الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ الْأَتَمَّانِ الْأَكْمَلَانِ عَلَى الْمَبْعُوثِ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ، وَمَنْ سَارَ عَلَى نَهْجِهِ وَاقْتَفَى أَثَرَهُ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ. اللَّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا وَانْفَعْنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ.
Ikhwati wa akhwati fillah, a’azzakumullah. Alhamdulillah, pada pagi hari ini Allah Subhanahu wa Ta’ala izinkan kita untuk bisa kembali bertemu dan duduk di majelis ilmu ini dalam daurah Mahad Ilmi, membahas kitab syarah dari Manzumah Qawaid Fiqhiyyah karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu ta’ala. Kita membaca transkrip dari syarahnya Syekh Abdus Salam Asy-Syu’air hafidahullahu ta’ala.
Kemarin sudah tujuh bait yang kita pelajari. Di antaranya adalah selawat dan salam yang senantiasa tercurah untuk Rasul Al-Quraisy Al-Khatami (Rasul dari suku Quraisy, penutup para nabi), yaitu Nabi kita Muhammad ‘alaihis shalatu wassalam, dan juga untuk keluarga serta para sahabatnya yang baik dan saleh, yang telah mendapatkan tingkatan yang membanggakan. Puji-pujian, selawat kepada Nabi, keluarga, dan sahabat adalah bagian dari adab dalam menulis.
Pada pembahasan terakhir, beliau memberikan kita wasiat agar semangat untuk memahami kaidah-kaidah, karena kaidah berfungsi untuk mengumpulkan masalah-masalah yang berserakan. Masalah yang banyak dan sulit kita hafal, maka ikatlah dengan kaidah.
Syarah Bait Kedelapan
Sekarang kita akan masuk ke bait yang kedelapan. Syekh As-Sa’di rahimahullahu ta’ala berkata:
لِتَرْتَقِي فِي الْعِلْمِ خَيْرَ مُرْتَقَى … وَتَقْتَفِي سُبُلَ الَّذِي قَدْ وُفِّقَا
Syekh Abdus Salam Asy-Syu’air hafidahullahu ta’ala menjelaskan, nasihat sebelumnya adalah untuk bersemangat memahami kaidah agar kalian bisa meningkat dalam perjalanan meraih ilmu, agar keilmuan kalian meningkat.
Ilmu itu memiliki banyak cabang. Setiap cabang yang antum pelajari, maka semakin tinggi tingkatan antum dalam keilmuan. Setiap kali seorang merasa dirinya sudah sampai ke puncak ilmu, itu tandanya dia sudah masuk ke dalam jurang. Jika dia tidak sadar, dia akan jatuh. Setiap orang yang ujub (bangga) dengan dirinya, khususnya dalam ilmu, maka saat itu dia celaka.
Ketika Al-Qaswa’, unta Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak pernah terkalahkan, suatu ketika dikalahkan oleh unta seorang A’rabi, para sahabat merasa bingung. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “إِنَّ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ لَا يَرْتَفِعَ شَيْءٌ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا وَضَعَهُ” (Sesungguhnya hak atas Allah bahwa tidak ada sesuatu pun di dunia yang meninggi melainkan akan Dia rendahkan). Jika sudah sampai puncak, ke mana lagi perginya? Ke bawah. Itu adalah sunnatullah.
Ini menunjukkan bahwasanya manusia harus selalu merasakan dan mengakui dalam dirinya bahwa dia masih kurang ilmu. Ketika kita hadir di kajian manapun, hadirkan rasa bahwa kita adalah gelas kosong yang siap menampung ilmu. Jangan merasa, “Ini gampang, ini kajian anak SD.” Ketika kita merasa sudah penuh, tidak akan ada faedah yang bisa kita ambil.
Yang memperkuat agar kita sadar diri adalah dengan melihat perkataan dan sirah para ulama. Orang yang ujub adalah tanda dia jarang membaca biografi (tarajim) para ulama. Cobalah baca, itu akan melembutkan hati. Abu Hatim Ar-Razi berkata kepada putranya, Abdullah bin Ahmad, “Ayahmu (Imam Ahmad) hafal alfa alfi hadits (sejuta hadis).” Satu juta riwayat dihafal oleh Imam Ahmad. Kalau kita melihat yang seperti itu, kita akan sadar bahwa kita masih jauh. “وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ” (Dan di atas setiap orang yang berilmu, masih ada yang lebih berilmu).
Lihatlah bagaimana mereka menulis kitab. Buka Fathul Bari, baca bahasa Arabnya satu atau dua halaman, sudah pusing kepala antum. Sadarlah bahwa ilmu kita masih sedikit. Kata Imam Syafi’i rahimahullah, ilmu itu ada tiga jengkal:
- Siapa yang sampai jengkal pertama, ia akan sombong (takabbar).
- Ketika masuk jengkal kedua, ia mulai tawadu.
- Ketika sampai jengkal ketiga, ia sadar bahwa ia tidak tahu apa-apa (‘alima annahu la ya’lam).
Jika kita masih susah menghilangkan ujub, berarti kita masih di dasar.
Dari sisi yang lain, lihatlah firman Allah dan sabda Nabi. Lihatlah kisah Khidir dengan Musa. Di akhir pertemuan mereka, Khidir berkata kepada Musa ‘alaihimassalam, “مَا نَقَصَ عِلْمِي وَعِلْمُكَ مِنْ عِلْمِ اللَّهِ إِلَّا كَنَقْرَةِ هَذَا الْعُصْفُورِ فِي هَذَا الْبَحْرِ” (Tidaklah ilmuku dan ilmumu jika digabung mengurangi ilmu Allah, kecuali seperti patukan burung pipit ini di lautan). Ilmu Musa digabung dengan Khidir, jika dibandingkan dengan ilmu Allah yang sangat luas, hanya seperti itu. Lalu apa yang mau disombongkan?
Kemudian yang ketiga, jangan sampai dia malu atau menolak jika dia salah. Dia harus menerima kritikan dan bantahan. Orang yang ujub tidak mau menerima kritikan. Ketika dikritik, dia bertanya, “Siapa antum?” Padahal bukan masalah siapa yang mengkritik, tapi apakah perkataan kita salah atau tidak. Orang yang paham dirinya banyak keliru, dia akan menerima kritikan karena menganggap itu hal yang wajar. Kita semua adalah manusia yang خَطَّاءٌ (banyak melakukan kesalahan). Inilah makna perkataan ulama, “كُلُّنَا رَادٌّ وَمَرْدُودٌ عَلَيْهِ إِلَّا مُحَمَّدًا صلى الله عليه وسلم” (Setiap kita bisa membantah dan dibantah, kecuali Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam).
Kemudian Syekh As-Sa’di berkata, “وَتَقْتَفِي سُبُلَ الَّذِي قَدْ وُفِّقَا” (Dan kalian ikuti jalan orang yang sudah diberikan taufik).
Ilmu itu diambil dengan cara warisan dari orang sebelum kita. Agama ini diwariskan dari generasi sebelumnya. Ilmu ini dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian diwariskan kepada para sahabat, lalu tabiin, dan begitu seterusnya. Salah satu keistimewaan umat ini adalah agamanya tidak akan pernah hilang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ، لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ” (Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang menang di atas kebenaran, tidak akan memudaratkan mereka orang yang menyelisihinya, sampai datangnya hari Kiamat).
Ibnu Mubarak mengatakan, “الْإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ” (Sanad itu bagian dari agama). Dari siapa antum belajar? Orang yang tidak punya sanad, ketika ditanya, “Dari mana antum dapat ilmu ini?” dia akan terdiam kebingungan. Makanya para ulama, ketika ada pendapat yang aneh, mereka akan bertanya, “مَنْ سَلَفُكَ فِيْهِ؟” (Siapa pendahulumu dalam pendapat ini?). Imam Ahmad dan Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Jika engkau mampu untuk tidak menggaruk kepalamu kecuali dengan sunah dan atsar, maka lakukanlah.” Karena sunah itu ibarat kapal Nabi Nuh, siapa yang menaikinya akan selamat. Jangan pernah mengatakan sebuah kalimat yang tidak ada salaf-nya.
Bisa jadi Allah memberikan pemahaman kepada orang sekarang yang tidak diberikan kepada orang dulu, akan tetapi kebenaran itu tidak akan pernah hilang. Tidak boleh ada pendapat baru yang bertentangan dengan apa yang sudah dipahami oleh ulama dulu.
Syarah Bait Kesembilan
وَهَذِهِ قَوَاعِدٌ نَظَمْتُهَا … مِنْ كُتْبِ أَهْلِ الْعِلْمِ قَدْ حَصَّلْتُهَا
(Dan ini adalah kaidah-kaidah yang aku susun syairnya, dari kitab-kitab para ulama telah aku kumpulkannya).
Syekh As-Sa’di menjelaskan bahwa beliau menyusun kaidah-kaidah ini dalam bentuk nazam, dan beliau mendapatkannya dari kitab-kitab para ulama. Beliau memilihnya, bukan berarti memasukkan semua kaidah yang ada. Sebenarnya, mayoritas kaidah yang beliau bawakan diambil dari perkataan dua Syaikhul Islam: Syekh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim.
Syarah Bait Kesepuluh
جَزَاهُمُ الْمَوْلَى عَظِيمَ الْأَجْرِ … وَالْغَفْرَ مَعْ مَغْفِرَةٍ وَالْبِرِّ
(Semoga Allah membalas mereka (para ulama) dengan balasan yang besar, dan ampunan beserta kebaikan).
Mendoakan orang yang kita ambil ilmunya adalah tanda ilmu yang diberkahi. Para guru kita, terutama guru ngaji kita waktu kecil, harus kita doakan. Ketika seseorang memberikan sesuatu kepada kita, hendaknya kita balas. Jika tidak bisa membalas dengan yang semisal, seperti kepada orang yang sudah meninggal, maka balaslah dengan doa. Kita mengucapkan رَضِيَ اللهُ عَنْهُ kepada para sahabat dan رَحِمَهُ اللهُ kepada para ulama karena kita mengambil manfaat dari mereka. Dan semua kebaikan itu kembali kepada satu orang, yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka, orang yang paling rugi adalah orang yang disebutkan nama Nabi di sisinya, lalu ia tidak berselawat. Selawat kita akan disampaikan kepada beliau. Bayangkan jika selawat kita ditampakkan kepada beliau dan ternyata selawat kita yang paling sedikit, malulah kita.
Syarah Bait Kesebelas (Kaidah Pertama)
نِيَّتُنَا شَرْطٌ لِسَائِرِ الْعَمَلْ … بِهَا الصَّلَاحُ وَالْفَسَادُ لِلْعَمَلْ
(Niat kita adalah syarat untuk semua amal, dengannya (niat) amal menjadi saleh atau rusak).
Kaidah ini tersusun dari dua kaidah.
Pertama: Niat adalah Syarat Sahnya Amal.
Yang dimaksud “نِيَّتُنَا” adalah niat orang yang sah niatnya. Niat tidak dianggap dari anak kecil yang belum tamyiz dan orang kafir. Syarat sahnya niat adalah seorang muslim yang berakal.
Perkataan Syekh, “Niat adalah syarat,” ini mencakup tiga hal:
- Syarat Sah atau Rusaknya Amal (Ash-Shihhah wal Fasad): Jika tidak ada niat, ibadah tidak sah.
- Syarat Gugurnya Kewajiban (Al-Ijza’): Amalan bisa jadi sah, tapi tidak menggugurkan kewajiban. Contoh: haji anak kecil yang belum baligh sah, tapi tidak menggugurkan kewajiban hajinya kelak. Contoh lain: mandi besar dengan niat mandi Jumat (sunah), mandinya sah sebagai ibadah, tapi tidak menggugurkan kewajiban mandi junubnya.
- Syarat Mendapat Pahala (Ats-Tsawab): Bisa jadi amalan itu sah dan menggugurkan kewajiban, tapi tidak ada pahalanya jika tidak ikhlas.
Para fuqaha (ahli fikih) biasanya hanya membahas niat dari sisi sah atau tidaknya dan gugurnya kewajiban. Adapun niat yang berkaitan dengan pahala (ikhlas) dibahas oleh ulama yang membahas adab dan tazkiyatun nufus. Oleh karena itu, di samping belajar fikih, kita juga harus belajar adab.
Syekh As-Sa’di di sini lebih menekankan masalah sah atau tidaknya untuk membantah sebagian ulama (seperti Hanafiyah) yang berpendapat bahwa niat hanya berhubungan dengan pahala, bukan sahnya amalan. Menurut mereka, jika antum wudu tanpa niat, wudunya sah tapi tidak dapat pahala. Jumhur ulama tidak demikian; niat mempengaruhi sah atau tidaknya amalan.
Syarah Bait Kedua Belas (Kaidah Kedua)
الدِّينُ مَبْنِيٌّ عَلَى الْمَصَالِحِ … فِي جَلْبِهَا وَالدَّرْءِ لِلْقَبَائِحِ
(Agama ini dibangun di atas maslahat, dalam mendatangkannya dan menolak keburukan).
Syariat ini dibangun di atas satu kaidah penting: mengambil maslahat dan menolak mafsadah. Sebagian ulama, seperti Al-‘Izz bin Abdissalam (Sultanul Ulama), mengatakan bahwa semua aturan syariat kembali ke kaidah ini. Ada juga yang mengatakan, syariat hanya kembali ke setengahnya saja, yaitu mengambil maslahat, karena menolak mafsadah itu hakikatnya adalah untuk mendatangkan maslahat. Ini adalah pendapat Ibnu Taimiyah.
Kaidah ini dibangun di atas pembahasan bahwa perbuatan Allah itu memiliki sebab dan hikmah. Ini berbeda dengan pandangan sebagian ahlul kalam yang menafikan adanya illah (sebab) dan hikmah dalam perbuatan Allah. Menurut mereka, Allah menyuruh dan melarang hanya karena kehendak-Nya, bukan untuk kemaslahatan hamba. Namun, anehnya, dalam masalah fikih mereka tetap memakai illah. Ini membantah diri mereka sendiri.
Yang benar adalah perbuatan Allah itu ada illah-nya, yang menunjukkan kasih sayang-Nya. Allah adalah الْحَكِيمُ (Maha Bijaksana). Karena kasih sayang Allah yang besar, Dia membuat aturan untuk kemaslahatan hamba-Nya. Allah sering menggandengkan nama-Nya الْعَلِيمُ dengan الْحَكِيمُ, menunjukkan bahwa ilmu-Nya disertai dengan hikmah.
Akan tetapi, pembahasan masalih (maslahat) ini sangat besar dan kadang tidak jelas. Bisa jadi menurut kita itu maslahat, tapi menurut orang lain itu mafsadah. Contoh, hadir di majelis ilmu itu maslahat karena dapat ilmu. Tapi teman antum bisa bilang itu mafsadah, karena antum tidak buka toko sehingga rugi sekian riyal. Oleh karena itu, pembahasan maslahat dan mudarat ini akan kita lanjutkan di sesi berikutnya.