istidraj). Dalil utama kita tetap Al-Qur’an dan Hadis, sementara kisah-kisah seperti ini hanya sebagai pelengkap.
Pertanyaan 3: Kriteria Seseorang Disebut Ahli Bid’ah
Di antaranya adalah apabila ia menyelisihi salah satu pondasi besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah (seperti memberontak pada penguasa) atau ketika sebagian besar amalannya adalah amalan bid’ah, yang menunjukkan ada yang salah pada pondasi beragamanya. Namun, kita tidak boleh bermudah-mudahan dalam memvonis seseorang sebagai ahli bid’ah.
Pertanyaan 4: Hukum Memelihara Jenggot
Perintahnya adalah a’ful liha (biarkanlah jenggot), dan asal dari perintah adalah kewajiban. Ditambah lagi tujuannya untuk menyelisihi orang Yahudi dan Majusi. Maka, hukumnya adalah wajib membiarkan jenggot bagi laki-laki yang Allah tumbuhkan jenggot padanya, dan haram untuk memotongnya.
Pertanyaan 5: Batasan Mengolok-olok yang Mengeluarkan dari Islam
Jika istihza’ (olok-olok) ditujukan kepada syariat itu sendiri (misalnya mengejek hukum memanjangkan jenggotnya), maka ini dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Namun, jika ejekan itu ditujukan kepada orangnya untuk merendahkannya, bukan karena benci syariatnya, maka ini termasuk dosa besar tetapi tidak serta-merta mengeluarkannya dari Islam.
Pertanyaan 6: Ketersambungan Sanad Keilmuan Dakwah Salafiyah
Tuduhan bahwa dakwah salafiyah tidak bersanad adalah tidak benar. Keilmuan kita bersambung melalui kitab-kitab para ulama yang sampai kepada kita secara mutawatir (jalur periwayatan yang sangat banyak), seperti Shahih Bukhari. Ini sudah cukup dan lebih kuat dari sanad perorangan. Meski begitu, para ulama Ahlus Sunnah hingga kini tetap menjaga tradisi sanad untuk melestarikannya, bukan karena meyakini itu sebagai syarat sahnya amalan.
Penutup
Mungkin itu yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini. Insyaallah kita lanjutkan pada kesempatan yang akan datang.
Wasallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajmain. Wasalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.