Daurah Qawaid Fikih: Peta Umum Panduan Ber’amal – Sesi 03


السَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ.

Ikhwatul iman a’azzakumullah, kita lanjutkan di sesi yang ketiga pada hari yang pertama di dars qawa’id fiqhiyyah, pembahasan kitab syarah dari Manzumatil Qawaid Fiqhiyyah Syekh As-Sa’di rahimahullahu ta’ala.

Tadi kita sampai pada pembahasan bahwa perbedaan (al-furuq) antara permasalahan yang secara zahir tampak sama, pada hakikatnya berhubungan dengan dua hal. Pertama, bisa jadi karena kaidah untuk masalah pertama dan kedua itu berbeda, walaupun mungkin menurut pandangan kita yang minim ilmu ini terlihat sama. Kedua, bisa jadi karena ada istitsna’ (pengecualian), di mana syariat mengecualikan satu kasus sehingga hukum umum tidak berlaku padanya.

Dalil pengecualian ini bisa jadi berupa nas, seperti rukhsah. Hukum asalnya, salat rubaiyyah (empat rakaat) dilakukan dengan empat rakaat. Ini kaidahnya. Tapi terjadi pengecualian bagi musafir atau kha’if (orang dalam ketakutan), di mana syariat mengizinkan mereka untuk mengqasar salat. Pengecualian juga bisa terjadi karena ada kaidah kulliyyah lain, atau karena perkataan sahabat (qaul shahabi) yang dianggap hujjah oleh Hanabilah, atau karena adanya kebutuhan (hajah) dan darurat (dharurah).

Istihsan yang merupakan pengecualian dari kaidah kulliyyah, menurut para ulama muhaqqiqun (peneliti) seperti Syekh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah, bisa jadi karena ada dalil atau bahkan lebih dari satu dalil.

Kesimpulannya, perkataan Syekh As-Sa’di “وَجَامِعِ الْأَشْيَاءِ وَالْمُفَرِّقِ” adalah isyarat tentang cara membangun kaidah fikih. Kalian mungkin heran kenapa aku membahas ini secara panjang lebar, kata Syekh Asy-Syu’air, agar aku bisa memastikan kepada kalian bahwasanya ilmu kaidah fikih itu bukan ilmu yang gampang. Terlihat mudah, dapat satu kaidah seolah bisa langsung dipraktikkan, padahal tidak semudah itu. Takutnya kita salah mempraktikkan kaidah. Belajar kaidah fikih tidak bisa langsung jadi mufti. Engkau harus mempelajari dalil-dalil dan furu’ (cabang-cabang) fikih agar bisa paham kaidah ini dengan baik.

Aku ulangi lagi, karena sekarang ini—dan ini sangat menyedihkan—banyak orang yang berbicara tentang syariat Allah dengan beralasan satu kaidah, padahal dia tidak terlalu paham kaidah itu. Dia tahu artinya, tapi tidak tahu bagaimana cara mempraktikkannya karena kurang dalil dan tidak punya skill dalam memahami fikih. Dia tidak bisa mengambil manfaat dari kaidah itu, tidak tahu kaidah-kaidah lain yang mirip tapi berbeda, dan tidak tahu mustatsnayat (pengecualian-pengecualian). Dan dari mana antum tahu pengecualian itu? Kalau antum sudah belajar fikih secara mendalam.

Jadi, perkataan “وَجَامِعِ الْأَشْيَاءِ وَالْمُفَرِّقِ” ini adalah bara’atul istihlal, di mana kata-kata dalam mukadimah memberikan isyarat tentang apa yang akan beliau bahas.

Lalu Syekh As-Sa’di berkata, “ذِي النِّعَمِ الْوَاسِعَةِ الْغَزِيرَةِ” (Pemilik nikmat yang luas dan banyak). Allah memberikan nikmat yang sangat banyak kepada hamba-hamba-Nya. “وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا” (Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak akan mampu menghitungnya). Di antara nikmat tersebut adalah ilmu. Orang yang diberikan ilmu, maka dia telah diberikan kebaikan yang banyak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ” (Orang yang Allah inginkan kebaikan padanya, akan Allah pahamkan ia dalam agama). Khairan di sini berbentuk nakirah dalam konteks syarat (siyaqis-syarth), yang menunjukkan keumuman, artinya semua kebaikan.

Kalau kita paham agama, itu adalah tanda Allah ingin kita menjadi baik. Makanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diperintahkan untuk meminta tambahan ilmu: “وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا“. Bahkan ilmu ini lebih kita butuhkan daripada makan dan minum. Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Manusia lebih butuh ilmu daripada makan dan minum, karena makan dibutuhkan sekali atau dua kali, sedangkan ilmu dibutuhkan sebanyak hembusan napasnya.”

Di antara kebaikan yang Allah berikan adalah hidayah untuk menuntut ilmu. Hidayah untuk bisa belajar, antum pergi mengaji sekarang, itu adalah nikmat. Maka, pujilah Allah ketika Dia melapangkan hatimu untuk belajar. Banyak manusia di usiamu, atau lebih tua, yang mungkin ibadahnya lebih banyak, lebih rajin, lebih jenius, dan kesibukannya lebih sedikit, tapi tidak ada keinginan untuk belajar. Tidak ada keinginan untuk membaca, meneliti, atau duduk di majelis ilmu. Adapun ketika engkau rasakan Allah bukakan hatimu untuk ilmu, maka pujilah Allah.

Tidak ada jalan untuk dapat ilmu kecuali dengan belajar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ” (Ilmu itu hanya bisa didapatkan dengan cara belajar). Di antara nikmat yang paling tinggi adalah ketika Allah lapangkan dadamu untuk menerima ilmu. Sebagaimana doa Nabi Musa ‘alaihissalam: “رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي“. Itu yang hendaknya sering menjadi doa seorang penuntut ilmu.

Orang yang Allah bukakan pintu untuk mengenal-Nya, itu spesial. Maka berbahagialah ketika antum menjadi orang-orang yang dipilih oleh Allah untuk bisa hadir di majelis ilmu. Semangatlah! Kata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا” (Allah tidak akan bosan sampai kalian yang bosan).

Di antara nikmat untuk penuntut ilmu adalah ketika ia dimudahkan untuk suatu hal yang orang lain tidak diberikan. Ada orang yang mau belajar, tapi tidak bisa karena banyak kesibukan, harus mencari harta, atau sakit. Kesibukan dunia sangat banyak. Oleh karena itu, manfaatkanlah lima kesempatan sebelum datang lima kesempitan. Umar bin Khattab berkata, “Belajarlah kalian sebelum kalian jadi pemimpin.” Yang belum menikah, puas-puasin belajar sebelum menikah.

Jika Allah memberikanmu dua nikmat ini—kelapangan dada untuk mau belajar dan kemudahan urusan dunia—maka ini adalah nikmat terbesar. Setelah itu, angkat kedua tanganmu kepada Allah, minta agar diberi ilmu yang bermanfaat. Ilmu harus bermanfaat, karena jika tidak, ia akan menjadi hujjah (bumerang) yang membahayakan kita. Setelah berdoa, usahalah, ambil sebabnya: menghafal, mudarasah (diskusi), mujalasah (duduk di majelis ilmu). Amal adalah pendamping doa. Jujurnya doa kita tampak pada usaha kita. “وَمَنْ صَدَقَ اللهَ صَدَقَهُ اللهُ” (Dan siapa yang jujur kepada Allah, Allah akan berikan apa yang dia cari).

…وَالْحِكَمِ الْبَاهِرَةِ الْكَثِيرَةِ

(Dan pemilik hikmah-hikmah yang cemerlang dan banyak).

Beliau di sini membawakan kata hikam (hikmah), karena kaidah fikih itu ada dua jenis:

  1. Kaidah yang memiliki makna yang cocok (ma’nan munasib): Makna inilah yang disebut hikmah. Asal dari kaidah-kaidah syariat adalah ia memiliki hikmah dan tujuan, seperti maslahat bagi hamba.
  2. Kaidah yang tidak memiliki ma’nan munasib: Ini disebut qawa’id thardiyyah.

Karena perbuatan Allah semuanya mengandung hikmah. Tidaklah Allah memerintahkan sesuatu kecuali di situ ada kemaslahatan. Jika hikmahnya mundhabithah (teratur dan pasti), ia bisa dijadikan ta’lil (alasan penetapan hukum). Namun jika tidak (ghairu mundhabithah), seperti hikmah iddah wanita cerai (untuk memastikan rahimnya bersih), maka tidak bisa. Kenapa? Karena hikmah iddah tidak hanya itu, tapi juga memberi kesempatan rujuk. Jadi tidak bisa digantikan dengan USG. Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan adanya hikmah dalam perbuatan Allah, baik dalam masalah akidah maupun fikih.


Syarah Bait Kedua

فَاعْلَمْ هُدِيتَ أَنَّ أَفْضَلَ الْمِنَنْ … عِلْمٌ يُزِيلُ الشَّكَّ عَنْكَ وَالدَّرَنْ

(Ketahuilah, semoga engkau diberi petunjuk, bahwasanya nikmat yang paling afdal adalah ilmu yang menghilangkan keraguan dan kotoran darimu).

Ini masuk dalam pembahasan bait pertama, bahwa di antara nikmat Allah yang banyak adalah ilmu, yang fungsinya menghilangkan keraguan dan kotoran hati.

وَيَكْشِفُ الْحَقَّ لِذِي الْقُلُوبِ … وَيُوصِلُ الْعَبْدَ إِلَى الْمَطْلُوبِ

(Dan ilmu itu menyingkap kebenaran bagi pemilik hati, dan akan menyampaikan seorang hamba kepada yang dituju).

Ilmu akan menyingkap kebenaran, tapi hanya untuk orang yang menggunakan hatinya. Adapun orang yang hanya ingin berdebat kusir, seberapapun ilmu yang disebutkan, ia tidak akan menerima kebenaran. Mengetahui kebenaran adalah hal yang paling dicari. Manusia bisa sampai pada kebenaran berkat kemudahan dari Allah. Oleh karena itu, salah satu doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah: “اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ… اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ” (Ya Allah, Rabb Jibril, Mikail, dan Israfil… Berikanlah aku petunjuk pada kebenaran dalam hal-hal yang diperselisihkan, dengan izin-Mu).

Ciri khas penuntut ilmu yang sukses adalah selalu berdoa dan meminta tolong kepada Allah, tidak mengandalkan kecerdasan atau hafalannya. Karena orang yang ujub dengan dirinya sendiri, Allah akan tinggalkan dia bersama keujubannya itu. Yang mengungkap kebenaran hanyalah Allah, dengan ilmu yang Dia berikan. Kecerdasan dan hafalan dibutuhkan, tapi bukan penentu. Sebagaimana perkataan Imam Syafi’i, enam sebab untuk mendapatkan ilmu adalah: dzaka’ (kecerdasan), hirsh (semangat), ijtihad (kesungguhan), bulghah (bekal), suhbatu ustadzin (membersamai guru), dan thulu zaman (waktu yang panjang).

…فَاحْرِصْ عَلَى فَهْمِكَ لِلْقَوَاعِدِ … جَامِعَةِ الْمَسَائِلِ الشَّوَارِدِ

(Maka bersemangatlah untuk memahami kaidah-kaidah, yang mengumpulkan masalah-masalah yang berserakan).

Syekh As-Sa’di mengatakan “احْرِصْ عَلَى فَهْمِكَ” (semangatlah untuk memahami), bukan “احْرِصْ عَلَى الْحِفْظِ” (semangatlah untuk menghafal). Ini menunjukkan bahwa tujuan dari kaidah fikih adalah memahami maknanya, bukan sekadar menghafal lafaznya, karena lafaz kaidah bisa berbeda-beda antar ulama. Namun, ini bukan berarti meremehkan hafalan, karena hafalan membantu pemahaman. Dua rukun ilmu adalah al-hifzhu (hafalan) dan al-fahmu (pemahaman).

Kaidah itu bertujuan untuk mengumpulkan masalah-masalah yang berserakan (asy-syawarid). Bisa jadi puluhan, bahkan ratusan masalah, masuk dalam satu kaidah. Ini memudahkan kita untuk mengingat dan memahami banyak masalah.


#Prolog

Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ’anhu. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara langsung dengan melenyapkan ilmu itu dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang berilmu lagi, orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.’” (HR. Bukhari)

Sumber: https://muslim.or.id/93486-malapetaka-akhir-zaman.html
Copyright © 2025 muslim.or.id