Kajian Kitab Lum’atul I’tiqad #16

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا. أَمَّا بَعْدُ.
Alhamdulillah, segala puji hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Kita bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dan diibadahi kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan juga rasul-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah Subhanahu wa Ta’ala limpahkan kepada beliau, keluarga beliau, para sahabat beliau, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai akhir zaman.
Bapak, Ibu sekalian, para jemaah yang dimuliakan oleh Allah. Kita masih membahas kitab Lum’atul I’tiqad yang ditulis oleh Ibnu Qudamah al-Maqdisi, masih pada pembahasan beriman dengan takdir Allah, yang merupakan satu di antara rukun iman.
Dalil-Dalil tentang Takdir dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
Penulis membawakan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk menguatkan akidah tentang takdir.
1. Allah Tidak Ditanya, tetapi Manusia Akan Ditanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ “Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS. Al-Anbiya’: 23)
Allah tidak ditanya tentang perbuatan-Nya (memberi hidayah, menyesatkan, menjadikan kaya atau miskin) karena segala perbuatan-Nya dilandasi oleh hikmah yang sempurna. Di antara nama-Nya adalah Al-Hakim (Maha Bijaksana). Sebaliknya, kitalah yang akan ditanya di hari kiamat tentang apa yang kita kerjakan. Oleh karena itu, kita harus fokus mempersiapkan jawaban untuk ujian di akhirat, bukan mempertanyakan kebijaksanaan Allah.
2. Segala Sesuatu Diciptakan dengan Takdir Allah berfirman:
- إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ (“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran [takdir].”) (QS. Al-Qamar: 49)
- وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا (“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.”) (QS. Al-Furqan: 2)
Ini menunjukkan bahwa penciptaan segala sesuatu, dari semut hingga manusia, telah didahului oleh takdir yang ditetapkan Allah.
3. Musibah Telah Tertulis di Lauhul Mahfuz Allah berfirman: مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22)
4. Hidayah dan Kesesatan adalah Kehendak Allah Allah berfirman: فَمَنْ يُرِدِ اللهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا “Barangsiapa yang Allah kehendaki akan memberikan petunjuk kepadanya, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit…” (QS. Al-An’am: 125)
Hidayah adalah murni karunia Allah. Ketika melihat orang lain tersesat, hendaknya kita memuji Allah yang telah menyelamatkan kita dan berdoa: الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي عَافَانِي مِمَّا ابْتَلَاكَ بِهِ، وَفَضَّلَنِي عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيلًا
5. Iman kepada Takdir adalah Rukun Iman Dalam hadis Jibril yang masyhur, ketika ditanya tentang iman, Nabi ﷺ menjawab: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim)
Takdir yang baik seperti nikmat dan hidayah. Takdir yang buruk seperti musibah dan kesesatan. Mengimani keduanya akan membuahkan sikap tidak sombong saat mendapat nikmat dan tidak putus asa saat ditimpa musibah.
Tidak Boleh Berdalih dengan Takdir untuk Berbuat Maksiat
Penulis menegaskan: وَلَا نَجْعَلُ قَضَاءَ اللهِ وَقَدَرَهُ حُجَّةً لَنَا فِي تَرْكِ أَوَامِرِهِ وَاجْتِنَابِ نَوَاهِيهِ (Dan kita tidak menjadikan qadha’ dan qadar Allah sebagai alasan bagi kita untuk meninggalkan perintah-perintah-Nya dan melanggar larangan-larangan-Nya).
Berdalih dengan takdir atas musibah adalah hal yang disyariatkan. Namun, berdalih dengan takdir atas maksiat adalah perbuatan orang-orang musyrik, sebagaimana firman Allah: سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللهُ مَا أَشْرَكْنَا “Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan akan mengatakan: ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak mempersekutukan-Nya…'” (QS. Al-An’am: 148)
Seorang muslim, ketika berbuat dosa, hendaknya bertaubat dan memohon ampun, bukan menyalahkan takdir. Kita wajib mengimani takdir sekaligus menjalankan syariat. Keduanya tidak bertentangan.
Allah telah menegakkan hujah atas kita dengan menurunkan kitab-kitab suci dan mengutus para rasul. Allah tidak memerintahkan atau melarang sesuatu kecuali yang mampu kita laksanakan dan tinggalkan. Perbuatan adalah milik hamba, meskipun diciptakan oleh Allah. Oleh karena itu, hamba-lah yang akan mendapat pahala atau siksa atas perbuatannya.
Tanya Jawab
1. Bagaimana menyikapi wasiat orang tua untuk mengadakan tahlilan 7 hari dari uang peninggalannya? Jika wasiat bertentangan dengan syariat, maka tidak wajib dilaksanakan, bahkan bisa berdosa jika melaksanakannya. Tahlilan seperti itu tidak dicontohkan oleh Nabi ﷺ dan para sahabat. Uang tersebut sebaiknya digunakan sesuai syariat, seperti untuk pelunasan utang dan pengurusan jenazah yang sesuai sunnah, lalu sisanya dibagikan sebagai warisan.
2. Bagaimana cara melapangkan hati dan menerima takdir buruk? Salah satu caranya adalah dengan membaca doa yang diajarkan Nabi ﷺ saat ditimpa kesedihan dan kegelisahan, yang di dalamnya terkandung pengakuan akan takdir dan keadilan Allah: اللَّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ، وَابْنُ عَبْدِكَ، وَابْنُ أَمَتِكَ… Doa ini juga memohon agar Allah menjadikan Al-Qur’an sebagai penyejuk hati dan penghilang kesedihan. Membaca Al-Qur’an dengan niat tulus mencari hidayah adalah sebab utama datangnya ketenangan dan kemudahan dalam segala urusan.
3. Apakah kita bisa merubah takdir dengan doa? Apa yang telah tertulis di Lauhul Mahfuz tidak akan berubah. Namun, doa adalah bagian dari takdir itu sendiri. Doa menjadi sebab Allah mengubah suatu keadaan menjadi keadaan lain, yang semuanya telah tercatat dalam Lauhul Mahfuz. Inilah makna hadis: لَا يَرُدُّ الْقَدَرَ إِلَّا الدُّعَاءُ (“Tidak ada yang bisa menolak takdir kecuali doa”).
4. Apakah boleh jemaah mengisi token listrik masjid secara sukarela? Pada asalnya diperbolehkan dan termasuk sedekah jariyah.
5. Apakah foto bersama keluarga besar yang bercampur baur (ikhithilat) diperbolehkan? Ikhtilath yang dilarang adalah campur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tanpa adanya mahram yang mendampingi. Jika dalam foto bersama setiap wanita didampingi mahramnya, tidak terjadi persentuhan kulit antara yang bukan mahram, dan aurat tetap terjaga, maka wallahu a’lam hal tersebut tidak termasuk ikhtilath yang terlarang.