PENJELASAN HADIS ARBA’IN KE-28: KETAATAN KEPADA PENGUASA DAN BERPEGANG PADA SUNNAH

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ
الْحَمْدُ لِلَّهِ، الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ
Ikhwan sekalian dan juga Akhwat rahimani wa rahimakumullah.
Wasiat Kedua: Mendengar dan Taat kepada Penguasa
Wasiat yang kedua dari hadis Irbadh bin Sariyah adalah:
وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ
(Dan mendengar serta taat, meskipun yang memerintah kalian adalah seorang budak).
Maksudnya adalah ketaatan kepada penguasa, yaitu orang yang sudah Allah jadikan dia pemimpin kita, penguasa kita, atau pemerintah kita, maka kita diperintahkan untuk mendengar dan taat. Ini adalah wasiat dari Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sekian banyak perintah, beliau menjadikan “mendengar dan taat kepada penguasa” ini sebagai wasiat setelah bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Ini menunjukkan keutamaan mendengar dan taat kepada pemerintah dan pemimpin. Hal ini merupakan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang telah menyimpang di dalamnya sebagian aliran. Apabila antum membaca kitab-kitab akidah Ahlussunnah dari zaman dahulu maupun sampai sekarang, para ulama akan menyebutkan bahwa di antara prinsip akidah kita adalah mendengar dan taat kepada penguasa yang sah.
Dalil-dalilnya banyak, di antaranya adalah hadis ini dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ﴾
(Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul [Muhammad], dan Ulil Amri [pemegang kekuasaan] di antara kamu). [QS. An-Nisa: 59]
Para salaf ketika menafsirkan أُولِي الْأَمْرِ (Ulil Amri):
- Ada yang menafsirkan sebagai الْعُلَمَاءُ (ulama) karena mereka memegang urusan agama kita.
- Ada yang menafsirkan sebagai الْأُمَرَاءُ (umara/penguasa) karena mereka memegang urusan dunia kita.
Pendapat yang kuat adalah yang menggabungkan kedua pendapat ini, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, bahwasanya Ulil Amri mencakup umara dan juga ulama.
Ini menunjukkan bahwasanya kita sebagai rakyat diperintahkan untuk mendengar (apabila mereka berbicara) dan menaati (apabila mereka mengeluarkan perintah atau peraturan). Ini mengandung maslahat yang besar. Tidak mungkin sebuah negara bisa teratur melaksanakan aktivitasnya dengan baik—pendidikan, ekonomi, bahkan agama—kecuali apabila rakyatnya mau mendengar dan taat kepada penguasanya.
Jika rakyat taat, maka akan tercipta keamanan yang stabil. Dari keamanan tersebut, aktivitas lain akan berjalan; pendidikan lanjut, ekonomi berkembang, dan manusia beraktivitas dengan aman. Sebaliknya, jika rakyat tidak mau mendengar dan taat, maka mudarat yang terjadi sangat besar. Tidak ada kestabilan keamanan, terjadi peperangan, saling mencurigai, dan saling menzalimi.
Dampaknya juga merusak urusan agama. Jika tidak ada kerukunan antara rakyat dengan pemerintah, agama pun terancam. Tidak bisa melaksanakan salat lima waktu berjamaah dengan tenang, tidak bisa menghadiri majelis ilmu karena kekacauan. Makanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat menekankan wasiat ini setelah takwa. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa taat kepada penguasa sebenarnya adalah bagian dari takwa itu sendiri.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperkuat wasiat ini dengan sabdanya:
وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ
(Meskipun yang menjadi penguasa kalian adalah seorang budak).
Dalam riwayat lain disebutkan: عَبْدٌ حَبَشِيٌّ (seorang budak dari Habasyah/Ethiopia). Padahal syarat menjadi penguasa dalam kondisi normal adalah harus orang merdeka. Namun, jika takdir Allah menjadikan seorang budak sebagai pemimpin—meskipun status sosialnya rendah di mata manusia—kewajiban kita tetap mendengar dan taat. Kita harus meminggirkan hawa nafsu dan gengsi kita demi mendahulukan keridhaan Allah dan mengikuti wasiat Nabi.
Batasan Ketaatan
Banyak dalil yang menunjukkan wajibnya taat, seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِي عُسْرِهِ وَيُسْرِهِ، وَمَنْشَطِهِ وَمَكْرَهِهِ
(Wajib bagi seorang muslim untuk mendengar dan taat, baik dalam keadaan susah maupun mudah, dalam keadaan semangat maupun terpaksa).
Namun, ketaatan ini terikat, bukan mutlak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pengecualian:
إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
(Kecuali apabila diperintahkan untuk bermaksiat. Maka jika diperintahkan untuk bermaksiat, tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat).
Ketaatan mutlak hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Adapun kepada Ulil Amri, ketaatannya terikat dengan syariat. Selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis, kita taati. Jika memerintahkan maksiat, kita tolak perintah maksiatnya, namun tetap menjaga ketaatan dalam hal yang ma’ruf lainnya.
Wasiat Ketiga: Menghadapi Perpecahan (Ikhtilaf)
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا
(Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang hidup setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak).
Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, umat Islam adalah satu. Akidahnya satu, cara ibadahnya satu. Namun, Nabi mengabarkan akan adanya perselisihan yang banyak, dan ini terbukti sebagai tanda kenabian beliau.
Muncullah berbagai aliran:
- Qadariyah: Muncul di zaman Abdullah bin Umar, mereka mengingkari takdir. Padahal Nabi bersabda: وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ (Engkau beriman kepada takdir baik dan buruk), dan كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ (Segala sesuatu dengan takdir).
- Khawarij: Mereka mengkafirkan pelaku dosa besar dan mewajibkan memerangi penguasa yang zalim. Padahal akidah Ahlussunnah meyakini pelaku dosa besar tidak keluar dari Islam, dan Nabi memerintahkan bersabar terhadap penguasa zalim: وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ (Meskipun punggungmu dipukul dan hartamu diambil).
Ketika terjadi banyak aliran dan perpecahan, manusia bersikap macam-macam: ada yang putus asa lalu menjauh dari agama, ada yang fanatik pada satu aliran, ada yang menganggap semua aliran benar.
Lalu bagaimana solusi dari Nabi? Beliau tidak menyuruh menjauh dari agama, melainkan memberikan wasiat:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي
(Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku).
Jalan keluarnya adalah kembali kepada Sunnah. Sunnah adalah jalan hidup beliau, baik berupa ucapan, perbuatan, maupun persetujuan (taqrir). Untuk bisa kembali kepada sunnah, kita harus belajar ilmu agama.
Beliau melanjutkan:
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ
(Dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk).
Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Dalam hadis lain disebutkan:
خِلَافَةُ النُّبُوَّةِ ثَلَاثُونَ سَنَةً
(Kekhilafahan nubuwwah itu berlangsung selama 30 tahun).
Sunnah Khulafaur Rasyidin tidak berbeda dengan sunnah Nabi, justru mereka adalah contoh terbaik dalam mengamalkan sunnah Nabi. Mereka disebut الرَّاشِدِينَ (Ar-Rasyidin) karena memiliki ilmu yang mendalam dan amal yang lurus. Contohnya adalah Utsman bin Affan yang mengadakan azan pertama pada hari Jumat; ini dianggap sunnah karena beliau adalah bagian dari Khulafaur Rasyidin yang diperintahkan Nabi untuk diikuti.
Terakhir, Nabi bersabda:
عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
(Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian).
Ini adalah ungkapan agar kita memegang sunnah sekuat-kuatnya. Orang yang memegang teguh sunnah pasti akan diuji—baik dari keluarga, teman, maupun lingkungan. Maka kita diperintahkan untuk bersabar, tabah, dan sungguh-sungguh (istiqomah) dalam memegang agama Allah, sebagaimana para sahabat dahulu tegar meski disiksa dan diusir.
Demikian yang bisa kita sampaikan.
Wallahu Ta’ala A’lam. Wabillahi taufiq wal hidayah.
وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ


