Kajian Kitab Lum’atul I’tiqad #15

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ. أَمَّا بَعْدُ.
Alhamdulillah, segala puji hanyalah untuk Allah Rabbul ‘Alamin, Rabb semesta alam. Dialah yang memiliki nama-nama yang husna dan sifat-sifat yang ‘ulya. Dan dari-Nyalah semata seluruh nikmat dan juga karunia. Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah Subhanahu wa Ta’ala limpahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga beliau, para sahabat beliau, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai akhir zaman.
Bapak, Ibu sekalian, alhamdulillah setelah kurang lebih 5 bulan kita libur, terakhir menurut catatan tanggal 22 Februari sebelum Ramadhan, sekarang kita sudah di tanggal 19 Juli. Berarti 5 bulan. Kalau dihitung setahun, kita mungkin cuma 4 sampai 5 kali efektif kajian. Oleh karena itu, tentunya Bapak Ibu sekalian kalau cuma mengandalkan kajian sebulan sekali untuk belajar akidah, saya kira tidak cukup. Perlu di sana ada tambahan yang lebih fleksibel, lebih mudah, dan insyaallah lebih rutin.
Mumpung ingat, insyaallah di program HSI AbdullahRoy akan membuka pendaftaran siswa baru besok. Silakan yang belum mendaftar bisa mendaftar pada angkatan ini. Insyaallah apa yang Antum pelajari di dalam kitab Lum’atul I’tiqad, juga akan Antum pelajari di HSI. Pembahasan-pembahasan yang disebutkan dalam kitab ini juga kita bahas di dalam program HSI reguler, mungkin lebih terperinci dan lebih fleksibel.
Terakhir kemarin kita sudah membahas tentang akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah di dalam masalah rukyatullah (melihat Allah) di hari kiamat. Kita masuk pada pembahasan yang baru, yaitu akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah di dalam masalah takdir.
Akidah Ahlus Sunnah tentang Al-Qadha’ wal Qadar (Takdir)
Ini termasuk di antara permasalahan yang besar dalam akidah, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala bahkan telah menjadikan keimanan terhadap takdir ini termasuk rukun iman. Perlu diketahui bahwa beriman dengan takdir tidak serumit yang dibayangkan oleh sebagian orang. Apabila seseorang mau kembali kepada dalil, kita akan dapatkan bahwasanya beriman dengan takdir Allah sangat mudah dipahami.
Ibnu Qudamah mengatakan, وَمِنْ صِفَاتِ اللهِ تَعَالَى أَنَّهُ الْفَعَّالُ لِمَا يُرِيدُ (Dan termasuk di antara sifat Allah Ta’ala adalah bahwasanya Dia Maha Melakukan apa yang Dia kehendaki).
Maksudnya, jika Allah menginginkan sesuatu—mencipta, memberi rezeki, memberi kekuasaan, mencabutnya, menjadikan kaya atau miskin—maka tidak ada yang bisa menghalangi apa yang Allah inginkan. Inilah yang dinamakan Al-Masyi’ah (kehendak), dan kehendak Allah bersifat نَافِذَةٌ (pasti terjadi).
Dalilnya adalah firman Allah:
- إِنَّ اللهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ (Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki). (QS. Al-Hajj: 14)
- وَلَوْ شَاءَ اللهُ مَا اقْتَتَلُوا وَلَكِنَّ اللهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ (Dan seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berperang, tetapi Allah berbuat apa yang Dia kehendaki). (QS. Al-Baqarah: 253)
- فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ (Maha Kuasa berbuat apa yang Dia kehendaki). (QS. Al-Buruj: 16)
لَا يَكُونُ شَيْءٌ إِلَّا بِإِرَادَتِهِ (Tidaklah terjadi sesuatu kecuali dengan kehendak-Nya). Bergeraknya sesuatu, diamnya sesuatu, hidayah, kesesatan, semuanya terjadi dengan kehendak Allah. Tidak ada yang keluar dari takdir-Nya, dan tidak ada cara untuk lari dari apa yang sudah ditakdirkan.
وَلَا يَتَجَاوَزُ مَا خُطَّ فِي اللَّوْحِ الْمَسْطُورِ (Dan tidak mungkin melebihi apa yang sudah ditulis di dalam Lauh Al-Mastur [Lauhul Mahfuz]). Segala sesuatu—rezeki, ajal, nasib—telah ditulis 50.000 tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.
خَلَقَ الْخَلْقَ وَأَفْعَالَهُمْ (Allah menciptakan makhluk dan juga perbuatan-perbuatan mereka). Bukan hanya fisik kita yang diciptakan, tetapi juga perbuatan kita, baik ketaatan, maksiat, maupun hal mubah. Sebagaimana firman Allah: وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ “Dan Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. Ash-Shaffat: 96)
وَقَدَّرَ أَرْزَاقَهُمْ وَآجَالَهُمْ (Dan Dialah yang menakdirkan rezeki-rezeki mereka dan ajal-ajal mereka). Rezeki kita telah ditentukan kadarnya dan dijamin akan sampai kepada kita. Tidak mungkin seseorang mengambil jatah rezeki orang lain. Begitu pula dengan ajal, tidak akan dimajukan dan tidak akan diakhirkan.
Ini semua menjadikan seorang muslim bertawakal hanya kepada Allah, menjadi pemberani, dan tidak takut kepada selain-Nya. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ kepada Ibnu ‘Abbas: “Ketahuilah, seandainya seluruh umat berkumpul untuk memberimu suatu manfaat, mereka tidak akan bisa memberimu manfaat kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tuliskan untukmu. Dan seandainya mereka berkumpul untuk menimpakanmu suatu mudarat, mereka tidak akan bisa menimpakanmu mudarat kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tuliskan atasmu.”
يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ بِرَحْمَتِهِ، وَيُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ بِحِكْمَتِهِ (Dia memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki dengan rahmat-Nya, dan Dia menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dengan hikmah-Nya). Hidayah yang kita rasakan adalah murni kehendak dan rahmat khusus dari Allah. Sebaliknya, kesesatan yang menimpa sebagian orang terjadi dengan kehendak dan hikmah-Nya. Apa yang Allah lakukan berputar di antara keadilan dan karunia-Nya, tidak ada kezaliman sedikit pun.
Empat Tingkatan (Pilar) Iman kepada Takdir
Para ulama meringkas bahwa kesempurnaan iman kepada takdir mencakup keimanan pada empat perkara:
- Al-‘Ilm (Ilmu): Meyakini bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, baik yang telah, sedang, maupun akan terjadi, secara global maupun terperinci.
- Al-Kitabah (Penulisan): Meyakini bahwa Allah telah menuliskan segala sesuatu di dalam Lauhul Mahfuz.
- Al-Masyi’ah (Kehendak): Meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di langit dan di bumi terjadi atas kehendak Allah yang mutlak.
- Al-Khalq (Penciptaan): Meyakini bahwa segala sesuatu adalah ciptaan Allah, termasuk Dzat makhluk dan perbuatan mereka.
Tanya Jawab
Pertanyaan 1: Bagaimana kita memahami kehendak kita sebagai manusia jika semua terjadi atas kehendak Allah?
Jawaban: Kehendak kita berada di bawah kehendak Allah. Kita tidak bisa berkehendak kecuali apabila Allah menghendakinya. Dalilnya: وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ (Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam).
Namun, perlu dibedakan antara dua jenis kehendak Allah:
- Iradah Kauniyyah (Kehendak Universal): Ini adalah kehendak Allah yang pasti terjadi pada segala sesuatu di alam semesta, baik yang Allah cintai maupun yang tidak Dia cintai (seperti kekufuran dan maksiat).
- Iradah Syar’iyyah (Kehendak Syariat): Ini adalah kehendak Allah yang berkaitan dengan apa yang Dia perintahkan dan cintai, seperti shalat dan puasa. Kehendak ini tidak selalu terjadi, karena manusia diberi pilihan untuk taat atau tidak.
Jadi, ketika seseorang berkehendak untuk maksiat, itu terjadi dengan Iradah Kauniyyah Allah, namun bukan berarti Allah mencintai perbuatan maksiat tersebut.
Pertanyaan 2: Apakah mengartikan tangan Allah sebagai “kekuasaan” termasuk dosa besar atau kecil?
Jawaban: Perbuatan ini disebut ta’wil (penyelewengan makna) dan termasuk bid’ah dalam akidah, yang lebih berbahaya daripada dosa besar. Ketika seseorang melakukan ini, ia telah jatuh ke dalam dua kesalahan:
- Ta’thil (Penafian): Dia menafikan sifat tangan yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya.
- Tahrif (Perubahan): Dia menetapkan makna baru (kekuasaan) yang tidak pernah diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Mengenai terjemahan Al-Qur’an yang melakukan ta’wil seperti ini, sebaiknya mencari terjemahan yang lebih selamat, seperti yang diterbitkan oleh Kompleks Percetakan Al-Qur’an Raja Fahd di Madinah. Jika tidak ada, dan kita sudah memiliki ilmu, kita bisa memberi catatan pada terjemahan yang ada untuk meluruskan pemahaman tersebut.
Pertanyaan 3: Bolehkah menggabungkan niat untuk beberapa amalan sunnah, seperti puasa Senin-Kamis dengan Ayyamul Bidh, atau shalat Tahajud dengan shalat Istikharah?
Jawaban: Menggabungkan niat dibolehkan jika ibadah tersebut tidak saling bertentangan maksud dan tujuannya.
- Contoh yang Boleh:
- Shalat Qabliyah Subuh digabung dengan Tahiyatul Masjid: Boleh, karena maksud Tahiyatul Masjid adalah shalat dua rakaat sebelum duduk, dan Qabliyah Subuh memenuhi maksud tersebut.
- Puasa ‘Asyura yang jatuh pada hari Senin: Boleh, seseorang bisa berniat puasa ‘Asyura sekaligus puasa Senin dan insyaallah mendapatkan pahala keduanya.
- Tawaf Ifadah yang diakhirkan hingga sebelum meninggalkan Makkah: Tawaf ini bisa sekaligus berfungsi sebagai Tawaf Wada’.
- Contoh yang Tidak Boleh (atau Sebaiknya Dipisah):
- Shalat Tahajud dengan Shalat Istikharah atau Shalat Taubat: Sebaiknya dipisahkan. Masing-masing shalat ini memiliki sebab dan maksud yang spesifik. Shalat Istikharah adalah untuk meminta pilihan, sedangkan shalat taubat adalah karena telah berbuat dosa. Maka, lakukanlah shalat-shalat ini secara terpisah.