طَيِّبْ. بِسْمِ اللهِ، اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ. أَمَّا بَعْدُ. Eh, ikhwah fillah, ahabbakumullah.
Kita lanjutkan pembahasan kita di sesi yang kedua di hari yang ketiga dalam daurah Ma’had Ilmi, Daurah Qawaid Fikhiyyah, sampai pada perkataan atau matan bait yang ke-22. Perkataan Syekh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah:
وَالْأَصْلُ فِي عَادَاتِنَا الْإِبَاحَةُ ۞ حَتَّى يَجِيْءَ صَارِفُ الْإِبَاحَةِ
Ya, hukum asal adat itu boleh ya, sampai datang yang tidak membolehkannya. Atau ini masuk dalam kaidah اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ (Al-‘Adatu Muhakkamah) ya. Adat itu dijadikan hukum. Adat itu boleh dilaksanakan, bukan berarti syariat datang, adat dihilangkan. Gak, ya? Selama apa? Selama tidak ada yang melarangnya, tidak ada yang mengharamkannya. طَيِّبْ (Thayyib).
Eh, kata Syekh Abdus Salam asy-Syuwai’ir, kaidah yang berikut ini ya, bedanya dengan kaidah sebelumnya adalah, kaidah yang sebelumnya yaitu kaidah tentang اَلْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ, اَلْأَصْلُ فِي اللُّحُوْمِ, اَلْأَصْلُ فِي الْمِيَاهِ الطَّهَارَةُ, اَلْأَصْلُ فِي اللِّبَاسِ الطَّهَارَةُ, itu berkaitan dengan أَعْيَان (a’yan), benda ya, berkaitan dengan benda. Sedangkan kaidah yang akan kita bahas ini berkaitan dengan perbuatan. اُنْظُرِ الْفَرْقَ بَيْنَ الْأَعْيَانِ وَالْأَفْعَالِ. Maka perhatikan perbedaan ini. Yang tadi pembahasannya أَعْيَان (a’yan), benda yang kita lihat-lihat tuh, hewan, pakaian, air ya. Sedangkan ee pembahasan sekarang adalah tentang أَفْعَال (af’al). Dan sebagian ulama membedakan hukum antara keduanya. Hukum asal benda-benda halal, boleh digunakan, sedangkan hukum asal perbuatan adalah haram. Ada ulama yang berpendapat demikian ya. Eh, فَتَنَبَّهْ لِذٰلِكَ (fatanabbah lidzalika) itu ya. Dan aku rasa itu adalah pendapatnya Ibnu ‘Aqil dalam kitab Al-Wadih. Ya, aku rasa itu adalah pendapatnya Ibnu ‘Aqil. Ibnu ‘Aqil al-Hambali ya. Eh, dalam kitabnya Al-Wadih fi Ushulil Fiqh. Ibnu ‘Aqil al-Hambali ini adalah penulis kitab Al-Funun ya. Penulis kitab Al-Funun yang disebut-sebut sebagai apa? Ensiklopedi Islam terbesar. Tidak ada kitab yang lebih besar dari kitab Al-Funun. Bahkan para ulama mengatakan Al-Funun itu sampai 800 jilid. Ya, 800 jilid. Antum punya kitab Al-Funun saja itu maktabah sudah penuh. Cuman masalahnya kitabnya hilang ya. Cuma ditemukan ee dua jilid saja di Prancis. Ya, mereka ambil ilmu-ilmu itu dua jilid aja dari 800 jilid. Dari 800 jilid. Namun dari mana kita tahu? Dari biografi yang disebutkan oleh ulama-ulama dulu yang mereka lihat kitabnya. Dan beliau punya kitab Al-Wadih fi Ushulil Fiqh.
طَيِّبْ (Thayyib). وَالصَّوَابُ أَنَّ الْأَصْلَ فِي الْأَعْيَانِ وَالْأَصْلَ فِي الْأَفْعَالِ وَهِيَ الْعَادَاتُ الْإِبَاحَةُ. Tapi yang benar kata beliau, hukum asal benda-benda dan hukum asal ee perbuatan, yaitu adat, adalah boleh. Dua-duanya hukumnya boleh, gak perlu dibedakan. Mau perbuatan ee bukan perbuatan ibadah ya, tapi perbuatan ee yang duniawi, yang perbuatan yang kita lakukan sehari-hari, kegiatan kita. Begitu juga dengan benda-benda, hukum asalnya dua-duanya adalah ibahah, لَا فَرْقَ (la farqa), tidak ada bedanya. Dan ini yang disebut dengan اَلْبَرَاءَةُ الْأَصْلِيَّةُ (al-bara’ah al-asliyah). Ya, gak ada tanggungan, gak ada beban. Yaitu apa? Lepas dari tanggungan. Pada asalnya kita tidak diberikan tanggungan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala kecuali yang Allah sebutkan itu jadi tanggungan kita, jadi beban kita ya. Maka jangan pernah mengatakan ini wajib, ini disyariatkan, ini disuruh Allah, kecuali kalau Allah yang, kalau jelas dalilnya. Adapun selain itu ya maka bebas ya. فَلَيْسَ بِوَاجِبٍ وَلَا مُحَرَّمٍ (Falaisa biwajibin wala muharramin). Maka hukum asalnya gak wajib, gak haram, bebas gitu ya. Gak ada taklif. وَلَا مَنْدُوْبٍ وَلَا مَسْنُوْنٍ (Wala mandubin wala masnunin), gak sunah ya, وَإِنَّمَا هُوَ مُبَاحٌ (wa innama huwa mubah), tapi mubah ya, bebas aja antum mau ngerjain, kerjain, gak mau, ya nggak. Sampai datang dalil lalu memalingkannya dari hukum mubah. حَتَّى يَرِدَ دَلِيْلٌ فَيُوْجِبُ (Hatta yarida dalilun fayujibu), ya ada dalil yang mewajibkan, أَوْ يُحَرِّمُ (au yuharrimu), atau ada dalil yang mengharamkan ya, أَوْ يَنْدُبُ (au yandubu), atau ada dalil yang menyunahkan, أَوْ يَدُلُّ عَلَى الْكَرَاهَةِ (au yadullu ‘alal karahah), atau ada dalil yang menunjukkan itu makruh, ada taklif di situ, yang ada pahala, ada dosanya. Ya, adapun selain itu bebas. Kita gak bahas niat ya. Niat pembahasannya beda lagi. Yang kita lihat adalah dilihat dari perbuatannya ya. Perbuatannya. Karena kalau masalah niat, hal yang mubah pun bisa jadi pahala ya. Bisa jadi pahala.
Dan dalil-dalil ini banyak, mungkin nas, mungkin اِسْتِئْنَاس (isti’nas). Istinas itu nganggap ya, dipakai apa? Sesuatu pakai perasaan gitu. Kadang sesuatu, sesuatu yang yang mustakhbath ya, suatu yang kita jiji dan sebagainya tentu itu hal yang di, gak baik untuk dilakukan ya. Atau bisa mungkin dengan kias ya. Atau dengan dalil-dalil yang banyak, yaitu dalil-dalil ushul fikih. Ya. Jadi kalau ana dikit singgung istinas, istinas itu tidak hanya satu ya, banyak. Ada sesuatu yang bukan dalil menurut sebagian ulama, tapi mereka jadikan itu istinasan, gitu. Seperti Syafi’iyah. Syafi’iyah itu tidak mengakui kehujahan dalil ee umat sebelumnya. Jadi kalau seandainya ada pembahasan hukum umat sebelumnya, itu gak bisa untuk menjadikan dalil untuk umat sekarang. Kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikrar bahwasanya apa? Hukum itu masih berlaku sekarang. Karena hukum asalnya hukum orang itu beda sama hukum kita. Umat sebelum kita beda sama kita. Cuma terkadang mereka sebutkan apa yang dilakukan oleh umat terdahulu gitu. Bukan sebagai dalil, tapi sebagai istinas, penguat. Nah, itu sebagai penguat, penenang. Ya, jadi tambah tenang antum ketika mengerjakan hal tersebut. Tapi dia bukan dalil utama. Nah, itu istinas tuh. Oke.
اَلْأَصْلُ فِي الْعَادَاتِ تَشْمَلُ الْمُعَاقَدَاتِ. Eh, hukum asal pada adat ya, adat atau yang biasa kita lakukan, kebiasaan ya. Baik itu kebiasaan sebagai ‘urf masyarakat atau kebiasaan kita sendiri, masuk di situ apa? Akad-akad. Ya, jadi seorang itu boleh melakukan akad, boleh jual, boleh membeli. Selama tidak ada dalil yang mengharamkan. Ya. Atau ada di situ sebab-sebab yang diharamkan oleh syariat dalam akad. Ya. Nah, ini komanya salah nih. Seseorang boleh melakukan akad, kecuali, bukan ada illa, itu مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيْلٌ بِالتَّحْرِيْمِ. Oke. Selama tidak diharamkan. Seharusnya titik situ atau koma. Dan sebab-sebab atau makna-makna yang menjadi induk pengharaman akad dalam jual beli itu dalam Islam cuma tiga, kata beliau. Yang pertama riba. Yang kedua gharar, yang ketiga تَحْرِيْمُ لِعَيْنِهِ, atau apa yang diperjualbelikan haram bendanya. Ya, eh benda yang dijual haram, gak ada riba, tidak ada gharar. Tapi antum jual babi, haram. Dia, “Kan enggak ada riba, Ustaz.” Nah, ini ada masalah riba kita ini. Babinya haram ya. Enggak ada riba, tapi jual rokok misalnya gitu. Eh, tidak ada sebab keharaman, ya, bukan tahlil, tahrim. Selain tiga ini tidak ada sebab keharaman ya. Ima gharar, ima dia riba, ima dia eh عَيْنُ التَّحْرِيْم (‘ainut tahrim). Sebagian ulama mengatakan gharar dan riba kembali pada satu, yaitu الظُّلْم (kezaliman) ya, kezaliman.
Begitu pula dalam masalah apa? Berinteraksi dengan manusia, kumpul sama manusia, duduk-duduk bersama mereka. Maka secara asal, kebiasaanmu atau perbuatanmu, interaksimu dengan mereka itu hukumnya boleh. Ya, selama tidak ada larangan atau yang mewajibkan antum harus lakukan. Maka kalau seandainya ada dalilnya yang menyunahkan atau memakruhkan atau mengharamkan atau mewajibkan, maka berpindah hukumnya dari hukum pertama yaitu mubah ke hukum yang kedua. Bisa wajib, bisa mubah, bisa makruh, bisa haram.
Dan kaidah ini adalah kaidah yang besar, kaidah menyeluruh ya. Kaidah اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ (al-‘adah muhakkamah). Sebagaimana yang ku sebutkan ya di awal-awal bahwasanya ini bisa kalian masukkan kaidah ini ya ke mayoritas bab اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ (al-‘adah muhakkamah). Cara berpakaian, cara bermuamalah dan sebagainya. Ya, sampai engkau bikin sendiri kaidahnya ya, sesuai dengan, eh engkau gunakan kaidah ini untuk menghukumi hal-hal itu.
Contohnya apa? Ketika misalkan kita bahas syarat, اَلْأَصْلُ فِي الشُّرُوْطِ الْجَوَاز (hukum asal antum memberikan syarat dalam jual beli itu boleh). Hukum asal syarat itu boleh. Karena hukum asal adat itu ibahah, ya kegiatan kita ya, untuk beli sesuatu kasih syarat, “Ana beli ini tapi syaratnya apa? Antarin ke rumah,” ya misalkan. Boleh-boleh aja gak ada masalah. Manusia dari dulu jual beli dan mereka memberikan syarat satu sama lain ya, di luar jual beli juga ada syarat-syarat yang perlu kita, yang diajukan, wajib kita penuhi. Dan tidak ada dalil yang jelas melarang kita untuk membuat syarat. Adapun hadis larangan tentang jual beli dan syarat, ya, walau kalaulah seandainya hadis tersebut kita katakan sahih, karena sebagian ulama mengatakan hadisnya lemah ya, adanya syarat dalam jual beli. Namun hadis itu kalau kita katakan dia sahih, maka para ulama memaknainya syarat yang dilarang di situ adalah بَيْعُ الْعِيْنَةِ. Ya, ‘inah itu adalah salah satu bentuk hilah dari riba. Ya, nanti dilihat di sini beliau menjelaskan karena di hadis-hadis yang lain, dalam riwayat-riwayat yang lain menjelaskan bahwasanya syarat yang ada di situ adalah syarat ‘inah. Sehingga makna syarat yang dilarang itu adalah syarat yang dimaksud oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu apa? “Aku jual ini ya dengan utang, dengan syarat aku beli lagi nanti darimu dengan harga sekian cash.” Tahu jual beli ‘inah ya, yaitu hilah untuk minjam gitu ya. Ana jual HP ana ya ke antum. Harga berapa? 5 juta, طَيِّبْ (thayyib). Hutang, antum bayarnya hutang, ana oke. Sudah itu nanti ana beli lagi dari antum, berapa? 4 juta cash. HP balik, 4 juta pindah. Yang beli punya hutang berapa? Soal cerita loh ini, berarti dia punya hutang berapa? 5 juta. Dia punya uang berapa? Dia dapat uang berapa? HP balik nih. Dia dapat uang 4 juta. Utangnya berapa? 5 juta. Paham ya? Sebenarnya apa? Pinjam uang ana 4 juta ya, nanti ana balikin 5 juta. Nah, itu dia. Karena HP-nya enggak pindah kan. HP-nya balik lagi. طَيِّبْ (Thayyib). Sehingga apa? Jual beli seperti itu dilarang. Jadi syarat di sini bukan mutlaqu asy-syarth, yang alif lam di situ maksudnya لِلْجِنْس (lil jins), bukan semua syarat, bukan. Tapi yang dilarang adalah syarat yang khusus yang dimaksud oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ‘inah. Kata beliau, walaupun syarat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengatakan syarat di situ tanpa alif lam yang harusnya nakirah, itu tidak bisa dia dimaknai khusus ya, tapi dia secara makna ma’rifah. Ada nakirah-nakirah yang secara makna dia ma’rifah. طَيِّبْ (Thayyib). ‘Ala kulli hal, ya itu pembahasan ee rinciannya. Tapi ee asalnya adat itu dilakukan, adat itu diikuti, kebiasaan masyarakat itu diikuti. Ya, orang-orang di Arab biasa pakai, dulu zaman Nabi pakai izar, pakai rida’, kayak pakaian orang umrah itu, ihram tuh pakai rida’ pakaian atas, izar. Terus ini antum pakai kayak gitu kan gak pas ya. “Oh, ihram antum sini.” طَيِّبْ (Thayyib), kata orang-orang ya, sudah enggak, beda adat gitu ya. Beda, beda adat. Makanya sebagian ulama apa? Menganjurkan seseorang untuk memakai pakaian masyarakatnya. Karena dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu pakai jubah bukan karena, bukan karena, kok bukan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, salah satu alasan beliau pakai jubah adalah karena itu pakaian masyarakatnya, bukan pakaian orang ngaji itu ya. Karena Abu Jahal juga itu pakaiannya ya, bukan pakai pakaian orang ngaji, pakaiannya orang Arab. طَيِّبْ (Thayyib).
Kemudian di bait yang ke-23 beliau mengatakan:
وَلَيْسَ مَشْرُوْعًا مِنَ الْأُمُوْرِ ۞ غَيْرُ الَّذِيْ فِي شَرْعِنَا مَذْكُوْرِ
Ya, tidak disyariatkan hal-hal yang dalam syariat kita tidak disebutkan. Nah, ini hukum asal apa? Ibadah ya. Beda ya tadi ya. Ada tadi yang pertama hukum asal ذَوَات (dzawat), أَعْيَان (a’yan). Benda yang ditunjuk tuh. Kemudian hukum asal perbuatan. Sekarang hukum asal perbuatan duniawi yang mubah-mubah. Kemudian beliau jelaskan kecuali kalau seandainya perbuatan itu berkaitan dengan syariat. Ya, bagaimana hukumnya? Kata Syekh, ini pengecualian dari kaidah sebelumnya. Hukum asalnya kan semua perbuatan itu boleh, kecuali yang berhubungan dengan syariat. Jadi semua perbuatan dalam interaksimu dengan orang lain atau pada, atau perbuatan yang berkaitan dengan dirimu sendiri. Adat khusus kita, kebiasaan khusus kita. Semuanya boleh. Sampai apa? Datang dalil yang memindahkan mubah itu menjadi tahrim, haram, atau terlarang, atau jadi wajib. Atau mungkin tidak wajib tapi sunah. Kecuali kalau seandainya perbuatan itu berhubungan berkaitan dengan apa? Ibadahmu kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Maka hukum asal ibadah adalah terlarang. Makanya Syekh Sa’di mengatakan, “وَلَيْسَ مَشْرُوْعًا مِنَ الْأُمُوْرِ غَيْرُ الَّذِيْ فِي شَرْعِنَا مَذْكُوْرِ”. Ya, tidaklah disyariatkan urusan-urusan yang di syariat kita tidak disebutkan. Tidak disyariatkan kita beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala kecuali dengan yang Allah syariatkan. Kita beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala itu kan cari rida Allah gitu. Dari mana kita tahu itu diridai Allah atau tidak? Tentunya berarti Allah yang ngasih tahu. Saya suka itu, saya gak suka itu. Gitu ya. Saya suka ini dan saya tidak suka itu. Harus dijelaskan sama Allah Subhanahu wa ta’ala. Kalau seandainya kita tahu itu ee tidak disebutkan, Allah gak menyebutkan itu disukai, terus kita mengatakan, “Gak, ini disukai Allah,” berarti kita sok tahu namanya. Ya, makanya itu diutuslah seorang rasul agar memberitahu kita apa yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, apa yang Allah inginkan dari kita. Bukan kita sendiri yang memikirkan itu. Nabi diutus sudah menjelaskan semuanya. طَيِّبْ (Thayyib).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ”. Siapa ahdatsa? Itu artinya apa? Melakukan satu hal yang baru yang gak ada sebelumnya. Itu ahdatsa tuh, gak ada sebelumnya. Lalu kita lakukan فِي أَمْرِنَا (dalam urusan kami ini). Apa urusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Agama. Urusan dunia gak ada masalah. Maka jangan lagi ada yang bertanya ya, “Kalau seandainya gak boleh, bikin jembatan gak boleh, mikrofon gak boleh.” Nabi ndak nyuruh kita, gak nak ngurus mikrofon ya. Nabi datang ke dunia ini ndak nyuruh kita, gak ngajarin kita buat mikrofon, gak. Sehingga harus antum bahas mikrofon terus, gitu. “Berarti gak boleh bangun sekolah.” Nabi di sini bukan untuk antum mau bangun sekolah atau tidak, itu mau pakai karpet, gak karpet, ini gimana bikin, gak ada Nabi urus itu. Masalah agama, ibadah. فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ (padahal bukan bagian dari agama ya). Jadi kita memasukkan ke dalam agama sesuatu yang bukan dari agama, فَهُوَ رَدٌّ (maka itu tertolak). Poinnya adalah pada yang disyariatkan Allah, bukan pada pemikiran manusia.
Maka tidak ada namanya dalam syariat yang namanya bid’ah yang baik. Semua bid’ah itu pasti buruk. Kalau seandainya engkau berdalil dengan bagaimana ‘Umar bin Khattab dahulunya mengumpulkan orang-orang salat tarawih ya, di satu, pada satu imam ya, pada satu imam yang awalnya ‘Umar melihat orang apa? Satu salat di sini berapa jamaah, satu salat di sana, satu salat sana, jamaah-jamaah jadi banyak. Maka ‘Umar ingin kumpulkan mereka di satu jamaah saja, satu imam, Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, di bawah ee apa, yang jadi imamnya Ubay bin Ka’ab. Kemudian ‘Umar mengatakan apa? نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ (“Sebaik-baik bid’ah ini nih”). Kata, berarti ‘Umar apa? Bilang ada bid’ah. Bid’ah ‘Umar aja bilang bid’ah ada yang baik, kok antum bilang gak ada. Ni gimana ceritanya ya? Maka kita jawab, kata beliau, Syekh ‘Umar ya, jadi antum jangan bingung lihat panggilan Syekh ‘Umar ya. Karena kata beliau, mereka berdua adalah Syekh, Abu Bakar dan ‘Umar, Syaikhal Jannah. ‘Umar dan Abu Bakar itu syaikhan, yaitu syekh di surga ya, pemimpin di surga kita. ‘Umar radhiyallahu ‘anhu tidak bermaksud dengan bid’ah itu yang kau maksud, yaitu اَلْإِحْدَاث (al-ihdats). Ya, ‘Umar ketika mengatakan ni’mal bid’ah, sebaik-baik bid’ah, itu bukan maksudnya yang kau maksud, yaitu اَلْإِحْدَاث. Perbuatan yang kita bahas tadi apa? Membuat hal yang baru yang sebelumnya gak ada. Yang dimaksud ‘Umar adalah makna lughawi, secara bahasa ya. Secara bahasa sesuatu yang baru, bukan ihdats. Sesuatu yang sebelumnya gak ada lalu diadakan, dak. Bukan itu. Tapi ini hal yang baru memang, karena sahabat melakukan apa? Ee salatnya pencar-pencar. Tapi apakah sebelumnya itu gak benar-benar tidak ada? Oh, ternyata ada. Ya, ‘Umar tidak membuat hal yang baru. Salat tarawih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu melakukan salat tarawih 4 hari atau 3 hari. Beda riwayat. Ada yang mengatakan 3 hari, ada yang bedakan mengatakan 4 malam. Ya. 3 malam atau 4 malam. Beliau salat ee selama 3 malam atau 4 malam. Beliau lakukan salat jamaah. Satu imam. Siapa imamnya? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salatnya di mana? Di masjid. Kemudian ditinggalkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah bukan, apakah karena bukan disyariatkan? Bukan karena itu tidak lagi disyariatkan. Apa kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? خَشْيَةَ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ (“Aku takut nanti diwajibkan”). Nah, bahaya diwajibkan salat tarawih antum. Hah, dipanjangin lagi ya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam salat tarawihnya panjang ya. Sampai-sampai sahabat bilang, نَخْشَى أَنْ يَفُوْتَنَا الْفَلَاحُ (“Sampai-sampai kami ngerasa gak bisa sahur kita nih”). Sepanjang itu salatnya. Sepanjang itu salatnya. Ya, kalau kita, “Wah, kurang waktu tidur sejam ni.” Ini berarti bukti bahwasanya ‘Umar tidak membuat hal yang baru. Ada contohnya sebelumnya. Beliau mengumpulkan manusia yang sebelumnya lima orang satu imam, lima orang satu imam, lima orang satu imam. Kemudian dikumpulkan semua jadi jamaah satu, imam satu. Kayak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu gitu. Berarti ada contoh ya. Ini gak, bukan maslahat mursalah ya. Jangan dikatakan gak ada dalil, maslahat. Lihat ‘Umar tuh melihat maslahat daripada pencar-pencar ya mending disatukan. Ada maslahat pada salat tarawih dengan satu imam ya dan tidak ada contoh sebelumnya sehingga kita sebut maslahat mursalah, gak. Bukan maslahat mursalah. Kenapa? Karena ini maslahat yang sudah diajarkan sama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. طَيِّبْ (Thayyib).
Dikatakan bid’ah kenapa? Karena di masa, di masa Nabi cuma 3 malam habis itu hilang. Di masa Abu Bakar juga tidak dilakukan. Abu Bakar tuh sibuk apa? Ngurus masalah internal. Terlalu banyak perangnya, cuma 2 tahun. Nabi palsu muncul, orang murtad banyak. Ya. Kemudian masalah orang yang gak mau bayar zakat. Sibuk. Ketika sudah kondusif, ‘Umar mimpin. Maka ‘Umar bisa lihat hal-hal yang demikian. Ya, mulai dibenahi sedikit demi sedikit. طَيِّبْ (Thayyib). Berapa lama manusia meninggalkan perbuatan itu? ‘Umar mengembalikan apa yang dulunya dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ya, Nabi dulu melakukannya kemudian meninggalkannya karena takut ee diwajibkan. Ketika tidak ada lagi kemungkinan diwajibkan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah meninggal, tidak ada lagi syariat yang turun ya, maka manusia ingin mengembalikan ke keadaan, kondisi pertama. ‘Umar mengembalikan manusia dengan satu imam. Ini bukan bid’ah, ini bukan hal yang baru, tapi apa? Mengembalikan ke kondisi awal. Gak ada di sini makna bid’ah dalam artian apa? Hal yang baru, hal yang sama sekali tidak ada contohnya. Karena ini bid’ah kalau seandainya dilihat dari satu sudut pandang, yaitu apa? Sebelumnya manusia tidak lagi mengerjakan itu. Tapi apakah benar-benar ini tidak ada contohnya? Gak ada contohnya. Contohnya misal orang mengatakan, eh ada perbuatan di hari ini yang 5 hari yang lalu kita gak pernah kerjakan. Kita sudah lama ngerjainnya ya. Beberapa bulan yang lalu antum kerjain, terus antum ulang lagi. Ah itu bid’ah tuh. Dilihat dari sisi itu ya. Kalau misalkan ada satu masjid sudah lama enggak kepakai, terbengkalai dia, tertutup, kemudian ada orang yang menghidupkan kembali salatnya, bisa kita katakan ini bid’ah nih, bid’ah baik nih gitu ya. Yakni ahdatsa secara bahasa, bukan maknanya bid’ah dalam agama dalam artian tidak ada contohnya. Maksudnya ya, ini masjid sudah lama ditinggalin, gak ada orang pakai-pakai. Berapa tahun gak dipakai-pakai, tiba-tiba antum hidupkan lagi, antum bersihkan, antum azan di situ. Kata orang-orang, “Bid’ah ini,” kata orang ya. Dalam artian apa? Sudah lama enggak ada salat di situ, kemudian ada lagi, gitu. Secara bahasa itu diterima ya. Dan kaidah ini sangat penting sekali. Ini di antara hal terpenting yang berkaitan dengan banyak ibadah manusia. Orang yang memperhatikan fikih dalam artian apa? Kita harus berpegang teguh dengan sumber fikihnya. Sumber fikih itu apa? مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ. Ya. Harus kita perhatikan ini.
Namun, sebagian ulama ada yang ee terlalu apa? Berlebihan. Terlalu sering menggunakan istilah bid’ah bukan pada istilah syariat. Ya. Jadi hati-hati ketika baca kitab ulama seperti apa? Kitabnya Imam Malik. Beliau sering menggunakan ee bahasa, perbuatan-perbuatan dunia itu disebut bid’ah sama beliau. مَنْ فَعَلَ كَذَا فَهُوَ بِدْعَةٌ. Ya, siapa yang melakukan ini maka itu bid’ah. Ini maksud Imam Malik adalah di sisi bahasa, bukan dari sisi syariat. Jadi beliau lebih ee apa? Bebas menggunain kata bid’ahnya. Bukan bid’ah yang kita khususkan dalam syariat ya. Tapi maknanya secara bahasa, ini hal yang baru yang dulunya dilakukan orang ya. Tapi dia bukanlah ibadah yang berkaitan dengan agama, طَيِّبْ (thayyib). Yang tidak boleh kita lakukan ketika kita beribadah kepada Allah.
طَيِّبْ (Thayyib). Sekarang kita pindah ke bait yang ke-24.
وَسَائِرُ الْأُمُوْرِ كَالْمَقَاصِدِ ۞ وَاحْكُمْ بِهَذَا الْحُكْمِ لِلزَّوَائِدِ
Ini ada dua kaidah dalam bait ini. Yang pertama berhubungan dengan wasilah. Yang kedua berhubungan dengan tambahan. Satu wasilahnya, satu tambahannya. Jadi, satu istilahnya wasail, satu istilahnya zawaid. Kita lihat dulu hukum wasail. Dan ini kaidah yang sangat penting sekali. Kenapa? Karena wasilah ini akan selalu, apa? Selalu akan ada yang baru ya. Selalu akan ada yang baru. Maka kita perlu mempelajari hukum-hukum wasilah ya. Dulu unta ya, sekarang apa sekarang tu? Dulu onta merah, sekarang Ferrari merah, kata ya, beda tu ya. Tapi itu wasilah ya. Itu wasilah. Dulu orang pakai surat, sekarang pakai WA. Nah, ini hukum-hukum seperti ini perlu kita pelajari.
وَسَائِرُ الْأُمُوْرِ كَالْمَقَاصِدِ (Semua masalah, semua urusan itu atau wasilah itu hukumnya mengikuti hukum tujuan). Bahwasanya wasilah itu sama hukumnya dengan tujuannya. Maksudnya adalah, kalau seandainya tujuannya wajib, maka wasilahnya pun jadi wajib. Ya, pergi haji bagi yang mampu wajib. Maka setiap wasilahnya jadi wajib. Naik pesawatnya jadi wajib. Kalau seandainya pergi harus naik ee pesawat ya. Ngurus paspornya jadi wajib. Karena antum gak bisa haji kecuali ngurus paspor dan visa dan sebagainya. Jangan hajilah, nanti muncul pertanyaan pula di akhir. Haji wajib gak, Ustaz? Kita ganti, kita ganti ya. Kalau seandainya tujuannya haram, maka wasilahnya jadi haram. Zina haram. Wasilahnya juga jadi haram. Contohnya apa? Wasilah zina, memandang. Sehingga apa? Memandang pun hukumnya haram. Kenapa? Karena memandang itu adalah salah satu wasilah menuju zina.
Salat hukumnya wajib. Ya. Salat di masjid hukumnya wajib. Menurut Hanabilah hukumnya wajib. Tidak mungkin kita bisa pergi masjid illa bil masy’, eh kecuali dengan jalan. Maka antum pergi ke masjid jadi wajib. Salat Jumat wajib di, ee dilakukan di masjid. Ya, maka pergi jalan ke masjidnya wajib. Ya, Allah berfirman, “يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا”. Ya, wahai orang-orang yang beriman, kalau seandainya sudah datang panggilan azan untuk salat Jumat, فَاسْعَوْا (maka wajib apa? Pergi ya untuk memenuhi panggilan tersebut). Maka pergi untuk menghadiri salat Jumat itu wajib. Antum jalan kah ya, naik motor kah, naik mobil kah, wajib. Kenapa? Karena itu pergi untuk menuju satu yang wajib, maka wasilahnya pun, ya itu jalannya, jadi wajib.
Memang para ulama eh merinci ya, masalah hukum pergi ke masjidnya. Berapa batasan jarak ya, orang wajib mendatangi jumatan tuh, yang kalau seandainya jaraknya lebih dari itu maka dia tidak wajib pergi ee jumatan atau salat jamaah. Jarak ini yang dibahas para ulama ini akan melahirkan hukum-hukum ee lainnya. Ada yang berpendapat bahwasanya apa? Ee satu farsakh ya. Satu, satu farsakh. Satu farsakh itu berapa? 5 kiloan, 3 sampai 5 kiloan. Maka siapa yang jarak rumahnya dengan masjidnya satu farsakh, maka dia wajib datang, pergi temui salat Jumat. Jarak ini tentunya kita cari dengan dalil-dalil, ditumpulkan dalil-dalil masalah itu ya, tidak diambil begitu saja. Maksud saya di sini kenapa saya sebutkan, intinya adalah kembali ke pembahasan tadi bahwasanya wasilah ee mengambil hukum tujuannya ya. Adapun pembahasan berapa jarak wajib orang wajib pergi ke masjid, nah itu mencari di kitab apa? Fikih ya. Cari di kitab-kitab fikih. Beda, beda pendapat para ulama ya. Jarak-jarak orang yang wajib untuk menghadiri jamaah atau Jumat.
Tapi tidak mutlak, kata beliau ya, wasilah itu mengambil hukum tujuan, tapi tidak mutlak. Seperti tadi masalah apa? Kenapa beliau sebutkan ini? Masalah jarak itu ya, karena zaman sekarang itu orang kan pakai mic. Antum sejauh apapun tinggal ya, terdengar gitu. Apakah wajib pergi jumatan gitu? Kalau pakai, pakai kaidah ini kan tentu wajib sejauh apapun itu. Ternyata tidak semutlak itu penerapan kaidahnya ya. Ada pembahasan-pembahasan para ulama mengatakan bahwasanya ada jarak-jarak. Kalau seandainya antum lebih dari jarak itu, walaupun antum terdengar azan dari mic-nya, ya apalagi mic-nya bagus gitu ya. Oh, 10 kilo kedengar sama dia ya. Makanya seperti itu tidak wajib untuk menghadirinya, gitu. Cuman masalahnya kita di Indonesia ya. Antum enggak bisa lari ya. Enggak bisa lari, antum dikepung sama masjid. “Itu jauh, Ustaz.” Tapi kan ini dekat. طَيِّبْ (Thayyib).
Dan itu karena ada perbedaan-perbedaan ya, ada sudut pandang-sudut pandang ya, aku sebutkan sebagiannya. Bahwasanya wasilah itu ngambil sama seperti hukum tujuannya, tapi ada perbedaan. Lakinnahu bifuruqat ya, ada perbedaan-perbedaan di antaranya. Memang asalnya wasilah sama seperti tujuan, tapi ada perbedaan di beberapa hukum wasilah dengan tujuan. Contoh, bahwasanya pengharaman wasilah itu lebih ringan daripada pengharaman tujuan. Jadi jangan disamakan tingkatan haramnya zina sama memandang. Sama-sama haram, tapi yang satu wasilah, yang satu intinya. Makanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan setiap bani Adam itu, itu ee, itu ditetapkan zinanya ya. Susah lepas dari semua bentuk zina. Tapi yang satu zina kecil, yang satu zina besar. Ya, zina mata ketika dia memandang ya. Zina tangan ketika dia menyentuh. Zina kaki ketika dia melangkah. Maka nanti eksekusi siapa? Kemaluannya. Ah itu baru zina besar tuh. Tapi sebelum-sebelum itu adalah pengantar zina. Sama-sama haram tapi tingkatannya berbeda.
Yang kedua, sesuatu yang diharamkan karena dia wasilah, maka dia dibolehkan dengan dua syarat. Jadi yang poin pertama, haram yang tujuan itu lebih tinggi dosanya, lebih besar dosanya daripada haram yang wasilah. Yang kedua, sesuatu yang diharamkan karena dia wasilah, maka dia dibolehkan dengan dua syarat. Syarat pertama apa? Kalau seandainya aman rasanya ya, ee dari apa yang ditakutkan. Memandang itu dilarang karena takutnya terjadi zina. Maka syarat pertama dia jadi boleh, syarat pertamanya apa? Aman. Yang kedua, وَوُجِدَتِ الْحَاجَةُ (dan ada kebutuhan). Bukan sekedar aman aja ya, tapi ada kebutuhan. Maka dalam kondisi ini dia boleh. Beda sama zinanya. “Ana perlu, Ustaz.” Enggak ada, antum perlu ya haram. Contohnya apa? Memandang wanita. Melihat wanita asalnya gak boleh. Tapi kalau seandainya syarat pertama aman, ya syarat pertama aman, tidak terjadi zina, bisa kita, eh pastikan atau 80%, 90% kita bisa merasa ini aman ya, gak mungkin dia lakukan zina gitu dengan memandang itu. Yang kedua, tapi ada kebutuhan, seperti apa? Tatabbub. Tatabbub apa itu? Medis. Dokter periksa perempuan, dokter laki-laki periksa perempuan, pasien perempuan, ada kebutuhan. Tapi benar-benar ada kebutuhan gitu ya. Benar-benar ada kebutuhan. Sakitnya di tangan terus buka kakinya. Ini boleh ya. Di mana periksa, situ yang dilihat, sebatas yang dibutuhkan. Sebatas yang dibutuhkan. Dan syahadah, saksi. Ya, persaksian. Ketika wanita ini mengaku dia saksi, maka hakim melihat ya, karena kalau dia tutup semua, dia cadaran, mana hakim tahu ini orangnya siapa ini, gitu ya. Dibutuhkan ya, tapi di persidangan gitu. Jangan pula, “Sini, sini Mbak, tak lihat,” katanya, dia berdua-duaan dilihat, itu gak boleh nih, di persidangan ya. Gak mungkin hakimnya berzina di situ kan, gak mungkin dia lakukan itu, aman. Yang kedua ada kebutuhan. Dan taftisy, pemeriksaan ya. Pemeriksaan misalkan, “Saya perlu lihat,” ya, hajah, maka ini kebutuhan. Maka ini boleh. Eh, taftisy ini tidak hanya ini ya, dokter ya, pemeriksaan dalam artian apa? Dicurigai misalkan atau apa ya, curigai di pemeriksaan seperti bandara, seperti apa misalkan ya, dicurigai ya, ini benar perempuan apa gak nih orang nih ya, suruh buka cadarnya. Saudara, itu boleh, tapi tentu di tempat-tempatnya ya. Tapi gak khalwat ya. Maka boleh melihat perempuannya. Begitu juga misalkan seperti pernikahan, nazar dulu. Asalnya gak boleh, tapi dibolehkan karena ada kebutuhan dengan syarat aman, di depan mahramnya. Ya, jangan pula berdua-duaan. Gak boleh ya. “Ana mau nazar anti.” “Boleh, video call,” dia bilang. Ngapain datang ke rumah ya, video call. Kalau gak ada kebutuhan, gak boleh, walaupun antum merasa aman. “Ana saleh, Ustaz, tenang aja lah,” dia bilang. “Gak mungkin lah tergoda.” Gak boleh. Kenapa? Gak ada kebutuhan. Sehingga kita perlu bedakan antara tujuan dan wasilahnya. Ya, wasilahnya. Tidak sama sesuatu yang diharamkan karena dia wasilah, tidak sama hukumnya dengan sesuatu yang diharamkan karena dia intinya, tujuannya.
Adapun yang kaidah kedua tadi tentang apa? Zawaid, tambahan. Apa maksudnya? Yaitu yang ngikut, yang ngikutin hukumnya. Pergi ke masjid, wasilah tadi, pergi ke masjid untuk menghadiri salat jamaah itu wasilah karena gak mungkin sampai ke masjid kecuali dengan bergerak ke situ. Oke. Mana yang zawaid? Ketika pulang ke rumah. Ya. Yang pertama wasilah, karena antum ke masjid. Tapi selesai di masjid antum pulang ke rumah tuh. Itu zawaid ya. Kenapa dibahas? Ya, karena apa? Tu’jar ‘alaiha. Karena itu ada pahalanya ya. Karena itu ada pahalanya. Itu ada balasannya. Sebagaimana ketika antum pergi ke tempat yang haram. Tempat haram tuh wasilahnya antum jalan ke situ. Tidak hanya tempat haramnya antum dosa, jalannya dihitung dosa. Ketika jalannya dihitung dosa, antum pulang lagi itu dihitung dosa. Sebagaimana ketika antum pergi salat, pergi kajian sini dihitung pahalanya. Bensin yang habis, langkah kaki yang ini dihitung pahalanya. Ketika antum pulang ke rumah masih ikut pahalanya. Masyaallah. Ya, makanya kajian jauh-jauh ya banyak pahalanya. Pulang, pahala. Jadi jangan dikira pulang yang enggak ada pahala, gak, pulang yang ada pahalanya ya. Eh, ini dalam artian apa? Dia ngikut. Ketika antum pergi dia pahala, maka yang setelahnya ngikutin pahalanya. Mengambil hukum asalnya. Nanti akan masuk kita pembahasan. Ya, ini berdasarkan seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “إِنِّي لَأَرْجُوْ أَنْ يُكْتَبَ لِيْ مَمْشَايَ إِلَى الْمَسْجِدِ وَرُجُوْعِيْ إِذَا رَجَعْتُ إِلَى أَهْلِيْ”. (“Aku berharap pada Allah subhanahu wa ta’ala dicatat oleh Allah jalanku ke masjid dan pulangku dari masjid ketika aku pulang ke rumah”), kata sahabatnya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “إِنَّ اللهَ قَدْ جَمَعَ لَكَ ذَلِكَ كُلَّهُ”. Allah subhanahu wa ta’ala kasih antum semua pahala yang antum harapkan itu. Ya, perginya dihitung pahalanya, pulangnya dihitung. Tapi hati-hati ketika antum melakukan maksiat, semuanya dihitung. Perginya dihitung, pulangnya dihitung. Nah, maka cerdas-cerdaslah ya di hidup di dunia ini.
Di bait ke-25:
وَالْخِطْءُ وَالْإِكْرَاهُ وَالنِّسْيَانُ ۞ أَسْقَطَهُ مَعْبُوْدُنَا الرَّحْمَنُ
Kekeliruan, paksaan, lupa. Tuhan kita, sesembahan kita, Ar-Rahman, Sang Maha Pengasih, menggugurkannya. Masyaallah ya. Menggugurkannya. Insyaallah ya. Kita dikasih hidup di dunia paling lama berapa? Antum mau berapa? 200, 300 tahun? 400 kayak Nabi Nuh, 1000-an. 60-an ya. 60-an kortingnya sudah berapa tuh? Sebelum baligh, balik 15 tahun. Kalau antum hidup 60 tahun berarti sudah korting 15 tahun, tinggal 45 tahun. 45 tahun tidur 8 jam. Ya, kata dokter kan segitu, tidur 8 jam. 8 jam berarti kan sepertiga hidup. Sepertiga dari 45, 15. Sisa 30 tahun saja. 30 tahun lupanya banyak, ah dimaafkan lagi sama Allah. Bayangkan ya, sudah sebaik itu Allah ya. Sudah sebaik itulah. Maka jangan ada lagi kata-kata apa, ketika antum mendapat musibah, “Allah gak sayang sama ana.” Tabok ya, gak boleh ya ngomong seperti itu. Sebaik itu Allah Subhanahu. Makanya dikatakan oleh Syekh di sini, اَلرَّحْمَنُ (Ar-Rahman) ya, Ar-Rahman, yang Maha Penyayang, digugurkan lagi antum lupa, gak sengaja, ya dipaksa orang, gak dihitung lagi sama Allah tuh. Masyaallah.
Ini diambil dari firman Allah subhanahu wa ta’ala: “رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا”. Doanya para sahabat ya. Rabb kami, jangan kau hukum kami ketika kami lupa atau ketika kami akhta’na, artinya bukan ketika kami buat dosa ya, tapi ketika kami ndak sengaja. “رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ”. Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, Allah berfirman, “قَدْ فَعَلْتُ”. Bukan “قَدْ فَعَلْتُمْ”, “فَعَلْتُ”. Ya, Allah menjawab ketika dibaca doa ini, ya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suruh baca itu ayat itu. Kemudian Allah menjawab, “قَدْ فَعَلْتُ” (“Sudah Aku kabulkan”), kata Allah. Allah tidak akan hukum kalau seandainya kita lupa atau berbuat dosa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengatakan, “رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ وَمَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ” (“Dimaafkan dari umatku ketidaksengajaan, lupa, dan apa yang dipaksakan atas mereka”), ya diancam.
Maka hukum asalnya, orang yang melakukan ee kesalahan tidak sengaja maka dia dimaafkan kesalahannya. Orang yang dipaksa, diancam ya, maka dia dimaafkan dari apa yang diancamkan kepadanya, fil jumlah, secara umum. Ya, nanti akan ada pengecualiannya. Dan lupa, kadalika. Begitu pula ketika lupa, fil jumlah, secara umum. Demikian. Kenapa kita katakan secara umum? Karena ada beberapa kondisi yakni tidak dimaafkan kalau lupa. Gak ada alasan lupa antum di situ ya. Contohnya apa? Yaitu kaidah masyhurah, kaidah yang sangat terkenal yang disebutkan oleh para ulama. “إِنَّ النِّسْيَانَ يَجْعَلُ الْمَوْجُوْدَ مَعْدُوْمًا وَلَا يَجْعَلُ الْمَعْدُوْمَ مَوْجُوْدًا” (“Lupa itu menjadikan sesuatu yang ada jadi tidak ada, tapi tidak menjadikan sesuatu yang tidak ada menjadi ada”). Paham? Paham. Ya. Berarti gak perlu ana jelaskan kan? Menjadikan sesuatu yang ada seperti tidak ada. Ya contoh, antum makan ketika puasa, lupa. Makan. Maka makannya antum kan melakukan sesuatu, maka dianggap tidak ada. Maka antum dianggap gak makan. Puasa tetap lanjut, ya. Puasa tetap, tetap lanjut. Karena kalau orang lupa itu, sesuatu yang dia lakukan dianggap tidak melakukan karena dia lupa. طَيِّبْ (Thayyib). Sudah makan satu piring sate ya, minum lagi es teh ya. Terus baru ingat puasa. Itu dianggap gak makan. Sebaik itu ya. Masyaallah ya. Sudah kenyang, lanjut puasa kan. Sudah kenyang dapat pahala puasa tuh. Tapi tidak menjadikan sesuatu yang tidak ada jadi ada. Contohnya apa? Antum belum salat, lupa gitu. Apakah gara-gara lupa antum dianggap jadi sudah salat? Gak. Tetap salat. Makanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “مَنْ نَامَ عَنْ صَلَاةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا” (“Siapa yang tidur, ketiduran dari salat, atau dia lupa, dia lupa belum salat ya, maka hendaklah dia lakukan ketika dia ingat”). Jangan bilang sudah terlanjur. “Tadi kan lupa, Ustaz, sudah terlanjur,” dia bilang. “Ya udahlah ya, besok lagi aja,” dia bilang. Gak boleh.
Tapi ada ulama yang mengatakan, kalaulah seandainya hadis ini tidak ada. Kalaulah, sejelas ya, Allah, ee Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suruh ganti, qada salatnya. Tapi kalau hadis ini tidak ada, kita akan katakan, kata sebagian ulama, salat kalau seandainya kita lupa mengerjakan salat sampai lewat waktunya, zuhur lupa, eh lupa belum salat sampai waktu asar. Habis asar, salat asar, baru ingat, “Oh, zuhur belum.” Ya, maka yang seperti ini gugur. Kalau tidak ada hadis ini, mereka main kaidah nih. Tapi faktanya apa? Tetap salat. Kenapa? Karena ada hadisnya. Tapi kalaulah tidak ada hadis ini, maka kita akan katakan gugur salatnya. Kenapa? Karena hukum asal lupa itu sama seperti orang diancam, sama seperti orang yang melakukan kesalahan, sama seperti orang yang gak tahu. Salah satunya Ibnu Taimiyyah. Cuman kenapa tetap wajib diganti salat? Karena ada hadisnya. Kalaulah tidak ada hadisnya, Ibnu Taimiyyah akan mengatakan gak wajib qada. Tapi karena hadisnya ada, hadisnya ya sudah, ya, syariat gitu. Tapi tentu itu tidak diterima secara mutlak ya. Kaidah seperti itu.
Kemudian eh Syekh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “لٰكِنْ مَعَ الْإِتْلَافِ يَثْبُتُ الْبَدَلُ”. Tiga alasan seorang dimaafkan ya, tapi dimaafkan dalam bab apa? Yang dimaafkan apanya? Dosanya. Dia tidak berdosa. Kesalahannya dimaafkan. Apa yang dimaafkan? Hukumannya. Dia tidak dihukum di dunia dengan cara had. Gak sengaja kebawa HP orang, potong tangan? Gak. Hah? Gak sengaja ambil HP orang, potong tangan? Gak, gitu. Karena kan manusia tempat salah, lupa. Bukan, Nabi kan bilang dia gak sengaja. طَيِّبْ (Thayyib). Harusnya gak boleh dihukum tuh ya, gak boleh dipukul tuh, cuman kayak ngomongnya buat orang mukul dia tuh. طَيِّبْ (Thayyib). Eh, harusnya gak, orang seperti itu tidak dihukum di dunia dan dengan had dan semacamnya. Adapun yang tidak dimaafkan adalah kerusakan. Antum gak sengaja ngerusak. Terus antum bilang, “Enggak sengaja, Pak. Afwan, antum.” Afwan aja antum terus pergi gitu ya. “Allah aja memaafkan, masa Bapak gak,” dia bilang. Siapa yang merusak barang orang lain maka wajib diganti ya. Orang yang rusak barang orang lain, harta orang lain, karena gak sengaja, lupa, atau diancam atau dalam keadaan darurat, perut lapar gak ada yang bisa dimakan ya, gak ada, lihat situ bisa apa-apa ya. Lalu dia lihat ada ayam orang, disembelih. Atau dia lihat gorengan di suatu warung, gak bisa nih, mati dia kalau gak dia makan tuh ya. Tapi setelah itu wajib diganti, cuci piring situ. Nah, gimanalah caranya ya. Wajib dia ganti. Harus dia ganti, walaupun alasannya tiga hal tadi: diancam kah, lupa, gak sengaja ya, tetap ganti. Sebagian ulama membahas itlaf itu ee masuk bahkan dalam bab ibadah. Tapi ee mayoritas ulama mengatakan itlaf itu dalam bab apa? Muamalah. Ya, anak-anak kecil, antum besok nikah punya anak gitu ya, anak kecil terus dia main ketapel ya, ketapel apa, burung atau apa, jatuh batunya kena, pecah kaca orang. Ah, datanglah antum, orang tua. “Maaf, Ibu ya, namanya anak-anak, gak sengaja dia.” Dia bilang, “Iya, Pak, gak sengaja, tapi Bapak wajib ganti ini kacanya.” Ya, Allah gak hukum, Allah gak dosa, gak, nak, berikan dosa di situ. Tapi ada kewajiban apa? Ganti ya. Ada kewajiban ganti. Bapak memang, anak Bapak gak salah untuk memecahkan ini. Cuma Bapak yang salah gak mau ganti. طَيِّبْ (Thayyib). Soalnya bapaknya gak ganti kan sengaja dia berarti ya. Jadi tidak ada alasan itu ya. Antum dulu, Ustaz masih kecil dulu, Ustaz makan gorengan ambil dua bilang satu, ambil lima, wajib antum balikin ya. Wajib dikembalikan. Kan gak dosa? Gak dosa ya, tapi utang tetap utang. Nah, diingat-ingat sekarang tuh, waduh, berapa, berapa gorengan ambil dulu itu. طَيِّبْ (Thayyib). Jadi kerugian orang lain harus tetap di, diganti. Dosa gak? Dosa tidak. Makanya hati-hati urusan sama orang ya. Bahkan para ulama bilang apa? Utang sama Allah itu lebih ringan daripada hutang sama manusia. Hutang sama Allah, Allah Maha Pemaaf. Manusia, dak gitu. Apalagi di akhirat, wah, enggak ada kata maaf. Antum, kesempatan dia untuk menghabiskan pahala kita, gitu. Maka hati-hati ya. Hati-hati, jangan husnuzan mainnya. “Paling sudah dimaafkan.” Ya, paling dari rida dia. Sama manusia dia rida, eh dia husnuzan. Husnuzan sama Allah ya. Manusia berat ya. Manusia itu berat. Jangan main-main. “Ana dulu kayaknya punya hutang sama si fulan 5 juta,” dia bilang. “Tapi kayaknya dia udah, udah kaya sekarang dia ya. Kayaknya dia sudah banyak duit, kayaknya sudah lupa dia itu,” dia bilang. طَيِّبْ (Thayyib). Ya. Jadi kayak hutang itu tuh jangan sampai, makanya disuruh catat ya. Jangan, disuruh catat. Jangan sampai, jangan sampai lupa ya. Karena ada dulu ana dengar kata orang sebagian ya, jadi makanan ini kantin jujur itu ya, diambil, diambil tapi gimana, kan kita sudah ambil, kita mau bayar terus kita lupa gitu, dan, dan Allah tidak menghukum orang-orang lupa. Dia pakai dalil dia tuh, رُفِعَ النِّسْيَانُ (“lupa itu diangkat”). Dia pakai dalil. Ya kan kita katakan, dosa antum memang gak, ya. Cuman masalahnya antum enggak catat, antum itu hak orang lain. Ya, mungkin sama Allah antum kita katakan bisa dimaafkan. Tapi kalau sama orang lain gak, ya. Sama orang lain tidak. Tetap harus di, diganti karena itu hak orang lain.
طَيِّبْ (Thayyib). Berikutnya, 27.
وَمِنْ مَسَائِلِ الْأَحْكَامِ فِي التَّبَعْ ۞ يَثْبُتُ لَا إِذَا اسْتَقَلَّ فَوَقَعْ
Di antara ee masalah hukum-hukum ya, masalah ahkam, ada dalam masalah tabi’, masalah yang ngikut. Ada hukum untuk sesuatu yang ngikut yang tidak ada hukumnya ketika, atau berbeda hukumnya kalau seandainya dia berdiri sendiri. Jadi beda hukumnya antara dia ngikut, dia bonus ya, dengan ee kalau seandainya dia berdiri sendiri.
Kata Syekh asy-Syuwai’ir, hakikatnya ini termasuk kaidah yang musykil, kata beliau ya, problematik ya. Yaitu kaidah yang ngikut tuh ngikut. Yang ngikut itu hukumnya juga ngikut. Maknanya adalah, bahwasanya ada hal-hal ya, yang kalau seandainya dia ngikut dia boleh, tapi kalau seandainya dia berdiri sendiri dia gak boleh. Itu kaidahnya: يَجُوْزُ تَبَعًا مَا لَا يَجُوْزُ اسْتِقْلَالًا. Adapun kalau seandainya dia berdiri sendiri, dia bukan ngikut yang lainnya, maka gak boleh. Tapi perlu diingat bahwasanya kaidah ini kaidah mayoritas, bukan semua. Bukan semua harus kita maknai seperti itu gitu. Bukan mencakup semuanya. Ya, karena ada beberapa hal yang kalaupun dia ngikut gak boleh gitu. Dan ada juga hal-hal yang dimaafkan kalau dia ngikut gitu.
Saya akan berikan banyak contoh sini. Kata beliau, yang dimaafkan kalau dia ngikut. Contoh apa? Akad yang paling berhubungan dengan halal dan haram dalam jual beli apa? Gharar. Ya. Banyak sekali akad. Antum bawa akad sekarang baru-baru, namanya banyak akad baru, mau ini, mau itu namanya. Tetap kalau seandainya ada gharar-nya gak boleh. Trading, apalah istilahnya sekarang ya, kalau ada gharar, gak boleh. Tapi ulama, sebagian, tapi ulama sepakat mengatakan ada gharar yang dibolehkan dan akadnya jadi sah, yaitu apa? Gharar yang ringan. Kata mereka, dan gharar yasir itu adalah sesuatu ee yang bisa kita lihat ciri-cirinya. Yang paling penting ada tiga. Yang pertama, kata beliau, kalau dia ngikut. Kapan gharar yasir itu boleh? Kalau dia ngikut, bukan jadi inti akad. Ya, inilah yang dibahas dalam kaidah ini. Kalau dia sendirian gak boleh. Kalau dia ngikut, boleh. Syarat kedua, jangan dia menjadi inti dari akad. Nah, sama ini penjelasan dari yang pertama ya. Dia pertama tabi’an. Yang kedua, bukan inti dari akad itu. Yang ketiga, dia harus sedikit, qalilan. Ya, apa maksud sedikitnya di poin keempat? Dia dibutuhkan, gharar yasir itu dalam artian nanti beliau, kayak beliau sebutkan, yang manusia biasa gak mungkin ee kita bisa cek sampai segitunya gitu loh. Dan secara ‘urf itu hal yang diwajarkan.
Sehingga apa? Sehingga boleh kita jual makanan yang dimakan dalamnya, kayak buah tuh, antum lihat isinya? Enggak kan. Kayak beli mangga, masa minta kupas semua, kupas masuk, kan gak ya kan. Dalamnya kita makan tuh. Atau apa? Jual beli buah yang ada bijinya. Karena apa? Orang yang berkulit, yang ada kulitnya itu kan bisa jadi dalamnya ada cacat. Kita gak tahu kan ya, dia bungkus tuh. Ada gharar-nya, tapi itu kan diwajarkan, gak ada masalah kan. Karena ada kebutuhan. Gak mungkin orang tuh, orang jual mau semuanya dikupas sama dia. Ya, “Coba lihat itu dulu,” dikupasin sama dia. Enggak jadi beli, dia bilang, kan gak bisa kayak gitu ya. Maka yang seperti ini namanya ngikut, bukan inti gitu ya. Eh, biji misalkan, bisa jadi bijinya kecil, bisa bijinya gede-gede. Itu beli manggis. Ada yang bijinya kecil gitu, tiba-tiba ada yang satu isinya bijinya gede, isinya dikit ya. Tapi itu gharar yang ma’fu (dimaafkan). Antum enggak bakal marah, balik ke penjualnya. Terus antum bilang, “Pak, ini bijinya gede-gede nih.” Gak mungkin. Gitu. Itu hal yang diwajarkan. Gitu. Hal yang diwajarkan. Bahkan bisa mungkin daging buahnya sama bijinya, gedean bijinya itu ya. Ada gharar-nya. Yang seperti ini tapi dimaafkan. ‘Urfnya itu hal yang diwajarkan. Seperti pondasi rumah. Antum gimana cara, pondasi rumah, mau beli rumah nih, bagus nih rumahnya. Bilang, “Tapi pondasinya kuat gak?” “Kuat, Pak,” dia bilang. “Coba bongkar,” bilang. Gimana, masa dibongkar dari rumahnya. Itu hal yang diwajarkan ya. Orang sudah ee, secara ‘urf itu dilakukan ya, sehingga yang seperti itu dimaafkan. Karena gharar itu intinya adalah menghindari apa? Keributan. Ya. Kalau diwajarkan, tidak ada keributan setelahnya, maka itu gharar yasir. Itu gharar yang ringan dan dibolehkan.
Wallahu ta’ala a’lam. Ini yang bisa kita bahas di sesi yang kedua. Nanti kita lanjutkan insyaallah jam satu kurang seperempat ya di sesi yang ketiga. Wallahu ta’ala a’lam.
وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى نَبِيِّنَا وَحَبِيْبِنَا مُحَمَّدٍ.