Dr. Sufyan BaswedanTematik

Hakikat dan Konsekuensi Mengimani Rasulullah ﷺ

Hakikat dan Konsekuensi Mengimani Rasulullah ﷺ

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، لَا نَبِيَّ وَلَا رَسُولَ بَعْدَهُ. صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ. أَمَّا بَعْدُ

Jemaah sekalian, Alhamdulillah ini perjumpaan yang kedua. Kira-kira setahun yang lalu saya juga pernah diberi kesempatan untuk mengisi kajian di sini, dan ini adalah yang kedua. Alhamdulillah.

Insyaallah kita akan bicara tentang hakikat mengimani diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa saja konsekuensi dari mengimani beliau sebagai Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentu kita tahu semua bahwa mengimani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bagian dari rukun Islam yang pertama, yaitu dua kalimat syahadat. Syahadat yang keduanya adalah شَهَادَةُ الرِّسَالَةِ (kesaksian bahwa seorang manusia yang bernama Muhammad bin Abdillah adalah utusan Allah). Iman kepada Rasul juga bagian dari rukun iman yang keempat, yaitu الْإِيمَانُ بِالرُّسُلِ (mengimani para rasul), dan terutama adalah Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tentunya, ayyuhal ikhwah, beriman kepada rasul itu bukan sekadar ucapan. Tidak cukup kalau itu hanya diucapkan dengan lisan, tapi di balik itu ada konsekuensi. Yang namanya konsekuensi ini kalau kita tidak terikat dengannya, maka iman kita ini akan sia-sia. Sekali lagi, kalau kita tidak terikat dengan konsekuensinya, iman kita akan dianggap sia-sia oleh Allah, dianulir oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini juga berlaku pada iman kepada Allah, demikian juga iman kepada malaikat, iman kepada kitab-kitab, iman kepada hari akhir, dan iman kepada takdir; semuanya ada konsekuensinya.

Yang kita akan bahas malam ini adalah: Apa sih konsekuensi di balik iman kepada Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam? Semuanya telah dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur’anul Karim. Secara garis besar, konsekuensinya ada empat. Namun kalau dirinci jadi 15. Antum pilih yang empat atau yang 15? Mau pilih yang empat tetap harus mencakup 15 poin, ini sama saja sebetulnya. Biasanya orang hanya menyebutkan empat hal, tapi di balik empat hal ini ada rincian-rincian.

1. Membenarkan Kabar Beliau (Tasdiquhu Fima Akhbar)

Saya sebutkan yang empat dulu. Yang pertama adalah: تَصْدِيقُهُ فِيمَا أَخْبَرَ (Membenarkan semua yang beliau kabarkan).

Mempercayai dan menganggap benar semua yang beliau kabarkan. Kenapa kok harus begitu? Karena beliau Rasulullah. Harap dibedakan mengimani beliau sebagai Rasulullah dengan mengimani beliau sebagai manusia. Antum kira Abu Jahal itu enggak percaya kalau ada orang yang namanya Muhammad? Percaya Abu Jahal itu. Abu Lahab juga percaya ada orang namanya Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib Al-Hasyimi. Dia tidak pernah mempermasalahkan adanya manusia yang namanya Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib.

Terus masalahnya di mana? Statusnya. Paham? Yang dipermasalahkan oleh orang-orang yang mendustakan beliau itu adalah status beliau itu, bukan sosok manusianya. Yang mereka permasalahkan adalah ketika orang yang namanya Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib dari Bani Hasyim itu mengaku-ngaku dia sebagai utusan Allah, kemudian menyuruh mereka begini, menyuruh mereka begitu, melarang mereka begini, melarang mereka begitu, mengabarkan cerita ini, cerita itu (di masa lalu terjadi hal A-B-C-D-E, nanti akan terjadi A-B-C-D-E setelah kalian hidup, kalian akan mati, ada azab kubur, ada nikmat kubur, nanti dibangkitkan lagi). Itu yang jadi masalah buat mereka.

Sehingga mengimani beliau sebagai Rasulullah harus ada konsekuensi, harus beda dengan mengimani beliau sebagai manusia yang namanya Muhammad bin Abdillah. Konsekuensi yang pertama apa? Percayai semua yang beliau kabarkan. Nah, dari poin yang pertama ini ada turunan-turunan.

a. Risalah untuk Seluruh Manusia

Turunan yang pertama, bahwa beliau ini adalah orang yang mendapatkan wahyu risalah yang berlaku untuk seluruh umat manusia. Beda dengan nabi dan rasul yang sebelum beliau. Nabi dan rasul sebelum beliau itu kenabiannya dan kerasulannya itu eksklusif untuk kaumnya saja. Khusus Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berlaku untuk seluruh umat manusia dari bangsa manapun dia. Bahkan tidak hanya manusia, jin juga wajib mengimani kerasulan beliau.

Jadi tidak cukup kita percaya, “Iya saya percaya ada rasul namanya Muhammad Rasulullah,” enggak cukup. Kita wajib percaya bahwa risalah beliau, nubuwah beliau itu berlaku untuk seluruh umat manusia. Konsekuensinya, kalau ada orang yang mengatakan Islam yang dibawa oleh Rasulullah itu khusus buat bangsa Arab, orang Indonesia harus dimodifikasi jadi “Islam Nusantara”, nah itu berarti syahadatnya enggak beres. Enggak ada Islam Nusantara, adanya Islam saja. Enggak ada yang perlu dimodifikasi. Itu berlaku untuk seluruh umat manusia di manapun sampai kapanpun. Karena itu salah satu yang beliau kabarkan tentang kerasulan beliau.

Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Surah Saba dan juga ada di Surah Al-Anbiya (Al-A’raf), dua ayat yang berbeda tapi maknanya sama. Allah mengatakan: ﴿قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا﴾ (Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua”). [QS. Al-A’raf: 158].

Jadi selama namanya masih manusia—bukan jerapah, bukan gajah—maka dia terkena kewajiban untuk mengimani Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, apapun suku bangsanya. Di ayat yang lain, di Surah Saba: ﴿وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا﴾ (Kami tidak mengutusmu wahai Rasulullah Muhammad kecuali untuk segenap umat manusia). [QS. Saba: 28].

Semua manusia. Jadi bukan cuman buat bangsa Arab; buat bangsa Arab, buat Cina, Indonesia, Afrika, India, Eropa, semuanya.

b. Kemaksuman Rasulullah

Turunan yang kedua dari mempercayai beliau sebagai Rasulullah adalah mempercayai kemaksuman beliau. Karena bedanya Rasul dengan yang lain, kalau rasul itu مَعْصُومٌ (maksum/terjaga), yang lain tidak. Maksum itu apa artinya? Maksum itu terjaga dari dosa-dosa yang menodai kerasulan beliau. Dosa-dosa yang menodai kerasulan beliau itu seperti dusta, khianat, dan menyembunyikan wahyu, atau dosa-dosa besar yang merusak kredibilitas seseorang.

Tidak mungkin Rasulullah itu dusta, karena begitu sekali ketahuan berdusta, terbukti berdusta, akan hancur kepercayaan orang. Semua rasul maksum dari kedustaan. Bolehkah, mungkinkah berbuat salah? Mungkin. Kalau berbuat salahnya mungkin, tapi begitu seorang rasul itu berbuat salah, langsung dikoreksi lagi sama Allah. Nah, itu bedanya Rasul dengan yang lain. Kalau yang lain belum tentu dikoreksi, tapi kalau Rasul salah langsung akan diluruskan. Turun wahyu yang menjelaskan dia salah di sini.

Contohnya Surah ‘Abasa: ﴿عَبَسَ وَتَوَلَّى * أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى﴾ (Dia [Muhammad] bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya).

Di situ Allah mengoreksi sikapnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketika datang orang buta ingin bertanya masalah agama kepada beliau, dan ketika itu beliau sedang semangat-semangatnya mendakwahi tokoh-tokoh Quraisy. Beliau merasa pertanyaan ini mengganggu, sehingga beliau pun buang muka dan bermuka masam (cemberut). Yang bertanya tidak bisa melihat raut mukanya Rasulullah, tapi kan Allah melihat. Ditegur langsung sama Allah.

Turun ayat ini ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dikatakan oleh salah seorang istri beliau, “Ya Rasulullah, aku mencium bau dari mulutmu, kamu habis minum apa?” Ada sejenis tanaman yang namanya Maghafir. Maghafir itu kalau dimakan/dikonsumsi bau mulutnya jadi enggak enak. Dan Nabi itu paling terganggu kalau dikatakan mulutnya bau. Kata beliau, “Saya cuma minum madu. Saya dikasih madu sama Ummu Salamah.” “Oh, mungkin lebahnya hinggap di bunga Maghafir.” Akhirnya beliau mengharamkan dirinya untuk minum madu gara-gara informasi itu. Ditegur sama Allah. Turun satu surat namanya Surah At-Tahrim: ﴿يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاتَ أَزْوَاجِكَ﴾ (Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu demi mencari keridhaan istri-istrimu?).

Dan banyak lagi peristiwa-peristiwa lain di mana ketika Nabi itu berbuat salah, langsung dikoreksi oleh Allah. Itu artinya beliau maksum. Jadi kesalahan-kesalahan yang sifatnya tidak menodai kredibilitas beliau sebagai seorang nabi masih mungkin terjadi, tapi kalau kesalahan yang menodai kredibilitas sebagai seorang nabi seperti dusta, khianat, menyembunyikan wahyu, enggak mungkin.

c. Penutup Para Nabi (Khatamun Nabiyyin)

Termasuk konsekuensi mengimani apa yang beliau kabarkan adalah mengimani bahwa beliau setelah diutus, bahwa beliau ini adalah penutup para nabi dan rasul. Itu konsekuensi juga, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menjelaskan hal itu dalam Al-Qur’anul Karim. Allah mengatakan dalam Surah Al-Ahzab: ﴿مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ﴾ (Muhammad itu bukanlah bapak dari salah seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia adalah Rasulullah dan Penutup para Nabi).

Jadi kalau percaya, “Saya percaya kepada Rasulullah tapi beliau bukan penutup para nabi,” maka syahadatnya batal. Otomatis auto batal. Begitu dia tidak mempercayai Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi, gugur syahadatnya. Jadi orang-orang Ahmadiyah itu bukan orang Islam, karena dia percaya ada nabi setelah Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, namanya siapa? Mirza Ghulam Ahmad. Musailamah Al-Kadzab itu juga keluar dari Islam karena dia percaya kepada Rasulullah dan kepada dirinya, menganggap dirinya berpartner dengan Rasulullah, sama-sama dapat wahyu.

d. Menghapus Syariat Sebelumnya

Konsekuensi berikutnya, masih turunan dari mengimani apa yang dikabarkan oleh Nabi, adalah mengimani bahwa syariat yang beliau bawa itu mengamandemen semua syariat yang pernah ada sebelumnya. Menganulir, menjadikan ajaran-ajaran agama dan peraturan-peraturan yang dulunya berlaku menjadi kedaluwarsa semua begitu Allah mengutus Nabi akhir zaman yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ya, harus diyakini seperti itu. Kalau ada yang berkeyakinan masih boleh mengikuti ajaran Taurat, masih boleh mengamalkan ajaran Injil, batal syahadatnya.

Jangankan kitab sucinya yang sudah mengalami distorsi—kan selain Al-Qur’an tidak dijamin keotentikannya oleh Allah, hanya Al-Qur’an yang dijamin. Bahkan Al-Qur’an menjelaskan kitab-kitab suci yang pernah turun itu ada yang sudah dirubah-rubah. Al-Qur’an mengatakan begitu. Jadi kita kalau mengimani kitab suci yang turun, kita juga wajib mengimani bahwa itu semua tidak lagi otentik 100%, kecuali Al-Qur’an. Harus diimani begitu. Kalau orang percaya Taurat yang ada hari ini itu masih otentik 100%, malah batal Islamnya.

Al-Qur’an mengabarkan itu dalam beberapa ayat. Di antaranya di Surah Al-Baqarah Allah mengatakan: ﴿فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ﴾ (Maka celakalah orang-orang ahli kitab yang menyalin Kitabullah, yang menulis dengan tangan mereka sendiri, kemudian mereka mengklaim ini datang dari sisi Allah).

Padahal tulisan mereka. ﴿فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ﴾ (Maka celakalah mereka gara-gara yang mereka tulis itu, dan celakalah mereka karena usaha mereka).

Karena mereka menambah-nambahkan, merubah-rubah. ﴿يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ﴾, dalam ayat yang lain, mereka itu mendistorsikan/menyimpangkan makna ucapan Allah itu. Kadang ditutupi, kadang dibuang, kadang ditambah, kadang dipelintir. Kalau Al-Qur’an tidak mungkin bisa digitukan karena Allah sendiri yang menjaga.

Nah, bagian dari konsekuensi mengimani Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengimani bahwa hanya syariat beliau yang boleh diikuti sampai hari kiamat nanti. Tidak ada lagi nabi yang boleh diikuti setelah beliau diutus. Bahkan, seandainya nabi-nabi yang dulu itu hidup sebelum Rasulullah itu dihidupkan kembali oleh Allah di zamannya Rasulullah, maka nabi-nabi itu wajib menjadi pengikutnya Rasulullah. Enggak ada pilihan lain. Seandainya Nabi Musa dihidupkan kembali, Nabi Isa, Nabi Nuh, Hud, dan lain-lainnya dihidupkan kembali, maka mereka kalau mau selamat wajib menjadi pengikutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Itu disabdakan oleh beliau ketika melihat Umar bin Khattab radhiyallahu anhu menyembunyikan secarik potongan dari kitab Taurat, disembunyikan di balik gulungan sarungnya, kelihatan dikit gitu kan. “Apa itu ya Umar?” “Anu Rasulullah, ini bagian dari Taurat,” katanya. Ditegur sama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Kamu masih ragu juga?” وَاللَّهِ لَوْ كَانَ مُوسَى بْنُ عِمْرَانَ فِيكُمْ مَا وَسِعَهُ إِلَّا اتِّبَاعِي (Demi Allah, jangankan Tauratnya yang mengalami distorsi, seandainya nabinya [Musa bin Imran] dihidupkan lagi di tengah-tengah kalian, dia enggak punya pilihan lain kalau mau selamat kecuali jadi pengikutku).

Bahkan di Surah Ali Imran ayat 81. Lihat, perhatikan ayat yang luar biasa ini. Allah berfirman: ﴿وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّينَ لَمَا آتَيْتُكُمْ مِنْ كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنْصُرُنَّهُ﴾ (Ingatlah ketika Allah mengambil janji yang kuat dari para nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa Kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya”).

Bahwa setiap nabi yang Allah utus sejak zaman Adam sampai sebelumnya Rasulullah itu disumpah semua sama Allah. “Siapapun di antara kalian yang Aku turunkan kepadanya kitab, suatu kitab, kemudian datang kepadanya seorang rasul setelah dia, maka dia wajib beriman kepada rasul itu.” Jadi misalnya Nabi Adam disumpah, “Hai Adam, nanti kalau datang Rasul setelah kamu, kamu wajib mengikutinya.” Nabi Nuh juga begitu.

Nah, berhubung nabi kita adalah rasul yang paling akhir, maka semua nabi itu sudah disumpah oleh Allah. Seandainya mereka bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mereka masih hidup, maka mereka wajib menjadi pengikutnya Rasulullah. ﴿قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَى ذَلِكُمْ إِصْرِي قَالُوا أَقْرَرْنَا قَالَ فَاشْهَدُوا وَأَنَا مَعَكُمْ مِنَ الشَّاهِدِينَ﴾ (Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab: “Kami mengakui”. Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah [hai para nabi] dan Aku menjadi saksi [pula] bersama kalian”).

Jadi mengimani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam harus dibarengi dengan mengimani bahwa hanya ajaran beliau yang boleh diikuti semenjak beliau diutus. Begitu Nabi diutus, maka langsung dianulir itu syariat yang pernah ada sebelumnya. Otomatis kedaluwarsa, enggak boleh lagi diikuti. Yang boleh diikuti hanya syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

e. Sifat Fisik dan Karakter (Syamail)

Konsekuensi berikutnya adalah mengimani ini semua yang berkaitan dengan sifat-sifat beliau sepanjang pengetahuan kita. Ini enggak sama satu orang dengan orang lain; orang yang membaca sirahnya beliau dengan orang yang tidak, tidak akan sama. Kalau kita membaca sirahnya beliau, sejarah atau biografinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita akan mendapati ciri-ciri beliau. Misalnya: كَانَ رَبْعَةً مِنَ الرِّجَالِ، لَيْسَ بِالطَّوِيلِ وَلَا بِالْقَصِيرِ (Beliau itu perawakannya sedang, tidak jangkung, tidak pendek, sedang).

Laki-laki yang posturnya itu sedang. Kemudian beliau juga tidak berkulit putih yang terlalu putih kayak bule gitu bukan, tapi juga tidak berkulit hitam. Kemudian dahi beliau lebar, hidungnya mancung, posturnya tegap, rambutnya, dan lain sebagainya. Tapi kalau dia mendapati hal-hal yang berkaitan dengan ciri-cirinya Rasulullah, maka bagian dari mengimani beliau adalah mengimani ini juga. Dan itu biasanya disebutkan dalam kitab-kitab الشَّمَائِل (As-Syamail) tentang kesempurnaan sosoknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Termasuk juga karakternya beliau, sifat-sifat beliau, kejujurannya, kemudian sifat pemalunya beliau, bagaimana beliau kalau tersenyum. Ini bagian dari mengimani beliau sebagai Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sifat simpatinya, dan betapa sayangnya beliau kepada umatnya. Bahwasanya beliau ini sangat menginginkan kebaikan untuk kita. Itu ada dalam Al-Qur’an, di akhir-akhir Surah At-Taubah: ﴿لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ﴾ (Sungguh telah datang seorang rasul dari kalangan kalian kepada kalian, berat terasa olehnya penderitaan kalian).

Jadi kalau kalian menderita, beliau juga ikut tersedih. Itu sifatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. ﴿حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ﴾ (Sangat menginginkan kebaikan buat kalian).

Itu sifat khasnya Rasulullah. ﴿بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ﴾ (Dan beliau itu amat welas asih dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman).

Selalu memikirkan bagaimana supaya umatnya selamat. Dalam hadis beliau mengatakan: إِنَّكُم تََتَهَافَتُونَ فِي النَّارِ وَأَنَا آخِذٌ بِحُجَزِكُمْ (Kalian itu wahai umatku ibarat orang yang mau memasukkan dirinya ke dalam api, sedangkan aku memegang simpul sarung kalian).

Kenapa dibilang Al-Hujaz? Orang kalau pakai sarung bagian yang paling kuat itu adalah simpulnya itu, gulungannya itu. Kalau dipegang di situ dia enggak akan bisa lari. Tapi kalau dipegang bawahnya bisa lepas. Betul enggak? Nah, Nabi itu megangin kita pada bagian itu saking sayangnya beliau sama kita.

f. Sifat Kemanusiaan (Basyariyah)

Termasuk konsekuensi mengimani beliau adalah mengimani beliau sebagai manusia juga. Jadi beliau ini bukan malaikat, bukan manusia super yang enggak bisa luka, sakti, bisa terbang. Enggak, enggak. Beliau ini juga kalau terkena sayatan pedang juga berdarah, dipukul juga sakit. Beliau sama; beliau juga makan, juga minum, juga istirahat, tidur, juga bersifat biologis seperti manusia pada umumnya. Dan itu dijelaskan di akhir Surah Al-Kahfi, Allah mengatakan: ﴿قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ﴾ (Katakanlah wahai Rasulullah: Aku ini manusia biasa seperti kalian, cuman aku diberi wahyu).

Jadi mengimani beliau sebagai manusia biasa. Bukan malaikat, bukan jin, bukan orang dengan kesaktian kebal peluru, kebal senjata tajam. Enggak, enggak kebal Rasulullah. Perang Uhud Rasulullah itu patah gigi serinya dan terluka wajahnya. Bahkan pernah diracun dan merasakan sakit efek dari racun itu; beliau juga merasakan. Sampai menjelang wafatnya pun beliau mengatakan, “Saya masih merasa itu efeknya racun yang dibubuhkan oleh si perempuan Yahudi itu.” Karena beliau sempat menggigit sedikit daging kambing itu, kemudian dagingnya memberitahu bahwa dirinya diracun, dibuang sama Nabi. Tapi sempat sedikit kena racun itu dan masih terasa di akhir hayatnya beliau. Jadi mengimani beliau sebagai manusia juga.

g. Petunjuk Terbaik

Kemudian termasuk mengimani apa yang beliau kabarkan adalah mengimani bahwa petunjuk beliau itu adalah petunjuk terbaik. Apa yang beliau ajarkan alias ajaran beliau adalah ajaran terbaik, ajaran paling sempurna, ajaran yang paling relevan. Karena dalam hadis yang sangat terkenal, yang sering dibaca di awal-awal kajian (Khutbatul Hajah), beliau mengatakan apa? فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (Sesungguhnya sebaik-baik, sejujur-jujur ucapan adalah Kitabullah Al-Qur’an. Dan sebaik-baik petunjuk teladan adalah petunjuk dan teladannya Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Jadi apa yang beliau ajarkan itu adalah yang terbaik. Enggak boleh ada yang meyakini ada ajaran lain yang lebih baik atau yang sama baik. Enggak ada. Semua yang tidak sejalan dengan ajaran beliau maka itu jelek. Itu adalah ضَلَالَةٌ (kesesatan).

h. Menyampaikan Seluruh Wahyu (Tabligh)

Kemudian bagian dari mengimani apa yang beliau kabarkan adalah kita harus mengimani bahwa beliau telah menyampaikan semua wahyu yang turun kepada beliau, baik berupa Al-Qur’an ataupun berupa hadis. Semuanya, enggak ada yang tercecer, enggak ada yang lupa, enggak. Semuanya telah beliau sampaikan. Ini wajib kita punya keyakinan seperti itu. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan: ﴿يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ﴾ (Wahai Rasul, sampaikan semua yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu).

Baik diturunkan sebagai Al-Qur’an ataupun diturunkan sebagai sunah. Karena wahyu itu tidak hanya Al-Qur’an; wahyu itu Al-Qur’an dan sunah/hadis. Dan Nabi di sini telah menyampaikan semuanya. Bahkan yang mengkritik beliau, beliau sampaikan. Enggak cuman yang enak, enggak cuman yang muji beliau; yang mengkritik beliau pun beliau sampaikan. Buktinya Surah ‘Abasa, dan ayat-ayat yang sifatnya kritikan atau mengoreksi kesalahan-kesalahan beliau, semuanya beliau sampaikan.

i. Hanya Islam Agama yang Diterima

Nah, termasuk mengimani beliau adalah bahwa tidak ada agama yang boleh diikuti selain Islam. Sejak beliau diutus, maka tidak ada agama yang akan diterima oleh Allah yang bisa menyelamatkan penganutnya kecuali agama yang dibawa oleh Rasulullah, yaitu Islam. ﴿وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ﴾ (Siapa yang mencari agama selain Islam, enggak akan diterima).

﴿إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ﴾ (Agama yang benar di sisi Allah hanyalah agama Islam).

Ini setelah Nabi diutus. Kalau sebelumnya ya agama yang terakhir diajarkan oleh Nabi Isa itulah yang harus diikuti. Begitu Nabi diutus, kalau masih ada di antara pengikut ajarannya Nabi Isa yang masih hidup, dia wajib pindah menjadi penganut Islam.


2. Mentaati Perintah Beliau (Tha’atuhu Fima Amar)

Sekarang kita beralih ke konsekuensi lain. Setelah mengimani apa yang beliau kabarkan, adalah mengimani ajaran beliau. Dan ajaran beliau itu terdiri dari perintah dan larangan.

طَاعَتُهُ فِيمَا أَمَرَ (Mentaati beliau pada apa yang beliau perintahkan).

Jadi ajaran yang dibawa oleh Rasulullah itu selain yang sifatnya berita, maka beliau juga membawa ajaran. Dan ajaran itu ada yang sifatnya perintah, ada yang sifatnya larangan. Nah, konsekuensinya apa? Kita mengimani beliau sebagai rasul, konsekuensinya ya kita harus terikat dengan aturan beliau, ajaran beliau.

Kalau beliau memerintahkan sesuatu, maka tidak lepas dari dua kemungkinan:

  1. Perintah Wajib: Maka konsekuensinya kita harus menganggapnya dan meyakininya sebagai kewajiban. Artinya apa? Kalau enggak kita kerjakan, wajib merasa berdosa. Harus ada perasaan itu ketika kita meninggalkan ajaran Nabi, perintah Nabi yang sifatnya wajib.
  2. Perintah Sunnah: Kemungkinan yang kedua, perintah itu tidak wajib, tapi sunah. Konsekuensinya apa? Ya namanya sunah, apa artinya sunah? Apa yang dikerjakan kita dapat pahala, tapi kalau enggak dikerjakan kita tidak berdosa. Jadi meyakininya sebagai sesuatu yang dianjurkan saja, bukan sebagai sesuatu yang harus dan wajib dikerjakan.

Nah, berangkat dari sini. Orang yang mengimani kerasulannya Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tapi dia tidak meyakini wajibnya salat lima waktu (yang dia yakini cuma empat aja deh, selain Subuh lah, berat dah Subuh saya masih ngantuk soalnya), muslim atau tidak? Ini bukan muslim. Gugur syahadatnya. Mengimani wajibnya salat lima waktu, tapi kalau puasa Ramadan tidak wajib (sunah aja), gugur juga syahadatnya. Meyakini wajibnya salat lima waktu dan puasa Ramadan tapi bagi dia zakat tidak wajib, gugur juga syahadatnya. Meyakini wajibnya salat lima waktu, puasa Ramadan, dan zakat, tapi haji yang pertama itu tidak wajib bagi orang yang mampu, juga gugur syahadatnya.

Karena ini bagian dari yang diajarkan oleh Rasulullah dan semuanya itu wajib, bahkan di puncak kewajiban karena rukun namanya. Rukun itu di atasnya kewajiban yang lain. Islam enggak bisa tegak tanpa rukun-rukunnya, tanpa tiang-tiangnya. Kayak masjid ini enggak bisa berdiri kalau enggak ada tiangnya, kan? Nah, Islam juga enggak bisa berdiri kalau enggak ada rukun-rukunnya. Haji yang pertama bagi yang mampu termasuk rukun Islam. Wajib dia berkeyakinan seperti ini. Walaupun dia belum haji, wajib dia meyakini bahwasanya puasa Ramadan adalah rukun Islam, walaupun dia mungkin belum sempat puasa Ramadan.

3. Menjauhi Larangan Beliau (Ijtinabu Ma Naha ‘Anhu)

اجْتِنَابُ مَا نَهَى عَنْهُ وَزَجَرَ (Menjauhi apa yang beliau larang dan beliau cegah).

Selain perintah, beliau juga membawa larangan. Betul enggak? Semua nabi itu begitu. Ada perintah-perintah, ada larangan-larangan. Bagaimana cara kita menyikapi larangan beliau? Tinggal dibalik saja. Kalau perintah terbagi dua, larangan juga terbagi dua:

  1. Haram: Konsekuensinya kita harus meyakini kalau kita tinggalkan yang haram ini kita dapat pahala, dan kalau kita kerjakan wajib merasa berdosa.
  2. Makruh: Kalau larangannya hanya sekedar memakruhkan, berarti kita meyakininya sebagai sesuatu yang baik dianjurkan untuk dijauhi, tapi ketika dikerjakan tidak berdosa.

4. Beribadah Sesuai Syariat Beliau (Alla Yu’badallahu Illa Bima Syara’)

أَنْ لَا يُعْبَدَ اللَّهُ إِلَّا بِمَا شَرَعَ (Hendaknya Allah tidak diibadahi kecuali dengan apa yang beliau syariatkan).

Konsekuensi berikutnya, atau bagian dari ini, adalah wajib kita cintai dan kita terima semua perintah dan semua larangan beliau. Baik yang hukumnya wajib, yang hukumnya sunah, yang hukumnya sekedar mubah (boleh), atau yang hukumnya makruh, atau yang hukumnya haram.

Gimana kita mencintai haram? Artinya kita tidak keberatan ketika Nabi mengatakan ini haram. Kita tidak keberatan ketika Nabi mengatakan ini makruh. Enggak keberatan ketika diwajibkan oleh Nabi melakukan sesuatu. Kita terima itu walaupun mungkin belum dikerjakan. Jadi bedakan antara menerima dengan mengerjakan, itu dua hal yang berbeda.

Kalau mengerjakan itu sesuai dengan statusnya. Kalau wajib ya wajib dikerjakan. Kalau sunah ya sunah. Kalau mubah ya boleh aja dikerjakan. Tapi kalau kita menerima itu, kita tidak keberatan dengan itu semua. Ini amalannya amalan hati. Menerima itu adalah amalan hati. Kalau mengerjakan perlu aktivitas. Jadi paling tidak semua ajaran beliau itu kita terima dengan lapang dada. Enggak boleh sedikit pun kita ini merasa benci, tidak suka dengan apa yang beliau bawa.

Karena kalau sampai ada ketidaksukaan, syahadat kita akan gugur lagi, batal lagi. Itu bukan saya yang bilang, jemaah. Allah yang mengatakan seperti itu. Di Surah Muhammad, surah ke-47 ayat 8 dan ayat 9, Allah jelaskan itu. Allah mengatakan: ﴿وَالَّذِينَ كَفَرُوا فَتَعْسًا لَهُمْ وَأَضَلَّ أَعْمَالَهُمْ﴾ (Dan orang-orang yang kafir itu, celakalah mereka dan sia-sialah amal mereka).

Kenapa kok begitu? Kenapa kok mereka ini celaka dan sia-sia amalnya? Ayat yang ke-9 menjawab: ﴿ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ﴾ (Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka membenci apa yang Allah turunkan, maka Allah membatalkan/menghapus amal-amal mereka).

Sudah tahu Rasulullah memang mengajarkan begitu, dia benci, batal gugur syahadatnya. Karena ini adalah bagian dari konsekuensi. Konsekuensi itu enggak boleh kita enggak mau terikat. Sekali lagi, yang namanya konsekuensi itu kalau kita enggak terikat ya percuma Anda ini bukan orang yang mengimani Rasulullah. Kalau mengimani Rasulullah ya percayai semua yang beliau bawa. Terima ajarannya. Masalah belum bisa mengamalkan itu masalah nomor dua. Tapi terima dulu, cintai dulu ajarannya walaupun Anda belum bisa mengamalkan.

Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan orang yang benci/tidak suka dengan apa yang Allah turunkan itu dibatalkan amalannya. Makanya hati-hati, enggak boleh ada kebencian walaupun Anda belum bisa mengamalkan. Kalau Anda sudah tahu itu adalah syariatnya Allah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, wajib Anda cintai, wajib Anda terima dalam hati. Dan mintalah kepada Allah supaya Allah gerakkan Anda untuk mengamalkan.

Larangan Bid’ah

Yang terakhir adalah kita ini kalau mau ibadah maka hanya ngikutin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ibadah ini bukan suka-suka kita. Bukan. Ibadah itu sudah ada petunjuk pelaksanaannya. Ibadah itu sesuatu yang baku (tauqifiyah). Kita enggak boleh ngarang-ngarang. Kita enggak boleh asal ikut-ikutan. Kita hanya ngikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Makanya kalau tidak mengikuti apa yang beliau ajarkan itu namanya dia berbuat بِدْعَة (bid’ah). Bid’ah itu bertentangan dengan sunah. Yang beliau ajarkan namanya sunah. Yang tidak beliau ajarkan kalau dikait-kaitkan dengan tata cara ibadah namanya bid’ah, bukan sunah.

Dan dalam hadis tentang Khutbatul Hajah itu: فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Beliau kemudian menyebutkan lawannya. Lawan dari petunjuk beliau itu apa? Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang direkayasa, diada-adakan dalam kaitannya dengan agama, dengan tata cara ibadah. وَشَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا (Dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan).

Kalau dalam masalah dunia enggak ada masalah. Silakan berkreasi, menciptakan hal-hal baru. Masalah dunia silakan. Masalah agama ini sudah baku. فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ (Maka sesungguhnya setiap perkara yang baru [dalam agama] adalah bid’ah).

Nah, beliau katakan setiap perkara yang diada-adakan kemudian dikaitkan dengan agama dengan tata cara ibadah itu namanya bukan sunah. Kalau sunah itu yang diajarkan oleh Nabi. Kalau enggak diajarkan oleh Nabi, namanya bukan sunah. Namanya apa? Bid’ah. Kata Nabi: وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ (Dan semua bid’ah itu sesat).

Tidak ada bid’ah yang tidak sesat.


PENUTUP

Nah, ini adalah konsekuensi-konsekuensi di balik mengimani kerasulan Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita harus senantiasa terikat dengan semua konsekuensi ini supaya syahadat kita tetap diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jangan sampai syahadatnya ditolak seperti syahadatnya orang-orang munafik.

Orang-orang munafik itu Allah sebutkan mereka ini bersyahadat, bersyahadat dengan sangat yakin. Bahkan di awal Surah Al-Munafiqun Allah mengatakan: ﴿إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ﴾ (Ketika orang-orang munafik itu datang kepadamu wahai Rasulullah, mereka mengatakan: Kami bersaksi sesungguhnya engkau benar-benar Rasulullah).

Apa kata Allah? ﴿وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ﴾ (Allah tahu kok. Allah tahu kalau kamu adalah rasul-Nya. Dan Allah juga bersaksi bahwasanya orang-orang munafik itu benar-benar berdusta dalam kesaksian mereka).

Jadi ditolak atau diterima kesaksiannya? Ditolak. Karena apa? Tidak konsekuen. Ngakunya percaya tapi mencemooh ajarannya, melecehkan sosoknya, disuruh enggak mau, banyak alasan ini itu. Ya namanya orang enggak percaya itu. Kalau percaya harus ada buktinya apa? Anda percaya.

Jadi jemaah sekalian, supaya syahadat kita tidak gugur dan bermanfaat bagi kita, maka perhatikan konsekuensi-konsekuensi tadi. Yang secara garis besar ada empat, yaitu:

  1. Mempercayai semua yang beliau beritakan.
  2. Terkait dengan ajaran beliau (perintah), sesuaikan dengan status perintahnya.
  3. Berkaitan dengan apa yang beliau larang, kita jauhi.
  4. Kita hanya beribadah kepada Allah sesuai dengan bimbingan dan petunjuk dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Itu secara garis besar. Adapun rinciannya sudah kita bahas tadi. Mudah-mudahan bisa dipahami. Kalau masih ada yang bingung disimak lagi kajiannya.

Wallahu Ta’ala A’lam.

وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ


Back to top button