Dauroh Syar’iyah: Kitab Tazhimus Sunnah #3


Dauroh Syar’iyah: Kitab Tazhimus Sunnah #3

1. Mukadimah Sesi Ketiga

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، أَمَّا بَعْدُ.

Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah ﷺ yang kembali mempertemukan kita pada pagi hari ini, melanjutkan pembahasan kitab Takzimus Sunah yang ditulis oleh Fadhilatus Syaikh Abdul Qayyum As-Suhailbani hafidzahullahu ta’ala.

Pada pertemuan yang sebelumnya, penulis telah membawakan beberapa ayat dan satu hadis masyhur dari ‘Irbadh bin Sariyah yang menunjukkan tentang wajibnya mengagungkan dan mengikuti sunnah Nabi ﷺ. Maka setelahnya, beliau akan mendatangkan atsar dari para salafus saleh yang menunjukkan bagaimana pengagungan mereka terhadap sunnah.


2. Teladan Salaf dalam Mengagungkan Sunnah

A. Atsar Abu Bakar As-Siddiq: Kekhawatiran akan Penyimpangan

Penulis mengawali dengan atsar dari manusia yang paling afdal di antara umat ini, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata:

لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ، وَإِنِّي لَأَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ

Artinya: “Tidaklah aku meninggalkan sesuatu pun yang diamalkan oleh Rasulullah ﷺ, melainkan aku pasti kerjakan. Dan sungguh, aku takut apabila aku meninggalkan sesuatu dari urusannya (Rasulullah ﷺ), aku akan tersesat (menyimpang).”

Ini adalah ucapan yang beliau sampaikan bukan untuk menyombongkan diri, tetapi untuk mendorong umat setelahnya. Beliau, orang yang paling mengenal sunnah Nabi ﷺ, khawatir jika meninggalkan satu amalan saja—meskipun itu perkara mustahab (sunnah)—akan menjadi celah bagi setan untuk membisikinya dan menyeretnya kepada penyimpangan yang lebih besar.

B. Komentar Ibnu Baththah tentang Atsar Abu Bakar

Mengomentari ucapan di atas, Ibnu Baththah berkata:

“Wahai saudara-saudaraku, inilah Ash-Shiddiq al-Akbar, ia takut atas dirinya akan ketergelinciran jika ia menyelisihi urusan Rasulullah ﷺ. Lantas apa gerangan sikap yang akan beliau lakukan terhadap sebuah zaman yang mana penduduknya mengolok-olok nabinya dan perintah-perintahnya, serta berbangga dengan menyelisihinya? Kita mohon kepada Allah perlindungan dari ketergelinciran dan keselamatan dari amalan buruk.”

Ibnu Baththah menyoroti bagaimana jika seorang Abu Bakar, yang dijamin masuk surga, begitu takut menyimpang, lalu bagaimana dengan keadaan orang-orang di zaman yang lebih jauh yang bukan hanya meninggalkan sunnah, tapi bahkan mengolok-oloknya?

C. Atsar ‘Umar bin Abdul ‘Aziz: Tidak Ada Pendapat di Atas Sunnah

‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz radhiyallahu ‘anhu, yang sebagian ulama anggap sebagai Khalifah Rasyidin kelima, berkata:

لَا رَأْيَ لِأَحَدٍ مَعَ سُنَّةٍ سَنَّهَا رَسُوْلُ اللهِ ﷺ

Artinya: “Tidak boleh bagi seseorang untuk berpendapat, jika bersamaan dengannya ada sunnah yang telah disunnahkan oleh Rasulullah ﷺ.”

Ini menunjukkan bahwa di antara bentuk takzim (pengagungan) terhadap sunnah adalah mendahulukan sunnah Nabi ﷺ di atas seluruh pendapat manusia, siapa pun dia.

D. Atsar Abu Qilabah: Waspada terhadap Paham Ingkarus Sunnah

Abu Qilabah rahimahullah berkata:

“Apabila engkau membicarakan sunnah Rasulullah kepada seseorang, kemudian ia berkata, ‘Tinggalkan kami dari hal ini dan datangkanlah dari Kitabullah (Al-Qur’an),’ maka ketahuilah bahwasanya ia adalah orang yang sesat (dhallun).”

Ini adalah ciri-ciri kaum Qur’aniyyun atau ingkarus sunnah (orang yang mengingkari sunnah). Mereka sesat, karena pada hakikatnya mereka juga menentang Al-Qur’an itu sendiri, yang di dalamnya banyak sekali perintah untuk menaati Rasulullah ﷺ.

E. Komentar Imam Adz-Dzahabi: Tiga Golongan Sesat

Imam Adz-Dzahabi mengomentari ucapan Abu Qilabah dan menyebutkan tiga golongan:

  1. Jika ada yang berkata: “Tinggalkan kami dari Al-Qur’an dan hadis ahad, datangkanlah akal (logika).” Maka ketahuilah, dia adalah Abu Jahal. Ini adalah prinsip ahlul kalam yang mendahulukan akal di atas dalil.
  2. Jika ada yang berkata: “Tinggalkan kami dari dalil dan akal, datangkanlah dzauq (perasaan) dan wajd (emosi).” Maka ketahuilah, dia adalah Iblis yang menjelma sebagai manusia atau merasuki dirinya. Ini adalah prinsip kaum sufi ekstrem. Jika engkau takut, larilah darinya. Jika engkau berani karena ilmu, maka lawanlah dia.
  3. Dan yang pertama, yang hanya mau Al-Qur’an tanpa hadis.

Kaidahnya adalah: dalil yang shahih tidak mungkin bertentangan dengan akal yang sehat dan perasaan yang shahih.


3. Kisah Imam Asy-Syafi’i: Ketegasan Guru dalam Mengamalkan Hadis

Al-Imam Asy-Syafi’i meriwayatkan sebuah kisah. Seorang perawi hadis bernama Abu Hanifah (bukan Imam Abu Hanifah an-Nu’man) meriwayatkan sebuah hadis kepada gurunya, Ibnu Abi Di’b. Hadis tersebut intinya adalah pada saat Fathu Makkah, Nabi ﷺ memberikan pilihan kepada keluarga korban pembunuhan antara meminta qisas (hukuman mati setimpal) atau mengambil diyah (uang tebusan).

Setelah mendengar hadis itu, Abu Hanifah bertanya kepada gurunya:

“Apakah engkau akan mengambil (mengamalkan) hadis ini, wahai Abul Harits?”

Mendengar pertanyaan itu, sang guru sangat marah, memukul dadanya, berteriak, dan mencelanya seraya berkata:

“Aku sampaikan hadis Rasulullah kepadamu, dan engkau mengatakan, ‘Apakah engkau akan mengamalkannya?’ Tentu! Aku akan mengamalkannya! Dan itu merupakan kewajiban atasku dan atas orang yang mendengarkannya!

Beliau terus mengulang-ulang ucapannya karena menganggap pertanyaan itu tidak pantas, sampai si murid berharap gurunya berhenti berbicara. Ini menunjukkan betapa para salaf sangat tegas dan tidak memiliki pilihan lain selain tunduk dan mengamalkan hadis shahih yang sampai kepada mereka.


Penutup Sesi Ketiga

Barakallahu fikum. Insyaallah kita lanjutkan pada sesi yang keempat.

Shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi ajmain.

#Prolog

Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ’anhu. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara langsung dengan melenyapkan ilmu itu dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang berilmu lagi, orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.’” (HR. Bukhari)

Sumber: https://muslim.or.id/93486-malapetaka-akhir-zaman.html
Copyright © 2025 muslim.or.id