Daurah Qawaid Fikih: Peta Umum Panduan Ber’amal – Sesi 01

Bersama:
๐ŸŽ™๏ธ Ustadz Muhammad Ihsan, S.Ud., M.H.
๐Ÿ“– Kitab: Syarh Manzhumah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah karya Syaikh Abdussalam Asy-Syuwai’ir


ุจูุณู’ู…ู ุงู„ู„ู‡ู ุงู„ุฑูŽู‘ุญู’ู…ูฐู†ู ุงู„ุฑูŽู‘ุญููŠู’ู…ู

ุงู„ุณูŽู‘ู„ูŽุงู…ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ูƒูู…ู’ ูˆูŽุฑูŽุญู’ู…ูŽุฉู ุงู„ู„ู‡ู ูˆูŽุจูŽุฑูŽูƒูŽุงุชูู‡ู

ุงู„ู’ุญูŽู…ู’ุฏู ู„ูู„ูŽู‘ู‡ู ุฑูŽุจูู‘ ุงู„ู’ุนูŽุงู„ูŽู…ููŠู†ูŽุŒ ูˆูŽุงู„ุตูŽู‘ู„ูŽุงุฉู ูˆูŽุงู„ุณูŽู‘ู„ูŽุงู…ู ุนูŽู„ูŽู‰ ุฑูŽุณููˆู„ูู†ูŽุง ุงู„ู’ู…ูุตู’ุทูŽููŽู‰ ูˆูŽุนูŽู„ูŽู‰ ุขู„ูู‡ู ูˆูŽุตูŽุญู’ุจูู‡ู ูˆูŽู…ูŽู†ู ุงู‡ู’ุชูŽุฏูŽู‰. ุงู„ู„ูŽู‘ู‡ูู…ูŽู‘ ุนูŽู„ูู‘ู…ู’ู†ูŽุง ู…ูŽุง ูŠูŽู†ู’ููŽุนูู†ูŽุงุŒ ุงู„ู„ูŽู‘ู‡ูู…ูŽู‘ ุงุฑู’ุฒูู‚ู’ู†ูŽุง ุงู„ู’ุฅูุฎู’ู„ูŽุงุตูŽ ูููŠ ุฃูŽู‚ู’ูˆูŽุงู„ูู†ูŽุง ูˆูŽุฃูŽุนู’ู…ูŽุงู„ูู†ูŽุง ูŠูŽุง ุฑูŽุจูŽู‘ ุงู„ู’ุนูŽุงู„ูŽู…ููŠู†ูŽ.

Ikhwati wa akhwati fillah, a’azzakumullah. Alhamdulillah, pada pagi hari ini Allah Subhanahu wa Ta’ala mudahkan kita dan Allah izinkan kita untuk bisa bermajelis ilmu di salah satu rumah-Nya. Kita duduk di sini untuk mempelajari salah satu cabang ilmu di daurah YPI ini. Daurah ilmiyah kali ini membahas qawa’id al-fiqhiyyah, yaitu ilmu kaidah-kaidah fikih.

Metode kita pada daurah kali ini adalah membaca kitab syarah Manzumah Qawaid Fiqhiyyah. Kitab matannya adalah karya Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah, dan kita akan baca syarahnya dari Syekh Abdus Salam Asy-Syu’air hafidzahullahu ta’ala, karena syarahnya sudah cukup lengkap. Jadi, insyaallah metode kita hanya membaca, menerjemahkan, lalu menyimpulkan, kecuali nanti ada beberapa pembahasan yang mungkin perlu tambahan penjelasan saja.

Kitab syarah ini aslinya adalah transkrip dari kajian Syekh Abdus Salam Asy-Syu’air dalam mensyarah matan Manzumah Qawaid Fiqhiyyah ini. Oleh karenanya, mungkin nanti di beberapa kata akan ada kesalahan. Jadi, tolong nanti antum benarkan, kita coba sama-sama fokus di sini, kita perhatikan katanya satu demi satu.

Maka, ana minta kepada antum semuanya untuk meluruskan niat, jujur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Nabi shallallahu โ€˜alaihi wasallam mengatakan, “ู…ูŽู†ู’ ุตูŽุฏูŽู‚ูŽ ุงู„ู„ู‡ูŽ ุตูŽุฏูŽู‚ูŽู‡ู ุงู„ู„ู‡ู” (Siapa yang jujur kepada Allah, maka Allah akan berikan apa yang dia inginkan). Hadirkan rasa bahwasanya kita sekarang ini sedang bermuamalah dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalau seandainya orang di luar sana bisa berjam-jam duduk, bahkan berdiri untuk nonton konser, atau berjam-jam nonton film yang dia sukai, atau berjam-jam duduk main game online, mereka tidak mengantuk. Mereka bisa tahan, bisa sabar, bahkan ada yang tidak tidur malam gara-gara itu. Hal itu kita tahu tidak ada manfaatnya sama sekali. Maka, kita harusnya lebih dari itu. Kita harus bersabar, kita harus bertahan, karena kita tahu bahwasanya apa yang kita lakukan ini, kalau kita ikhlaskan niat kita karena Allah, maka itu akan menjadi sebab kebahagiaan kita kelak ketika kita bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka, tahan-tahan, sabar. Hadirkan niat, hadirkan rasa Allah Subhanahu wa Ta’ala sedang melihat kita. Usahakanlah setiap kali Allah melihat kita, kita sedang berada dalam kondisi yang dicintai oleh-Nya.


Ikhwatal iman a’azzakumullah, kita langsung masuk ke pembahasannya dari mukadimah Syekh Abdus Salam Asy-Syu’air hafidzahullahu ta’ala. Mungkin sedikit perkenalan tentang beliau. Syekh Abdus Salam Asy-Syu’air adalah salah satu ulama kontemporer yang fokus dalam kajian-kajiannya membahas matan-matan Hanabilah (mazhab Hambali). Jadi, kalau antum ingin belajar lebih dalam tentang mazhab Hambali, bisa mendengarkan kajian-kajian beliau di YouTube, banyak juga yang ditranskrip. Beliau termasuk salah satu ulama yang memperhatikan tahrir mazhab Hambali. Ketika beliau mensyarah, beliau katakan, “Ini mazhab, ini pendapat lemah, ini riwayat kedua dari mazhab,” misalnya. Jadi kalau kita ingin paham mazhab Hambali di awal-awal, bisa mendengarkan kajian beliau. Beliau juga banyak membahas tentang tazkiyatun nufus dan memberi nasihat untuk para penuntut ilmu.

Beliau mengatakan:

ุจูุณู’ู…ู ุงู„ู„ู‡ู ุงู„ุฑูŽู‘ุญู’ู…ูฐู†ู ุงู„ุฑูŽู‘ุญููŠู’ู…ู. ุงู„ู’ุญูŽู…ู’ุฏู ู„ูู„ูŽู‘ู‡ู ุฑูŽุจูู‘ ุงู„ู’ุนูŽุงู„ูŽู…ููŠู†ูŽุŒ ูˆูŽุฃูŽุดู’ู‡ูŽุฏู ุฃูŽู†ู’ ู„ูŽุง ุฅูู„ูŽู‡ูŽ ุฅูู„ูŽู‘ุง ุงู„ู„ู‡ู ูˆูŽุญู’ุฏูŽู‡ู ู„ูŽุง ุดูŽุฑููŠูƒูŽ ู„ูŽู‡ูุŒ ูˆูŽุฃูŽุดู’ู‡ูŽุฏู ุฃูŽู†ูŽู‘ ู…ูุญูŽู…ูŽู‘ุฏู‹ุง ุนูŽุจู’ุฏู ุงู„ู„ู‡ู ูˆูŽุฑูŽุณููˆู„ูู‡ูุŒ ุตูŽู„ูŽู‘ู‰ ุงู„ู„ู‡ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูŽุนูŽู„ูŽู‰ ุขู„ูู‡ู ูˆูŽุณูŽู„ูŽู‘ู…ูŽ ุชูŽุณู’ู„ููŠู…ู‹ุง ูƒูŽุซููŠุฑู‹ุง ุฅูู„ูŽู‰ ูŠูŽูˆู’ู…ู ุงู„ุฏูู‘ูŠู†ู.

(Tidak perlu diterjemahkan ya, sudah mau lulus masa puji-pujian masih diterjemahkan).

ุซูู…ูŽู‘ ุฃูŽู…ูŽู‘ุง ุจูŽุนู’ุฏูุŒ ููŽุฅูู†ูŽู‘ู†ูŽุง ูููŠ ู‡ูŽุฐูŽุง ุงู„ู’ูŠูŽูˆู’ู…ู ุจูู…ูŽุดููŠุฆูŽุฉู ุงู„ู„ู‡ู ุนูŽุฒูŽู‘ ูˆูŽุฌูŽู„ูŽู‘ ูููŠ ู‡ูŽุฐูู‡ู ุงู„ุณูู‘ูˆูŽูŠู’ุนูŽุงุชู…

(Sesuai dengan kehendak Allah, kita pada hari ini ูููŠ ู‡ูŽุฐูู‡ู ุงู„ุณูู‘ูˆูŽูŠู’ุนูŽุงุชู). Suwai’at adalah bentuk tasghir (kecil) dari sa’ah (waktu), jadi artinya “dalam waktu yang singkat ini”.

…ู†ูŽุฌู’ุชูŽู…ูุนู ู„ูู‚ูุฑูŽุงุกูŽุฉู ูˆูŽู…ูุฐูŽุงูƒูŽุฑูŽุฉู ู†ูŽุธู’ู…ู ู„ูŽุทููŠููŽุฉู.

(Kita berkumpul untuk membaca dan mempelajari nazam yang berharga). Kitab ilmu itu ada yang berbentuk manzumah (syair/nazham) dan ada yang berbentuk mansurah atau nathr (prosa biasa), seperti Tsalatsatul Ushul atau Lubabut Tahrir. Yang akan kita pelajari ini adalah nazam.

…ุงู„ูŽู‘ุชููŠ ุฃูŽู„ูŽู‘ููŽู‡ูŽุง ุงู„ุดูŽู‘ูŠู’ุฎู ุนูŽุจู’ุฏู ุงู„ุฑูŽู‘ุญู’ู…ูŽู†ู ุจู’ู†ู ู†ูŽุงุตูุฑู ุงู„ุณูŽู‘ุนู’ุฏููŠูู‘.

(Karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah). Kita tahu beliau adalah gurunya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Ada ulama mengatakan, kalaulah Syekh As-Sa’di ini tidak punya kelebihan kecuali punya murid seperti Syekh Ibnu Utsaimin, itu sudah cukup. Jadi, kalau ingin tahu kehebatan Syekh As-Sa’di, kenalilah muridnya, sudah cukup tahu kehebatan beliau.

…ูˆูŽุงู„ูŽู‘ุชููŠ ู„ูŽุง ุชูŽุชูŽุฌูŽุงูˆูŽุฒู ุฎูŽู…ู’ุณููŠู†ูŽ ุจูŽูŠู’ุชู‹ุง.

(Yang mana bait syairnya tidak lebih dari 50 bait, hanya 49).

…ูˆูŽู‚ูŽุฏู’ ุญูŽูˆูŽุชู’ ู…ูŽุนูŽ ู…ูู‚ูŽุฏูู‘ู…ูŽุชูู‡ูŽุง ู†ูŽุญู’ูˆู‹ุง ู…ูู†ู’ ุฃูŽุฑู’ุจูŽุนููŠู†ูŽ ู‚ูŽุงุนูุฏูŽุฉู‹. ุงู„ู’ุฃูŽุบู’ู„ูŽุจู ุนูŽู„ูŽู‰ ู‡ูŽุฐูู‡ู ุงู„ู’ู‚ูŽูˆูŽุงุนูุฏู ุฃูŽู†ูŽู‘ู‡ูŽุง ู‚ูŽูˆูŽุงุนูุฏู ููู‚ู’ู‡ููŠูŽู‘ุฉูŒ.

(Dalam syair ini, beliau membawakan kira-kira 40 kaidah, yang mana mayoritasnya adalah kaidah fikih). Berarti tidak semuanya kaidah fikih. Manzumah ini bagus sekali karena mengumpulkan kaidah-kaidah yang sangat penting. Tapi beliau tidak memasukkan semua kaidah, karena para ulama mengatakan kaidah fikih itu banyak sekali, bahkan ada yang mengatakan unlimited, akan terus ada orang yang membuat kaidah fikih karena ia adalah kesimpulan hukum. Mungkin bagi kita untuk membuat kaidah-kaidah kecil di setiap bab-bab fikih.

Karena kaidah fikih ini, jika engkau ingin mengetahui maksudnya, engkau harus tahu bagian-bagiannya. Kalau kita ingin paham kaidah fikih, jangan cukup dari terjemahannya saja, tapi harus tahu turunannya. Karena mengetahui bagian-bagian dan macam-macam dari sesuatu akan membuatmu menguasai semua gambaran masalahnya. Kalau antum paham cabang-cabangnya, seperti syarat dan rukun jual beli, maka ketika mempelajari larangan-larangan jual beli akan lebih mudah.

Sehingga, cara yang paling detail untuk bisa mendapatkan gambaran dari satu permasalahan adalah dengan mengetahui bentuk-bentuk dan jenis-jenisnya. Ini adalah metodenya para ulama fikih (fuqaha). Syekh Taqiyuddin (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) menjelaskan bahwa cara fuqaha ini lebih detail dan lebih jelas daripada metodenya ahli mantik (ahlul mantiq). Ahli mantik mendefinisikan sesuatu dengan definisi (ta’rif). Mereka sibuk mencari definisi, “Apa itu ilmu? Apa itu cinta? Apa itu nasi?”. Manusia menurut mereka adalah “ุญูŽูŠูŽูˆูŽุงู†ูŒ ู†ูŽุงุทูู‚ูŒ” (makhluk hidup yang berakal), mereka fokus pada definisi.

Sehingga dalam hidupmu, ketika engkau ingin mengetahui suatu masalah dengan baik, berusahalah untuk memahami segala jenis dan turunannya. Bertambahnya ilmu kita dengan pembagian-pembagian dan jenis-jenis dari sesuatu, akan membuat kita lebih mengerti pembahasan itu dengan lebih simpel. Contohnya, “Apa itu salat?” Mending langsung ditunjukkan cara salat, selesai. Orang akan lebih paham daripada didefinisikan.


Pembagian Kaidah Fikih

Beliau mengatakan, kaidah fikih itu terbagi menjadi dua bagian:

Pembagian Pertama: Ditinjau dari Sisi Pengambilannya

  1. Diambil Langsung dari Teks Syariat (Al-Qur’an atau Sunnah):Kaidah fikih yang diambil langsung dari teks syariat kebanyakannya diambil dari hadis-hadis Nabi shallallahu โ€˜alaihi wasallam, kemudian dijadikan kaidah. Contohnya adalah sabda Nabi shallallahu โ€˜alaihi wasallam, “ุฅูู†ูŽู‘ู…ูŽุง ุงู„ู’ุฃูŽุนู’ู…ูŽุงู„ู ุจูุงู„ู†ูู‘ูŠูŽู‘ุงุชู”. Sebagian ulama menjadikan lafaz hadis ini langsung sebagai kaidah. Sebagian lain mengambil hukum dari teks tersebut lalu menjadikannya kaidah, seperti “ุงู„ู’ุฃูู…ููˆุฑู ุจูู…ูŽู‚ูŽุงุตูุฏูู‡ูŽุง”. Dalilnya adalah hadis “ุฅูู†ูŽู‘ู…ูŽุง ุงู„ู’ุฃูŽุนู’ู…ูŽุงู„ู ุจูุงู„ู†ูู‘ูŠูŽู‘ุงุชู”. Mazhab Hanafi membuat kaidah yang sesuai dengan mazhab mereka dari hadis ini: “ู„ูŽุง ุซูŽูˆูŽุงุจูŽ ุฅูู„ูŽู‘ุง ุจูุงู„ู†ูู‘ูŠูŽู‘ุฉู” (Tidak ada pahala kecuali dengan niat). Karena menurut mereka, wudu dan mandi tidak perlu niat untuk sah, tapi tidak dapat pahala tanpa niat.Contoh lain adalah sabda Nabi “ุงู„ู’ุฎูŽุฑูŽุงุฌู ุจูุงู„ุถูŽู‘ู…ูŽุงู†ู” (keuntungan itu berdasarkan tanggungan kerugian), dan “ู„ูŽุง ุถูŽุฑูŽุฑูŽ ูˆูŽู„ูŽุง ุถูุฑูŽุงุฑูŽ” (tidak boleh memberi mudarat dan tidak boleh dibalas dengan mudarat). Begitulah, puluhan hadis bisa dijadikan kaidah.
  2. Diambil Berdasarkan Istiqra’ (Penelitian/Penelaahan):Dalilnya bukan langsung dari satu teks, tetapi dari kesimpulan setelah menelaah banyak hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah. Siapa yang menelaah? Para ulama yang sudah sangat memahami pembahasan fikih dari awal sampai akhir. Mereka mengumpulkan masalah-masalah yang sebab hukumnya (manath al-hukm) sama, kemudian dari situ dibuat sebuah kaidah.Contohnya kaidah “ุงู„ู’ูŠูŽู‚ููŠู†ู ู„ูŽุง ูŠูŽุฒููˆู„ู ุจูุงู„ุดูŽู‘ูƒูู‘” (Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan). Tidak ada hadis yang teksnya persis seperti ini. Akan tetapi, banyak hukum dalam fikih yang menunjukkan ke makna ini. Seperti sabda Nabi terkait orang yang was-was saat salat: “ููŽู„ูŽุง ูŠูŽู†ู’ุตูŽุฑููู’ ุญูŽุชูŽู‘ู‰ ูŠูŽุณู’ู…ูŽุนูŽ ุตูŽูˆู’ุชู‹ุง ุฃูŽูˆู’ ูŠูŽุฌูุฏูŽ ุฑููŠุญู‹ุง” (Janganlah ia batalkan salatnya sampai ia mendengar suara atau mencium aroma). Begitu pula hukum bagi orang yang ragu jumlah rakaat salatnya. Semua hukum ini dibangun di atas sebab yang sama, yaitu keyakinan tidak hilang karena keraguan. Dari sinilah kaidah itu disimpulkan. Istiqra’ adalah salah satu bentuk dalil.

Pembagian Kedua: Ditinjau dari Sisi Cakupannya

  1. Kaidah yang Mencakup Seluruh Bab Fikih (Syamilah):Ini adalah kaidah-kaidah yang berhubungan dengan semua bab fikih, dari bab thaharah hingga bab iqrar (pengakuan). Para ulama berbeda pendapat jumlahnya, ada yang mengatakan empat, lima, atau enam. Al-Qadhi Husain Al-Marwazi mengatakan syariat dibangun di atas empat kaidah. Maksudnya bukan semua hukum bisa di-istinbath dari empat kaidah ini, tetapi semua bab fikih pasti berhubungan dengan empat kaidah ini. Contohnya kaidah niat, pasti berhubungan dengan thaharah, salat, dan lainnya, tapi tidak semua rincian masalah salat berhubungan dengan kaidah niat. Kaidah-kaidah ini dikenal sebagai Al-Qawa’id Al-Kubra (Kaidah-kaidah Besar), yang lima di antaranya adalah:
    • ุงู„ู’ุฃูู…ููˆุฑู ุจูู…ูŽู‚ูŽุงุตูุฏูู‡ูŽุง (Segala urusan bergantung pada niatnya).
    • ุงู„ู’ูŠูŽู‚ููŠู†ู ู„ูŽุง ูŠูŽุฒููˆู„ู ุจูุงู„ุดูŽู‘ูƒูู‘ (Keyakinan tidak hilang karena keraguan).
    • ุงู„ู’ู…ูŽุดูŽู‚ูŽู‘ุฉู ุชูŽุฌู’ู„ูุจู ุงู„ุชูŽู‘ูŠู’ุณููŠุฑูŽ (Kesulitan mendatangkan kemudahan).
    • ุงู„ุถูŽู‘ุฑูŽุฑู ูŠูุฒูŽุงู„ู (Kemudaratan harus dihilangkan).
    • ุงู„ู’ุนูŽุงุฏูŽุฉู ู…ูุญูŽูƒูŽู‘ู…ูŽุฉูŒ (Adat kebiasaan bisa menjadi hukum).
  2. Kaidah yang Berkaitan dengan Satu Bab atau Beberapa Bab Saja (Juz’iyyah):Ada kaidah yang hanya berhubungan dengan satu atau beberapa bab saja. Ada yang khusus untuk salat, ada yang khusus untuk puasa, dan sebagainya. Kaidah yang bersifat khusus (juz’i) ini lebih kuat daripada kaidah umum jika terjadi pertentangan. Contoh kaidah khusus yang diperselisihkan adalah tentang posisi jari-jari dalam salat:
    • Menurut Mazhab Syafi’i: Asalnya jari-jari dalam salat direnggangkan, kecuali dalam satu atau dua keadaan (seperti saat sujud).
    • Menurut Mazhab Hambali: Asalnya jari-jari dirapatkan (saat berdiri, duduk, takbir), kecuali di satu kondisi, yaitu ketika rukuk saat memegang lutut.Kaidah ini hanya berlaku dalam bab salat, tidak bisa dipakai saat zakat atau haji. Ini juga contoh kaidah yang diperselisihkan antar mazhab.

Peringatan Penting

Syekh mengingatkan, jangan sampai ada yang mengira bahwa dengan memahami lima kaidah besar saja sudah bisa berfatwa. Beliau mengatakan ini adalah puncak kebodohan. Bahkan para ulama menyatakan, orang yang sudah menguasai ushul fiqh dan qawa’id fiqhiyyah pun tidak boleh berfatwa sampai ia mengerti rincian-rincian masalah fikih (furu’) dan dalil-dalilnya. Kaidah seperti “mengambil maslahat dan menolak mafsadah” tidak bisa diterapkan hanya berdasarkan pemikiran kita, tapi harus dibangun di atas ushul dan kaidah syariat yang benar, dengan penelitian yang panjang untuk mengetahui mana maslahat dan mudarat yang sesungguhnya menurut syariat.

Syarat menjadi mufti sangatlah banyak. Ia harus paham fikih mazhab dan perbedaannya (khilaf), paham bahasa Arab, dan tahu mana masalah yang sudah menjadi ijma’. Syariat itu harus sudah menjadi skill yang mengakar dalam dirinya. Jadi, jangan sampai setelah selesai daurah 4 hari langsung menjadi mufti.


#Prolog

Dari Abdullah bin โ€˜Amr bin Al-โ€˜Ashย radhiyallahu โ€™anhu.ย Dia berkata, โ€œAku mendengar Rasulullahย shallallahu โ€˜alaihi wasallamย bersabda, โ€˜Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara langsung dengan melenyapkan ilmu itu dari manusia. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan orang berilmu lagi, orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.โ€™โ€ (HR. Bukhari)

Sumber:ย https://muslim.or.id/93486-malapetaka-akhir-zaman.html
Copyright ยฉ 2025 muslim.or.id