بسم الله الرحمن الرحيم.
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا. من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له. وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، صلى الله عليه وعلى آله وصحبه والتابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين وسلم تسليماً كثيراً. أما بعد.
Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa ta’ala yang telah memudahkan pertemuan kita pada pagi hari ini. Setelah lama, terakhir kajian dilakukan di bulan Februari, kalau tidak salah sebelum Ramadan, baru kita bisa memulai kembali kajian tentang As-Sirah An-Nabawiyah di bulan Juli ini. Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala memudahkan kita untuk terus mempelajari perjalanan hidup manusia terbaik di dunia ini, Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam.
Pendahuluan: Keadaan Keagamaan Mekkah Sebelum Kenabian
Kajian ini masih pada pembahasan apa yang terjadi di kota Mekkah dan sekitarnya sebelum diutusnya Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. Telah disebutkan sebelumnya bagaimana keadaan kota Mekkah dari sisi keagamaan sebelum Allah mengutus nabi-Nya.
Kesyirikan telah merajalela di kota Mekkah dan sekitarnya dengan sebab dan dampak dari perbuatan Amr bin Luhay Al-Khuza’i ketika dia mendatangkan berhala-berhala dari Syam menuju Mekkah, kemudian mengajak manusia untuk beribadah kepada berhala-berhala tersebut. Terpengaruhnya manusia terhadap dakwah yang dilakukan oleh Amr bin Luhay sebabnya adalah karena lemahnya tauhid yang ada di dalam diri mereka. Padahal, kalau diurutkan, mereka ini adalah keturunan Nabi Ibrahim Alaihissalam, Khalilullah, orang yang telah menghabiskan waktunya dan juga umurnya di dalam menegakkan tauhid.
Cuma demikianlah, dengan berlalunya zaman, disibukkannya manusia dengan dunia, dan ada di sana campur tangan setan, banyak di antara mereka yang mulai menjauh dari ilmu sehingga mulai melemahlah tauhid di dalam diri mereka. Dan ketika seseorang sudah jauh dari ilmu, mudah sekali setan untuk menyimpangkan mereka dari jalan Allah Subhanahu wa ta’ala.
Sumber Utama dalam Memahami Akidah Jahiliah
Para ahli sirah menguatkan bahwa dampak yang dilakukan oleh Amr bin Luhay harus memiliki dasar sejarah yang menunjukkan pengaruhnya terhadap penyimpangan agama Nabi Ibrahim dan tersebarnya kesyirikan di Mekkah dan sekitarnya. Harus ada di sana sumber yang bisa dipertanggungjawabkan.
Tentunya, referensi rujukan yang paling benar yang menjelaskan tentang akidah orang-orang jahiliah adalah Al-Qur’anul Karim. Sebagaimana firman Allah, وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثًا (Wa man aṣdaqu minallāhi ḥadīthā) dan وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ قِيلًا (Wa man aṣdaqu minallāhi qīlā), yang artinya, “Dan siapakah yang lebih benar ucapannya daripada ucapan Allah?”
Di dalam Al-Qur’an, disebutkan perdebatan antara Allah dengan orang-orang musyrikin, di mana Allah menyebutkan akidah mereka lalu membantah dan membongkar keyakinan batil tersebut. Dari situ kita bisa mengambil kesimpulan apa yang menjadi akidah orang-orang jahiliah.
Hakikat Kesyirikan Kaum Musyrikin Quraisy
Allah Subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan di dalam Al-Qur’an bahwasanya orang-orang Arab musyrikin dahulu menyembah sesembahan-sesembahan yang hanya sekadar anggapan saja (آلِهَةً مَزْعُومَة), sesembahan-sesembahan yang batil.
Mengenal Allah Namun Menyimpang dalam Tujuan Ibadah
Faktanya, mereka mengenal Allah. Penggambaran bahwa mereka sama sekali tidak mengenal Allah dan meyakini patung sebagai pencipta adalah keliru. Ibadah mereka kepada selain Allah memiliki dua tujuan utama yang berhubungan dengan Allah:
- Untuk Mendekatkan Diri kepada Allah: Mereka menyembah orang-orang yang dianggap saleh dengan tujuan supaya orang-orang saleh tersebut mendekatkan diri mereka kepada Allah. Mereka mengatakan, sebagaimana dinukil dalam Al-Qur’an: مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ (mā na‘buduhum illā liyuqarribūnā ilallāhi zulfā), yang artinya, “Tidaklah kami menyembah mereka kecuali supaya mereka ini mendekatkan diri kami kepada Allah dengan sebenar-benar pendekatan.”
- Untuk Mendapatkan Syafaat: Mereka juga bertujuan agar sesembahan-sesembahan tersebut memberikan syafaat untuk mereka di sisi Allah. Allah menyebutkan ucapan mereka: وَيَقُولُونَ هَٰؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِندَ اللَّهِ (wa yaqūlūna hā’ulā’i syufa‘ā’unā ‘indallāh), yang artinya, “Dan mereka mengatakan, ‘Mereka ini, sesembahan-sesembahan kami ini, mereka adalah yang akan memberikan syafaat bagi kami di sisi Allah’.”
Tujuan mereka baik, tetapi cara yang mereka tempuh salah karena tidak kembali kepada wahyu, bahkan membuat murka Allah karena mengandung kesyirikan.
Akar Penyimpangan: Taklid Buta terhadap Nenek Moyang
Syiar-syiar paganisme ini berlangsung selama berabad-abad dengan sebab taklid buta, yaitu mengikuti nenek moyang mereka tanpa ada keinginan untuk mengikuti kebenaran atau sifat kritis. Setiap kali didakwahi, mereka mengatakan: إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِم مُّقْتَدُونَ (“Sesungguhnya kami telah mendapatkan bapak-bapak kami di atas sebuah akidah, di atas kebudayaan, di atas kearifan lokal. Dan kami itu anak keturunannya ingin meneladani mereka.”).
Taklid ini telah menjadikan mereka buta dari menggunakan akal dan mengambil dalil yang sahih.
Dampak Penyimpangan Akidah terhadap Ibadah
Penyimpangan di dalam masalah akidah ini diiringi dengan penyimpangan di dalam ibadah, akhlak, dan syariat. Akidah di dalam hati akan memengaruhi yang lain, sebagaimana sabda Nabi ﷺ tentang “segumpal daging” (hati).
Salah satu contoh paling nyata adalah penyimpangan dalam manasik haji:
- Menempatkan Berhala di Sekitar Ka’bah: Berhala-berhala mulai diletakkan di sekitar Ka’bah, yang sebelumnya bersih dari kesyirikan. Saat Fathu Makkah, Nabi ﷺ mendapati 360 berhala di sana.
- Thawaf dengan Telanjang: Thawaf di sekitar Ka’bah dilakukan dengan telanjang pada sebagian keadaan.
- Wukuf di Muzdalifah, Bukan Arafah: Orang-orang Quraisy tidak mau keluar ke Arafah untuk wukuf karena Arafah bukan Tanah Haram. Mereka berkata, “Kami ini adalah ahlul haram, kami tidak mau keluar dari Tanah Haram,” lalu mereka mencukupkan wukuf di Muzdalifah, yang merupakan penyimpangan besar karena haji adalah wukuf di Arafah.
Sesi Tanya Jawab
Pertanyaan 1: Mengapa orang-orang Arab yang terhormat bisa membuat aturan thawaf sambil telanjang?
Jawaban: Ini disebabkan rasa sombong orang Quraisy yang merasa diri mereka paling terhormat sebagai penjaga Tanah Haram, sehingga mereka merendahkan orang selain mereka. Mereka membuat aturan bahwa orang selain Quraisy tidak boleh thawaf memakai pakaian yang digunakan untuk bermaksiat. Solusinya, mereka harus memakai pakaian orang Quraisy dengan cara membeli atau menyewa dengan harga mahal. Banyak orang miskin tidak mampu, sehingga diberikan jalan keluar: “Ya sudah, kamu thawaf dalam keadaan telanjang.” Demikianlah kesyirikan, jika sudah masuk ke dalam diri seseorang, maka sifat kemanusiaannya menjadi berkurang bahkan hilang.
Pertanyaan 2: Bagaimana hukumnya jika seseorang azan sebelum waktunya, tetapi selesai azan sudah masuk waktu? Apakah salatnya sah?
Jawaban: Pertama, salat fardunya sah karena syarat sahnya salat, yaitu masuk waktu salat, telah terpenuhi saat ia melakukan salat. Kedua, perbuatan azan sebelum waktunya adalah sebuah kesalahan. Azan adalah pemberitahuan bahwa waktu salat sudah masuk. Jika azan dilakukan sebelumnya, dikhawatirkan ada orang yang langsung mengerjakan salat sehingga salatnya menjadi tidak sah. Seorang muazin memegang amanah atas ibadah kaum muslimin, sehingga ia harus berhati-hati dan tidak mengumandangkan azan kecuali yakin waktunya sudah masuk.
Pertanyaan 3: Selain haji, ibadah apa saja yang disimpangkan oleh kaum Quraisy?
Jawaban: Di antaranya adalah:
- Saat thawaf, mereka melakukannya dengan bersiul dan bertepuk tangan.
- Ibadah menyembelih hewan (اَلذَّبْح), yang seharusnya untuk Allah, mereka tujukan kepada selain Allah dengan menyembelih di depan patung.
- Ibadah bersumpah, yang seharusnya hanya dengan nama Allah, mereka bersumpah dengan selain Allah seperti mengatakan, “Demi Lata dan Uzza” atau “Demi Hubal.”
- Adapun salat dan zakat, mereka tidak melakukannya.
Pertanyaan 4: Mengapa makmum tidak mengucapkan “Sami’allāhu liman ḥamidah” saat salat berjamaah?
Jawaban: Yang pertama, ibadah itu sifatnya tauqifiyyah, artinya kita menerima jadi dari Nabi ﷺ. Beliau mengajarkan, “Apabila imam mengatakan Sami’allāhu liman ḥamidah, maka hendaklah kalian mengatakan Rabbanā wa lakal-ḥamd.” Seorang muslim melakukan apa yang diajarkan Nabi ﷺ meskipun tidak mengetahui hikmahnya. Namun, kita yakin di balik pensyariatan ini pasti ada hikmah. Sami’allāhu liman ḥamidah artinya “Allah Maha Mendengar orang yang memuji-Nya.” Sebagai respons, imam maupun makmum kemudian memuji Allah dengan mengucapkan Rabbanā wa lakal-ḥamd, yang artinya, “Wahai Rabb kami, bagi-Mu lah segala puji.”