بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى خَيْرِ خَلْقِ اللهِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. أَمَّا بَعْدُ، فَاللهُمَّ انْفَعْنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا وَعَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا وَارْفَعْنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا وَزِدْنَا عِلْمًا وَعَمَلًا وَفَقِّهْنَا فِي الدِّيْنِ.
Ikhwati wa akhwati fillah, alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang masih memberikan kepada kita hidayah dan nikmat waktu sehingga pada pagi hari ini kita bisa kembali duduk di majelis ilmu ini. Dalam daurah Mahad Ilmi ini, kita akan membahas salah satu cabang ilmu dalam fikih yaitu قَوَاعِد فِقْهِيَّة (qawaid fiqhiyyah), dengan mengkaji syarah dari مَنْظُومَة الْقَوَاعِدِ الْفِقْهِيَّة karya Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى. Adapun syarah yang kita baca kali ini adalah karya Syekh Abdus Salam asy-Syuwai’ir حَفِظَهُ اللهُ.
- Pengumuman Jadwal:
- Sesi kedua: Pukul 10.30 – 11.40.
- Sesi ketiga: Dimulai pukul 12.45 – 14.15 (diawali jeda).
- Pengingat Peserta:
- Para peserta, khususnya santri, diharap senantiasa melakukan presensi di portal.
- Diharap untuk selalu menjaga barang bawaan masing-masing.
- Mari kita senantiasa menjaga adab-adab menuntut ilmu sebagai kunci keberkahan.
Kaidah Induk Pertama: Hukum Asal Segala Sesuatu adalah Suci dan Halal
Pada pertemuan sebelumnya, kita telah membahas tentang اَلْأَحْكَام الْأُصُولِيَّة (al-ahkam al-ushuliyyah) atau hukum-hukum asal. Di antaranya adalah:
اَلْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الطَّهَارَةُ
Al-Aslu fil-Asyyā’i at-Thahārah
(Hukum asal segala sesuatu adalah suci)
Ini mencakup hukum asal air (اَلْأَصْلُ فِي الْمِيَاهِ الطَّهَارَةُ) dan hukum asal tanah atau bumi (اَلْأَصْلُ فِي الْأَرْضِ الطَّهَارَةُ). Sekarang, kita akan melanjutkan pembahasan ini.
1. Hukum Asal Pakaian adalah Suci
Poin ketiga yang dibahas oleh Syekh adalah hukum asal pakaian. Kaidahnya berbunyi:
اَلْأَصْلُ فِي الثِّيَابِ الطَّهَارَةُ
Al-Aslu fits-Tsiyābi at-Thahārah
(Hukum asal pakaian adalah suci)
Artinya, sebuah pakaian dianggap suci إِلَّا أَنْ يُتَيَقَّنَ وُرُوْدُ نَجَاسَةٍ (illa an yutayaqqana wurūdu najasatin), yakni sampai kita benar-benar yakin bahwa ada najis yang melekat padanya.
Aplikasi Kaidah: Pakaian Bekas (Thrifting) dari Non-Muslim
Salah satu penerapan kaidah ini adalah terkait ثِيَابُ الْكُفَّارِ (tsiyabul kuffar) atau pakaian orang-orang kafir. Di banyak negeri, termasuk Indonesia, pakaian bekas impor atau drifting sangat banyak dijumpai. Sebagian orang ragu, apakah boleh memakai baju bekas non-muslim, mengingat mereka mungkin tidak peduli dengan konsep najis dalam Islam.
Jawabannya, يَجُوْزُ لُبْسُ ثِيَابِ غَيْرِ الْمُسْلِمِيْنَ (yajūzu lubsu tsiyābi ghairil muslimīn), boleh memakainya. Hukum ini tetap berlaku meskipun mereka pada asalnya tidak bersuci (cebok) atau ber-istijmar. Selama kita tidak yakin ada najis padanya—misalnya dengan tercium bau pesing (بِرِيْحَةٍ) atau terlihat bekas najisnya (بِنَظَرٍ)—maka pakaian itu boleh dipakai bahkan مِنْ غَيْرِ غَسْلٍ (min ghairi ghaslin), tanpa dicuci terlebih dahulu. Tentu, jika ingin mencucinya karena alasan kebersihan, itu lebih baik, tetapi tidak ada kewajiban syar’i untuk itu. Kaidah dasarnya adalah لِأَنَّ الْأَصْلَ الطَّهَارَةُ (liannal ashla at-thahārah).
Pakaian yang Wajib Disucikan untuk Salat
Tidak semua pakaian wajib kita sucikan. Kewajiban menyucikan hanya berlaku untuk pakaian yang kita kenakan saat salat dan pakaian itu bergerak mengikuti gerakan salat kita (وَكَانَ مُتَحَرِّكًا بِحَرَكَتِهِ), seperti baju, celana, peci, atau imamah.
Jika seseorang memiliki imamah yang terkena najis (misalnya ompol anak yang sudah kering) tetapi ia melepaskannya sebelum salat, maka salatnya tetap sah (فَصَلَاتُهُ صَحِيْحَةٌ). Ia boleh mengenakan kembali imamah bernajis itu untuk keperluan di luar salat, seperti pergi ke pasar. Yang terpenting, ketika melaksanakan ibadah yang mensyaratkan thaharah (seperti salat dan tawaf), pakaian yang melekat dan bergerak bersama kita harus dalam keadaan suci. Ini juga berlaku untuk sandal (النَّعْلُ), sebagaimana Nabi ﷺ pernah melepaskan sandalnya di tengah salat ketika Jibril memberitahukan ada kotoran padanya.
2. Hukum Asal Batu adalah Suci
Selanjutnya, Syekh menyebutkan kaidah:
اَلْأَصْلُ فِي الْحِجَارَةِ الطَّهَارَةُ
Al-Aslu fil-Hijārati at-Thahārah
(Hukum asal batu adalah suci)
Konteks pembahasan ini adalah untuk اِسْتِجْمَار (istijmar), yaitu bersuci menggunakan batu setelah buang hajat. Sebagian orang mungkin ragu menggunakan batu yang ditemukan di dekat tempat buang hajat umum (di pedesaan atau padang pasir), karena khawatir batu itu sudah pernah digunakan orang lain.
Selama kita tidak melihat dengan mata kepala sendiri adanya bekas najis pada batu itu, maka hukumnya suci dan boleh digunakan. Hal ini didasari dua alasan:
- Kaidah أَنَّ الْيَقِيْنَ لَا يَزُوْلُ بِالشَّكِّ (annal yaqīna lā yazūlu bisy-syakk), keyakinan (bahwa batu itu suci) tidak bisa dihilangkan oleh keraguan.
- Pendapat yang rajih (kuat), yang dipegang oleh Ibnu Taimiyyah, menyatakan bahwa benda padat seperti tanah atau batu dapat menjadi suci kembali dengan sendirinya jika ‘ain (zat) najisnya telah hilang, misalnya karena kering oleh matahari (بِتَشْمِيْسٍ), tertiup angin, dan baunya telah lenyap. Ini berbeda dengan pendapat jumhur ulama yang mensyaratkan air untuk menyucikan najis hukmiyyah (najis yang zatnya sudah hilang tapi status hukumnya masih najis).
Kaidah Induk Kedua: Hukum Asal pada Jiwa, Harta, dan Kemaluan adalah Haram
Setelah membahas kelompok kaidah “hukum asal adalah halal/suci”, Syekh Abdurrahman as-Sa’di membawakan bait ke-20 dari manzumah-nya, yang menjadi kaidah induk kedua:
وَاَلْأَصْلُ فِي أَبْضَاعِنَا وَالنَّفْسِ وَالْأَمْوَالِ لِلْمَعْصُوْمِ
تَحْرِيْمٌ حَتَّى يَجِئَ الْحِلُّ فَافْهَمْ هَدَاكَ اللهُ مَا يُمَلُّ
Wal-aslu fī abdā’inā wan-nafsi wal-amwāli lil-ma’shūmi
Tahrīmun hattā yajī’al-hillu fafham hadākallāhu mā yumallu
(Dan hukum asal pada kemaluan kami, jiwa, dan harta orang yang terjaga)
(Adalah haram, sampai datang dalil yang menghalalkannya. Maka pahamilah—semoga Allah memberimu petunjuk—atas apa yang didiktekan ini)
Kaidah ini mencakup empat hal: kemaluan (اَلْأَبْضَاع), daging (اَللُّحُوْم), jiwa (اَلنُّفُوْس), dan harta (اَلْأَمْوَال). Hukum asal keempatnya adalah haram, sampai ada dalil atau cara syar’i yang memindahkannya ke hukum halal.
1. Hukum Asal Kemaluan (Hubungan Intim) adalah Haram
Hukum asal hubungan intim antara laki-laki dan perempuan adalah haram. Ia tidak menjadi halal kecuali melalui salah satu dari dua cara:
- عَقْدُ النِّكَاحِ (‘Aqdu an-Nikāh): Akad pernikahan yang sah.
- مِلْكُ الْيَمِيْنِ (Milkul Yamīn): Kepemilikan budak wanita, yang sudah tidak ada lagi di zaman ini.
Oleh karena itu, satu-satunya jalan yang tersisa saat ini adalah pernikahan. Atas dasar ini:
- Keraguan Terhadap Status Pasangan: Jika seorang suami ragu apakah seorang wanita adalah istrinya (misalnya karena kembar identik dan berbusana tertutup), maka يَحْرُمُ عَلَيْهِ وَطْؤُهَا (yahrumu ‘alaihi wath’uhā), haram baginya untuk menyetubuhinya sampai ia yakin.
- Keraguan Terhadap Kehalalan Calon Pasangan: Jika seorang laki-laki ragu apakah seorang wanita halal untuk ia nikahi atau justru termasuk mahram (misalnya, ia yakin salah satu dari dua anak perempuan di sebuah keluarga adalah saudari susuannya, tetapi ia tidak tahu yang mana), maka تَحْرُمُ عَلَيْهِ الْبِنْتَانِ (tahrumu ‘alaihil bintān), haram baginya menikahi keduanya. Ini karena ketika kehalalan (اِبَاحَة) dan keharaman (حَظْر) bertemu, maka keharaman lebih didahulukan.
- Pernikahan Syubhat: Seseorang tidak boleh melakukan pernikahan yang statusnya syubhat (diragukan keabsahannya), seperti nikah tanpa wali dengan dalih mencari-cari keringanan mazhab (تَتَبُّعُ الرُّخَصِ), nikah mut’ah, atau menikahi wanita yang belum selesai masa iddahnya. Menghalalkan kemaluan menuntut adanya akad yang diyakini kehalalannya (عَقْدًا صَحِيْحًا).
2. Hukum Asal Daging adalah Haram
Kaidah ini perlu diperinci menjadi dua kondisi:
- Hukum Asal Jenis Hewan adalah Halal: Jika kita menemukan hewan jenis baru yang belum pernah kita kenal (misalnya zebra, الْحِمَارُ الْوَحْشِيُّ الْمُخَطَّطُ) dan tidak ada dalil spesifik yang mengharamkannya, maka hukum asal jenis hewan itu adalah halal untuk dikonsumsi, selama ia bukan hewan buas bertaring atau bercakar. Ini sejalan dengan keumuman dalil هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيْعًا.
- Hukum Asal Daging Siap Konsumsi adalah Haram: Adapun daging hewan yang sudah mati dan siap dikonsumsi, hukum asalnya adalah haram. Ia tidak menjadi halal sampai kita yakin bahwa hewan tersebut mati melalui proses penyembelihan yang syar’i (التَّذْكِيَةُ). Jika kita ragu, misalnya, apakah daging di sebuah negara mayoritas non-muslim disembelih oleh Muslim/Ahlul Kitab atau oleh penyembah berhala (وَثَنِيٌّ), atau disembelih dengan cara Islami atau disetrum (بِالصَّعْقِ), maka hukumnya kembali ke asal, yaitu haram. Namun, jika ada zahir (indikasi kuat), seperti di negara mayoritas muslim seperti Indonesia, maka hukumnya halal dan tidak perlu ditanyakan lagi, kecuali ada bukti sebaliknya.
3. Hukum Asal Jiwa dan Harta adalah Terjaga (Haram Diganggu)
- Jiwa (النَّفْسُ): Hukum asal jiwa seorang muslim atau non-muslim yang mendapat jaminan keamanan adalah haram untuk dibunuh, dilukai, atau dizalimi. Darah mereka terjaga, إِلَّا بِحَقِّهَا (kecuali dengan haknya), yaitu melalui proses hukum yang sah yang ditegakkan oleh pemimpin (pemerintah) berdasarkan bukti yang kuat untuk kasus-kasus seperti qisas, hudud, dll. Menyerahkan urusan ini kepada individu akan menimbulkan kekacauan (فَوْضَى).
- Harta (الْأَمْوَالُ): Harta seorang muslim atau non-muslim yang dilindungi juga haram untuk diambil atau dirusak. Harta hanya bisa berpindah kepemilikan secara sah melalui tiga cara:
- الْإِرْثُ (Al-Irtsu): Warisan.
- الْمُعَاقَدَةُ (Al-Mu’āqadah): Akad yang sah, baik bersifat sukarela seperti hadiah (تَبَرُّعٌ) maupun pertukaran seperti jual beli (مُعَاوَضَةٌ).
- الْإِبَاحَةُ (Al-Ibāhah): Izin dari pemilik, seperti ketika seseorang membuang barangnya ke tempat sampah, yang menandakan ia telah mengizinkan siapa pun untuk mengambilnya.
Penutup
بَارَكَ اللهُ فِيْكُمْ.
وَاللهُ تَعَالَى أَعْلَمُ، وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى نَبِيِّنَا وَحَبِيْبِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.