اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ. اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى نَبِيِّنَا وَرَسُوْلِنَا الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدَاهُ، أَمَّا بَعْدُ.
Ikhwati wa akhwati fillah, ahabbakumullah. Kita masih dalam pembahasan kaidah اَلتَّابِعُ تَابِعٌ (at-tabi’u tabi’), yaitu sesuatu yang ikut, memiliki hukum yang mengikuti intinya.
Tadi kita sampai pada pembahasan contoh gharar yasir (ketidakpastian ringan), seperti ketika kita membeli sebuah makanan yang dimakan dalamnya, misalnya buah yang memiliki biji. Kita tidak tahu berapa banyak biji di dalamnya atau berapa besarnya. Namun, itu adalah hal yang ma’fu (dimaafkan) secara ‘urf. Masyarakat mewajarkan hal tersebut, sehingga gharar-nya dianggap yasir (ringan). Para ulama pun sepakat bahwa gharar yang ringan tidak mempengaruhi keabsahan akad.
Kemudian beliau mengatakan di halaman 43, dalam bab tabi’ (mengikuti), hal itu menjadi boleh. Maka bijinya kecil atau bijinya besar—yang mana itu adalah gharar—tidak mempengaruhi akad. Kenapa? Karena biji itu hanya mengikut.
Akan tetapi, tidak boleh kita menjadikan inti akad kita adalah sesuatu yang majhul (tidak kita ketahui). Maka tidak boleh kita membeli bijinya saja, dalam artian kita membeli buah yang berkulit namun tujuan utama akad kita adalah bijinya, padahal kita tidak bisa melihat biji tersebut. Jika kita beli buahnya, maka bijinya terbeli sebagai pengikut, dan itu boleh. Tapi jika inti akadnya adalah bijinya, maka tidak boleh. Tidak boleh kita membeli isi dalamnya saja tanpa membeli keseluruhannya, karena akad kita menjadi bersandar pada sesuatu yang majhul.
Contoh lainnya adalah اَلْحَمَل (janin) yang ada di dalam perut hewan yang sedang hamil. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli حَبَلِ الْحَبَلَةِ (janin dari hewan ternak). Kalau kita membeli sapi yang sedang bunting, itu boleh, walaupun kita tidak tahu bagaimana kondisi janinnya. Kenapa? Karena janin itu hanya mengikut. Beda halnya jika yang menjadi inti akad kita adalah janinnya, itu tidak boleh karena tidak kelihatan (majhul) dan bisa menimbulkan pertengkaran jika nanti lahir dalam keadaan cacat. Maka tidak boleh menjual janin unta atau kambing sebelum ia dilahirkan.
Akan tetapi, boleh membeli hewan ternak beserta janin di dalamnya. Untuk kehati-hatian, para ulama menyarankan agar tidak memasukkan janinnya dalam akad. Cukup katakan, “Saya beli sapinya,” tidak perlu, “Saya beli sapi beserta janinnya.” Dengan demikian, janinnya tidak masuk dalam akad, melainkan menjadi bonus yang mengikut.
Ini sama seperti ketika antum membeli sabun yang berhadiah piring. Antum tidak tahu piringnya seperti apa, namun jual beli ini boleh selama piring itu hanya pengikut (bonus). Antum tidak mungkin kembali ke supermarket untuk protes, “Saya maunya yang keramik, bukan yang kaca,” karena piring itu tidak masuk dalam akad utama, sehingga gharar-nya dimaafkan.
Contoh lain adalah membeli pohon yang buahnya belum matang. Jika kita membeli pohonnya dan buahnya menjadi bonus, itu boleh. Atau membeli pohon beserta buahnya yang belum matang dengan niat memetiknya nanti, itu juga boleh karena akad utamanya adalah pohon. Tetapi, jika hanya membeli buahnya saja yang masih di pohon (seperti sistem ijon) untuk dipetik nanti setelah matang, itu tidak boleh. Kenapa? Karena ada unsur gharar; bisa jadi terjadi gagal panen, padahal kita sudah membayarnya, sehingga ini akan merugikan pembeli.
Salah satu contoh penerapan kaidah اَلتَّابِعُ تَابِعٌ dalam masalah ibadah adalah dalam haji. Seseorang yang sedang ihram tidak boleh menghilangkan rambutnya. Akan tetapi, jika ia mengalami luka di kepala yang mengharuskannya dioperasi, maka rambut di area tersebut boleh dihilangkan. Ini diperbolehkan karena menghilangkan rambut di situ hanya mengikut pada tujuan utama, yaitu pengobatan, bukan menjadi inti perbuatannya.
Namun, saya katakan tadi bahwa kaidah ini problematik. Kenapa? Karena ada beberapa kondisi di mana sesuatu yang mengikut pun tetap tidak dibolehkan, bahkan dihukumi sama seperti jika ia berdiri sendiri. Maka, yang menjadi pemutus di sini adalah dalil. Jadi, jangan semua hal dianggap boleh dengan alasan tabi’-tabi’, melainkan harus tetap melihat penjelasan para ulama.
Selanjutnya, kita masuk ke kaidah berikutnya:
وَالْعُرْفُ مَعْمُوْلٌ بِهِ إِذَا وَرَدْ ۞ حُكْمٌ مِنَ الشَّرْعِ الشَّرِيْفِ لَمْ يُحَدّْ
Wal-‘urfu ma’mūlun bihi idzā warad ۞ hukmun minasy-syar’isy-syarīfi lam yuhadd
(Dan ‘urf itu diamalkan apabila datang ۞ suatu hukum dari syariat yang mulia yang tidak diberi batasan)
Kaidah ini berkaitan dengan اَلْعُرْف (al-‘urf), yaitu kebiasaan masyarakat (bukan kebiasaan pribadi atau ‘adah). Maksudnya, ‘urf dapat dijadikan patokan hukum jika syariat telah menetapkan suatu hukum namun tidak memberikan batasan atau kadar yang spesifik.
Para ulama menjelaskan bahwa ada hal-hal dalam syariat yang disebut مُقَدَّرَات (muqaddarat), artinya sudah memiliki batasan atau takaran yang jelas dari syariat, seperti nisab emas dan perak, atau batas maksimal wasiat yaitu sepertiga harta. Untuk hal-hal seperti ini, kita wajib mengikuti batasan dari syariat.
Jika syariat tidak memberikan batasan, maka urutannya adalah:
- Kembali ke Bahasa Arab (اَللُّغَة): Jika tidak ada batasan dalam nas syariat, kita mencari definisinya dalam bahasa Arab.
- Kembali ke ‘Urf (اَلْعُرْف): Jika dalam bahasa Arab juga tidak ada batasan yang jelas, barulah kita kembali ke kebiasaan masyarakat yang berlaku.
Contohnya adalah waktu-waktu salat. Salat itu waktunya dibatasi, sebagaimana firman Allah, “…إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَوْقُوْتًا”. Batasan waktunya kita ketahui dari mana? Dari hadis-hadis Nabi. Karena syariat sudah membatasinya, maka kita mengambil batasan dari dalil tersebut.
Contoh lain adalah perbedaan antara muntah banyak dan sedikit. Menurut mazhab Hanbali, muntah yang banyak membatalkan wudu. Syariat tidak memberi batasan, maka kita kembali ke bahasa Arab. Ternyata, bahasa Arab membedakannya: muntah yang sedikit disebut قَلْس (qals), yaitu yang tidak sampai memenuhi mulut. Sedangkan muntah yang memenuhi mulut disebut قَيْء (qai’), dan inilah yang membatalkan wudu.
Begitu pula dengan hujan yang membolehkan menjamak salat. Hujan yang dimaksud bukanlah sembarang hujan, melainkan yang disebut مَطَر (mathar) dalam bahasa Arab, yaitu hujan deras yang jika sehelai kain diletakkan di luar, maka seluruh bagiannya akan basah kuyup. Ini berbeda dengan gerimis atau نَدَى (nada).
Adapun contoh yang dikembalikan ke ‘urf adalah batasan darah yang banyak dan sedikit. Al-Qur’an hanya menyebutkan دَمًا مَسْفُوْحًا (darah yang memancar). Bahasa Arab pun tidak membedakan lafaz untuk darah sedikit dan banyak, keduanya disebut دَم (dam). Maka dalam hal ini, kita kembali ke ‘urf. Ibnu Abbas mengatakan, darah yang banyak adalah yang engkau merasa jijik melihatnya (مَا فَحُشَ فِي نَفْسِكَ).
Namun, dalam praktiknya, para ulama terkadang berbeda pendapat mengenai suatu masalah, apakah batasannya dikembalikan ke syariat, bahasa, atau ‘urf. Contoh paling populer adalah tentang jarak safar yang membolehkan qasar salat. Jumhur ulama berpendapat bahwa safar dibatasi oleh dalil syar’i, yaitu penafsiran para sahabat seperti Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, yakni sejauh أَرْبَعَةُ بُرُدٍ (empat burud) atau 16 farsakh, yang setara dengan kurang lebih 80 km. Pendapat ini lebih menenangkan dan jelas daripada mengembalikannya ke ‘urf, yang di zaman modern ini menjadi sangat relatif dan membingungkan karena kemajuan teknologi transportasi.
Contoh penerapan ‘urf dalam muamalah adalah pada khiyar al-ghubn (hak membatalkan jual beli karena tertipu harga). Seseorang tidak bisa menuntut pembatalan hanya karena harga barang di mal lebih mahal daripada di pasar tradisional, karena secara ‘urf hal itu sudah dimaklumi. Namun jika harga di satu toko sangat tidak wajar bahkan dibanding toko lain di mal yang sama, maka ia berhak membatalkan jual beli tersebut. Batasan “wajar” dan “tidak wajar” ini kembali kepada ‘urf.
Contoh lain dalam jinayat (hukum pidana Islam) adalah syarat potong tangan bagi pencuri. Selain harus mencapai nisab (seperempat dinar), barang yang dicuri harus diambil dari hirz (tempat penyimpanan yang layak menurut ‘urf). Mobil yang dicuri dari pinggir jalan berbeda hukumnya dengan yang dicuri dari dalam garasi. Definisi garasi sebagai tempat penyimpanan mobil yang layak adalah berdasarkan ‘urf.
Selanjutnya, pada bait berikutnya, Syekh berkata:
مُعَجِّلُ الْمَحْظُوْرِ قَبْلَ آنِهِ ۞ قَدْ بَاءَ بِالْخُسْرَانِ مَعْ حِرْمَانِهِ
Mu’ajjilul-mahdzūri qabla ānihi ۞ qad bā’a bil-khusrāni ma’a hirmānihi
(Orang yang menyegerakan sesuatu yang terlarang sebelum waktunya ۞ Sungguh ia kembali dengan kerugian beserta kegagalan mendapatkannya)
Ini adalah kaidah مَنِ اسْتَعْجَلَ شَيْئًا قَبْلَ أَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ (Siapa yang terburu-buru mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka ia dihukum dengan tidak mendapatkannya).
Contoh paling jelas dari kaidah ini adalah hadis Nabi ﷺ bahwa seorang pembunuh tidak mendapatkan warisan (اَلْقَاتِلُ لَا يَرِثُ). Seorang anak yang membunuh orang tuanya karena tidak sabar ingin mendapatkan warisan, maka sebagai hukumannya, ia sama sekali tidak akan mendapatkan warisan tersebut, di samping ia menanggung dosa besar. Para ulama berbeda pendapat, apakah larangan ini berlaku untuk semua jenis pembunuhan (termasuk yang tidak sengaja), atau hanya untuk pembunuhan yang disengaja karena motif warisan. Pendapat kedua, yang melihat pada konteks dan ‘illah (sebab) hukumnya, adalah yang lebih kuat dan diterapkan di pengadilan Saudi Arabia.
Kaidah ini juga berlaku dalam kasus wasiat. Orang yang membunuh pemberi wasiat agar segera mendapatkan bagiannya, maka ia dihukum dengan tidak mendapatkan wasiat tersebut.
Contoh lain dalam ibadah adalah kasus haji. Seseorang yang sudah berihram tidak bisa membatalkannya dengan niat. Jika ia sengaja merusak hajinya (misalnya dengan berjimak) agar bisa segera selesai, ia justru dihukum dengan empat hal: 1. Tetap wajib menyelesaikan seluruh rangkaian manasik hajinya walaupun sudah tidak sah; 2. Wajib membayar fidyah (seekor unta); 3. Wajib meng-qadha hajinya di tahun berikutnya; dan 4. Mendapat dosa besar. Ia terburu-buru ingin keluar dari ihram, malah dihukum dengan konsekuensi yang jauh lebih berat.
Terakhir, pada bait ke-30:
وَإِنْ أَتَى التَّحْرِيْمُ فِي نَفْسِ الْعَمَلْ ۞ أَوْ شَرْطِهِ فَذُوْ فَسَادٍ وَخَلَلْ
Wa in atat-tahrīmu fī nafsil-‘amal ۞ aw syarthihi fadzū fasādin wa khalal
(Dan jika datang larangan pada zat perbuatan itu sendiri ۞ Atau pada syaratnya, maka ia mengandung kerusakan dan cacat)
Ini sebenarnya adalah kaidah ushul fikih, yaitu اَلنَّهْيُ هَلْ يَقْتَضِي الْفَسَادَ؟ (Apakah sebuah larangan mengakibatkan batalnya suatu perbuatan?). Ini adalah salah satu pembahasan yang paling rumit dan menjadi sumber perbedaan pendapat di kalangan ulama. Kapan sebuah larangan membuat suatu ibadah atau muamalah menjadi tidak sah, dan kapan tidak?
Secara umum, ada tiga pendapat utama:
- Pendapat Pertama (yang disebut Syekh as-Sa’di): Larangan mengakibatkan batal jika larangan itu ditujukan langsung pada zat perbuatan itu sendiri (misalnya larangan jual beli riba) atau pada syarat sahnya perbuatan (misalnya larangan salat dalam keadaan berhadas, di mana bersuci adalah syarat sah salat). Namun jika larangan hanya terkait sifat atau cara perbuatan, bukan zat atau syaratnya (seperti larangan duduk iqa’ seperti anjing dalam salat), maka perbuatannya tetap sah meskipun pelakunya berdosa atau perbuatannya makruh.
- Pendapat Kedua (dipegang Mazhab Hanbali): Semua larangan mengakibatkan batal, kecuali jika ada dalil lain yang menunjukkan bahwa perbuatan itu tetap sah. Contoh, Nabi ﷺ melarang beberapa gerakan dalam salat, namun tidak memerintahkan sahabat untuk mengulanginya, ini menunjukkan perbuatan itu tidak membatalkan salat.
- Pendapat Ketiga (dipegang Ibnu Taimiyyah & Ibnu Rajab): Dibedakan antara hak Allah dan hak hamba. Jika larangan berkaitan dengan hak Allah (ibadah murni), maka perbuatan itu batal. Jika larangan berkaitan dengan hak hamba (muamalah), maka keabsahannya tergantung pada keridaan pihak yang haknya dilanggar. Contohnya dalam jual beli yang mengandung penipuan (ghubn), akadnya menjadi sah jika si pembeli rida dan batal jika ia tidak rida.
Pendapat kedua dan ketiga pada dasarnya sangat berdekatan. Sebagai contoh, jual beli saat azan Jumat. Jumhur ulama mengatakan akadnya sah tapi pelakunya berdosa. Mengapa sah? Karena larangan itu bukan pada zat jual belinya (karena musafir atau wanita boleh bertransaksi saat itu), melainkan karena alasan eksternal, yaitu melalaikan dari salat Jumat.
Tanya Jawab dan Penutup
(Di sesi ini, Ustaz menjawab beberapa pertanyaan fikih dari peserta, di antaranya tentang kesalahan makmum dalam rakaat salat, hukum jual beli buah sistem ijon, hukum mengambil harta dari orang yang berutang, dan status sistem booking non-refundable, yang kemudian ditutup dengan doa).
Barakallahu fikum. Semoga Allah berkahi pertemuan kita sore hari ini. Insyaallah di pertemuan mendatang, pertemuan terakhir, hari keempat, semoga Allah mudahkan kita untuk menyelesaikan kitab ini. Jazakumullahu khairan ‘ala hudurikum.
وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى نَبِيِّنَا وَحَبِيْبِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ.
اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.